NovelToon NovelToon

Pacarku Simpanan Ayahku

Bab 1. Malam anniversary

Malam itu, Harry Stevenson berdiri di depan pintu apartemen Raline Anindya, membawa sebuah kotak hitam berukuran sedang dengan pita emas yang melilit rapi di atasnya. Wajahnya tampak tenang, namun matanya menyiratkan kegembiraan. Hari ini adalah hari yang spesial, hari anniversary pertama mereka. Sebagai CEO dari perusahaan transportasi ternama, waktunya selalu sibuk, tetapi untuk Raline, ia akan selalu menyempatkan diri.

Ketukan lembut di pintu membuat Raline, yang sedang bersiap-siap, bergegas membukanya. Saat pintu terbuka, ia menemukan Harry berdiri dengan senyum khasnya. "Happy anniversary, my love!" ucapnya seraya menyerahkan kotak yang dibawanya.

Raline mengerjapkan mata, sedikit terkejut. "Apa ini?" tanyanya penasaran.

"Buka dan lihat sendiri," jawab Harry, masih dengan ekspresi tenangnya.

Dengan hati-hati, Raline membuka kotak itu dan matanya membulat saat melihat isinya. Sebuah gaun hitam seksi berbahan satin dengan potongan yang elegan namun menggoda. Pipinya sedikit merona.

"Harry… Ini terlalu indah," gumamnya, jemarinya menyentuh kain lembut itu.

Harry melangkah lebih dekat, menatapnya dengan penuh arti. "Aku ingin kamu mengenakannya malam ini. Aku punya kejutan untuk kita."

Raline menggigit bibir bawahnya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Ke mana kita akan pergi?"

Harry tersenyum samar. "Rahasia. Tapi aku jamin, ini akan menjadi malam yang tak terlupakan untuk kita."

Raline tersenyum malu-malu lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan mengenakannya. Tunggu sebentar, ya."

Harry menunggu di ruang tamu, memperhatikan sekeliling apartemen yang sederhana namun mencerminkan kepribadian Raline yang lembut dan penuh warna. Tak lama, suara langkah kaki halus terdengar, dan ketika ia menoleh, napasnya seketika tertahan.

Raline berdiri di hadapannya, mengenakan gaun yang dipilihkannya. Kainnya membalut tubuh gadis itu dengan sempurna, menonjolkan keanggunan serta pesona alaminya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, menambah kesan memikat.

"Bagaimana?" tanyanya dengan suara pelan, sedikit malu dengan tatapan Harry yang seakan tak berkedip.

Harry tersenyum lebar, melangkah mendekat, lalu mengecup keningnya lembut. "Kamu terlihat luar biasa."

Raline tersenyum bahagia. "Jadi, sebenarnya kita mau ke mana?"

Harry menggenggam tangannya, menuntunnya keluar. "Tempat spesial, hanya untuk kita berdua."

Malam itu, mereka melaju dengan mobil mewah Harry menuju kejutan yang telah disiapkannya—sebuah dinner romantis di kapal pesiar pribadi di bawah gemerlap bintang. Malam yang akan menjadi kenangan indah dalam perjalanan cinta mereka.

Begitu mereka tiba di dermaga pribadi, Raline ternganga melihat kapal pesiar mewah yang berlabuh di sana. Matanya membulat, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Harry… ini?" suaranya tercekat, tangannya menggenggam erat lengan Harry.

Harry tersenyum kecil, menikmati ekspresi kekaguman kekasihnya. "Ini kapal pribadiku. Dan malam ini, hanya ada kita berdua di dalamnya."

"Kamu serius?" Raline hampir tidak bisa berkata-kata. Ia tahu Harry adalah pria sukses, tapi ia tidak pernah menyangka pacarnya akan menyiapkan sesuatu semewah ini hanya untuk malam anniversary mereka.

