NovelToon NovelToon

The Stoicisme

Chapter 1

Ruang BK selalu memiliki atmosfer yang khas—terisolasi dari hiruk-pikuk kelas, sunyi, tetapi penuh ketegangan yang mengendap di udara. Naruto duduk dengan postur santai, satu kaki menyilang di atas yang lain, sementara Hiratsuka -sensei berdiri di dekat jendela, menatap ke luar sejenak sebelum akhirnya berbalik menghadapnya.

Di atas meja, esai Naruto terbuka, penuh dengan tinta merah. Namun, bukan karena kesalahan teknis, melainkan komentar-komentar panjang yang lebih mirip peringatan ketimbang koreksi.

"Kau membuatku pusing, Uzumaki."

Hiratsuka -sensei menghela napas, mengangkat kertas itu dan melambai-lambaikannya sedikit. "Aku sudah membaca esaimu tiga kali. Dan aku masih tidak tahu apakah seharusnya aku memberimu nilai sempurna atau memanggil wali kelasmu untuk membahas isi kepalamu."

Naruto tidak merespons langsung. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menunggu kalimat berikutnya.

Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:

"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."

Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"

Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."

Hiratsuka tertawa kecil, meskipun ada nada frustasi di dalamnya. "Kau baru berapa? Enam belas? Tujuh belas? Dan kau sudah berbicara seperti seorang filsuf tua yang telah melihat dunia terlalu lama."

Naruto mengangkat bahu. "Usia tidak selalu menentukan kedewasaan berpikir, Sensei."

Hiratsuka menatapnya lama, sebelum akhirnya berjalan menuju kursinya, duduk dengan sikap yang lebih rileks. Dia menyandarkan punggungnya, menyilangkan tangan di dada.

"Dengar, Uzumaki, aku tidak akan menyangkal bahwa pemikiranmu menarik. Bahkan, aku harus mengakui kalau beberapa bagian esaimu lebih dalam daripada kebanyakan tulisan anak-anak seusiamu. Tapi…" Dia mengetuk kertas itu pelan. "Pemikiran seperti ini bisa membuat orang lain melihatmu sebagai seseorang yang terlalu dingin, terlalu lepas dari realitas sosial."

Naruto menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Jika mereka menilai sesuatu tanpa mencoba memahaminya, apakah itu masih menjadi masalahku?"

Hiratsuka tersenyum miring. "Itulah masalahnya. Kau tidak peduli dengan bagaimana dunia menilaimu."

Naruto diam sebentar, lalu menoleh kembali ke gurunya. "Apakah saya seharusnya peduli?"

Hening sesaat.

Hiratsuka akhirnya menghela napas panjang. "Tidak sepenuhnya. Tapi kau juga tidak hidup dalam ruang hampa, Naruto. Kau mungkin bisa mengendalikan bagaimana kau bereaksi terhadap dunia, tapi dunia tetap akan meresponsmu dengan caranya sendiri."

Naruto berpikir sejenak. "Jadi menurut Sensei, saya harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain?"

"Tidak, bukan begitu." Hiratsuka mengetuk meja dengan jarinya, seolah mencari cara terbaik untuk menjelaskan. "Aku hanya ingin kau menyadari bahwa pemikiran seperti ini bisa menempatkanmu dalam posisi yang sulit, terutama dalam interaksi sosial."

Naruto tersenyum kecil. "Saya sudah terbiasa dengan itu."

Hiratsuka menghela napas lagi, lebih panjang kali ini. Dia lalu berdiri, merapikan tumpukan kertas di mejanya. "Aku tidak akan meminta kau mengubah cara berpikirmu, Uzumaki. Tapi aku ingin kau setidaknya memahami bahwa ada cara untuk menjalani prinsipmu tanpa harus menjauh dari dunia."

Naruto bangkit dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku. "Saya selalu memahami dunia, Sensei. Saya hanya memilih untuk tidak terlalu bergantung padanya."

Hiratsuka menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Terserah kau. Tapi jangan kaget kalau suatu hari nanti, dunia ini menantangmu lebih dari yang kau perkirakan."

Naruto hanya tersenyum tipis sebelum melangkah keluar ruangan, meninggalkan Hiratsuka -sensei dengan esainya yang masih terbuka di meja.

Dan untuk pertama kalinya, guru itu bertanya-tanya apakah ia baru saja berbicara dengan muridnya… atau dengan seseorang yang telah memahami dunia lebih baik darinya.

Saat Naruto hampir mencapai pintu, tangan Hiratsuka refleks meraih pena di meja, mengetuknya pelan ke permukaan kayu. Pikirannya masih terpaku pada diskusi mereka barusan.

Tiga murid.

Semuanya kaku.

