NovelToon NovelToon

My Boyfriend Is A CEO

Terbangun Di Kamar Hotel

"Argh...gh...!"

Amelia yang terbangun dari tidurnya di pagi hari itu, tiba-tiba menjerit ketika menyadari bahwa saat ini Ia berada di dalam sebuah kamar hotel dalam keadaan tanpa busana sama sekali.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku?" gumamnya lirih.

Di ketok-ketok kepalanya berharap memorinya kembali. Berulang kali Ia terus mencoba mengingat sampai-sampai rambut panjang terburai nya makin terlihat kusut tak beraturan. Tapi tetap saja Ia tak dapat pencerahan apapun. Yang ada hanya sisa-sisa rasa pening di kepalanya.

Perasaan semalam aku lagi nongkrong di Cafe. Tapi kenapa kejadian selanjutnya malah nggak inget.

"Aduh kenapa kepala rasanya berat banget."

"Tunggu! Kepala berat."

"Argh.....! Aku nggak inget apa-apa."

Sambil berpikir sembari mulut yang tak henti-hentinya mengoceh, gadis itu menarik selimut tebal yang Ia gunakan untuk menutupi tubuh polosnya.

Dia bangun dari tempat tidur dan mengamati keadaan kamar hotel yang ternyata terlihat rapi seperti tidak ada kejadian apa-apa semalam ataupun pagi ini.

"Dimana semua pakaianku."

Ketika berusaha mencari pakaian yang sebelumnya Ia gunakan, sudut matanya menangkap selembar kertas yang diletakkan di atas meja dekat sofa di sudut kamar dan sebuah papper bag disampingnya.

Diambilnya kertas itu dan kemudian dibacanya catatan singkat yang ditulis di atas kertas dengan logo hotel di ujungnya.

"Sampai jumpa lagi Nona, Aku menantikan pertemuan kita selanjutnya. DNr "

DNr? Siapa dia. Siapa pria pengecut ini yang seenaknya kabur setelah melakukan hal yang tidak pantas padaku.

Ya, feelingnya mengatakan bahwa orang ini adalah seorang pria bila melihat dari barisan kata-kata yang ditulisnya.

Segera Ia mengambil semua pakaiannya yang tergeletak di atas sofa, sedikit lembab. Dilihatnya juga isi dari papper bag yang sepertinya ditinggal kan oleh si pria misterius.

Satu set pakaian termasuk pakaian dalam, ada di dalamnya.

Setelah menimbang-nimbang, diputuskannya untuk menggunakan pakaian yang telah disiapkan yang dia yakini untuk Ia gunakan.

"Ah bodo amat. Penasaran nya aku tunda dulu. Lebih baik sekarang aku bersih-bersih dan segera meninggalkan hotel ini."

Dengan selimut yang masih membelit tubuhnya, Amelia beranjak menuju toilet. Menutup pintu dan menyalakan shower berharap bahwa mimpi nyata ini segera pergi dari otaknya.

Amelia Sarawijaya, seorang gadis dari kalangan menengah yang baru saja menyelesaikan pendidikan kuliahnya beberapa waktu lalu.

Saat itu dia baru saja melakukan pesta kelulusan sebagai seorang sarjana di sebuah cafe bersama beberapa teman seangkatannya yang sama-sama selesai wisuda, hingga kejadian yang menghebohkan terjadi di pagi hari. Ia mendapati dirinya dalam keadaan telanjang.

 

***

 

Di lain tempat di sudut ruangan sebuah kantor megah salah satu perusahaan di Ibukota. Seorang pria sedang memandang ke arah luar jendela. Ditatapnya langit dengan cuaca yang cukup cerah. Terlihat di bawah di depan bangunan kantornya, jalanan ibukota yang lumayan padat seperti biasanya.

Dia adalah Dirga Narendra, CEO sebuah perusahaan makanan yang saat ini sedang berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun oleh keluarga nya dari kakeknya dahulu. Turun temurun di turunkan pada setiap ahli waris di keluarga.

Takdir di dalamnya lah yang membuat dia memimpin perusahaan saat ini. Dia adalah anak sulung dari anak tertua kakeknya. Adiknya perempuan, masih mengenyam pendidikan bangku kuliah.

Berbeda dengan dirinya saat kuliah dulu mengambil jurusan manajemen bisnis, adiknya Nancy saat ini kuliah di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri di Ibukota.