Tanpa menunggu jawaban, Harry menggenggam tangannya dan membimbingnya menaiki kapal. Begitu mereka melangkah ke dek utama, Raline kembali dibuat terpesona. Kapal itu dihiasi lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip indah, meja makan yang tertata sempurna dengan lilin-lilin di tengahnya, serta aroma bunga mawar yang menyebar di udara malam yang sejuk.

"Harry, ini luar biasa…" Raline berbisik, benar-benar terharu.

"Aku ingin malam ini menjadi spesial untuk kita," ujar Harry lembut. "Ayo, kita duduk!"

Mereka pun duduk di meja yang telah disiapkan. Makanan mewah tersaji di hadapan mereka, mulai dari steak berkualitas tinggi, seafood segar, hingga wine yang dipilih khusus oleh Harry sendiri. Sambil menikmati hidangan, mereka mengobrol santai, mengenang kembali momen-momen yang telah mereka lalui selama satu tahun terakhir.

Namun, di tengah suasana romantis itu, ponsel Raline yang diletakkan di atas meja tiba-tiba bergetar. Layar menyala, memperlihatkan nama yang membuat wajahnya langsung berubah pucat—Calvin.

Jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan mematikan panggilan tersebut. Lalu, ia menoleh ke arah Harry, mencoba tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

Harry sempat melihat perubahan ekspresi di wajah Raline dan bertanya, "Siapa yang menelepon?"

Raline tersenyum kecil, berusaha tetap santai. "Hanya teman. Aku sedang tidak ingin diganggu sekarang, makanya aku matiin aja telponnya."

Harry menatapnya beberapa detik, seolah mencoba membaca ekspresi wajahnya. Namun, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah. Malam ini memang hanya untuk kita berdua."

Raline tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tiba-tiba muncul. Siapa pun yang berada di balik telepon itu, ia berharap tidak akan merusak malam istimewa ini.

Meskipun ia mencoba fokus pada Harry, bayangan Calvin tetap menghantui pikirannya. Setelah beberapa suapan, Raline akhirnya meletakkan garpunya dan menatap Harry dengan senyum manja.

"Sayang, aku ke toilet sebentar ya?"

Harry mengangguk tanpa curiga. "Tentu. Mau aku antar?"

Raline tertawa kecil dan menggeleng. "Nggak perlu, aku bisa sendiri kok."

Salah satu pelayan di kapal itu menunjukkan arah toilet kepada Raline. Setelah memastikan bahwa ia benar-benar sendirian, Raline segera mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan cepat ke nomor Calvin.

"Dad, maaf ya aku gak bisa respon telpon kamu sekarang! Aku lagi sibuk, maaf!"

Ia menghela napas lega setelah mengirim pesan itu. Namun, saat ia bersiap untuk kembali ke meja makan, ponselnya kembali bergetar. Calvin menelepon lagi. Hatinya mencelos.

"Astaga..." gumamnya cemas.

Pesan lain menyusul. "Angkat teleponnya sekarang!"

Raline menatap layar dengan gelisah, jemarinya ragu-ragu di atas tombol jawab. Ia tidak ingin membuat Harry curiga, namun ia juga tahu bahwa Calvin bukan tipe orang yang bisa diabaikan begitu saja. Akhirnya, dengan enggan, ia mengangkat teleponnya dan menempelkannya ke telinga.

"Halo..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

"Di mana kamu sekarang?" Suara Calvin terdengar dalam dan tegas di seberang telepon.

Raline menelan ludah, jantungnya berdetak cepat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Aku... sedang di luar, Dad. Lagi sama teman-temanku."

"Jangan bohong," suara Calvin terdengar tajam. "Aku tahu kamu bersama laki-laki lain. Siapa laki-laki itu, ha? Cepat jawab!"

Mata Raline membesar. Bagaimana Calvin bisa tahu?

"A-aku—"

"Dengar baik-baik, Raline! Aku tidak suka kamu berada di dekat pria lain selain aku." Suara Calvin semakin menekan. "Kamu tahu aturan kita, bukan?"

Raline meremas ujung gaunnya, hatinya berdegup semakin kencang. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini, tapi ia tahu bahwa Calvin tidak akan membiarkannya begitu saja.