Semuanya punya cara unik dalam memahami dunia.

Dan semuanya… terlalu sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Hikigaya Hachiman.

Pesimistik, sinis, dan terlalu tajam dalam menilai manusia.

Yukinoshita Yukino.

Perfeksionis, dingin, dan memiliki ekspektasi terlalu tinggi terhadap dunia.

Yuigahama Yui.

Ceria, tapi kurang mampu menyuarakan isi hatinya dengan jelas.

Lalu… Naruto Uzumaki.

Seorang pemikir stoik, tetapi dengan sentuhan optimisme yang unik.

Hiratsuka membayangkan keempatnya dalam satu ruangan.

—Hachiman akan mencibir dan mengatakan sesuatu tentang "usaha tidak selalu membuahkan hasil."

—Yukino akan melipat tangannya dan membantah setiap pandangan yang tidak sesuai dengan prinsipnya.

—Yui mungkin akan berusaha mencairkan suasana, tapi tetap saja kesulitan.

—Dan Naruto…

Naruto mungkin akan mendengarkan dengan tenang, lalu merespons dengan sudut pandang yang membingungkan mereka semua.

Tapi itu bukan hal buruk.

Bahkan, jika ada seseorang yang bisa memberikan perspektif yang cukup berbeda untuk memecah kebuntuan di klub itu… bukankah itu dia?

Dia bisa membayangkan interaksi pertama mereka:

Hachiman dan Yukino akan mempertanyakan eksistensinya di klub.

Naruto hanya akan mengangkat bahu dan berkata, "Sensei menyuruhku ke sini. Aku hanya menjalani hidup."

Hiratsuka menyeringai kecil.

Akan jadi apa klub itu kalau Naruto bergabung?

Akan jadi kacau? Atau justru berkembang dengan cara yang tidak terduga?

Mungkin ini bukan hanya tentang membantu Naruto.

Mungkin ini juga tentang membantu yang lain—dan klub itu sendiri.

Dengan pemikiran itu, dia akhirnya bersuara.

"Tunggu sebentar, Naruto."

Naruto berhenti, menoleh dengan ekspresi datarnya.

Hiratsuka menyilangkan tangan. "Aku punya ide. Kau tertarik bergabung dengan sebuah klub?"

Naruto berhenti tepat di depan pintu, menoleh sedikit ke belakang. Matanya yang biasanya tenang kini menatap Hiratsuka dengan rasa ingin tahu samar.

"Klub?" suaranya terdengar datar, seolah hanya mengulang kata itu untuk memastikan.

Hiratsuka mengangguk, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi serius. "Ya. Klub Relawan. Isinya tidak banyak, hanya tiga orang. Tapi, aku ingin melihat sesuatu."

Naruto tetap diam, menunggu kelanjutannya.

Hiratsuka menghela napas pelan, menatap Naruto dengan penuh pertimbangan. "Kau bicara banyak soal prinsip. Bagaimana manusia tidak perlu mengejar kebahagiaan. Bagaimana kita harus menerima dunia sebagaimana adanya. Dan bagaimana kau, dalam semua itu, tetap bisa berjalan tanpa terpengaruh."

Dia mengetukkan jarinya ke meja, ekspresinya sedikit mengeras. "Tapi sejauh mana prinsip itu bisa diterapkan dalam kehidupan nyata? Apakah itu hanya berguna untukmu sendiri, atau bisa juga membantu orang lain?"

Naruto menatapnya sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Jika prinsip itu hanya bekerja untukku, apakah itu masalah?"

Hiratsuka tersenyum miring. "Itu berarti kau tidak lebih baik dari orang-orang yang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Kau mungkin tidak egois, tapi kau juga tidak berarti bagi siapa pun."

Naruto terdiam.

Hiratsuka melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih dalam. "Aku ingin kau membuktikan sesuatu. Jika prinsip yang kau pegang memang sekuat yang kau katakan, maka kau harus bisa bertahan di dalam klub itu. Kau harus bisa berinteraksi, menghadapi orang-orang dengan masalahnya sendiri. Dan lebih dari itu—apakah prinsipmu bisa membantu mereka? Apakah itu masih relevan di tengah masyarakat?"

Dia menatap Naruto dengan intens, seolah ingin memastikan kata-katanya benar-benar masuk ke dalam pikirannya. "Ini ujian. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk ideologi yang kau pegang."

Naruto akhirnya menghela napas pelan, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Matanya masih menunjukkan ketenangan, tapi ada sedikit kilatan dalam tatapannya.

"Menarik."

Hiratsuka menaikkan satu alis. "Jadi kau akan mencobanya?"

Naruto tersenyum kecil. "Tidak ada salahnya melihat bagaimana dunia bereaksi terhadap prinsip yang kupegang."