"Tok tok tok."

Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar.

"Masuk," perintahnya yang masih enggan mengalihkan pandangannya dari luar bangunan.

"Maaf Pak, meeting dengan PT. Xena akan segera dimulai. Perwakilan dari mereka sudah siap dan sedang menunggu Bapak," Juna asisten pribadi datang menghadap untuk memberikan laporan kegiatan sang atasan.

"Baiklah. Apa berkas dan dokumen yang harus disiapkan sudah lengkap?"

"Sudah Pak. Rena sudah menyiapkannya."

Tanpa banyak percakapan lagi, mereka segera keluar ruangan menuju ruang meeting.

"Kamu ikut meeting sekarang," tunjuknya pada sang sekertaris, Rena.

Yang ditunjuk hanya menganggukkan kepala dan langsung mengekor dari belakang.

Sepanjang rapat, otak dan pikiran Dirga entah berlarian kemana. Sang asisten sebentar-bentar melirik pada bos nya, yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa si bos masih kepikiran sama gadis yang semalam yah," pikirnya di dalam hati.

Untung saja dia sudah terbiasa dengan kondisi semacam ini. Bila sang bos terlihat tidak menikmati acara rapat, maka secara otomatis, dia lah yang akan mengambil alih rapat itu hingga selesai.

"Terima kasih Pak Dirga, kami sangat senang akhirnya bisa bergabung dengan perusahaan Bapak. Semoga ke depannya, kita bisa tetap terus bekerjasama," Pak Nando perwakilan dari PT. Xena berdiri dan menjabat tangan sang CEO.

Sempat pikirannya tidak berpijak di situ namun sesaat kemudian Ia bisa mengkondisikan tampangnya. Memasang wajah tersenyum hangat dan kharismatik.

"Sama-sama Pak Nando, semoga kita bisa saling menguntungkan satu sama lain."

"Titip salam untuk Pak Keni yang masih betah bulan madu dan tak ingat pulang."

"Wajar saja Pak, pengantin baru," katanya sambil terkekeh.

"Salam dari Bapak akan saya sampaikan bila beliau pulang nanti, dan juga sepertiny beliau akan senang karena akhirnya bisa bekerjasama dengan perusahaan Bapak."

"Sama-sama Pak. Terima kasih juga untuk kunjungannya datang ke kantor kami."

Mencari Informasi

Di dalam sebuah taksi online yang di pesannya dari hotel, gadis itu mencoba menggali ingatan kembali tentang peristiwa semalam.

"Sial! Kemana teman-teman yang lain, kenapa aku bisa di tinggal sendirian ditempat itu."

Sambil berkata sendiri tanpa memperdulikan tatapan mata supir dari kaca depan, Amelia terus saja mengoceh dengan sekali-kali mengeluarkan umpatan yang sedikit kasar.

Keinginan kuatnya mencari tahu, malah semakin membuatnya kesal karena ponsel miliknya ternyata mati karena habis baterai.

"Ya ampun.. Sial banget sih."

Mobil taksi itu masih terus melaju hingga memasuki daerah kawasan perumahan. Bukan perumahan elite atau perumahan mewah yang banyak berserakan di pusat-pusat kota, hanya perumahan biasa yang berada di pinggiran ibukota.

Dibukanya pintu mobil setelah membayar ongkos tarif taksi.

"Makasih yah Pak."

"Sama-sama Mbak. Oh iya, jangan sering-sering ngomong sendiri lagi loh Mbak," kata Pak supir sambil menampakkan senyum usilnya.

Amelia hanya bisa tersenyum garing mendengar penuturan si supir taksi.

Pertama kali masuk ke dalam rumah yang cukup asri berukuran sedang itu, Amelia langsung merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang TV.

Rumah yang Ia sewa, yang selama ini Ia tinggali selama menempuh pendidikan kuliahnya.

Banyak teman-temannya yang menanyakan, kenapa Ia tidak menyewa kos-kosan seperti layaknya mahasiswa-mahasiswi yang lain.

"Kalau tinggal di kos an, aku nggak berasa tinggal di rumah. Selama ini Aku kan nggak pernah jauh dari orang tua. Jadi takut tiba-tiba kangen rumah."

Begitulah alasannya.

