Anatasya, seorang wanita cantik dengan hati yang tulus, menjalani kehidupan yang jauh dari kemewahan. Tiga tahun lalu, ia menikahi Adrian Pratama, seorang pria sederhana yang bekerja sebagai pegawai di perusahaan kecil. Meskipun keluarganya tidak kaya, Anatasya mencintai Adrian karena kebaikan dan kesederhanaannya.
Setiap hari, Anatasya berjuang di pasar ikan, bergelut dengan bau amis dan kerasnya kehidupan. Ia tinggal bersama ibu mertua dan adik iparnya di sebuah rumah kecil yang penuh sesak. Meskipun kondisi ekonomi mereka sulit, Anatasya berusaha menjadi istri dan menantu yang baik.
Namun, di balik senyumnya, Anatasya menyimpan luka. Ia merindukan kehidupan yang lebih baik, kehidupan di mana ia tidak harus bergelut dengan bau amis setiap hari. Ia juga merindukan perhatian dan kasih sayang Adrian, yang semakin sibuk dengan pekerjaannya. Namun, Anatasya bukanlah wanita manja. Ia pekerja keras, mandiri, dan berdedikasi. Ia menyembunyikan rahasia besar, ia adalah putri bungsu keluarga konglomerat terkaya, yang sengaja menyamar demi cinta sejatinya. Dan supaya Adrian tidak merasa rendah diri.
Kerja keras Anatasya di pasar ikan membuahkan hasil. Ia berhasil membantu perekonomian keluarga, bahkan menginspirasi Adrian untuk mendirikan perusahaan sendiri. Terbukti saat ini perusahaannya berkembang semakin sukses.
Seperti biasa hari Anatasya sedang sibuk menata ikan segar di atas meja kayu nya. Aroma amis ikan bercampur dengan suara tawar-menawar yang riuh memenuhi pasar. Anatasya, dengan cekatan, menata ikan-ikan segar di atas meja kayunya.
Tangannya yang terampil membersihkan sisik dan memotong insang, sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Di tengah kesibukannya, ia tidak menyadari sepasang mata mengawasinya dari kejauhan.
Beberapa pria berjas hitam dengan kacamata hitam berdiri di tepi pasar, menyamar di antara para pembeli. Salah satu dari mereka berbicara melalui telepon genggamnya, suaranya pelan namun tegas. "Pak Damian, Pak Julian, Pak Rafael, kami telah menemukan Nona Anastasya."
Di tempat yang berbeda, Damian, Julian, dan Rafael menghentikan aktivitas mereka. Damian, sang pebisnis andal, menghentikan rapat pentingnya. Julian, dokter muda genius, menunda operasi yang dijadwalkan. Rafael, sang penyanyi top, membatalkan konsernya.
"Akhirnya," gumam Damian, matanya berkilat penuh tekad. "Kita jemput adik kita."
Iring-iringan mobil mewah memasuki kawasan pasar yang kumuh. Para pedagang dan pembeli terdiam, menatap tak percaya. Rafael, dengan gaya kasual namun tetap mempesona, keluar dari mobil pertama.
Rafael Santoso, putra ke tiga keluarga Santoso, bukannya hanya sebagai pewaris melainkan seorang seniman sejati. Jiwa bebasnya menolak terkurung dalam kemewahan, dan ia memilih meniti karier sebagai penyanyi. Karismanya yang memikat dan suara emasnya berhasil mencuri hati jutaan penggemar, menjadikannya salah satu penyanyi top di negeri ini.
"Itu Rafael, penyanyi top sedang apa dia di sini." gumam seorang gadis muda dengan mata berbinar.
Beberapa orang yang mengenalnya pun sama terkejutnya, mereka histeris takjub melihat idola mereka berada di dekat mereka dan mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam momen langka itu.
Julian, dengan jas dokternya yang rapi, keluar dari mobil kedua, diikuti Damian, dengan tatapan tajam dan aura misteriusnya.
Mereka bertiga berjalan beriringan, menembus kerumunan, menuju ke arah Anastasya. Para pedagang dan pembeli terdiam, terpaku melihat pemandangan langka itu.
Anatasya, yang sedang sibuk melayani pembeli, terkejut melihat ketiga pria tampan dan berkarisma itu berdiri di depannya. Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Anatasya," panggil Damian, suaranya lembut namun tegas.