"Aku harus kembali sekarang, Dad," bisiknya panik. "Aku tidak bisa bicara lama-lama."

Namun sebelum ia sempat menutup telepon, suara Calvin kembali terdengar, lebih dingin dari sebelumnya.

"Aku akan memastikan kamu tidak pernah bisa pergi dari aku, Raline."

Raline menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia menatap cermin di depannya, melihat wajahnya yang sedikit pucat. Malam anniversary yang seharusnya indah ini kini terasa lebih mencekam.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya keluar dari toilet dan kembali ke meja makan, mencoba berpura-pura bahwa tidak ada yang terjadi.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa semuanya akan menjadi semakin rumit dari sini.

Bab 2. Tunangan

Raline menarik napas dalam-dalam sebelum kembali ke meja tempat Harry menunggunya. Ia berusaha mengendalikan emosinya setelah percakapan yang membuatnya tegang dengan Calvin. Senyumnya dipaksakan ketika ia duduk kembali di kursinya.

"Maaf ya, aku lama." Raline mencoba bersikap biasa, mengambil kembali garpunya untuk melanjutkan makan malam yang tertunda.

Namun, sebelum ia sempat menyuapkan makanan ke mulutnya, Harry tiba-tiba bangkit dari kursinya. Raline menatapnya bingung. "Harry? Ada apa?"

Harry tidak menjawab. Sebaliknya, pria itu mengambil sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di depan Raline. Mata Raline melebar saat menyadari apa yang sedang terjadi.

"Harry..." bisiknya, suaranya gemetar.

Dengan senyum penuh keyakinan, Harry membuka kotak beludru kecil di tangannya, memperlihatkan sebuah cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lilin.

"Raline Anindya," Harry memulai, suaranya hangat dan penuh perasaan. "Selama setahun ini, kamu telah menjadi bagian terindah dalam hidupku. Kamu adalah orang yang selalu membuat hariku lebih berwarna, yang mengisi setiap kekosongan dalam hatiku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu."

Raline merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya refleks menutupi bibirnya, tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

"Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu," lanjut Harry. "Aku ingin kita membangun masa depan bersama, saling mendukung, dan melewati setiap suka dan duka sebagai pasangan seumur hidup. Raline, maukah kamu menikah denganku?"

Hening.

Waktu seakan berhenti. Raline bisa merasakan seluruh tubuhnya menegang. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Hatinya berkecamuk antara kebahagiaan dan kegelisahan. Di satu sisi, ia sangat mencintai Harry. Namun, di sisi lain, ada rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari pria itu—tentang Calvin, tentang kehidupan lain yang belum pernah ia ceritakan.

Harry masih menatapnya dengan penuh harap. Para pelayan di kapal pesiar yang melihat momen ini juga tampak menahan napas, menunggu jawaban dari Raline.

Raline menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Haruskah ia menerima lamaran ini dan berpura-pura semuanya baik-baik saja? Ataukah ia harus jujur pada Harry tentang apa yang sebenarnya terjadi?

Tangannya sedikit gemetar saat ia menatap cincin berlian itu. Bibirnya terbuka, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.

"Raline?" Harry memanggil namanya dengan lembut, masih berlutut dengan ekspresi penuh cinta.

Raline menarik napas panjang. Ia harus memutuskan sesuatu—dan cepat.

Raline menatap cincin berlian yang berkilauan di hadapannya. Hatinya masih berdebar kencang, perasaan bahagia dan gelisah bercampur menjadi satu. Harry, pria yang selama ini begitu mencintainya, kini berlutut di hadapannya, menunggu jawaban dari bibirnya.

Raline menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan cintanya kepada Harry. Pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat baik, memberikan kasih sayang yang tulus, dan kini bahkan ingin menghabiskan sisa hidup bersamanya.

Mata mereka bertemu. Harry masih menunggu dengan sabar, senyum kecil terukir di wajahnya meskipun ada sedikit kegugupan di matanya. Raline bisa merasakan betapa besar harapan yang digantungkan Harry padanya.

