Setiap orang memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai. Manusia, dengan sifatnya yang tidak pernah puas, akan melakukan berbagai cara untuk meraih kepuasan tersebut.
Salah satunya adalah seorang gadis berusia 22 tahun yang bercita-cita untuk ikut serta dalam menegakkan kebenaran. Masyarakat memiliki pandangan negatif terhadap sistem hukum, terutama di Indonesia.
"Hukum itu tumpul ke atas, tajam ke bawah."
Ungkapan yang melekat pada dunia hukum ini mendorong gadis 22 tahun itu untuk membuktikan bahwa sistem hukum di negara ini tidak sepenuhnya salah. Kesalahan terletak pada individu yang tidak menjalankan tanggung jawabnya dengan baik.
Tentu saja, tidak semua penegak hukum seperti itu. Masih ada sebagian dari mereka yang bekerja dengan jujur dan penuh hati nurani.
*****
Di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari gedung perkantoran mewah, seorang gadis melayani pelanggan. Kafe itu selalu ramai karena lokasinya yang strategis, menjadi tempat favorit mahasiswa untuk berkumpul atau mengerjakan tugas.
Laila Defarin, atau yang biasa dipanggil Ila, terlihat sibuk melayani pesanan pelanggan. Keramaian kafe hari ini membuatnya kewalahan.
Ila membawa beberapa makanan dan minuman dengan nampan besar untuk mempercepat pekerjaannya.
Ila meletakkan pesanan di atas meja yang ditempati enam mahasiswa.
"Terima kasih, Ila. Gabung sini, yuk!" ajak salah satu mahasiswi.
Ila menggeleng. Ia merasa tidak pantas bergabung dengan mereka karena perbedaan status. Ia hanyalah seorang karyawan kafe.
"Ila, duduklah di sini. Bukankah shift-mu sudah selesai? Sebelum pulang, makanlah bersama kami," kata Ratu dengan nada memaksa.
Ratu Larissa Aswara, anak pemilik kafe tempat Ila bekerja, telah mengenal Ila sejak SMA. Mereka bersahabat sejak masa sekolah.
Ratu prihatin dengan kehidupan sahabatnya, tetapi tidak bisa banyak membantu karena Ila melarangnya. Ila tidak ingin merepotkan orang lain.
Ratu, seorang mahasiswi semester akhir jurusan kedokteran di universitas dekat kafe, sering mengeluhkan lelahnya kuliah. Namun, ia segera menyadari betapa beruntungnya dirinya. Ia tidak perlu bekerja keras seperti Ila untuk membiayai pendidikannya.
Ratu selalu mengingatkan dirinya untuk tidak mengeluh. Masih banyak orang yang lebih menderita, salah satunya adalah Ila.
"Ratu, aku ingin pulang. Masih ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan," tolak Ila.
"Pekerjaan apa lagi? Bukankah kau hanya bekerja di kafe ayah Ratu?" tanya salah satu teman Ratu yang dekat dengan Ila.
Ratu berdiri dan menghadap Ila, "Berapa banyak pekerjaan yang kau ambil, La?" tanyanya.
"Sebanyak mungkin, Tu," jawab Ila.
Ratu menghela napas lelah, "Untuk apa?"
"Untuk keluarga dan tentu saja, untuk mimpiku, Tu," jawab Ila.
"Ayahmu ke mana? Mengapa kau menanggung semuanya?" tanya Ratu kesal.
"Entahlah, sepertinya ayah belum mendapat rezeki. Karena itu, aku yang berusaha," jawab Ila.
Ratu tertawa sinis, "Orang tua macam apa dia? Hanya bisa membuat anak, tetapi tidak mau menafkahi," ucap Ratu sarkastis.
Ratu tahu betul tentang kehidupan Ila. Gadis berkulit hitam manis itu memang memiliki nasib yang kurang beruntung. Begitulah menurut Ratu.
Ila menatap Ratu dalam, "Jangan bicara seperti itu. Ini urusanku, kau tidak perlu ikut campur," kata Ila.
Ratu memalingkan wajah, "Sampai kapan kau begini, La? Gaji dari kafe ini tidak akan cukup untuk mewujudkan mimpimu jika kau terus seperti ini. Bersikap egois sedikit tidak akan membuatmu durhaka, Ila," geram Ratu.
