" Dasar cupu, loe tidak pantas duduk disini merusak pemandangan saja." ujar seorang perempuan yang bernama Bela.
" Apa belum cukup selama tiga tahun ini kalian mengganggunya ?" sentak seorang laki - laki hitam manis bernama Dewa barata, ia biasa di panggil Dewa. Laki - laki biasa, hanya anak dari seorang sopir angkot. Dia juga bukan idola sekolah, tetapi selama tiga tahun ini ia menjadi satu satunya sahabat Aline si gadis cupu.
" Biarkan saja Wa, ayo kita duduk disana." sahut Aline, ia menunjuk kursi kosong di ujung paling belakang. Kemudian mereka berlalu menuju tempat itu.
Aline Gunawan seorang gadis cantik dan kaya raya. Karena ingin mendapatkan sahabat sejati, ia rela bersekolah di sekolahan negeri. Bukan sekolahan swasta yang identik dengan orang - orang kaya sepertinya.
Selama tiga tahun ini setiap bersekolah ia selalu berpenampilan cupu, rambut diikat dua dan memakai kaca mata baca anti radiasi yang lumayan tebal.
Sebenarnya ibunya selalu protes jika melihat anaknya berpenampilan seperti itu, tapi Aline mempunyai alasan yang bisa dimengerti oleh orang tuanya yaitu tidak mau menarik perhatian banyak orang kalau ia adalah pewaris tunggal dari perusahaan GG Corps.
Malam ini adalah malam perpisahan dari sekolahnya Aline, seperti biasa ia berpenampilan cupu. Ia selalu menutupi jati dirinya dari teman temannya bahkan Dewa yang ia anggap satu satunya sahabatnya itupun tidak mengetahui siapa dia yang sebenarnya.
" Kenapa sih Al, loe tidak pernah melawan setiap mereka menghina loe." ucap Dewa.
" Biarin saja Wa. Kalau sekedar masih berupa perkataan aku tidak masalah, asal mereka tidak melakukan kekerasan fisik." ujar Aline.
" Tapi mereka sudah sangat keterlaluan, harusnya malam prom night seperti sekarang mereka gunakan untuk saling memaafkan."
" Enggak apa, aku hanya tidak mau cari masalah saja." sahut Aline. Ia takut jika membuat masalah di sekolah, maka orang tuanya pasti akan memindahkan ke sekolah yang mereka mau.
" Seandainya saja mereka tahu siapa aku yang sebenarnya, tapi biarkan saja. Aku hanya mau berteman dengan orang yang tulus seperti dewa" gumam Aline.
" Loe jadi ambil beasiswa itu Al." tanya Dewa lagi.
" Iya, kesempatan hanya sekali Wa. Aku tidak ingin menyia nyiakan itu." ujar Aline beralasan, padahal tanpa beasiswa pun keluarganya mampu menyekolahkan ke luar negeri.
" Semoga kamu sukses, jangan pernah lupakan gue ya."
" Tentu saja, kamu satu satunya sahabatku."
" Kamu juga satu satunya teman gokil gue." sahut Dewa lalu mereka tertawa bersama.
Satu bulan kemudian
Malam itu terjadi perdebatan antara Aline dan ayahnya Austin Gunawan. Aline Gunawan gadis cantik berusia delapan belas tahun baru lulus sekolah menengah atas. Karena kepandaiannya ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu Universitas terbaik di Jerman.
" Sayang, papa tidak setuju jika kamu mengambil beasiswa itu. Harta papa sangat banyak bahkan tidak akan habis tujuh turunan, lebih baik kamu kuliah disini dan membantu papa dan mami mengurus perusahaan." tutur Austin pada anaknya itu.
" Alin mau mandiri pa, apa salahnya ambil beasiswa itu. Alin akan kuliah yang benar disana, setelah lulus Alin janji akan membantu papa di perusahaan." rengek Aline.
Sejak King meninggal karena sebuah kecelakaan yang disengaja oleh seseorang delapan belas tahun yang lalu. Austin selalu bersikap protektif terhadap anak satu-satunya itu.
" Biarin saja pa, mami yakin Aline bisa menjaga dirinya sendiri. Selagi dia masih muda biarkan dia mencari pengalaman diluar sana." tutur Nisa ibunya Aline.
Nisa yakin anaknya itu bisa menjaga dirinya dengan baik. Apalagi Aline sudah memegang sabuk hitam dari beberapa ilmu bela diri yang sudah ia kuasai.