Meski sewa rumah lebih mahal sedikit di banding Ia tinggal di kos an, tapi Ia tidak perduli. Selain Ia berusaha cari rumah sewa yang lebih miring harga nya, Ia juga tidak begitu saja mengandalkan uang kiriman orang tuanya yang di dapatnya tiap bulan. Setiap weekend, dari hari Jum'at sampai minggu Amelia kerja part-time di sebuah restoran cepat saji milik "Paman Sam". Dia kerja dari pukul dua siang sampai pukul sepuluh malam.

Diambilnya charger ponsel yang tergeletak di atas meja TV. Dinyalakan ponsel yang sudah terhubung dengan aliran listrik tersebut.

Beberapa notifikasi masuk ketika ponsel itu menyala. Ada chat dari Bunda yang menanyakan kapan akan pulang setelah acara kelulusan selesai. Ada juga beberapa chat berasal dari teman-temannya yang semalam ikut nongkrong di cafe.

"Mel."

"Kamu di mana?"

Isi chat salah satu temannya, Anya. Menanyakan keberadaannya.

"Mel, kamu gak apa-apa kan?" isi chat yang lain dari Boby teman masa kecilnya yang juga satu tempat kuliah dengannya.

Dan beberapa chat grup memenuhi daftar Whatsapp nya.

Dia akhirnya mencoba untuk menghubungi Boby sahabatnya.

"Hallo Bob," setelah teleponnya terhubung.

....

"Aku baik-baik aja."

....

"Ada di rumah."

....

"Bob, ada hal yang harus kamu ceritain tentang kejadian semalam. Apa sebenarnya yang terjadi denganku?" cecarnya kemudian.

....

"Ok, aku tunggu kamu di rumah sekarang."

....

"Bye..."

Terlalu banyak hal-hal yang ingin Amelia tanyakan kepada sahabatnya itu. Ia tidak ingin berprasangka buruk terhadap apa yang terjadi pada dirinya sampai ia tahu kejadian yang sebenarnya. Minimal ia tahu dari orang-orang yang terakhir bersamanya. Meski sedikit ada rasa kecewa pada Boby, karena membiarkan Ia sendirian berada di dalam kamar hotel semalaman. Namun Ia menghilangkan ego nya sementara untuk mengetahui kejelasannya.

Setelah menutup sambungan teleponnya, lantas dilihatnya notifikasi lain dari pesan masuk email.

Pemberitahuan panggilan interview di salah satu perusahaan yang beberapa waktu lalu Ia lamar.

Jadwalnya besok pagi jam sepuluh.

Syukurlah, masih ada beberapa waktu untuk mempersiapkan dirinya menghadapi interview besok.

Sambil menunggu Boby datang, Ia beranjak pergi ke dapur mengolah bahan makanan untuk mengganjal isi perutnya yang sedari pagi cacing-cacing di dalamnya minta di beri makan.

Dibuka kulkasnya, masih ada beberapa telur dan sekotak susu cair. Di atas meja makan mini karena hanya terdiri dari dua tempat duduk dan satu buah meja panjang menghadap dapur, masih ada sebungkus penuh roti tawar.

Akhirnya gadis itu memutuskan untuk membuat Omletee dan French toast. Ia membuat masing-masing dua porsi, jaga-jaga kalau sahabatnya Boby juga belum sarapan.

Boby terkadang memang suka ikut numpang makan di rumahnya, baik saat hendak berangkat ke kampus atau ketika pulang. Orang tua mereka saling mengenal karena di lingkungan rumah tempat mereka tinggal mereka adalah tetangga. Amelia sudah menganggap Boby seperti seorang kakak baginya. Karena kelakuan buruk dan baiknya mereka sudah saling mengetahui.

Dua porsi menu sarapan ditambah Teh hangat tawar telah selesai Amelia buat tepat saat bel rumah berbunyi.

"Ting.. tong.."

"Iya, sebentar," teriaknya dari dalam.

Sebelum membuka pintu, Ia melirik dari balik gorden jendela rumah. Orang yang ditunggunya akhirnya datang.

"Kamu ngebut yah, Bob. Cepet amat kamu sampenya," selidiknya pada lelaki itu saat pintu dibuka.

"Hehhe, nggak kok Mel, kebeneran aja jalannya agak lengang. Jadi cepet sampe."