Akhirnya, setelah menimbang segalanya, Raline mengangguk pelan. "Aku bersedia, Harry. Aku mau menikah denganmu."

Mata Harry langsung berbinar. Senyum lebar merekah di wajah tampannya, seolah jawaban itu adalah satu-satunya hal yang ia inginkan dalam hidupnya. Ia hampir langsung menyematkan cincin itu di jari Raline, tetapi sebelum ia bisa melakukannya, gadis itu menahan tangannya.

"Tapi..." Raline melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Aku tidak bisa menikah dalam waktu dekat. Aku masih harus menyelesaikan kuliahku. Aku ingin menyelesaikan semuanya sebelum kita benar-benar menikah."

Harry terdiam sejenak, tapi ia tidak menunjukkan kekecewaan sedikit pun. Sebaliknya, ia mengangguk penuh pengertian. "Aku mengerti, Raline. Aku tidak akan memaksamu untuk buru-buru menikah. Aku rela menunggu, berapa pun lama yang dibutuhkan. Asalkan pada akhirnya, kamu benar-benar akan menjadi istriku."

Raline tersenyum lega. Ia tidak menyangka Harry akan begitu pengertian. Dengan perasaan haru, ia mengulurkan tangannya, memberikan izin kepada Harry untuk menyematkan cincin itu di jari manisnya.

Harry mengambil cincin berlian itu dan dengan hati-hati menyelipkannya di jari Raline. Begitu cincin itu terpasang dengan sempurna, Harry menatap Raline dengan penuh cinta. Ia menggenggam tangan gadis itu, lalu mengecupnya lembut.

"Sekarang, kamu resmi menjadi tunanganku," ucap Harry dengan suara penuh kebahagiaan.

Raline tersipu, pipinya merona merah. Perasaan hangat menjalar di hatinya. Ia tahu bahwa Harry benar-benar serius tentang hubungan mereka.

Para pelayan yang menyaksikan momen itu secara diam-diam tersenyum, dan beberapa bahkan bertepuk tangan pelan sebagai tanda kebahagiaan. Malam itu terasa begitu sempurna, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Setelah momen mengharukan itu, Harry menuntun Raline untuk kembali duduk. Mereka melanjutkan makan malam dengan suasana yang lebih hangat dan romantis. Sesekali, Harry mencuri pandang ke arah Raline yang kini tampak semakin cantik dengan cincin berlian di jarinya.

Namun, di balik kebahagiaan yang menyelimuti malam itu, ada perasaan gelisah yang masih mengganggu hati Raline. Ia tahu bahwa masih ada rahasia yang belum ia ungkapkan pada Harry—tentang Calvin, dan tentang masa lalunya yang tidak sepenuhnya bersih.

Tetapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk menikmati momen indah bersama pria yang begitu mencintainya. Malam anniversary mereka harus tetap menjadi kenangan yang indah dan tak terlupakan.

÷÷÷

Setelah makan malam selesai, Harry menatap Raline dengan penuh kelembutan. Ia memberikan isyarat kepada salah satu pelayan untuk segera menyetel musik. Dalam hitungan detik, alunan melodi klasik nan romantis mengisi udara malam yang hangat. Raline menatap Harry dengan rasa penasaran, tetapi sebelum ia sempat bertanya, pria itu sudah bangkit dari tempat duduknya dan mengulurkan tangan kepadanya.

"Bolehkah aku mengajak tunanganku yang cantik ini berdansa malam ini?" suara Harry terdengar lembut dan penuh pesona.

Raline tersenyum, hatinya berdebar karena sikap romantis pria itu. Dengan senang hati, ia menerima uluran tangan Harry, dan pria itu langsung menuntunnya ke tengah dek kapal pesiar yang telah dihiasi dengan cahaya lilin serta lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip.