Nisa menginginkan sebelum anak gadisnya itu menjadi pewaris sah dari perusahaan GG Corps. Aline harus mempunyai banyak pengalaman dengan dunia luar termasuk orang-orang yang akan ia temui nanti.
" Baiklah papa akan ijinkan, asal kamu memakai fasilitas yang papa berikan termasuk para pengawal." seru Austin.
" Entah kenapa sampai sekarang aku tidak bisa menolak kalau kamu yang meminta." ujar Austin lalu memeluk istrinya itu.
" Terima kasih pa, Alin janji." ucap Aline seraya memeluk kedua orangtuanya.
Untuk saat ini, ia akan mengikuti apapun kemauan ayahnya asal mendapatkan ijin kuliah diluar negeri. Untuk urusan melanggar kesepakatan itu akan ia pikirkan nanti, karena itu salah satu ahlinya. wkwkkkk. 🤭
Keesokan harinya
" Sayang, bisa tidak kamu lepas kacamata itu. Mami empet melihat penampilan kamu seperti itu." ujar Nisa ketika melihat anak gadisnya itu berpenampilan culun, dengan memakai kacamata baca anti radiasi yang lumayan tebal dan dengan rambut yang di cepol keatas.
" Baik bu pres yang cantik." seru Aline menggoda maminya.
Tampak Aline melepaskan kacamatanya dan rambut cepolnya itu. Ia terlihat sangat cantik dengan rambut cokelat bergelombang yang tergerai indah menutupi bahunya.
" Sempurna." Nisa menjentikkan kedua jarinya ketika melihat penampilan anaknya itu. Aline yang dipuji ibunya itu bukannya senang tapi malah manyun, sejujurnya ia lebih senang berpenampilan tomboy dari pada feminim seperti kebanyakan wanita lain.
Siang ini mereka akan pergi ke Mall untuk mencari keperluan yang akan Aline bawa ke Jerman. Setiap Aline keluar rumah dengan orang tuanya ia akan dituntut bepenampilan sempurna, itu membuat Aline sangat tidak nyaman. Karena akan menjadi pusat perhatian banyak orang.
Selama ini banyak yang bersikap pura-pura baik agar bisa dekat dengannya, maka dari itu ia lebih memilih sekolah negeri dan menutupi jati dirinya sebagai pewaris tunggal dari kerajaan bisnis GG Corps yang terkenal menguasai bisnis real estate itu.
Setelah berbelanja beberapa keperluan, Nisa mengajak Aline mampir ke kantor ayahnya untuk makan siang bersama.
" Selamat siang nyonya dan nona muda." sapa salah satu Karyawan disana ketika Nisa dan anaknya baru turun dari mobilnya.
" Siang juga pak." sahut Nisa dengan ramah.
Setiap kali Aline ke kantor ayahnya ia akan menjadi pusat perhatian karyawan disana, ada yang tampak kagum dan ada juga yang merasa iri.
Aline sering mendengar bisik-bisik para karyawan tersebut seakan meragukan kemampuannya akan memimpin sebuah perusahaan yang sangat besar. Tapi ia tidak mengindahkan hal itu, ia berjanji pada dirinya sendiri akan menunjukkan kemampuannya jika saatnya itu tiba.
Anak manja dan suka menghamburkan harta orang tuanya itulah kebanyakan pandangan orang terhadapnya. Karena dari ujung kaki hingga rambut yang ia kenakan adalah barang branded, tentunya bukan atas kemauannya tapi ibunya lah yang menginginkan yang terbaik untuknya.
Di usianya yang baru menginjak delapan belas tahun. Sudah banyak prestasi akademik yang ia peroleh, bahkan Ia sudah ahli membantu ayahnya dalam mengawasi manajemen keuangan perusahaannya. So, don't judge someone by the cover.
Dannis Bryan
Aline Gunawan
Dewa Barata
Sore itu hujan turun dengan deras, membasahi setiap jengkal tanah. Membuat sebagian orang malas untuk keluar rumah, begitu juga dengan Aline. Ia terlihat sedang duduk termenung, melihat rintikan hujan yang tak kunjung berhenti dari tadi siang.
Drtt
Drtt
Terdengar bunyi pesan dari ponselnya, ia segera beranjak dari duduknya dan mengambil ponsel diatas nakas. Ada senyum kecil ketika dia membaca isi pesan itu.
" Pergi ke pasar dihari minggu, perginya bersama ibu, sudah lama tak melihatmu, bagaimana kabar dirimu." isi pesan dari Dewa.