Hiratsuka tersenyum puas. "Bagus. Klub itu ada di ruang kelas kosong di lantai dua. Datanglah setelah sekolah."

Naruto mengangguk, lalu membuka pintu, melangkah keluar tanpa banyak kata lagi.

Hiratsuka memperhatikannya hingga dia menghilang di balik pintu, lalu menyandarkan kepalanya ke kursi sambil menghela napas.

"Sekarang kita lihat… apakah si bocah stoik ini bisa bertahan di tengah kekacauan itu."

Naruto melangkah menyusuri koridor sekolah dengan tenang, tanpa terburu-buru, menuju ruang klub yang disebutkan oleh Hiratsuka-sensei. Cahaya matahari sore menerobos jendela, menyorot ke lantai dengan bias keemasan. Hiruk-pikuk siswa yang masih berada di sekolah mulai mereda, hanya menyisakan beberapa suara percakapan samar dan langkah kaki yang menggema di sepanjang lorong.

Setibanya di depan pintu, Naruto berhenti sejenak. Suasana di dalam ruangan terasa sunyi, seakan waktu berjalan lebih lambat di sana. Dia mengetuk sekali sebelum mendorong pintu terbuka.

Begitu pintu terbuka, tiga pasang mata langsung tertuju padanya.

Di ujung meja panjang, seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang jatuh dengan sempurna ke pundaknya menatapnya dengan ekspresi tajam dan penuh evaluasi. Matanya biru seperti kristal es yang memantulkan ketidakpedulian. Yukinoshita Yukino.

Di seberangnya, seorang pemuda dengan rambut hitam acak-acakan, duduk dengan sikap malas, lengan bersedekap dan tatapan kosong. Seolah kehadiran Naruto hanyalah satu lagi gangguan dalam hidupnya yang sudah cukup melelahkan. Hikigaya Hachiman.

Dan yang terakhir, seorang gadis dengan rambut jingga terang yang dikuncir setengah. Mata cokelatnya membulat sedikit, menunjukkan kejutan sekaligus rasa penasaran. Yuigahama Yui.

Suasana di dalam ruangan mendadak berubah menjadi canggung. Tidak ada yang langsung berbicara, seolah kedatangan Naruto bukanlah hal yang mereka antisipasi.

Yukino akhirnya membuka suara pertama. "Ada keperluan apa kau di sini?"

Nada suaranya datar, nyaris dingin. Jelas bahwa dia bukan tipe yang menyambut orang asing dengan hangat.

Naruto tidak langsung menjawab. Dia menutup pintu di belakangnya dengan pelan, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Matanya yang tajam menelusuri ruangan sebentar sebelum akhirnya kembali menatap Yukino.

"Hiratsuka-sensei menyuruhku bergabung. Katanya ini ujian."

Sekali lagi, keheningan menyelimuti ruangan.

Hachiman adalah orang pertama yang bereaksi, mendecih pelan sambil menggelengkan kepala. "Sensei benar-benar asal dalam mengambil keputusan," gumamnya sinis. "Apa dia pikir klub ini eksperimen sosial atau semacamnya?"

Sementara itu, Yuigahama justru bereaksi sebaliknya. Matanya berbinar, dan dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Serius? Jadi sekarang kita punya anggota baru?"

Naruto meliriknya sebentar sebelum kembali menatap Yukino, yang masih diam, memandangnya seakan sedang menimbang sesuatu.

"Aku tidak keberatan berada di sini, selama kalian tidak menggangguku terlalu banyak," lanjut Naruto, suaranya tetap tenang.

Yukino menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah sedang membaca Naruto lebih dalam.

Akhirnya, dia menghela napas kecil. "Kalau begitu, kita lihat saja apakah kau benar-benar berguna atau hanya membuang waktuku."

Naruto tetap diam, tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu. Dia hanya mengangkat bahu sedikit. "Itu juga bagian dari ujiannya, bukan?"

Di sisi lain, Hachiman menatap Naruto dengan ekspresi skeptis. "Aku penasaran, seberapa lama kau akan bertahan di sini."

Naruto menoleh ke arahnya, matanya tetap netral, lalu mengangkat alis sedikit sebelum menjawab dengan nada santai, "Itu tergantung. Apakah klub ini cukup menarik untuk membuatku tetap tinggal?"

Hachiman hanya menghela napas, mengalihkan tatapannya ke jendela seolah percakapan ini sudah cukup membuang energinya. "Yah, semoga kau tidak menyesal."

Di sisi lain, Yuigahama tampak lebih bersemangat. "Aah, aku senang klub kita bertambah anggota! Selamat datang, Naruto!"