Anatasya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Air mata mulai menggenang di matanya. Ia merindukan keluarganya, tetapi ia juga takut rahasianya terbongkar.
"Kami merindukanmu, adik kecil," kata Rafael, senyumnya tulus.
Julian mengangguk, matanya menunjukkan kelegaan. "Kami datang untuk membawamu pulang."
"Kak Damian, Kak Julian, Kak Rafael kenapa ke sini?" tanya Anatasya menghentikan aktifitas nya memotong ikan.
Rafael, dengan tatapan sinis, menjawab "Tasya kamu pergi dari rumah 3 tahun yang lalu untuk berjualan ikan? mana si miskin itu?" ucap Rafael.
"Demi si miskin itu kamu ngga jadi nona keluarga Santoso. Mana dia? kenapa ngga nemenin kamu di sini?" tanya Julian menambahkan.
"Malam ini Adrian reuni, dia pergi makan malam. Oh yah Kak Julian jangan sebut dia si miskin, dia punya nama, Adrian Pratama. Sekarang dia nggak miskin lagi dia punya perusahaan, aset nya miliaran." ucap Anatasya tersenyum bangga.
"Kamu bodoh, cepat pulang!" seru Damian dengan nada dingin, menyela.
"Haisshhh, baik-baik. Aku mengerti. Dulu aku menyembunyikan identitasku dan ngga mau pulang karena latar belakang Mas Adrian kurang baik. Kalau ia tahu aku orang kaya dia mungkin tertekan. Tapi sekarang beda, dia sudah punya perusahaan sendiri."
Anatasya tersenyum. "Oh yah kebetulan hari ini hari jadi 3 tahun kami menikah. Aku akan memberitahukan nya sekarang. Anggap saja ini kejutan."
Tiba-tiba dering ponsel miliknya berdering.
"Ssttt ibu mertuaku menelpon." ucap Anastasya pada kakak-kakaknya dan menyuruh mereka diam.
"Halo, Bu." sapa Anastasya, dengan nada lembut.
"Cepat pulang! Cerai sama Adrian." seru ibu mertuanya, suaranya penuh amarah.
Anatasya terdiam, terpaku. Kata-kata ibu mertuanya seperti petir di siang bolong.
Kakak-kakaknya menatapnya dengan cemas, menunggu penjelasan.Ucapan mertua nya mengejutkan Anatasya membuatnya diam terpaku.
Di ruang keluarga yang mewah, Jamilah, sang ibu mertua, duduk dengan anggun di sofa beludru, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan wajah tampan Adrian, putranya, dalam sebuah wawancara eksklusif. Kedua adik Jamilah, Rina dan Dewi, duduk di sisi kanan dan kirinya, ikut serta dalam kebanggaan yang meluap-luap.
"Lihatlah putraku, Adrian, masuk dalam daftar sepuluh pemuda berprestasi! Siapa yang sangka, anak seorang janda miskin bisa mencapai puncak kejayaan seperti ini?" Jamilah berseru, suaranya bergetar karena emosi.
"Benar, Kak Jamilah. Adrian memang luar biasa. Dulu, kita dipandang sebelah mata, dihina karena kemiskinan kita. Sekarang, semua orang menatap kagum pada keluarga kita," timpal Rina, matanya berbinar-binar.
Dewi mengangguk setuju, menambahkan, "Tidak akan ada lagi yang berani meremehkan kita. Adrian telah mengangkat derajat keluarga kita setinggi langit!"
Jamilah tersenyum puas, kenangan pahit masa lalu seolah terhapus oleh kilauan kesuksesan Adrian. Namun, di balik senyumnya, tersimpan rencana licik. Ia bertekad untuk memisahkan Adrian dari Anatasya, menantunya yang berprofesi sebagai penjual ikan. Baginya, Anatasya tidak pantas bersanding dengan Adrian yang sekarang menjadi pria terpandang.
"Adrian berhak mendapatkan wanita yang sepadan, seorang gadis cantik dari keluarga kaya raya. Anatasya hanya akan menjadi penghalang bagi kebahagiaan Adrian," gumam Jamilah dalam hati, matanya menyipit penuh perhitungan.