Ila mengusap bahu sahabatnya, "Terima kasih, cantik. Aku bersyukur memiliki sahabat sepertimu. Soal mimpiku, aku sudah pasrah. Jika Allah tidak mengizinkan, mungkin Dia memiliki hadiah lain untukku. Kau percaya itu, kan?" tanya Ila, berusaha meyakinkan Ratu. Teman-teman Ratu hanya diam memperhatikan perdebatan kecil mereka.
Ratu menatap Ila dengan mata berkaca-kaca. Ia memang memiliki hati yang lembut dan mudah menangis, meskipun ucapannya terkadang menyakitkan.
"Baiklah, tapi ingat, jika kau butuh sesuatu, hubungi aku. Tawaranku yang dulu masih berlaku," ucap Ratu sambil memeluk Ila.
Ila mengangguk dan membalas pelukan Ratu, "Kalau begitu, aku izin pulang dulu, dokter," ucapnya.
"Teman-teman, aku pulang dulu, ya. Jaga dokter kesayangan kita," ucap Ila, lalu pergi meninggalkan Ratu dan teman-temannya.
Ratu menatap punggung Ila dengan iba, lalu duduk kembali.
"Kalian terlihat sangat dekat," ucap Ratna.
Ratu mengangguk sambil makan kentang goreng, "Dia wanita terkuat yang kukenal," jawab Ratu tanpa menatap lawan bicaranya.
"Mengapa kau tidak mengajaknya kuliah bersama?" tanya Love.
"Dia tidak mau," timpal Sisil, teman Ratu yang cukup akrab dengan Ila.
"Mengapa?" tanya Love penasaran.
"Ila bukan tipe orang yang suka dikasihani. Ia ingin kuliah dengan hasil keringatnya sendiri, meskipun nanti di usia yang lebih tua," jelas Ratu.
Di sisi lain, Ila berjalan menuju rumah kecilnya. Ia tidak pernah merasa nyaman di rumah itu.
Rumah itu dipenuhi pertengkaran dan saling menyalahkan.
Ila menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia berjalan menuju pintu utama dan mengetuknya. Pintu terbuka, menampilkan wajah remaja yang berdiri di hadapannya.
"Kakak sudah pulang? Tumben cepat," tanya Claudi, adik Ila.
Ila mengangguk, "Ibu dan ayah di mana?" tanyanya sambil masuk ke rumah.
Claudi menutup pintu dan mengikuti Ila ke meja makan, "Sedang keluar, katanya mencari pinjaman," jawab Claudi.
Ila menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya, "Pinjaman untuk apa?" tanyanya sambil meletakkan gelas kosong di atas meja.
"Ayah ketahuan mengambil uang bosnya, Kak. Jadi, harus diganti atau ayah akan dipenjara," jelas Claudi, membuat kepala Ila terasa ingin pecah.
Ila memijat pelipisnya, "Berapa total uang yang harus diganti?" tanya Ila, khawatir jumlahnya mencapai ratusan juta.
"Lima ratus juta, Kak," jawab Claudi, merasa iba melihat kakaknya.
Ila memegang kepalanya, "Ya Allah, untuk apa uang sebanyak itu? Selama ini ayah tidak pernah memberi uang lebih untuk keperluan rumah. Ya Allah, cobaan apa lagi ini?" batinnya dengan mata berkaca-kaca.
Claudi menghampiri kakaknya dan memeluknya, "Maafkan Audi, Kak. Audi belum bisa membantu," ucapnya lesu.
Ila mengelus tangan adiknya, "Tidak apa-apa. Fokuslah pada sekolahmu. Biar masalah ini kakak, ibu, dan ayah yang pikirkan. Tenang saja, di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Insya Allah," ucapnya, sedikit ragu.
Bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan? Lantas, apa yang kita takutkan? Semua akan selesai seiring berjalannya waktu, dengan izin-Nya.
"Audi, kakak mau keluar sebentar. Kamu di rumah saja, ya," ucap Ila sambil bangkit dari duduknya.
"Kakak mau ke mana? Kakak baru saja sampai," tanya Audi.
"Kakak mau mencari jalan keluar untuk masalah ini. Doakan kakak, ya," jawab Ila, lalu pergi.
Audi mengangguk, "Kabari kakak jika terjadi sesuatu," pesan Ila sebelum melangkah keluar rumah.