Untuk pertama kalinya sejak dia memasuki ruangan ini, Naruto melihat seseorang yang tampak benar-benar menerima keberadaannya tanpa pertanyaan atau keraguan. Dia menatap Yuigahama sejenak sebelum akhirnya mengangguk ringan.

"Ya. Terima kasih."

Meskipun percakapan sudah selesai, suasana di dalam ruangan masih terasa agak kaku. Tiga orang dengan kepribadian yang begitu berbeda kini harus berbagi ruang dan tujuan yang sama.

Naruto menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap ke luar jendela.

Hiratsuka-sensei menyebut ini sebagai ujian.

Tapi kini, dia mulai bertanya-tanya—apakah yang benar-benar diuji adalah dirinya? Ataukah orang-orang di dalam ruangan ini?

Suasana di ruang klub masih terasa canggung setelah Naruto memperkenalkan dirinya sebagai anggota baru. Udara sore yang masuk melalui jendela terbuka sedikit membantu mengurangi ketegangan, tapi tak cukup untuk mengusir keheningan yang menggantung.

Yuigahama adalah yang pertama memecah keheningan. Dia menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat ke meja, lalu bertanya pada Naruto dengan suara penuh rasa ingin tahu, "Eeh, tapi kenapa sih Hiratsuka-sensei tiba-tiba ngasih ujian buat masuk klub ini?"

Naruto meliriknya sebentar, lalu mengangkat bahu. "Sensei ingin tahu apakah prinsip hidupku bisa berguna untuk orang lain atau hanya untuk kepuasan diriku sendiri."

Jawabannya singkat, tapi memiliki bobot yang cukup berat.

Hachiman, yang sejak tadi bersandar malas di kursinya, menghela napas kecil sebelum menyeringai sinis. "Hah... jadi kau semacam eksperimen sosial sekarang?"

Nada bicaranya jelas mencibir. "Menarik juga. Kita lihat saja apakah filosofi besar hidupmu itu bisa menyelamatkan orang-orang di dunia nyata, atau cuma jadi alasan agar kau terlihat keren sendiri."

Yukino menambahkan dengan nada datarnya yang khas. "Kalau itu memang alasanmu, maka aku ragu kau akan bertahan lama di sini."

Naruto menoleh padanya. Mata gadis itu tetap dingin, penuh penilaian, seakan dia sudah bisa melihat hasil dari ujian ini sebelum semuanya dimulai.

"Prinsip yang hanya berfungsi untuk diri sendiri tidak lebih dari sekadar ilusi. Jika kau percaya sesuatu hanya karena itu cocok dengan hidupmu sendiri, maka itu tidak ada bedanya dengan sekadar egoisme."

Kata-kata Yukino seakan menyudutkan Naruto. Tapi dia tetap tenang. Tidak ada perubahan dalam ekspresinya, tidak ada tanda bahwa dia tersinggung atau terpancing.

Sementara itu, Yuigahama menggigit bibirnya pelan. Dia menoleh ke arah Naruto, lalu ke Yukino dan Hachiman, terlihat sedikit gelisah. Seakan dia ingin membela Naruto, tapi tidak tahu harus mengatakan apa.

Setelah beberapa detik keheningan, Naruto akhirnya menjawab.

"Kalau begitu, mari kita lihat apakah aku memang egois atau tidak."

Nada suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit tantangan di dalamnya.

Yukino hanya mendesah kecil, lalu kembali menatap tumpukan kertas di depannya, seolah diskusi ini sudah selesai baginya.

Hachiman mendecih lagi. "Heh, sepertinya ini akan menarik."

Sementara Yuigahama, meskipun masih terlihat ragu, akhirnya mengangkat kepalan tangannya dengan semangat. "Ayo lakukan yang terbaik bersama, Naruto!"

Naruto menoleh ke arahnya, lalu mengangguk ringan. "Ya, aku akan mencobanya."

Meski baru saja bergabung, dia sudah mendapat tantangan langsung dari dua anggota klub ini.

Tapi bukankah itu yang diinginkan oleh Hiratsuka-sensei? Sebuah ujian yang nyata.

Naruto menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap mereka satu per satu.

Ujian ini baru saja dimulai.

Chapter 2

Beberapa hari telah berlalu sejak Naruto bergabung dengan Klub Relawan. Awalnya, kehadirannya membawa sedikit kegelisahan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi anggota klub lainnya. Tapi seiring waktu, semuanya mulai terasa… natural.

Kehadiran Naruto tidak terlalu mencolok, tapi juga tidak menghilang begitu saja. Dia mengamati, memahami ritme yang ada di dalam ruangan itu, lalu menyesuaikan diri tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Hening yang tenang.

Terkadang dipecah oleh suara Yuigahama yang ceria, bercanda dengan Yukino meskipun sering kali yang ia dapatkan hanya balasan datar.