" Aku baik Wa, bagaimana kalau besok sore kita ketemuan di Cafe dekat sekolahan kita. Sekalian aku mau pamitan." tampak Aline membalas pesan dari Dewa.
" Oke siap bocil." balas Dewa, ia memang sering memanggil Aline dengan sebutan bocil karena penampilannya seperti anak kecil.
Keesokan harinya
" Ini saatnya aku harus jujur pada Dewa, siapa aku sebenarnya." gumam Aline, ia sedang melihat penampilannya didepan cermin.
" Anak mami mau kemana cantik banget." goda Nisa.
" Mau jalan sebentar mi sama teman, boleh kan ?"
" Boleh sayang, asal dengan pengawal." ujar Nisa, ia sangat khawatir ketika melihat anaknya itu menjadi dirinya sendiri maka akan banyak orang jahat yang mengintainya. Beda ketika ia menjadi gadis berpenampilan cupu, mungkin kebanyakan orang tidak akan menoleh padanya.
" Terima kasih mami cantik." sahut Aline, kemudian ia berlalu pergi.
Beberapa saat kemudian, ia sudah sampai di Cafe, dimana dia sedang janjian dengan sahabatnya itu. Tampak Dewa sudah duduk menunggunya.
" Wa." panggil Aline.
Dewa yang posisinya sedang memunggunginya langsung berbalik badan, ketika mendengar suara yang tidak asing baginya.
Dewa terlihat diam terpaku melihat sosok gadis yang sedang berdiri di depannya itu.
" Wa, ini aku Alin. Sahabat kamu." Aline tersenyum manis pada Dewa.
" Ini loe si bocil ?" Dewa tampak terkejut melihat penampilan Aline dari atas hingga bawah.
" Iya ini aku."
Kemudian Dewa melihat dua orang berbadan tinggi besar berdiri tak jauh dari sahabatnya itu.
" Mereka pengawalku." ucap Aline dengan ragu, ia mulai takut akan reaksi dari sahabatnya itu.
" Apa ?" teriak Dewa ia terlihat shock.
" Maaf, selama ini aku sudah menyembunyikan jati diriku yang sebenarnya dari semua teman - teman di sekolah terutama kamu." Aline tampak sedih.
" Duduklah Al, gue tahu loe punya alasan tersendiri." Dewa menarik kursi agar Aline bisa duduk.
" Sekarang loe ceritakan semua !" ucap Dewa lagi.
" Tapi kamu tidak akan membenciku kan ?"
" Tergantung dari alasan kamu melakukan semua ini."
" Aku hanya ingin mempunyai teman yang tulus menerimaku apa adanya, makanya aku berbuat seperti itu. Tapi pada kenyataannya tidak ada orang yang mau melihat seorang gadis cupu, kecuali kamu."
" Aku selalu tulus berteman denganmu siapapun dirimu, tapi untuk selanjutnya mungkin tidak bisa."
" Tapi kenapa Wa ?" Aline tampak sedih mendengar ucapan sahabatnya itu.
" Karena kamu mau kuliah ke Jerman, jadi bagaimana bisa bertemu lagi." ujar Dewa ia tampak senang berhasil mengerjai Aline.
" Astaga, jangkung." Aline langsung menoyor Dewa, ia sangat kesal dengan ulah sahabatnya itu.
Beberapa saat kemudian, terdengar seorang perempuan memanggil Dewa.
" Dewa." teriak perempuan itu.
Dewa mencari siapa yang memanggilnya, dari kejauhan terlihat tiga orang perempuan mendekatinya.
" Dewa, loe sama siapa ? tanya Bela, ia melihat Aline dari atas ke bawah.
" Masa loe tidak kenal, dia teman sekolah kita dulu." ujar Dewa.
" Siapa ?" Bela memicingkan matanya.
" Aline."
" What, si cupu ?" Bela dan kedua temannya tampak shock.
" Iya Alin si cupu, kamu tahu siapa dia. Dia adalah Aline Gunawan, anak dari pengusaha terkaya di kota ini."
Bela dan teman temannya langsung terduduk lemas, mereka merutuki semua kesalahan yang sudah mereka perbuat selama ini.
" Wa, aku pamit ya. Aku doakan semoga kamu sukses."
" Terima kasih Al, sering - sering kirim email."
" Tentu saja." sahut Aline, kemudian ia berlalu meninggalkan Dewa bersama Bela dan teman temannya yang masih terlihat shock.