Gadis itu pergi dengan pikiran kacau. Hatinya sesak. Masalah keluarganya seolah tak pernah berakhir, selalu bertambah. Rasanya, Ila ingin mengakhiri semuanya. Pikiran-pikiran buruk terus menghantuinya. Setiap kali masalah besar menimpa keluarganya, Ila selalu merasa tertekan.
Hendra, ayahnya, selalu memaksa Ila menikah dengan rentenir di kampung mereka. Tentu saja, Ila menolak. Bukan hanya itu, ayahnya juga pernah menyarankan Ila menjadi wanita malam. Entah apa yang ada di pikiran pria tua itu.
Kata orang, tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Apa pun yang orang tua katakan, itu demi kebaikan anak. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ila. Ucapan dan tindakan kedua orang tuanya justru menjerumuskannya ke dalam kesesatan.
Di tengah gelapnya malam, Ila berjalan lesu dengan mata basah. Ia memikirkan apa yang akan dilakukan Hendra selanjutnya.
Tit! Tit!
"Awas!" teriak seseorang.
"Ibu tidak apa-apa? Ada yang terluka?" tanya Ila, lalu berdiri setelah terjatuh di tepi jalan karena menyelamatkan seorang ibu yang hampir tertabrak mobil.
Ibu itu tersenyum, "Terima kasih, Nak. Kamu sudah menyelamatkan nyawa saya. Jika kamu tidak ada, mungkin saya sudah tiada," ucap wanita paruh baya yang tampak elegan dengan hijab segi empat yang tertata rapi.
Ila tersenyum dan membantu ibu itu berdiri, "Tidak apa-apa, Bu. Kalau boleh tahu, rumah Ibu di mana? Mengapa Ibu sendirian?"
"Rumah saya dekat sini. Saya keluar hanya untuk membeli sesuatu," jawab Ibu itu.
Ila mengangguk, "Kalau begitu, biar Ila antarkan Ibu sampai depan rumah. Ila takut terjadi sesuatu lagi."
Wanita paruh baya itu tersenyum, "Jadi, namamu Ila?"
Ila mengangguk, "Iya, Bu."
"Kamu bisa panggil saya Ibu Desi," ucapnya lembut, yang dibalas anggukan oleh Ila.
****
"Ini rumah saya, Ila. Silakan masuk!" ajak Desi.
Ila masih terpukau menatap rumah mewah itu, sementara Desi sudah masuk lebih dulu. Desi kembali keluar dan tersenyum melihat Ila yang masih terpana. Desi menarik tangan Ila, membuat gadis itu meringis, "Aw..."
Desi terkejut dan langsung melihat apa yang dipegangnya. Matanya membelalak melihat luka dengan darah yang cukup banyak di dekat siku Ila.
"Nak, tanganmu terluka," ucapnya panik.
Ila tersenyum, "Tidak apa-apa, Bu. Nanti juga sembuh. Ini hanya luka kecil."
Desi menggeleng, "Tidak, ini bukan luka kecil. Ini cukup parah karena darahnya banyak."
Desi menuntun Ila masuk ke rumah dan mendudukkan gadis itu di sofa ruang keluarga. Desi, yang takut darah, mulai merasa pusing dan mondar-mandir sambil menelepon.
"Assalamualaikum, Umi," sapa seorang pria yang masuk ke rumah dengan jas putih di tangan kirinya dan tas di tangan kanannya.
Desi menghampiri putranya yang baru pulang. Pria itu mencium tangan dan kening Desi dengan takzim.
"Kamu ke mana saja? Mengapa ponselmu mati?" tanya Desi.
Pria itu mengangkat alisnya heran, "Umi kenapa? Bukankah Umi tahu, ponselku memang sering mati jam segini?" tanyanya.
"Astaghfirullah, Umi lupa. Tapi, Umi butuh..."
"Ibu, Ibu di mana? Ila mau pamit pulang, sudah malam soalnya," ucap Ila sambil menghampiri Desi.
"Ila, jangan pulang dulu. Lukamu belum diobati. Ibu takut darah, jadi Ibu memanggil Riko untuk mengobati lukamu," jelas Desi.
Desi meminta Ila menunggu di ruang keluarga dan pergi ke dapur untuk menelepon putranya. Desi memiliki trauma terhadap darah.