Mereka mulai berdansa, mengikuti irama musik yang mengalun dengan indah. Harry melingkarkan satu tangannya di pinggang Raline, sementara tangan satunya menggenggam jemari gadis itu dengan erat. Raline pun menaruh satu tangannya di dada bidang Harry, merasakan detak jantung pria yang dicintainya.

Mata mereka saling bertaut, dan senyuman lembut terus terukir di wajah masing-masing. Harry menatap Raline dengan penuh kekaguman, lalu membisikkan kata-kata manis di telinganya.

"Kamu terlihat sangat cantik malam ini, Raline. Sungguh, aku masih tak percaya bahwa wanita secantik dan sebaik kamu kini menjadi tunanganku."

Raline merona mendengar pujian itu. "Kamu selalu tahu bagaimana membuatku tersipu, Harry. Aku benar-benar beruntung memilikimu."

Harry tersenyum lebar, lalu menatap bibir Raline dengan intens. Dengan gerakan lembut, ia mencondongkan wajahnya mendekat. Raline yang sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan pria itu hanya bisa tersenyum kecil dan memejamkan matanya.

Tak butuh waktu lama, bibir Harry akhirnya menyentuh bibir Raline. Ciuman mereka terasa manis dan lembut, penuh dengan perasaan yang tulus. Meski mereka masih terus bergerak mengikuti irama musik, keduanya tenggelam dalam kebersamaan yang begitu mendalam. Sentuhan bibir itu begitu lembut pada awalnya, tetapi perlahan berubah menjadi lebih dalam dan menggelora.

Harry menarik tubuh Raline semakin dekat, membuat gadis itu bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Tangan Raline pun secara refleks melingkar di leher Harry, membalas ciuman pria itu dengan penuh gairah. Musik yang mengalun di sekitar mereka seakan menjadi latar belakang yang sempurna untuk momen romantis ini.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya melepaskan ciuman dengan napas yang sedikit memburu. Raline menatap Harry dengan pipi yang masih merona, sementara pria itu tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu tahu, aku bisa terus melakukan ini sepanjang malam," ujar Harry dengan suara sedikit serak.

Raline terkekeh kecil, lalu mencubit lengan Harry pelan. "Jangan nakal, kita masih di sini. Ada banyak orang yang melihat."

Harry hanya tertawa, lalu menarik Raline kembali ke dalam pelukannya. Mereka terus berdansa dengan penuh kebahagiaan, menikmati malam yang begitu sempurna di atas kapal pesiar mewah itu. Namun, di dalam hati Raline, ada satu perasaan gelisah yang kembali muncul. Rahasia tentang Calvin masih menggantung dalam pikirannya, dan ia tahu bahwa cepat atau lambat, semuanya akan terungkap.

Namun untuk malam ini, ia memilih untuk melupakan semuanya dan menikmati kebersamaannya dengan pria yang begitu mencintainya.

Bab 3. Pagi yang panas

Matahari mulai menyelinap melalui tirai jendela kapal pesiar yang mewah. Cahaya keemasan menyorot lembut ke dalam kamar, memberikan nuansa hangat yang menenangkan. Di atas ranjang besar dengan seprai sutra putih, tubuh Raline yang masih terbungkus selimut mulai bergerak perlahan. Ia membuka matanya dengan sedikit malas, sebelum menoleh ke samping dan mendapati Harry masih tertidur pulas di sebelahnya.

Pria itu tampak begitu damai, dengan nafas yang teratur dan dada bidangnya yang naik turun perlahan. Rambutnya berantakan, tetapi tetap terlihat tampan. Raline tersenyum kecil, mengingat kembali bagaimana malam tadi dihabiskan dengan penuh gairah. Pipinya sedikit memerah, tetapi ia segera menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikirannya.

Perlahan, Raline bangkit dari tempat tidur, memastikan agar tidak membangunkan Harry. Ia memungut pakaiannya yang tergeletak di lantai, lalu mengenakannya dengan gerakan hati-hati. Setelah itu, ia berjalan menuju meja tempat ponselnya berada. Begitu mengambilnya, ia terkejut melihat beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan dari Calvin.