Beberapa hari kemudian
"Sayang, jangan lupa semua barang dimasukkan kedalam koper." ujar Nisa mengingatkan anaknya itu.
" Ini juga, kenapa belum dimasukkan sayang." ujar Nisa lagi tampak ia memasukkan beberapa pasang kaos kaki kedalam koper.
" Astaga, nyonya satu ini kenapa cerewet sekali." gumam Aline setiap kali ibunya mengomel.
Begitulah Aline, dulu ia terpaksa dilahirkan di usia kandungan yang baru menginjak 7 bulan karena kecelakaan yang dialami oleh ibunya. Ketika lahir beratnya hanya dua kilo gram dan lebih dari sebulan masuk dalam inkubator.
Tapi siapa sangka ia tumbuh menjadi gadis yang sangat pintar dan juga cantik jelita.
" Sayang, benar kamu tega tinggalin papa ?" ujar Austin sedikit mengiba agar anaknya itu berubah pikiran dan tidak jadi berangkat.
" Stop papa, jangan merengek seperti itu. Alin akan tetap berangkat." ujar Aline.
" Papa pasti akan kehilangan kamu."
" Astaga papa, uang papa kan banyak. Papa bisa satu bulan sekali jenguk Alin, bahkan bisa seminggu sekali itupun kalau papa tidak jetleg."
" Pa, sudahlah ini juga demi kebaikan anak kita." Nampak Nisa menenangkan suaminya.
" Baiklah, tapi papa dan mami akan tinggal disana satu bulan untuk menemanimu."
" Iya. Terserah papa, tapi Alin tinggal di Apartemen kan pa ?"
" No, kamu tinggal bersama om Wira dan tante Nindy."
" Alin bukan anak kecil lagi pa, lagipula ada pengawal juga nanti."
" Papa bilang tidak ya tidak, atau tidak usah berangkat sekalian."
" Ma." Kali ini Alin mencoba meminta bantuan mamanya.
" Yang dibilang papa benar sayang, kamu baru delapan belas tahun. Mami tidak setuju kamu tinggal sendiri di Apartemen, bahkan mami juga tidak ijinkan kamu bawa mobil sendiri."
" Duh gustiiiiiii, ini kenapa ibu negara sama posesifnya seperti papa sih." gumam Aline ia nampak garuk - garuk kepalanya yang tidak gatal.
" Baiklah." sahut Aline dengan malas.
" Lalu kapan Alin boleh tinggal di Apartemen dan bawa mobil sendiri ?" tanya Aline dengan antusias.
" Tergantung. " ucap Austin singkat.
" Tergantung apa pa ?" Aline tampak penasaran.
" Tergantung sikap kamu disana nanti, setelah itu papa dan mami akan mempertimbangkannya." Kali ini Nisa yang menimpali.
" Iya" ucap Alin lemas.
" Baiklah sekarang kamu cepat istirahat, besok pagi kita berangkat."
" Apa Alin boleh, malam ini tidur dengan kalian ?" tanya Aline mengiba.
" Tentu saja sayang." sahut Austin seraya menggandeng putrinya itu untuk masuk kedalam kamar.
Nisa yang mengikutinya dari belakang tampak menggelengkan kepalanya, melihat sikap posesif suaminya itu yang selalu menganggap Aline seperti seorang bayi.
☆☆
Keesokan harinya
" Pa, mi bangun ?" tampak Aline mengguncang guncang tubuh orang tuanya.
" Kenapa sayang, ini masih pagi." ucap Austin tampak melihat jam diatas Nakas. Kemudian ia kembali tidur dengan memeluk istrinya itu.
" Astaga, pak RT dan ibu negara kenapa ngebo sekali tidurnya." gumam Aline, kemudian ia beranjak pergi ke kamarnya.
Beberapa saat kemudian Aline sudah selesai membersihkan dirinya, ia tampak melihat baju yang di pilihkan oleh ibunya kemarin malam. Ia membolak balikkan baju yang masih di gantung itu, sepertinya ia kurang menyukainya.
" Sayang. No, itu kacamata segede gaban jangan dipake." teriak Nisa ketika melihat Anaknya akan memakai kacamata bacanya yang anti radiasi.
" Ini juga rambut. Astaga, kenapa di cepol begini." Nisa nampak melepaskan rambut Aline yang di ikat cepol keatas.
" Oke, baiklah bu pres anda pemenangnya." gumam Aline, ingin sekali ia tepuk tangan sambil nangis melihat tingkah emaknya.