Riko menatap Ila dengan tatapan bertanya, sementara Ila menunduk, "Dia siapa, Umi?" tanya Riko.
Riko Dewantara, seorang dokter muda sekaligus pemilik rumah sakit terkenal di kota itu. Pria yang sangat menyayangi keluarganya dan menghormati wanita. Di mata orang lain, ia tampak cuek. Namun, bagi Desi dan Ara, kekasihnya, Riko adalah pria romantis, bucin, dan manja.
Desi menatap putranya dengan jengkel, "Jangan banyak tanya, Ko. Lebih baik obati lukanya dulu. Nanti Umi jelaskan," ucap Desi.
Desi menuntun Ila ke ruang keluarga dan mendudukkannya di sofa empuk, diikuti Riko dengan wajah datar.
"Riko, obati Ila. Umi mau menyiapkan minuman dulu. Tadi Umi lupa," kata Desi.
"Mbok mana, Mi?" tanya Riko.
"Mbok sudah tidak bekerja di sini, Ko," jawab Desi.
Riko mulai mengeluarkan obat untuk membersihkan luka Ila sambil berbicara dengan Desi, "Kenapa, Mi?"
"Suami Mbok meninggal, Ko. Jadi, Mbok harus pulang kampung untuk menjaga anaknya. Tugas terbaru Umi, mencari pengganti Mbok," jelas Desi, yang didengar oleh Riko dan Ila.
"Aw," ringis Ila saat Riko tidak sengaja menekan lukanya dan darah kembali keluar. Ila memalingkan wajahnya saat melihat darah itu. Ia juga takut darah dan akan pusing jika melihatnya.
Riko mengangkat kapasnya, "Maaf, sepertinya lukamu cukup parah. Apa kamu tidak mau ke rumah sakit saja?" tanya Riko.
Desi, yang baru datang dengan minuman dan camilan, membelalak melihat darah yang kembali mengalir, "Kenapa? Mengapa darahnya makin banyak?" tanyanya sambil memalingkan wajah.
Riko mendecak sebal melihat kedua wanita di depannya. Mereka berdua takut darah.
"Lukanya cukup parah, Umi. Sepertinya harus dijahit," ujar Riko.
Ila menggeleng, "Tanpa dijahit, lukanya bisa sembuh, kan?"
"Bisa, tapi lama dan bisa menyebabkan demam atau infeksi," jelas Riko.
"Tidak apa-apa, diberi salep juga sembuh," balas Ila.
"Umi, lihat ke sini. Apa yang Umi cari di sana?" tanya Riko kesal.
"Da..."
"Sudah aku tutup, ke sinilah!" panggil Riko.
Desi menghampiri Ila dan Riko, "Sakit sekali, ya, Nak?" tanya Desi.
Ila tersenyum, "Sedikit, Bu. Nanti juga sembuh. Kalau begitu, Ila pulang dulu, ya. Sudah malam soalnya, takut dicari." Ila bangkit dari duduknya.
Desi dan Riko ikut bangkit. Namun, Riko berjalan ke arah tangga, "Hei, kamu mau ke mana?" tanya Desi.
"Mandi, lalu istirahat," jawab Riko.
"Enak saja. Kamu harus antar Ila pulang," perintah Desi.
Riko melotot tidak percaya, "Umi, mengapa aku? Suruh sopir saja," protes Riko.
"Sudah, Bu. Ila bisa pulang sendiri," kata Ila.
Desi menggeleng, "Riko, kamu mau jadi anak durhaka? Antarkan Ila pulang!" ucap Desi dengan nada tidak terbantahkan.
Desi menggeleng, "Riko, kamu mau jadi anak durhaka? Antarkan Ila pulang!" ucap Desi dengan nada tidak terbantahkan.
Riko menghela napas berat. Ia memberikan jas dan tasnya kepada Desi, lalu berjalan keluar mendahului Ila dan Desi.
Ila merasa tidak enak hati melihat raut wajah Riko yang tampak lelah, "Bu, Ila bisa pulang sendiri kok. Rumah Ila juga tidak jauh," ucapnya, berusaha meyakinkan Desi.
"Tidak, Ila. Kamu harus pulang diantar Riko," kata Desi dengan tegas, dan Ila hanya bisa pasrah.