Rina dan Dewi, yang telah lama menjadi kaki tangan Jamilah, ikut menyetujui rencana tersebut. Mereka berdua juga tidak menyukai Anastasya yang dianggap tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih.
Dewi, dengan mata berbinar, mengagumi piagam penghargaan yang terbingkai indah di tangannya.
"Lihat ini, piagam Adrian. Bagus sekali, bukan?" pujinya, suaranya penuh kekaguman. Jamilah, duduk di sofa mewah ruang keluarga yang dihiasi lampu kristal berkilauan, tersenyum bangga mendengar pujian itu.
Tiba-tiba, suasana tegang menyelimuti ruangan. Anatasya, dengan wajah pucat pasi dan tangan gemetar, muncul di ambang pintu. Matanya yang sembab menatap Jamilah dengan tatapan terluka.
"Ada apa, Bu? Kenapa Ibu menyuruh ku bercerai dengan Mas Adrian?" tanyanya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. Di tangannya, tergenggam kantong plastik berisi ikan segar, bukti pekerjaannya sebagai penjual ikan.
Jamilah, yang tadinya bersikap anggun, berubah menjadi sosok yang penuh amarah dan penghinaan. "Diam! Jangan panggil aku 'Ibu'! Aku tidak punya menantu rendahan sepertimu!" bentaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Matanya yang tajam menatap Anatasya dengan jijik. "Lihat ini!" serunya, menunjuk layar televisi yang masih menampilkan wajah tampan Adrian.
"Putraku sekarang termasuk dalam jajaran sepuluh pemuda berprestasi! Kekayaannya berlimpah! Putri konglomerat pun pantas bersanding dengannya!"
Jamilah melirik Anatasya dengan sinis, merendahkannya dengan tatapan penuh kebencian. "Sedangkan kamu? Anak miskin yang tidak tahu asal-usul orang tuanya! Mau jadi menantuku? Apa pantas?" teriaknya, suaranya memekakkan telinga.
Anatasya, yang hatinya hancur berkeping-keping, mencoba membela diri dengan suara bergetar.
"Tapi dulu kalian juga miskin, tidak punya apa-apa. aku yang memberi Mas Adrian uang untuk memulai perusahaan hingga sukses seperti sekarang."
Jamilah, yang merasa harga dirinya diinjak-injak, melangkah maju dengan marah. "Omong kosong!" teriaknya, wajahnya memerah padam. "Kamu hanya tahu menjual ikan busuk dan udang busuk! Mana mungkin punya uang untuk membuka perusahaan?"
Dengan gerakan kasar, Jamilah merebut kantong plastik berisi ikan dari tangan Anatasya dan melemparkannya ke lantai. Ikan-ikan segar itu berhamburan, menebarkan bau amis yang menyengat di ruangan mewah itu. Anatasya terisak, air matanya jatuh membasahi pipi, merasa terhina dan direndahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung.
...----------------...
Jamilah, yang merasa harga dirinya diinjak-injak, melangkah maju dengan marah. "Omong kosong!" teriaknya, wajahnya memerah padam. "Kamu hanya tahu menjual ikan busuk dan udang busuk! Mana mungkin punya uang untuk membuka perusahaan?"
Dengan gerakan kasar, Jamilah merebut kantong plastik berisi ikan dari tangan Anatasya dan melemparkannya ke lantai. Ikan-ikan segar itu berhamburan, menebarkan bau amis yang menyengat di ruangan mewah itu. Anatasya terisak, air matanya jatuh membasahi pipi, merasa terhina dan direndahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung.
"Adrian bisa sukses berkat didikanku!" teriak Jamilah, suaranya menggema di ruang keluarga yang mewah namun kini dipenuhi ketegangan. Ia memukul dadanya dengan bangga, matanya berkilat marah.
"Tidak ada hubungannya denganmu! Kalau kau tahu diri, cepat tanda tangani surat ini!" Jamilah menyodorkan kertas perceraian ke arah Anatasya, wajahnya penuh penghinaan.
Anatasya, dengan hati hancur namun penuh keberanian, membuang kertas itu ke lantai. "Tidak!" serunya, suaranya bergetar namun tegas.
"Aku tidak akan bercerai dengan Mas Adrian! Kalau Mas Adrian tahu, dia tidak akan mau bercerai!"