"Jangan kebut-kebutan mulu Bob, Ibu kamu udah sering bilang sama aku buat selalu ingetin kamu kalau lagi bawa motor."

"Iya iya.. Tapi bener kok, tadi aku gak ngebut. Jalanannya emang gak terlalu padat kaya biasanya."

Mereka bicara sambil melangkahkan kaki menuju ke arah dapur.

"Kamu udah sarapan belum?" Amelia mendudukan bokongnya di atas kursi meja makan.

"Tahu aja kamu Mel, kalo aku belum sarapan," kekehnya merasa mendapat hujan duit demi melihat sepiring hidangan yang menggiurkan di hadapannya.

"Jadi, hal apa yang pingin kamu ceritain ke aku Bob? Jujur aja aku belum tenang kalo belum dapat penjelasan dari kamu," sahut Amelia tidak sabar.

"Tenang Mel. Kamu tenang dulu. Aku bakal cerita sedetail-detailnya. Sebatas versi yang aku ketahui."

Bobby Bercerita

Flashback on

Cafe Teras

"Nya, kok badan aku tiba-tiba kerasa panas gini yah. Kamu ngerasa kegerahan gak?"

"Enggak kok, biasa aja. Malah dingin kali Mel, orang cuaca malam gini."

Dengan menggunakan telapak tangannya, Amelia mengkibas-kibaskan ke sekitar area wajah dan lehernya.

"Sumpah Nya, bener badanku panas banget ini."

"Kamu jangan aneh-aneh deh," seru Anya kesal seolah Amelia sedang dalam mode bercanda. Menganggu konsentrasinya yang sedang ngobrol seru bersama teman-teman yang lain.

Lain halnya Boby yang melihat gelagat aneh dari sahabatnya. Sedari tadi Boby duduk tidak jauh dari Amelia. Ia terus memperhatikan sabahat nya yang sedang mengobrol dengan kumpulan para gadis. Ia heran seketika melihat hal yang membuat dahinya mengkerut.

"Si Amel kenapa yah?" humamnya lirih.

Namun Oka yang duduk di sebelahnya bisa mendengar apa yang di katakan oleh Boby.

"Kenapa Bro?"

"Eh, kamu perhatiin deh, si Amel kenapa yah?"

Oka yang penasaran kemudian mengikuti tatapan Boby yang mengarah ke sosok gadis berambut panjang berbaju biru laut.

"Eh iya si Amel kenapa tuh, Bob? Kaya yang kepanasan gitu. Kamu samperin gih."

"Eh tapi lihat deh si Aron, kenapa dia ngelirik-lirik si Amel terus yah dari tadi sambil senyum-senyum gitu lagi," sahut Oka kemudian.

Belum sempat Boby menghampiri gadis itu, Aron yang sedari tadi menatap tajam pada Amelia tiba-tiba berdiri dan mendahului Boby untuk menghampiri sosok gadis yang saat ini seperti terlihat menderita dengan muka yang semakin memerah.

Dilihatnya Aron membantu mengangkat tubuh Amelia untuk berdiri. Namun belum sempat kedua sosok itu pergi menjauh, Boby dengan cepat menarik tangan Amelia agar terlepas dari pelukan Aron. Ia terlihat marah ketika sahabatnya dipeluk-peluk sembarangan oleh lelaki.

Walau Aron adalah teman satu kampus juga, tapi playboy cap botol kecap sudah terlanjur menempel di dalam dirinya. Ditambah tingkah laku kasarnya terhadap para gadis yang dia kencani, menambah daftar buruk baginya.

Pria itu bisa berbuat hal-hal di luar nalar dan terkesan bangga karena menjadi ciri khasnya dikarenakan dia adalah anak salah satu pejabat daerah setempat.

"Mau dibawa kemana si Amel?" serunya dengan tatapan tajam ke arah Aron dan kroni-kroninya yang telah siap sedia membela bila terjadi apa-apa dengan bosnya itu.

"Eh Bro, aku cuma bantuin si Amel aja. Kayanya dia kurang enak badan tuh," kilah Aron yang nampak kesal karena rencana busuk nya ketahuan oleh Boby, namun Ia menutupinya dengan senyum sinis.

"Jangan macem-macem kamu Aron. Kamu pikir aku nggak tahu dengan maksud kamu," masih dengan tatapan tajam terlihat seperti ingin menyapa muka Aron yang terlihat menyebalkan dengan bogeman tangannya.

