NovelToon NovelToon

Kenan & Khalisa

Prolog

Kenan Athalarizky, seorang pemuda tampan, dengan postur tinggi semampai yang terlihat tegap bak seorang tentara militer. Seorang pemuda yang banyak digilai mahasiswi, karena memiliki wajah bak titisan nabi Yusuf. Pemuda yang biasa dipanggil dengan sapaan akrab Kenan itu, kini usianya genap menginjak angka dua puluh dua tahun. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan di salah satu universitas ternama.

Hari ini Kenan meyakinkan dirinya untuk mengungkapkan perasaannya kepada seorang gadis yang merupakan adik tingkatnya.

Gadis itu bernama Khalisa Amalia Hutomo yang biasa akrab dipanggil Ica. Gadis cantik dengan tutur kata yang lembut, memiliki kulit putih, tubuh ideal dengan beberapa bagian yang terlihat berisi.

Gadis lugu yang selalu berpenampilan sederhana, ternyata sudah membuat seorang Kenan jatuh cinta sejak pertemuan pertamanya di perpustakaan kampus dua tahun yang lalu.

Dan hari ini, Kenan yang masih memakai baju toga sedang gugup, memilah dan memilih potongan kalimat yang pas untuk mengungkapkan perasaannya pada Ica.

Tangan Kenan perlahan mulai gemetar, suhu dingin pada tubuhnya juga mulai dia rasakan. Karena walau bagaimanapun ini adalah pengalaman pertamanya menyatakan perasaan kepada seorang gadis. Bukan berarti Kenan belum pernah merajut hubungan pacaran, tapi karena biasanya para gadis lah yang lebih dahulu menyatakan perasaan kepadanya.

Kenan yang memiliki otak cerdas, terbukti dengan ia yang mendapatkan predikat Cum Laude dan IPK yang nyaris sempurna, ternyata bisa begitu nervous saat berurusan dengan masalah mengungkapkan perasaan. Bahkan sidang dihadapan beberapa dosen tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat ini. Namun dirinya tidak mau menunda lagi, mengingat begitu banyak mahasiswa lain yang begitu gencar mendekati Ica.

Tepat diatas gedung, disaksikan awan yang begitu cerah, seolah sedang memberikan dukungan terhadapnya, serta angin semilir yang begitu terasa sejuk saat menerpa tubuhnya, seolah menjadi penambah untuk keberaniannya, membuat Kenan

memantapkan hatinya.

Perlahan Kenan menggenggam kedua telapak tangan Ica, yang sudah berdiri di hadapan nya. Pemilik netra hitam itu masih menatap dalam wajah cantik gadis yang dicintainya.

"Khalisa Amalia Hutomo," ucapnya lirih namun dengan mimik muka yang mulai terlihat serius.

"Aku sadar, kalau aku hanyalah lelaki biasa yang memiliki banyak kekurangan dan mungkin saat ini aku tak pantas berada dekat dengan kamu."

Kenan perlahan kembali menarik nafas untuk menambah kekuatan percaya dirinya. "Namun, jika kamu bersedia menerimaku menjadi kekasihmu, aku berjanji akan melakukan apapun yang terbaik untukmu," tutur Kenan dengan raut wajah yang kini berubah menjadi penuh keyakinan.

Pemuda tampan itu terlihat beberapa kali menghembuskan nafasnya untuk mengusir rasa gugup yang tiba-tiba kembali menyerang dirinya.

"Jadi..." ucapannya kembali terhenti, entah kenapa kini lidahnya menjadi terasa kelu.

"Jadi?" tanya Ica yang sudah tidak sabar karena begitu penasaran menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Kenan.

"Jadi... maukah kamu menerima cintaku?" ucap Kenan yang kali ini mengeluarkan suaranya begitu percaya diri.

Ica yang juga memiliki perasaan yang sama dengan pemuda itu, tanpa pikir panjang dirinya langsung mengangguk. "Aku mau," jawabnya dengan mudah yang dihiasi senyuman begitu indah.

Sebenarnya Ica sudah dari dulu menunggu ungkapan cinta dari Kenan. Gadis itu sampai rela dua tahun menjomblo hanya karena menunggu ungkapan cinta dari seorang Kenan. Bahkan kalau saja dirinya tidak mempunyai rasa malu, mungkin sudah sedari dulu mengungkapkan perasaannya. Dan kini Ica bersyukur, ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

Kenan yang masih belum percaya, karena cintanya bisa diterima secepat itu, dirinya kembali berucap, "kamu serius, nerima aku?"