Hati Raline langsung berdebar cemas. Ia buru-buru melangkah ke kamar mandi dan mengunci pintunya sebelum membuka pesan-pesan yang masuk.

Calvin: Apa kamu tidak membaca pesanku? Kenapa tidak mengangkat teleponku?!

Calvin: Jawab aku sekarang, Raline! Aku tidak suka diabaikan.

Calvin: Kamu tahu apa akibatnya kalau kamu berani mempermainkanku, kan?

Raline menggigit bibir bawahnya, merasa gelisah dengan nada pesan yang dikirim oleh pria itu. Ia tahu Calvin bukan orang yang sabar, apalagi jika menyangkut dirinya. Dengan tangan sedikit gemetar, Raline mulai mengetik balasan.

Raline: Maaf, Daddy. Aku tertidur tadi malam dan tidak sempat membalas. Aku benar-benar minta maaf!

Beberapa detik setelah pesan itu terkirim, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Calvin. Raline menatap layar itu dengan perasaan ragu, tetapi akhirnya ia menekan tombol jawab dan membawa ponselnya ke telinga.

"Kamu ada di mana sekarang?" suara Calvin terdengar dalam dan dingin, tanpa ada basa-basi.

Raline menelan ludah, berpikir keras untuk memberikan jawaban yang tidak mencurigakan. "Aku... sedang di luar bersama teman-temanku," katanya dengan suara selembut mungkin.

Calvin mendengus kecil. "Jangan berbohong padaku, Raline. Aku bisa mencari tahu di mana kamu berada."

Gadis itu menggigit bibirnya semakin keras. "Aku tidak berbohong, Daddy. Aku hanya... hanya butuh waktu sebentar untuk sendiri."

Sejenak, ada keheningan di antara mereka sebelum Calvin akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih mengintimidasi. "Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi. Tapi, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan untuk menebus kesalahanmu, kan?"

Raline terdiam. Ia sudah menduga permintaan ini akan muncul, tetapi tetap saja dadanya terasa sesak mendengarnya secara langsung.

"Kirimkan fotomu. Yang seksi," lanjut Calvin. "Aku ingin melihat tunjangan mahalku tampil menggoda."

Jantung Raline berdebar lebih kencang. Ia menggigit kuku jarinya, merasa bimbang. Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara di balik pintu mengejutkannya.

"Raline?" Suara Harry terdengar mengantuk. "Kamu di dalam?"

Raline menahan napas, panik seketika. "I-iya, sebentar lagi aku keluar!" serunya, berusaha agar suaranya terdengar biasa.

"Aku tunggu di luar, oke?" kata Harry dengan nada lembut sebelum suara langkah kakinya menjauh.

Raline kembali menempelkan ponsel ke telinganya. "Daddy, aku harus pergi. Aku akan kirimkan nanti," bisiknya cepat.

Calvin terkekeh di ujung telepon. "Bagus. Jangan buat aku menunggu lama, sayang."

Begitu panggilan berakhir, Raline menghembuskan napas panjang. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, melihat wajahnya yang penuh kecemasan. Malam tadi, ia merasa seperti gadis paling beruntung di dunia dengan Harry di sisinya. Namun, sekarang ia dihadapkan pada kenyataan yang begitu rumit.

Dengan hati yang berat, Raline menyimpan ponselnya dan merapikan dirinya sebelum keluar dari kamar mandi. Ia harus kembali ke sisi Harry dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja—meski di dalam hatinya, semuanya terasa semakin kacau.

÷÷÷

Saat Raline keluar dari kamar mandi, ia terkejut saat tiba-tiba Harry langsung mendekapnya erat dari belakang. Pria itu menempelkan tubuh hangatnya ke tubuh Raline, membuat gadis itu membeku sejenak.

"Kenapa kamu tega meninggalkan aku sendirian di ranjang, hm?" bisik Harry di telinga Raline, sebelum mengecup lembut lehernya.