"Hei, tidak tahu malu! Mau jadi benalu di rumah ini?" teriak Jamilah, wajahnya memerah padam. Ia mencari-cari sesuatu untuk memukul Anatasya, amarahnya sudah di ubun-ubun.
"Hei, kenapa teriak-teriak?" seru sebuah suara tegas dari ambang pintu. Adrian, dengan wajah dingin dan tatapan tajam, memasuki ruangan.
Anatasya, dengan air mata berlinang, menghampiri suaminya. "Aku tidak tahu salahku apa, Mas. Ibu menyuruh kita bercerai," ujarnya, suaranya lirih.
"Aku yang mau cerai," ucap Adrian, datar dan tanpa ekspresi, membuat Anatasya terkejut dan merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak.
"APA?" seru Anatasya, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Tiba-tiba, seorang wanita cantik berpenampilan modern, dengan senyum sinis di bibirnya, muncul dari belakang Adrian. Ia menggenggam lengan Adrian dengan posesif, menatap Anatasya dengan tatapan merendahkan.
Wanita itu, yang bernama Clara, adalah putri seorang konglomerat yang kaya raya. Ia adalah sosok yang sempurna di mata Jamilah, menantu idaman yang pantas bersanding dengan Adrian. Clara, dengan sikapnya yang angkuh, menambah luka di hati Anatasya yang sudah remuk redam.
"Adrian sudah menjadi milikku sekarang. Kau tidak pantas untuknya," ucap Clara, suaranya dingin dan menusuk hati.
Anatasya menatap Adrian dengan tatapan terluka, mencari jawaban di matanya. Namun, Adrian hanya membuang muka, seolah tidak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan istrinya. Ruang keluarga yang tadinya mewah, kini terasa dingin dan penuh pengkhianatan bagi Anatasya.
"Tiga tahun kita menikah, aku sama sekali nggak cinta sama kamu. Dari pada menjalani pernikahan seperti ini lebih baik kita cerai."
"Kamu nggak cinta sama aku, kenapa nggak bilang dari awal?"
"Tiga tahun ini, apa kamu tahu kenapa aku nggak pernah mau sentuh kamu? karena bau amis di tubuhmu buat aku jijik. Sekarang aku ini pengusaha sukses dengan kekayaan berlimpah dan bakal bekerja sama dengan keluarga Santoso, mana boleh punya istri bau seperti kamu. Kalau kamu tahu diri. Cepat pergi!"
"Tasya, aku dan Adrian saling suka buat apa kamu pertahankan dan mempermalukan diri kamu sendiri." ucap Clara sombong sembari bersedekap memandang remeh pada Anatasya.
"Aku ngomong sama suamiku, jangan ikut campur! selingkuhan ngga tahu malu."
Adrian menampar Anatasya.
"Kamu nggak pantas ngomong begitu ke Clara,"
"Kamu pukul aku, Mas? B*jingan! Ayo cerai! aku lebih baik hidup sama pria yang nggak kompeten daripada pria bajingan tukang pukul wanita dan selingkuh seperti mu."
"Kamu!" marah Adrian.
Tiga tahun pernikahan yang hambar itu akhirnya mencapai titik akhir. Anatasya, dengan hati hancur dan amarah yang membara, menandatangani surat cerai yang disodorkan Adrian, suaminya yang ternyata seorang pengkhianat. Kata-kata pedas Adrian tentang bau amis dan status sosialnya yang rendah bagai cambuk yang menyayat hati Anatasya. Ditambah lagi, kehadiran Clara, selingkuhan Adrian yang sombong, semakin memperparah luka hatinya.
Namun, di tengah rasa sakit dan penghinaan itu, Anatasya menyimpan rahasia besar. Sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya. Dengan suara dingin dan tatapan tajam, dia mengungkapkan identitas aslinya sebagai putri bungsu keluarga Santoso, keluarga konglomerat yang sangat berpengaruh.
Anatasya mengambil kertas cerai itu kemudian menandatangani nya. "Kamu bakal merasakan akibat perbuatanmu hari ini." ucap Anatasya kemudian memberikan kertas itu pada Adrian kemudian hendak pergi dari ruangan itu.
Mendengar Jamilah emosi. "Emang siapa kamu? Adrian cerai sama kamu adalah kabar gembira. Cepat pergi!"