" Nah, sempurna." Nisa menjentikkan kedua jarinya ketika melihat penampilan anaknya itu.
Aline tampak cantik menggunakan dress musim panas dengan panjang selutut dan berkerah sabrina, rambut indahnya tergerai menutupi bahunya yang terbuka dan sneakers putih yang ia kenakan menyempurnakan penampilannya. Tentunya apa yang dia kenakan dari atas hingga bawah semua barang branded.
Pagi ini Aline dan kedua orangtuanya pergi ke bandara. Tampak mobil mereka melaju dengan kencang, karena jalanan terlihat lenggang tidak macet seperti biasa. Mungkin karena ini hari minggu, jadi tidak banyak warga beraktifitas diluar terutama anak sekolah dan para karyawan kantor.
Sebelum ke Jerman, mereka akan singgah di Singapore dahulu. Karena ayahnya Aline ada pekerjaan disana.
" Sayang masih ada waktu untuk berubah pikiran." ujar Austin pada anaknya itu.
" Enggak papa, keputusan Alin sudah final."
" Ayo lah sayang, kamu tidak kasihan sama papa." Austin masih kekeh berharap anaknya akan berubah pikiran.
" Papa sudahlah." kali ini Nisa yang menimpali.
" Baiklah kamu selalu menang nyonya Austin." ujar Austin seraya membawa istrinya itu kepelukannya.
" Dewa lagi apa ya, lebih baik aku kirim pesan saja." gumam Aline lalu ia mengambil ponselnya didalam tas.
" Wa, kamu lagi apa ?" tanya Aline dalam pesannya.
Tak lama kemudian ponsel Aline berbunyi tanda pesan masuk.
" Lagi ngurus administrasi nih cil, gue mau coba daftar akpol. Siapa tahu rejeki gue disana." balas Dewa.
" Aku doakan semoga berhasil ya." balas Aline lagi.
" Amin, kamu sudah berangkat ?" tanya Dewa.
" Lagi dijalan nih menuju Airport."
" Ya sudah hati - hati ya cil, bocil."
" Assshiaaap, jangkung." balas Aline ia tampak tersenyum nyengir.
" Duh anak mami, lagi chat sama siapa senyum - senyum begitu." goda Nisa.
" Sama si jangkung mi." sahut Aline.
" Siapa jangkung ?" kali ini Austin yang menimpali.
" Siapa lagi pa, kalau bukan sahabat satu satunya Alin di sekolah." ujar Aline.
" Makanya kamu dulu sekolah di swasta, biar banyak temannya." sahut Austin.
" Buat apa banyak teman tapi pada jadi penjilat." ujar Aline sambil manyun.
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di airport, dan segera check in. Setelah melakukan serangkaian pengecekan dibagian imigrasi, mereka segera boarding karena sebentar lagi pesawat yang mereka tumpangi akan take off.
Setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih dua jam lima belas menit, mereka tiba di Singapore. Kemudian Austin membawa keluarganya ke hotel dimana ia akan meeting dengan rekan bisnisnya.
Sore harinya
" Mi, Alin ke toilet dulu ya." ucap Aline, ia sekarang sudah berada di Changi Airport karena beberapa saat lagi pesawatnya ke Jerman segera take off.
" Astaga sayang, kenapa tidak dari tadi." Nisa melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
" Aduh, kebelet mi." Aline sudah berlari menuju toilet yang berada di VIP Lounge tersebut.
Beberapa saat kemudian tampak Aline keluar dari toilet dengan perasaan lega, lalu dengan langkah cepat ia menuju dimana orang tuanya sudah menunggu.
Brukkkk
" Aaakkhhh." Teriak Aline, sepertinya ia terpeleset karena tidak melihat tanda peringatan kalau lantai sedang basah.
Beruntung ada seseorang yang segera menangkapnya, sehingga ia tidak sempat terjerembab ke lantai.
Aline terpaku melihat pria yang sedang memeluk pinggangnya itu. Ini adalah pelukan pertama dari seorang laki - laki selain ayahnya, hingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Begitu juga dengan pria tersebut, ia tampak menatap Aline. Tatapan mereka terkunci beberapa saat, laki - laki itu merasakan hatinya berdesir ketika menatap mata polos Aline. Setelah mendengar seorang wanita yang berteriak, baru laki - laki itu melepas pelukannya.
" Hei bocah, kalau jalan pakai mata." sentak seorang wanita cantik dengan dandanan menornya.