Hikigaya, seperti biasa, tenggelam dalam bukunya.

Naruto menyukai suasana ini. Tidak ada tekanan untuk berbicara jika dia tidak ingin, tapi juga tidak ada ketegangan yang membebani.

Namun, ketenangan itu terusik ketika suara ketukan terdengar dari luar pintu. Semua kepala langsung menoleh ke sumber suara.

Naruto mengamati ekspresi masing-masing orang di ruangan itu. Yukino tetap tenang seperti biasa, Hachiman hanya melirik sekilas sebelum kembali membaca bukunya, sementara Yuigahama sedikit menegang—tapi juga tampak penasaran.

Yukino akhirnya yang pertama berbicara. "Masuk."

Pintu terbuka perlahan, dan seorang gadis dengan ekspresi ragu melangkah masuk. Rambutnya diikat ekor kuda, dan dia memegang map di tangannya—terlihat jelas bahwa dia datang ke sini bukan tanpa alasan.

"E-eto… aku ingin meminta bantuan dari Klub Relawan."

Matanya sedikit berkedip, menatap satu per satu orang di dalam ruangan, sebelum akhirnya jatuh pada Yukino.

Naruto memperhatikan. Bukan hanya permintaan itu yang menarik perhatiannya, tapi juga ekspresi si gadis—ada sedikit keraguan, tapi juga keinginan yang kuat untuk menyelesaikan sesuatu.

Quest pertama sejak dia bergabung dengan klub akhirnya dimulai.

Yukino menatap gadis yang baru saja masuk dengan ekspresi datarnya yang biasa. Tak ada perubahan dalam nada suaranya saat dia langsung mengklarifikasi, "Sebelum kami bisa membantu, kami perlu memahami situasinya dengan jelas. Bisa jelaskan apa masalah yang sedang kau hadapi?"

Gadis itu tampak sedikit ragu, tapi kemudian menarik napas dan mengangguk.

"Namaku Hayasaka Aoi, aku dari kelas 2-B."

Matanya beralih ke map yang dibawanya, seolah mencari keberanian dari dalam sana sebelum akhirnya dia melanjutkan.

"Aku… belakangan ini menerima beberapa ancaman dari seseorang yang tidak kukenal. Awalnya hanya pesan di loker, tapi sekarang mulai ada pesan di ponselku, bahkan di media sosial. Aku tidak tahu siapa yang mengirimnya, tapi kata-kata mereka semakin kasar dan menyeramkan. Aku tidak bisa melaporkannya ke guru karena… tidak ada bukti kuat. Jadi aku datang ke sini."

Ruangan kembali hening sejenak.

Naruto menyipitkan mata, menyerap informasi yang baru saja diucapkan. Yuigahama menoleh ke arah Yukino dengan ekspresi khawatir, sementara Hikigaya hanya menghela napas kecil, seolah sudah menduga sesuatu seperti ini akan terjadi.

"Apakah ada pola dalam pesan-pesan itu?" Naruto akhirnya angkat bicara.

Hayasaka sedikit terkejut dengan pertanyaannya, tapi kemudian menggeleng. "Tidak ada pola yang jelas, tapi… mereka sepertinya tahu ke mana aku pergi setiap hari. Itu yang membuatku takut."

Kali ini, bahkan Hachiman mengangkat alisnya sedikit. "Stalker, huh? Itu merepotkan."

Yukino menyandarkan tubuhnya ke kursinya, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menatap Hayasaka lagi.

"Kami akan menyelidiki ini. Tapi sebelum itu, kami perlu tahu apakah ada seseorang yang mencurigakan di sekitarmu—seseorang yang mungkin memiliki dendam padamu, atau mungkin terlalu terobsesi denganmu."

Hayasaka menggigit bibirnya. "Aku… tidak yakin. Tapi aku memang menolak pengakuan seseorang belum lama ini. Mungkinkah itu ada hubungannya?"

Naruto dan Hikigaya saling bertukar pandang sekilas.

"Mungkin."

Kasus ini tampak lebih rumit dari yang terlihat di permukaan.

Tapi inilah yang dimaksud dengan ujian, bukan? Sebuah tantangan yang akan menguji apakah prinsip yang dipegang Naruto benar-benar bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.

"A-ah! Aku baru sadar, Hayasaka-san itu sekelas sama aku dan Hikki!"

Yuigahama mengangkat tangannya seakan baru menemukan sesuatu yang mengejutkan. Wajahnya dipenuhi ekspresi kaget dan sedikit malu karena baru menyadarinya sekarang.

Yukino menoleh ke arahnya dan langsung mencibir, "Tentu saja. Kalau Hikigaya memiliki sedikit kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya, mungkin dia juga akan sadar lebih cepat."