Riko menggulung lengan kemejanya hingga siku dan menyalami Desi. Kemudian, ia berjalan menuju mobilnya dan masuk terlebih dahulu.
Ila menyalami Desi, yang tidak luput dari pandangan Riko. Ila membuka pintu mobil di sebelah pengemudi dan duduk diam di sana.
Riko dan Ila tidak berniat berbicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya, Riko yang memulai percakapan.
Itu pun hanya untuk menanyakan arah rumah Ila.
Setelah mengantar Ila pulang, Riko memarkirkan mobilnya di garasi dan berjalan menuju ruang keluarga. "Ila sudah diantar sampai rumah, kan, Nak?" tanya Desi.
Riko duduk di sofa di depan Desi, "Sudah. Sebenarnya, gadis itu siapa, Mi? Mengapa Umi begitu peduli padanya?"
"Dia sudah menyelamatkan Umi tadi," jawab Desi.
Mata Riko membelalak karena terkejut, "Maksud Umi?"
"Tadi, Umi pergi ke minimarket. Saat Umi mau menyeberang, ada mobil melaju sangat kencang, hampir menabrak Umi. Untungnya, ada Ila yang menolong Umi, makanya tangan Ila terluka," jelas Desi.
Riko menghampiri Desi, "Umi tidak apa-apa, kan? Ada yang sakit? Lain kali, jika Umi butuh sesuatu, bilang saja padaku. Aku tidak mau hal buruk ini terjadi lagi," ucapnya sambil memeluk Desi.
Desi tersenyum dan mengelus kepala putranya, "Ko, kalau Umi lihat-lihat, kamu dan Ila cocok, loh."
Riko melepaskan pelukannya dan menatap Desi dengan tidak suka, "Umi, kita sudah pernah membahas ini, kan? Aku hanya ingin menikah dengan Ara, bukan gadis lain," ucap Riko, menekankan nama Ara.
Desi berdiri dari duduknya, "Umi hanya menyampaikan apa yang Umi lihat barusan kok. Kalau pun Ila tidak jadi menantu Umi, setidaknya Umi bahagia mengenal gadis sebaik dia. Umi juga berencana..."
"Berencana untuk apa, Umi?" tanya Riko penasaran karena Desi menggantungkan ucapannya.
Desi berlalu begitu saja, meninggalkan Riko dengan tanda tanya besar.
Drrtt drrtt
Riko mengambil ponsel dari saku celananya. Ia menekan tombol hijau yang menampilkan wajah cantik di layar ponselnya.
Ia terus memegang ponselnya sambil berjalan menaiki tangga, "Kamu baru sampai?" tanya Ara.
Riko membuka pintu kamarnya dengan satu tangan yang memegang tas dan masuk ke dalam kamar, "Sudah dari tadi kok," jawabnya.
Riko menegakkan ponselnya di atas nakas. Ia menggantungkan jas dokternya di dalam lemari, lalu kembali duduk di depan ponsel yang menampilkan wajah cantik kekasihnya.
"Kenapa belum mandi?" tanya Ara.
"Tadi Umi minta tolong, jadi belum sempat mandi. Ngomong-ngomong, skripsimu bagaimana? Lancar?" tanya Riko.
Ara memanyunkan bibirnya. Di saat seperti ini, Riko selalu membahas skripsinya. Ara sudah lelah menghadapi kertas-kertas itu, dan tujuannya menghubungi Riko adalah untuk melepas lelah. Sayangnya, Riko malah menghancurkan 'mood' Ara.
"Sayang, kamu harus fokus pada skripsimu. Jangan terlalu lalai dengan tanggung jawabmu. Kamu harus bisa mengakhiri jika dulu kamu mampu memulainya," ucap Riko.
"Ayolah, Sayang. Aku menghubungi kamu bukan untuk membahas ini. Aku hanya ingin ketenangan dengan berbicara denganmu, tapi kamu malah membuat 'mood'-ku hancur," kesal Ara.
"Aku mengatakan ini demi kebaikanmu dan kebaikan kita," jawab Riko.
"Kebaikan kita? Maksudmu apa?" tanya Ara.
Riko menyandarkan badannya di punggung kursi, "Umi sudah mulai menjodoh-jodohkan aku lagi. Kamu tahu sendiri, kan, kalau aku hanya mau menikah denganmu. Jadi, percepatlah wisudamu, biar aku bisa menikahimu."