Ica mengangguk dengan bibir yang masih terus tersenyum, membuat Kenan semakin gemas terhadapnya. "Kamu beneran 'kan?" tanyanya kembali untuk memastikan.

"Iya, Kak Kenan," ucap Ica dengan suara yang keras, namun terdengar begitu merdu ditelinga Kenan yang kini merasakan kebahagiaan begitu besar.

Tanpa aba-aba, Kenan melepaskan pegangan tangannya, beralih langsung mengangkat tubuh Ica, sambil berlari dan berputar diatas gedung yang menjadi saksi awal mula kisah cinta mereka dimulai.

##########

Kenan kini sudah berada di rumahnya, rumah kecil yang jauh dari kata mewah, bahkan atapnya sudah mulai terlihat busuk, beberapa tiang dari bambu dipakai untuk menahan bagian atap rumahnya, supaya rumah itu bisa tetap berdiri. Rumah reot itu merupakan harta terakhirnya saat itu, yang dijadikan tempat tinggalnya sejak dirinya duduk di sekolah menengah pertama.

Kenan memang berasal dari keluarga miskin. Kalau ada yang heran kenapa orang miskin seperti dirinya bisa berkuliah di universitas ternama, jawabannya karena beasiswa.

Ayah Kenan bernama Lukman, merupakan seorang pegawai di salah satu perusahaan besar yang ada di kotanya, jabatannya juga cukup tinggi, yaitu seorang manager. Namun dengan jabatan setinggi itu, tetap masih belum bisa menaikan kembali derajat keluarganya, karena seluruh gaji nya dipakai untuk melunasi cicilan hutang ke beberapa orang yang selalu datang menagihnya.

Dulunya keluarga Kenan merupakan keluarga yang tergolong kaya, bahkan ayah Kenan memiliki perusahaan besar yang cukup terkenal. Namun karena suatu masalah akhirnya perusahaan itu jatuh bangkrut.

Tidak hanya disitu, Ibu kenan yang merupakan seorang wanita yang selalu pamer kemewahan di sosmed, saat ini menjadi sering pesakitan karena belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sampai sekarang Lilis masih terbaring sakit diatas kasur. Wanita itu sampai sekarang masih saja menyalahkan Lukman atas keteledoran yang dibuat suaminya, dan terus menuntut suaminya untuk mencari cara supaya ekonomi keluarganya kembali seperti dulu lagi, tentunya supaya dirinya bisa kembali foya-foya dengan membeli barang-barang branded, liburan ke luar negri untuk di upload ke sosmed, demi mendapat pujian dari beberapa temannya, yang sekarang sudah menjauhinya.

"Kenan!"

Saat namanya dipanggil, Kenan langsung menoleh kearah Lukman, pria paruh baya yang sedang duduk berdampingan dengan istrinya.

"Iya Ayah," jawabnya yang langsung melangkah kearah kedua orang tuanya.

"Kamu bisa duduk sebentar, ayah mau ngomong sama kamu," ujar Lukman dengan wajah yang terlihat serius.

Kenan menurunkan tas nya diatas meja, kemudian dirinya langsung duduk di hadapan kedua orang tuanya. "Ayah mau ngomong apa?" tanyanya mulai penasaran.

Lukman nampak terlihat sedikit ragu, tapi melihat tatapan Lilis yang seolah mendesaknya, membuat Lukman menghela napas. "Kamu mau 'kan membuat ekonomi keluarga kita kembali seperti dulu lagi?"

Kenan yang baru saja ditawari sebuah pekerjaan dari perusahaan yang bekerja sama dengan kampusnya, lelaki itu tersenyum, "tentu, Kenan pasti akan berusaha membuat kalian bangga, bahkan mulai besok Kenan akan bekerja di perusahaan yang cukup ternama, dan tentunya gaji yang akan Kenan dapatkan akan besar," ucapnya dengan bangga memberitahukan berita baik itu kepada orang tuanya.

Seolah tidak tertarik dengan kabar bahagia yang dibawa putranya, Lilis nampak acuh. "Tapi itu membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keluarga kita kaya, sedangkan utang ayah kamu masih besar," ujar wanita itu dengan datar.

"Kalau kamu memang mau membuat ekonomi kita kembali seperti dulu, kamu hanya perlu menuruti permintaan Ayah dan Ibu," imbuhnya kemudian.