Hikigaya menghela napas dalam, lalu menatap Yuigahama dengan ekspresi lelah. "Aku tidak punya kewajiban untuk mengingat semua orang di kelasku. Aku hanya perlu tahu siapa yang tidak akan merepotkanku."

Yukino hanya mendengus kecil, sementara Yuigahama menggembungkan pipinya, merasa tidak puas dengan jawaban Hachiman.

Naruto, di sisi lain, tetap diam. Dia hanya duduk di tempatnya, matanya memperhatikan interaksi ketiganya tanpa ekspresi yang jelas. Dia lebih tertarik melihat bagaimana mereka mulai berspekulasi tentang kemungkinan tersangka.

Hachiman menyandarkan tubuhnya ke kursinya, ekspresinya malas seperti biasa. "Kalau dia sekelas denganku, aku bisa mengamati siapa saja yang mencurigakan. Tapi tetap saja, ini lebih terdengar seperti kasus seorang stalker yang pintar menyembunyikan jejak."

Yukino mengangguk, "Itu kemungkinan terbesar untuk saat ini. Tapi sebelum kita mengambil kesimpulan lebih jauh, kita perlu melihat bukti yang lebih konkret."

Hayasaka mengangguk, membuka mapnya dan memperlihatkan beberapa kertas berisi cetakan pesan ancaman yang ia terima.

Naruto akhirnya angkat suara, "Kalau pelakunya benar-benar sekelas denganmu, maka kemungkinan besar dia akan menunjukkan sesuatu dalam ekspresi atau tindakannya. Kita hanya perlu memancingnya."

Yukino dan Hachiman menoleh ke arah Naruto, terdiam sejenak sebelum akhirnya Yukino menyipitkan matanya. "Jadi, kau ingin menguji bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi?"

Naruto mengangguk. "Kita bisa melihat siapa yang bereaksi berlebihan atau justru terlalu tenang. Biasanya, orang yang bersalah akan menunjukkan sesuatu tanpa mereka sadari."

Yuigahama bertepuk tangan kecil. "Wah! Naruto, kamu kayak detektif gitu!"

Hikigaya mendengus kecil. "Atau dia cuma sok dramatis saja."

Naruto tidak menanggapi komentar itu. Matanya tetap tertuju pada Hayasaka yang masih terlihat cemas.

"Untuk saat ini, kita perlu strategi. Sesuatu yang bisa membuat pelakunya keluar dari bayang-bayangnya," ujar Naruto.

Yukino melipat tangannya dan berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Kita akan mulai dari pengamatan di kelas. Jika ada yang menunjukkan perilaku mencurigakan, kita akan mempersempit daftar tersangka."

Hayasaka menatap mereka dengan campuran perasaan khawatir dan lega. Akhirnya, ada seseorang yang mau membantunya.

Naruto menerima map dari Hayasaka dengan ekspresi tenang, matanya meneliti isinya sekilas sebelum menutupnya kembali.

"Biar aku yang pegang ini."

Yukino meliriknya sebentar sebelum mengalihkan perhatiannya kembali pada Hachiman dan Yuigahama. "Karena Hayasaka-san berasal dari kelas 2-B, tugas pengamatan di kelasnya akan lebih efektif jika dilakukan oleh orang yang juga berasal dari sana."

Hachiman menghela napas panjang, tampak enggan terlibat lebih jauh. "Jadi aku dipaksa ikut, huh?"

Yuigahama, yang berdiri di sebelahnya, tersenyum canggung. "Yaah, setidaknya kita bisa membantu Hayasaka-san."

Chapter 3

"Hanya observasi, bukan konfrontasi," tambah Yukino, memastikan semuanya paham tugas masing-masing. "Kalian hanya perlu mencatat siapa saja yang menunjukkan tanda-tanda mencurigakan di sekitar Hayasaka-san."

Di saat perhatian mereka teralihkan ke pembagian tugas, Naruto tetap diam, menggenggam map itu seolah itu hanya tugas biasa. Namun, sebenarnya dia memiliki rencana lain.

Sejak awal, dia tahu bahwa sekadar mengamati tidak akan cukup. Jika pelakunya cukup pintar untuk menghindari kecurigaan selama ini, maka tidak akan mudah untuk menemukan petunjuk hanya dengan menatap mereka dari jauh.

Naruto punya cara yang berbeda.

Saat diskusi selesai dan semua beranjak untuk pulang, dia dengan tenang memasukkan map itu ke dalam tasnya.

"Kalau begitu, aku juga akan bergerak sendiri," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.