" Ya ampun ini ondel - ondel kenapa bisa nyasar kemari." gumam Aline menatap wanita tersebut.
" Maaf aunty, eh kak. saya sedang terburu buru." sahut Aline.
Lalu Aline menatap pria yang sudah menolongnya tadi, ia tersenyum dengan manis. " Terima kasih tuan." ucap Aline kemudian ia berlalu pergi.
" Hei jangan kabur kamu." teriak wanita itu.
" Sudahlah sayang jangan diperpanjang, lagipula dia masih anak - anak." ujar pria itu, dia adalah Dannis Bryan, laki - laki berumur dua puluh delapan tahun. Pengusaha sukses dan berkebangsaan Jerman, tetapi mendiang ibunya adalah asli orang indonesia.
" Tapi aku tidak suka kamu memeluknya didepanku." ujar wanita itu yang bernama Isabel. Ia adalah teman kencan Dannis.
" Astaga sayang. Bukannya aku sering memeluk banyak wanita, buat apa kamu mempersalahkannya." ujar Dannis.
" Dia sengaja menggodamu, sok tersenyum manis di depanmu."
" Dia masih kecil sayang, mana mungkin aku tertarik padanya. Aku yakin dia tidak sehebat kamu di ranjang." bisik Dannis tepat di telinga Isabel. Hingga membuat wanita itu tampak bergidik.
" Baiklah tuan Dannis Bryan, aku akan segera memuaskanmu nanti." ucap isabel seraya menggandeng Dannis meninggalkan tempat tersebut.
Beberapa saat kemudian, pesawat yang Aline tumpangi sudah lepas landas menuju Berlin, ibukota Jerman. Dimana ia akan menghabiskan waktunya beberapa tahun untuk kuliah disana.
Jerman bukanlah negara asing baginya, sejak kecil ia sering berlibur dengan keluarganya. Bahkan banyak orang Indonesia yang tinggal disana, termasuk para pelajar. Ia berharap akan menemukan banyak teman yang tulus seperti Dewa.
☆☆
Siang itu disebuah apartemen mewah di Singapore. Tampak seorang pria sedang duduk di balkon sambil mengisap sebatang rokok di tangannya, pandangannya kosong menatap puncak gedung - gedung yang berdiri kokoh di depannya.
" Gadis kecil itu, kenapa matanya begitu polos." Gumam Dannis ketika mengingat tatapan mata Aline dan lagi - lagi hatinya terasa berdesir.
Baru kali ini ia memikirkan seorang wanita terutama seorang Gadis kecil, tapi sepertinya ia menyukai mata polos itu. Menurutnya matanya itu seperti magnet ketika menatapnya terasa enggan untuk berpaling.
" Sayang." seru Isabel, sehingga membuyarkan lamunannya.
Setelah percintaan panasnya dengan Dannis tadi, isabel langsung membersihkan dirinya. Kini wanita itu hanya memakai bathrobe yang panjangnya diatas lutut.
" Sayang kenapa kamu tidak memakai bajumu, kamu mau menggodaku lagi. Hmm." ujar Dannis seraya menarik tubuh wanita itu kepangkuannya.
Begitulah seorang Dannis, dalam hidupnya ia tidak mau menjalin hubungan dengan siapapun. Ia pernah sekali jatuh cinta dengan seorang wanita, tetapi kekasihnya itu pergi meninggalkannya tanpa ia ketahui penyebabnya.
Sejak saat itu ia menganggap wanita hanya lah pemuas nafsunya. Karena ketampanan dan kekayaan yang ia miliki, jadi banyak wanita cantik yang rela menjadi teman tidurnya meski hanya sesaat.
" Kapan kamu akan kembali ke Jerman ?" tanya isabel, ia masih berada di pangkuan Dannis.
" Beberapa hari lagi, setelah urusanku disini selesai."
" Kapan kamu akan mengajakku kesana, aku lelah menjadi simpanan kamu disini." kali ini isabel beranjak dari pangkuan Dannis dan duduk di kursi yang ada di hadapannya.
" Sayang jangan berharap lebih dariku, kamu cukup membuatku senang dan aku akan memberikan semua yang kamu mau." Dannis tampak mengisap rokoknya lagi.
"Baiklah tuan Dannis." sahut wanita itu kemudian ia mengambil sebatang rokok dan mengisapnya.
" Aku harus bersiap, meeting sebentar lagi dimulai." ucap Dannis ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian beranjak pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!