"Hei.. hei.. Emang aku punya maksud apa?" sahut Aron mulai emosi.

"Jangan kebanyakan ngeles deh. Aku udah merhatiin kamu dari tadi. Si Amel pasti udah kamu apa-apain!" teriaknya, yang membuat orang-orang di sekitar mereka mulai memperlihatkan wajah tegang dan penasaran.

"Kamu kalo ngomong jangan asal nuduh. Kamu ada bukti kalo si Amel udah aku apa-apain.?" sembari menghampiri Boby dengan tangan yang terjulur menarik kerah kemeja.

"Bugh!"

Tanpa pikir panjang dengan emosi yang sudah tersulut sedari tadi demi melihat sahabatnya yang menderita entah kenapa. Boby akhirnya kesampaian untuk membogem muka Aron yang dengan seenaknya menarik kerah kemeja barunya.

Hei, masih juga kepikiran masalah baju baru. Author

"Sialan!" dengan tampang muka yang memperlihatkan sedikit warna merah keluar dari sudut bibirnya, Aron bangun dari jatuhnya. Dengan gerakan tangan, memberi aba-aba terhadap "pasukannya" untuk membalas perbuatan Boby padanya.

Perkelahian tak terelakkan. Suasana riuh mulai memenuhi teras cafe. Boby dibantu oleh Oka dan yang lainnya mencoba membantu melawan kubu Aron.

Untungnya perkelahian itu tidak berlangsung lama dan berlarut, karena petugas keamanan cafe dengan sigap mulai memisahkan dan mengamankan mereka ke ruangan manajemen Cafe, untuk diperiksa dan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka yang mengakibatkan kerusuhan di dalam cafe.

Flashback off

"Pada akhirnya kita dibebaskan oleh manajemen cafe, dan tidak ada tuntutan sama sekali. Kita cuma disuruh menandatangani surat pernyataan aja. Agar perbuatan itu gak terjadi lagi."

"Kalian berantem kaya gitu, ngeributin apaan?" tanya Amelia masih kepo tingkat tinggi.

Heran, kalo mereka ribut karena aku. Lah, akunya sendiri dimana pada saat kejadian? Sue banget, orang-orang. Amelia

"Kamu gimana sih Mel, ya Aku ribut sama si playboy cicak itu karena lagi ngelindungi dan ngebela kamu lah Mel," sewot Boby sedikit memanyunkan bibirnya.

"Terus kenapa aku jadi ada di dalam kamar hotel?"

"Hah! Jadi kamu dibawa ke hotel?" seru Boby tiba-tiba.

"Kamu nggak tahu?" kesal Amelia, yang kecewa karena sepertinya Boby tidak mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi pada dirinya semalam.

"Aku nggak tahu perihal kamu dibawa ke hotel."

"Berarti kamu tahu siapa yang bawa aku?"

Boby mengangguk.

"Siapa?" tanyanya yang semakin penasaran.

"Dirga Narendra."

Amelia memicingkan salah satu matanya. Mencoba mencari kesungguhan dari kata-kata sahabatnya barusan.

Dirga Narendra, nama yang persis dengan inisial dari lelaki yang meninggalkan notes di kamar hotel. Tapi siapa orang itu. Amelia

Sudah ketebak kamu pasti kaget dan tidak menyangka kalo ternyata seorang pengusaha muda kaya yang telah menolong kamu. Boby

Keduanya terdiam, berkutat dengan pemikiran mereka masing-masing. Pemikiran yang tidak nyambung sepertinya.

"Bob, kok kamu tega banget ngebiarin aku dibawa kabur oleh orang lain."

"Kok kamu masih bisa nyantai banget mengetahui sahabat kamu sendiri, temen masa kecil kamu, pergi sama laki-laki yang nggak dikenal," Amelia mulai menangis merasa kecewa pada sahabatnya.

Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisannya mulai terdengar kencang.

Kamu jahat banget Bob. Amelia

Hah, kok malah jadi gini sih. Boby

"Hei, Amel..Euh denger dulu, cerita aku belum kelar," Boby mulai terlihat panik dan tak enak hati melihat sahabatnya menangis.

Lagian kalo cerita yang bener Bob, jangan setengah-setengah. Author

Eh jangan memperuncing suasana yah, Thor. Boby

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!