Raline terkikik pelan, lalu menoleh sedikit untuk melihat wajah pria itu. "Maaf, aku kebelet tadi. Aku nggak tahan lagi, makanya aku buru-buru ke kamar mandi."

Harry mendengus pelan, lalu membalik tubuh Raline agar menghadapnya. Tatapannya begitu dalam, membuat jantung Raline berdetak lebih cepat. "Kalau begitu, aku harus memastikan kamu nggak pergi lagi dari sisiku, hm?" ujarnya seraya mengecup kening Raline dengan penuh kasih sayang.

Raline hanya bisa tersenyum malu-malu saat Harry menarik pergelangan tangannya perlahan. Pria itu memandangnya dengan tatapan menggoda, sebelum akhirnya memutar tubuh gadis itu hingga punggungnya kembali menghadap ke arahnya. Harry mulai mengecup pundak Raline yang terbuka, bibirnya bergerak perlahan, memberikan sensasi panas yang menjalar di sepanjang tubuh Raline.

"H-Harry..." bisik Raline dengan suara lirih.

"Hm?" sahut Harry tanpa menghentikan aksinya. Tangannya mulai melingkari pinggang ramping Raline, menariknya lebih dekat.

"Kamu mau apa?" tanya Raline, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri.

Harry hanya terkekeh sebelum mendorong tubuh Raline perlahan menuju kamar mandi. "Ayo kita mandi bersama!" bisiknya di telinga gadis itu.

Raline tak bisa menolak ketika Harry menggiringnya masuk ke dalam kamar mandi yang luas itu. Ia hanya bisa tersenyum kecil, pasrah pada pria yang begitu ia cintai ini. Pagi itu, mereka kembali menikmati momen berdua di dalam kamar mandi, membiarkan kebersamaan mereka dipenuhi dengan canda tawa, tatapan penuh cinta, dan kehangatan yang tak ingin mereka lepaskan begitu saja.

Setelah menyelesaikan aktivitas panas mereka di kamar mandi, Harry dengan lembut menuntun Raline menuju bak berendam yang telah ia siapkan sebelumnya. Uap air hangat mengepul dari permukaan, menciptakan suasana yang semakin intim di antara mereka.

"Masuklah, Sayang!" ujar Harry lembut, membantunya untuk turun ke dalam air.

Raline menurut, merasakan sensasi nyaman saat air hangat menyentuh kulitnya. Ia bersandar pada dada bidang Harry yang duduk di belakangnya, sementara tangan pria itu perlahan mengambil busa sabun dan mulai menyabuni tubuhnya dengan penuh perhatian.

"Kamu benar-benar tahu cara memanjakan aku," gumam Raline, memejamkan mata menikmati sentuhan lembut Harry.

Harry terkekeh kecil, lalu mengecup pundaknya. "Tentu saja. Aku ingin memastikan kamu merasa nyaman bersamaku, setiap saat."

Raline tersenyum, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang diberikan Harry. Pria itu terus menyabuni tubuhnya dengan gerakan perlahan, sesekali mencuri kesempatan untuk menempelkan bibirnya di kulit lembut Raline, membuat gadis itu menggigit bibir bawahnya tanpa sadar.

"Harry..." panggilnya pelan.

"Hm?" sahut pria itu dengan nada tenang, meskipun ia tahu bahwa gadis di pelukannya mulai merasa gelisah akibat godaannya.

"Kita benar-benar harus keluar dari sini kalau tidak ingin berakhir lebih lama," bisik Raline, matanya sedikit terbuka dan melirik Harry yang tersenyum jahil.

Harry tertawa pelan, lalu memeluknya lebih erat. "Baiklah, Sayang. Setelah ini, kita siap-siap, ya? Aku akan mengantarkanmu pulang."

Raline hanya mengangguk, menikmati detik-detik terakhir mereka dalam kehangatan air, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyudahi sesi berendam mereka. Hari ini masih panjang, tetapi Raline tahu, kebersamaan mereka di kapal ini akan selalu menjadi kenangan indah yang tak akan ia lupakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!