Dengan memegang bukti utama, dia punya alasan untuk bertemu orang-orang di luar kelompok mereka. Berbeda dengan Hachiman dan Yuigahama yang harus bertindak diam-diam di kelas, Naruto bisa menyelidiki jejak lain—mungkin mencari seseorang yang bisa memberi informasi di luar lingkup sekolah.

Karena terkadang, jawaban tidak selalu ada di tempat yang paling jelas.

Dan Naruto siap menyusuri jalur yang lebih gelap untuk menemukannya.

Keesokan harinya, Naruto mengetuk pintu ruang guru sebelum melangkah masuk. Ruangan itu masih cukup sepi, hanya ada beberapa guru yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Salah satunya adalah Hiratsuka Shizuka, yang tengah menyeruput kopi dengan ekspresi bosan.

Hiratsuka menoleh dan mengangkat alis saat melihat Naruto berjalan ke arahnya dengan langkah santai. "Kau? Pagi-pagi sudah ke sini? Jangan bilang kau bikin masalah."

Naruto hanya tersenyum tipis sebelum menarik kursi dan duduk di depannya. "Sensei, aku butuh bantuan."

Hiratsuka mendecakkan lidahnya. "Tentu saja. Sudah kuduga."

Naruto menyandarkan tubuhnya dan langsung menuju ke inti pembicaraan. "Aku butuh semua esai yang dikerjakan oleh siswa kelas 2-B."

Hiratsuka terdiam sejenak, alisnya berkerut. "Hah? Untuk apa?"

Naruto menatapnya dengan ekspresi serius. "Ini bagian dari pekerjaan sebagai anggota klub relawan. Salah satu siswa dari kelas 2-B datang meminta bantuan. Dia menerima ancaman dari seseorang yang tidak dikenal, dan aku perlu mencari petunjuk."

Hiratsuka meletakkan cangkir kopinya dan bersandar di kursinya. "Dan kau berpikir jawabannya ada di dalam esai mereka?"

"Seseorang yang cukup terobsesi untuk mengancam orang lain pasti meninggalkan jejak," ujar Naruto sambil menatap lurus ke arah senseinya. "Mungkin di antara tulisan mereka ada pola tertentu, atau ada seseorang yang secara tidak langsung mengungkapkan pikirannya lewat esai itu."

Hiratsuka menghela napas. "Aku mengerti pemikiranmu, tapi memberikan dokumen akademik siswa begitu saja bukan hal yang bisa kulakukan sembarangan, Naruto."

Naruto menatapnya dengan mata tenang namun tajam. "Sensei ingin mengujiku, kan? Ingin tahu apakah prinsip yang kupegang bisa berguna bagi orang lain atau hanya untuk diriku sendiri. Ini kesempatan untuk membuktikannya."

Hiratsuka menatapnya lama, lalu tersenyum kecil sambil menghela napas. "Kau benar-benar tahu cara menekan orang tua sepertiku, ya."

Dia meraih sebuah map tebal dari rak di belakang mejanya, lalu meletakkannya di depan Naruto. "Aku akan pura-pura tidak melihat kalau map ini berpindah tempat. Tapi jangan sampai aku menyesal sudah memberikannya padamu."

Naruto mengambil map itu dan mengangguk kecil. "Aku tidak akan mengecewakanmu, Sensei."

Saat dia berdiri untuk pergi, Hiratsuka kembali bersuara. "Naruto."

Naruto menoleh.

"Jangan bertindak gegabah. Ingat, kita tidak sedang berada dalam cerita detektif di mana semuanya bisa berjalan sempurna. Kalau kau menemukan sesuatu yang mencurigakan, pastikan kau tidak bertindak sendirian."

Naruto hanya tersenyum tipis. "Aku akan mempertimbangkannya."

Namun, dalam pikirannya, dia sudah tahu—dia tidak bisa menjanjikan hal itu. Karena ada beberapa hal yang hanya bisa dilakukan seorang diri.

Langit yang Terlalu Indah untuk Dimiliki

Perpustakaan sekolah begitu sunyi, hanya suara lembut lembaran kertas yang dibalik dan sesekali langkah kaki yang samar terdengar di antara rak-rak buku. Sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela besar, menciptakan bayangan panjang di meja tempat Naruto duduk.

Di hadapannya, tumpukan esai siswa kelas 2-B berjejer rapi. Dia sudah membaca hampir semuanya, namun sejauh ini tidak ada yang cocok dengan tulisan dalam map yang diberikan oleh Hayasaka Aoi.

Naruto menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya di kursi. Matanya menatap kosong pada kertas-kertas itu, berpikir keras. Pelaku ini tidak ceroboh. Dia tahu bagaimana menyamarkan jejaknya.

Jika pola tulisannya tidak dapat ditemukan, maka dia harus mencari cara lain.