Anatasya berbalik, "Oh yah aku lupa ngasih tahu kalian. Aku adalah putri bungsu keluarga Santoso." sembari bersedekap memandang wajah para pengkhianat, Anatasya berucap tanpa takut. "Awalnya aku hendak mengenalkan kalian kepada keluargaku. Tapi sekarang nggak perlu lagi."
Pengakuan itu sontak membuat Adrian, Clara, dan Jamilah terdiam, lalu tertawa meremehkan.
Mereka menganggap Anatasya gila, tidak mungkin seorang penjual ikan seperti dirinya adalah putri dari keluarga terpandang.
"Kamu putri bungsu keluarga Santoso?" tanya Jamilah tidak percaya.
"Hhmm seorang penjual ikan seperti kamu mau jadi putri bungsu keluarga Santoso hahahaha." semua di ruangan itu tertawa.
"Tasya ngga tahu malu sekali kamu." teriak Jamilah.
"Tasya kamu ngga tahu siapa pacarku?" tanya Adrian.
"Siapa dia? aku ngga ada hubungan nya dengan nya."
"Dia adik sepupu putra keluarga Santoso seperti yang tadi kamu bilang."
"Ya ampun ternyata kamu nona muda mereka. Cantik sekali lebih anggun dari penjual ikan." Sinis Jamilah sembari melirik Anatasya.
Hahahaha
'Kok aku ngga ingat punya adik sepupu segede gini.' Batin Anatasya.
"Aku dan ketiga abang sepupu ku tumbuh besar bersama. Kami seperti saudara kandung. Tapi, aku ngga pernah dengar mereka punya adik perempuan, adik yang berprofesi penjual ikan." sinis Clara.
Namun, Anatasya tidak gentar. Dia menatap mereka dengan tatapan penuh dendam, seolah-olah sedang merencanakan pembalasan yang mengerikan.
Kebetulan sekali, aku juga tidak ingat punya adik sepupu tidak tahu malu sepertimu," balas Anatasya dengan nada dingin, matanya menyorotkan amarah yang terpendam.
Clara, yang merasa harga dirinya diinjak-injak, melayangkan tamparan keras ke pipi Anatasya.
Adrian, yang menyaksikan kejadian itu, hanya diam membisu, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi.
"Aku anggota keluarga Santoso ? Kamu berani sama aku? Kamu sudah bosan hidup?" ancam Clara, suaranya bergetar menahan amarah.
"Clara, tindakan Tasya tidak ada hubungannya dengan kami. Tasya memarahi kamu juga tidak ada hubungannya dengan kami," timpal Jamilah, berusaha melepaskan diri dari masalah.
Clara, yang merasa mendapat dukungan, semakin menjadi-jadi. "Ketiga abang sepupuku sangat menyayangiku. Bisa dibilang mereka sudah menganggapku seperti adik kandung mereka. Kalau mereka tahu aku ditindas oleh keluarga Pratama, tamat kalian!" teriaknya, mengancam dengan nada sombong.
"Tasya, cepat berlutut dan minta maaf pada Clara," perintah Adrian, berusaha meredakan situasi.
Plak! Tamparan keras kembali mendarat di pipi Anatasya, kali ini dari Jamilah, ibu Adrian.
"Pembawa sial! Keluarga Pratama sudah menghidupimu selama tiga tahun ini. Sekarang kau malah membuat keluarga ini hampir celaka. Cepat berlutut pada Clara! Minta maaflah padanya! Kalau keluarga Pratama celaka karenamu, aku akan menghabisimu! Cepat berlutut!" bentak Jamilah, wajahnya merah padam karena amarah.
Anatasya, dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. "Jangan harap! Seharusnya kalian yang berlutut," desisnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kesedihan.
Dengan tangan gemetar, Anatasya mengambil ponsel dari sakunya dan menghubungi seseorang.
"Halo, Kak Damian!" ucapnya, suaranya terdengar tegar meski hatinya hancur. Namun tidak di angkat.
"Damian yang kamu bilang tadi, pewaris keluarga Santoso?"
"Iyah." Jawab Anatasya.
Clara, dengan tatapan sinis, memandang Natasya dari atas ke bawah. "Damian yang kamu maksud itu pewaris keluarga Santoso? Jangan bercanda, Tasya!"