Ara mendekatkan wajahnya ke depan kamera, "Jika kita berjodoh, maka kita akan bersama. Tapi, jika kita tidak berjodoh, sekuat apa pun kamu mempertahankan aku, jika Allah tidak menakdirkan kita untuk bersama, kamu mau apa?"
Riko juga mendekatkan wajahnya ke kamera, "Aku akan berusaha untuk hubungan kita, Sayang. Bukankah usaha tidak pernah mengkhianati hasil?"
Ara mengangguk, "Terserah kamu. Sekarang, kamu istirahatlah. Aku juga mau lanjut mengerjakan skripsi."
"Jangan begadang, itu tidak baik untuk kesehatanmu," pesan Riko.
Panggilan video itu pun berakhir. Riko memijat pangkal hidungnya. Setiap kali berkomunikasi dengan Ara, pasti akan menimbulkan perdebatan kecil.
Riko hanya ingin Ara mengerti betapa besar rasa takutnya kehilangan Ara. Ia tidak bisa menikah jika bukan Ara yang menjadi pasangannya.
Hubungan mereka terjalin saat mereka duduk di bangku sekolah menengah atas. Hal itu terjadi karena dulu Ara adalah junior Riko ketika di SMP. Saat SMA, Riko kembali bertemu dengan Ara yang saat itu menghadiri pertandingan basket sekolahnya yang kebetulan lawannya adalah SMA Riko. Saat itulah awal mula cinta mereka bersemi.
Riko dan Ara terpaut usia dua tahun. Jika umur Ara saat ini 22 tahun, maka umur Riko saat ini 24 tahun. Riko bekerja sebagai dokter di rumah sakit milik keluarga Dewantara.
Rumah sakit yang didirikan puluhan tahun yang lalu oleh almarhum Abi Riko. Abi Riko adalah seorang dokter sekaligus dosen di kampus tempat Ara berkuliah.
Riko sendiri memiliki seorang abang yang memilih menjadi pengacara dan sudah mendirikan perusahaan di bidang itu.
******
Ila merebahkan badannya di atas ranjang saat lelah menghampirinya. Ia memejamkan mata ketika perih kembali menyapa lukanya.
"Sst, kenapa sakitnya datang lagi, sih?" gumam Ila.
Ila tidak terlalu menghiraukan lukanya. Ia lebih memilih tidur dan berharap ada kebaikan ketika pagi datang.
Baru saja ingin memasuki dunia mimpi, suara ribut sayup-sayup terdengar di telinganya. Ila berdecak sebal saat mendapati sumber dari semuanya.
Ia berjalan menghampiri ibu dan ayahnya yang sedang bertengkar hebat hingga rumah menjadi berantakan.
Ila memejamkan mata dan memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berat, ditambah luka yang kembali menimbulkan perih.
Ila menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan keras, "Ini pada kenapa, sih? Ibu dan Ayah ribut masalah apa lagi?" tanyanya lelah.
"Ayahmu ini, bisanya mencuri saja, giliran disuruh mengganti tidak bisa! Malah dia minta Ibu untuk meminjam uang dari Pak Danu lagi," adu Eli, ibu Ila.
"Ayah, untuk apa uang sebanyak itu? Ayah tidak pernah memberikan uang untuk keperluan rumah ini, tapi Ayah terbukti mengambil uang bos Ayah. Ke mana uangnya, Yah?" tanya Ila.
Prang!
Hendra melempar gelas kaca ketika mendengar ucapan Ila, "Itu bukan urusanmu! Sekarang, pikirkan bagaimana cara untuk mengganti uang itu!" teriak Hendra.
Ila memejamkan mata, "Ila tidak tahu, Yah, tapi Ila akan berusaha semampu Ila," jawabnya.
"Harus. Kamu harus mencari uang itu. Itu kewajibanmu sebagai anak," ucap Hendra.
"Hei, itu salahmu. Ila itu punya tanggungan lain, dia harus membayar listrik, kontrakan, uang sekolah Audi, dan uang untuk makan kita sehari-hari," sahut Eli.
"Berhentilah, aku akan berusaha," ucap Ila, lalu berjalan meninggalkan kedua orang tuanya.
Kepalanya terasa sangat pusing. Sesampai di kamar, Ila merebahkan badannya, berharap masalah ini akan segera hilang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!