Dia menutup matanya sejenak, mencoba mengingat sesuatu. Kata-kata Hayasaka masih terngiang di kepalanya—tentang langit. Tentang seseorang yang selalu mengamati dan menghubungkan segala sesuatu dengan langit.

Naruto membuka matanya kembali. Dia mengubah pendekatan. Bukan pola tulisan, tetapi kata kunci.

Tangannya bergerak cepat, membalik halaman demi halaman, hanya mencari satu kata:

Langit.

Lembar demi lembar berlalu tanpa hasil, sampai akhirnya…

"Langit itu indah, dan aku ingin memilikinya selamanya. Untukku seorang."

Naruto membeku. Ada sesuatu yang menggelitik pikirannya. Perlahan, dia melirik ke bawah.

Nama penulisnya: Yamato.

"Bingo."

Tatapannya menajam. Ini bukan sekadar ungkapan biasa. Kalimat ini mengandung keinginan, obsesi, bahkan mungkin klaim atas sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki.

Naruto menarik napas dalam, membaca ulang kalimat itu. Sekarang semuanya mulai masuk akal. Ancaman anonim yang diterima Hayasaka bukan hanya sebuah kebetulan. Ada seseorang di luar sana yang merasa dirinya cukup ‘memiliki’ hak untuk mengontrol seseorang.

Dia menutup esai itu perlahan, lalu merapikan dokumen lainnya. Ada sesuatu yang terasa dingin menjalar di punggungnya—bukan ketakutan, melainkan kesadaran akan realitas yang lebih gelap dari yang ia perkirakan.

Langkah berikutnya sudah jelas.

Dengan tenang, Naruto mengambil tumpukan esai dan berjalan keluar dari perpustakaan. Tujuannya satu—ruang guru.

Saat Naruto tiba di ruang guru, Hiratsuka Shizuka sedang duduk di mejanya, terlihat sibuk menandatangani beberapa dokumen. Dia mengangkat alis saat melihat Naruto masuk dengan ekspresi serius.

“Sudah selesai?” tanyanya, meletakkan pulpennya.

Naruto mengangguk dan meletakkan tumpukan esai di meja Hiratsuka. “Sensei, ini hasil yang aku temukan.”

Hiratsuka melirik tumpukan kertas itu sebelum kembali menatap Naruto dengan penuh minat. “Dan menurutmu?”

Naruto menyilangkan tangan. “Ada seseorang di kelas 2-B yang menulis sesuatu yang… menarik.”

Hiratsuka menghela napas dan mengambil salah satu esai di atas. Dia membaca kalimat yang disorot Naruto, lalu menatapnya kembali.

"Kau yakin?"

Naruto, dengan tangan bersedekap, menatap lurus ke arah senseinya. "Ini masih belum cukup untuk dijadikan bukti."

Hiratsuka mengangkat alisnya. "Oh?"

Naruto mengetukkan jarinya ke dagu, ekspresinya tetap tenang. "Kata-kata ini memang mencerminkan pola pikir seseorang yang obsesif, tapi ini bukan bukti konkret. Jika aku langsung menuduhnya sekarang, dia bisa dengan mudah mengelak. Aku butuh sesuatu yang lebih kuat. Bukti yang tidak bisa dia sangkal."

Hiratsuka menyandarkan punggungnya di kursi, matanya menilai Naruto dengan penuh minat. "Dan bagaimana kau berencana mendapatkannya?"

Naruto mengambil kembali esai itu dan memasukkannya ke dalam map yang ia bawa. "Aku akan mengawasinya. Orang yang memiliki obsesi seringkali menunjukkan pola yang berulang. Mereka tidak bisa menahan diri. Jika aku cukup bersabar, dia pasti akan melakukan sesuatu yang bisa menjadi bukti nyata."

Hiratsuka terdiam sejenak sebelum tersenyum tipis. "Kau benar-benar serius soal ini."

Naruto hanya mengangguk. "Kalau aku tidak serius, maka tidak ada gunanya aku bergabung di klub itu."

Hiratsuka tertawa kecil dan menggelengkan kepala. "Baiklah. Aku akan menunggu laporan berikutnya darimu."

Naruto berbalik dan melangkah keluar dari ruang guru, matanya menatap langit biru pagi. Langit itu indah, dan aku ingin memilikinya selamanya. Untukku seorang.

Sebuah pengakuan sepihak dari orang yang begitu terobsesi mencintai wanita. Entah alasan apa yang membuat Yamato begitu menggilai Hayasaka Aoi.

Naruto hanya ingin membantu Hayasaka menyelesaikan masalahnya.

Dia menemukan esai itu dalam 1 jam setengah, dan bel pelajaran sekolah akhirnya dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!