"Iya," jawab Natasya lirih, hatinya perih mendengar nada merendahkan Clara.
"Kakak sepupuku itu pewaris konglomerat keluarga Santoso, mana mungkin kenal dengan penjual ikan sepertimu? Tasya, jangan suka membual. Hati-hati, ucapanmu bisa mencelakaimu!" Clara mendorong Anatasya dengan kasar, nyaris membuatnya terjatuh.
Adrian, yang selama ini diam, ikut angkat bicara. "Tasya, aku saja tidak punya nomor telepon Damian. Mana mungkin kamu, seorang penjual ikan, bisa mengenalnya? Pasti kamu hanya berpura-pura," ucapnya sinis. "Atau mungkin Damian pernah membeli ikan di tempatmu?" tambahnya dengan nada meremehkan.
"Kamu tidak punya, artinya kamu tidak pantas," balas Anatasya tegas, meski suaranya bergetar. Hatinya hancur berkeping-keping, merasa direndahkan dan tidak dipercaya.
"Cukup! Keluar, pergi dari sini!" Adrian tersulut emosi, wajahnya memerah menahan amarah. "Aku muak melihatmu!"
Jamilah, yang sedari tadi menyaksikan pertengkaran itu, ikut berteriak, "Hei, kenapa dia masih di sini? Cepat usir orang kotor ini!" Ia memerintahkan Rina dan Dewi untuk menyeret Anatasya keluar.
Rina dan Dewi, dengan wajah jijik, menarik lengan Anatasya dengan kasar. "Lepas! Aku bisa berjalan sendiri," ucap Anatasya, berusaha melepaskan diri. Ia melangkah keluar dengan kepala tegak, meski air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya terluka, namun ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia tidak berbohong.
Hujan deras mengguyur, seolah langit ikut merasakan kesedihan Anatasya. Adrian, dengan wajah dingin tanpa ekspresi, melemparkan koper berisi pakaian Anatasya ke tengah hujan. Tindakannya itu bukan sekadar mengusir, tapi sebuah penghinaan yang terencana, seolah Anatasya tidak berharga sama sekali.
"Enyah! Mulai hari ini, kau tidak boleh menginjakkan kaki di sini lagi!" bentak Adrian, suaranya mengalahkan gemuruh hujan. Ia menutup pintu pagar dengan keras, seolah menutup lembaran kehidupan Anatasya di tempat itu.
Anatasya berdiri di tengah hujan, basah kuyup, air mata bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Hatinya hancur berkeping-keping, namun amarahnya perlahan membara. Ia menatap pintu pagar yang tertutup rapat, dan berkata dengan suara bergetar,
"Adrian, hari ini kau menghinaku, besok akan kubuat kau menyesal."
...----------------...
Anatasya berdiri di bawah atap toko yang sudah tutup, mencari perlindungan dari hujan deras yang terus mengguyur. Hujan itu seolah mencerminkan kesedihan dan kekacauan dalam hatinya. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya yang basah kuyup. Tatapannya kosong, menatap jalanan yang diguyur hujan, pikirannya melayang-layang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Setiap tetes hujan yang jatuh seolah menghantam hatinya, mengingatkannya pada penghinaan dan pengusiran yang baru saja ia alami.
"Tasya, maaf jalanan agak macet. Ini sudah mau sampai," ucap Damian dari seberang telepon suaranya terdengar khawatir.
"Nggak papa kok, Kak. Tasya juga sudah keluar dari keluarga Pratama," jawab Natasya, mengakhiri panggilan dengan nada datar. Hatinya masih perih, namun ia berusaha tegar.
Tiba-tiba, suara nyaring memecah keheningan. "Hei, bukankah itu pembantu keluarga ku?" seru seseorang, tak lain adalah Winda, adik kandung Adrian. Ia datang bersama dua teman lelakinya, tatapan mereka merendahkan.
Anatasya menoleh, matanya memancarkan amarah yang tertahan.
"Perkenalkan, dia pembantu keluarga kami. Tiga tahun menikah, dia sama sekali tidak pernah disentuh kakakku. Sampai sekarang dia masih perawan. Kalian nggak mau cicipi rasanya?" tanya Winda, senyum sinis menghiasi wajahnya.
"Boleh juga, Win," sahut salah satu teman Winda, matanya menelanjangi Natasya. "Pembantu mu ini cantik juga, tubuhnya juga ideal."
"Enyah! Kalian minta dipukul?" bentak Anatasya, suaranya bergetar menahan amarah.
"Berani kau ngomong begitu? Apa isi tas ini, apa kau mencuri barang dari rumahku? Buka, kasih aku lihat!" Winda menunjuk koper Natasya dengan kasar.
"Winda, sekalipun aku cerai dengan kakakmu, separuh hartanya milikku. Kamu nggak berhak lihat," jawab Anatasya tegas, meski hatinya mencelos.
"Kusuruh buka! Buka!" Winda memaksa membuka koper Natasya, reflek Anatasya menampar pipi Winda.
"Kau berani pukul aku?" Winda murka, wajahnya memerah padam.
"Kalian cepat buka kopernya!" perintah Winda kepada kedua temannya.
"Apa ada keuntungannya?" tanya salah satu dari mereka, matanya berbinar penuh minat.
"Keuntungannya, wanita ini menjadi milik kalian," jawab Winda, senyum licik tersungging di bibirnya.
"Kamu yang bilang begitu, ya?" sahut pria itu, mereka berdua mendekati Natasya dengan tatapan lapar.
"Jangan sentuh aku!" teriak Anatasya, menampar salah satu dari mereka.
"Jalang, berani kau pukul aku?" pria itu murka, Natasya berusaha keras mempertahankan diri, namun kedua pria itu terus berusaha melecehkannya.
"Wanita jalang, besar juga tenaga mu. Lihat bagaimana aku telanjangi kamu," ucap pria itu, tangannya berusaha merobek pakaian Natasya.
Tiba-tiba, suara deru mobil mewah memecah ketegangan. Sebuah mobil hitam berhenti, dan tiga pria keluar dengan langkah cepat. Mereka adalah kakak-kakak Anatasya, pertolongan datang tepat waktu.
Damian, dengan wajah gelap penuh amarah, menarik rambut pria yang berusaha melecehkan Anatasya, menjauhkannya dari adiknya yang ketakutan. Tatapannya membunuh, penuh dengan kemarahan yang membara.
Kedua kakak Anatasya yang lain, Julian dan Rafael, tidak tinggal diam. Mereka melayangkan pukulan bertubi-tubi kepada kedua pria yang hendak melecehkan adik kesayangan mereka. Kemarahan mereka meluap, melindungi Anatasya dari bahaya yang mengancam.
"Kalian... si-siapa kalian?" tanya salah satu pria itu dengan suara gemetar, wajahnya penuh memar.
"Kalian berani mengusik adik Damian, Julian, Rafael Santoso?" bentak Julian, suaranya menggelegar penuh amarah.
Winda, yang menyaksikan kejadian itu, terkejut bukan main. Ia tidak menyangka ketiga pria tampan dan kaya raya yang sangat terkenal itu adalah kakak dari Anatasya. Ia terjatuh ke tanah, ketakutan melihat amarah yang terpancar dari wajah mereka. Kedua temannya sudah melarikan diri, meninggalkan Winda dalam ketakutan.
'Tidak mungkin.' Batin Winda.
"Kak Damian, Kak Julian, Kak Rafael!" seru Anatasya, air mata haru membasahi pipinya. Ia berlari menghampiri ketiga kakaknya dan memeluk mereka erat.
"Jangan khawatir, kami datang untuk menjemputmu dan membawamu pulang," ucap Rafael lembut, mengusap air mata Natasya.
Damian, dengan tatapan dingin dan penuh amarah, berjalan ke arah Winda yang masih terduduk di tanah. "Sampaikan kepada kakakmu, Adrian. Hutangnya kepada Natasya akan kutagih satu per satu," ucap Damian dengan suara mengancam.
Winda, yang masih diliputi rasa takut, tidak mengerti apa yang terjadi. Ia hanya bisa menatap kepergian mobil mewah yang membawa Anatasya dan ketiga kakaknya pergi.
"Tasya, beraninya kau mencari pria lain. Tunggu saja pembalasanku!" teriak Winda, rasa iri dan dendam bercampur aduk dalam hatinya.
***
Adrian memandang piala penghargaannya dengan rasa bangga, senyum puas menghiasi wajahnya. Ia merasa telah mencapai puncak kesuksesan.
"Ternyata Clara putri keluarga Santoso?" ucap Jamilah lembut, matanya berbinar menatap Clara dengan penuh kekaguman. "Adrian, ternyata seleramu bagus."
Winda, dengan wajah memar dan penuh amarah, tiba-tiba datang. "Kak Adrian, wanita jalang itu selingkuh!" ucapnya dengan nada penuh kebencian.
"APA? Ada apa dengan wajahmu, Winda?" tanya Jamilah, terkejut melihat kondisi Winda.
"Tasya memukulku!" jawab Winda, emosinya meluap. "Tadi aku bertemu dengannya di jalan. Aku hanya curiga dia membawa barang-barang kita. Dia malah memukulku. Lalu, dia memanggil tiga pria untuk menindasku!"
"Kamu tahu siapa mereka?" tanya Adrian, matanya menyipit penuh curiga.
"Mereka bilang, mereka dari keluarga Santoso. Damian, Julian, dan Rafael," jawab Winda, suaranya bergetar menahan amarah.
"APA?" Adrian terkejut, matanya membelalak tak percaya. Ia merasa seperti disambar petir, kesombongannya seketika runtuh.
"Nggak mungkin Tasya kenal anggota keluarga Santoso. Dia pasti menyewa orang untuk membohongi kita," sangkal Jamilah, suaranya bergetar karena panik. Ia tidak ingin mengakui kenyataan bahwa menantu miskin nya memiliki hubungan dengan keluarga kaya raya itu.
"Sekarang aku baru sadar. Rafael, idolaku! Beraninya wanita jalang itu menyewa orang untuk menyamar jadi dia!" seru Winda, matanya berkilat penuh amarah dan iri.
Clara, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kalau ketiga sepupuku tahu kejadian di rumah keluarga Pratama, kalian bisa celaka," ucapnya dengan nada dingin, memperingatkan mereka akan konsekuensi yang akan dihadapi.
Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan. Adrian, Jamilah, dan Winda saling bertukar pandang, wajah mereka pucat pasi.
"Adrian, menurutmu kita harus apa?" tanya Jamilah, suaranya bergetar menahan ketakutan.
Adrian terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia tidak menyangka istri nya memiliki hubungan dengan keluarga Santoso, keluarga yang sangat dihormati dan berpengaruh. Ia merasa terancam, takut kehilangan segalanya.
'Ini pasti salah, Tasya tidak mungkin memiliki hubungan dengan mereka. Iyah pasti ini salah.' Batin Adrian.
"Apa lagi yang bisa kita lakukan? Sekalipun kita bangkrut, kita harus memohon maaf kepada keluarga Santoso," ucap Adrian dengan suara lemah, rasa putus asa dan ketakutan terpancar dari wajahnya. Ia menyadari betapa besar kesalahan yang telah mereka perbuat.
Dalam hati nya, Adrian marah kepada Natasya beraninya dia bertingkah bodoh dan membuat keluarga Santoso marah kepada mereka.
'Ini semua salah Tasya, dasar udik!' cela Adrian kepada istri yang akan menjadi mantan istrinya.
Clara, dengan langkah anggun, mendekati Adrian. "Sayang, tenang saja," ucapnya lembut, berusaha menenangkan Adrian yang dilanda kepanikan.
"Kak Damian itu kakak sepupuku. Selama ada aku, mereka tidak akan mempersulitmu. Kebetulan beberapa hari kedepan keluarga Santoso mengadakan acara di Hotel Loresto untuk menyambut kakak sepupuku. Nanti kubawa kalian ke sana. Kamu cukup menjelaskan semuanya kepada kakak sepupuku."
Penjelasan Clara terdengar menenangkan, namun di balik itu, ada nada dingin dan penuh perhitungan. Ia tahu betapa berkuasanya keluarga Santoso, dan ia akan menggunakan hubungannya untuk melindungi Adrian, sekaligus menunjukkan kekuasaannya.
Adrian, yang dilanda rasa takut dan putus asa, mengangguk lemah. Ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti rencana Clara. Jamilah dan Winda, yang juga dilanda ketakutan, hanya bisa diam dan menuruti perkataan Clara.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!