Kenan mengerutkan keningnya, "Apa yang harus Kenan lakukan?" tanyanya penasaran.

Lukman melirik istrinya yang dibalas anggukan dari Lilis. "Kamu harus bersedia menikah dengan seseorang yang bisa membuat keluarga kita kembali kaya seperti dulu."

"Jadi maksud Ayah sama Ibu, demi kebahagiaan kalian, Kenan akan dikorbankan!"

Kepo

Kenan berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya menatap lurus kearah luar. Haruskah dirinya mengikuti permintaan kedua orang tuanya. Haruskah ia mengorbankan perasaannya demi kebahagiaan orang tuanya.

"Gimana? Kamu sudah mendapatkan keputusannya belum?" tanya Lilis yang berhasil membuat lamunan Kenan terhenti.

"Apa hanya dengan cara menikahi wanita itu, Ayah sama Ibu bisa bahagia?" tanya Kenan tanpa menoleh kearah Lilis.

Lilis merotasi kan matanya, dirinya mulai kesal dengan anak tirinya. "Iya, hanya itu cara yang cepat untuk membuat kita kembali kaya, karena wanita itu sudah janji akan memberikan sebagian hartanya jika kamu bersedia menikahinya," ujarnya dengan nada bicara yang tak santai.

Lilis berjalan menuju meja belajar Kenan, matanya tertuju pada bingkai foto seorang gadis. "Apa gara-gara gadis ini kamu mau menolak permintaan orang tua kamu?" tanyanya kemudian sambil melemparkan foto itu kearah jendela kamar yang terbuka.

Kenan langsung tersentak, saat bingkai itu melewati pinggir kepalanya, matanya langsung tertuju pada bingkai yang kini tergeletak di atas tanah. Kaca pada bingkai itu pecah, membuat Kenan menjadi tersulut emosi.

Mata Kenan menghunus tajam kearah Lilis. "Selama ini, saya berusaha untuk menghormati Anda layaknya ibu kandung saya sendiri. Tapi bukan berarti Anda bisa selalu bertindak semau Anda!" bentak Kenan yang membuat Lilis shock tak menyangka.

Ya, selama ini Kenan memang selalu menuruti perintah Lilis , termasuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kenan selalu sabar tanpa mengeluh, karena merasa berhutang budi pada ibu tiri nya yang telah rela merawatnya dari kecil, meskipun hanya merawat dengan keterpaksaan.

Lukman yang baru pulang, langsung menuju kamar Kenan, saat mendengar suara yang terdengar ribut. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan panik.

"Kenan!" Lukman sedikit mengeraskan volume suaranya, saat pertanyaannya tidak juga mendapatkan jawaban.

"Dia tidak mau menuruti permintaan kita," ucap Lilis dengan kesal.

Lukman menghela napas. "Yasudah, Ayah gak akan maksa kamu lagi. Kamu memang sudah besar, kamu berhak menentukan hidup kamu sendiri," ucap Lukman yang memang kurang setuju dengan keputusan istrinya.

Lilis membulatkan matanya. Wanita itu terus memutar otaknya, tidak mau kalau tambang emas yang sudah ada didepan matanya menghilang begitu saja, hanya gara-gara Kenan tidak mau bekerja sama untuk menggali emas itu. "Oke. Kalau Kenan tidak mau menerima perjodohan ini, aku minta cerai," ucapannya yang langsung keluar dari kamar Kenan.

Lukman begitu shock dengan ucapan Lilis yang menurutnya terlalu berlebihan. Dirinya memang sangat mencintai istrinya, tapi Lukman sungguh tidak sanggup lagi menghadapi sifat buruk istrinya yang selalu mementingkan harta diatas segalanya. Dengan cepat Lukman menyusul Lilis. "Baik, kalau memang-,"

"Aku bersedia" ucap Kenan dengan suara pelan.

Lilis tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Lukman menatap putranya dengan wajah yang terlihat terluka. Lukman tau, kalau anaknya terpaksa melakukan itu. "Tidak, ayah tidak mau kamu jadi korban ambisi ibu kamu," ucapnya setengah membentak.

"Kenan sudah memikirkannya. Lagian tujuan hidup Kenan memang hanya untuk membuat kalian bahagia," ujarnya sambil memalingkan wajahnya dari tatapan Lukman.

"Nah gitu dong, jadi anak memang harus nurut. Baiklah, kalau gitu ibu akan atur pertemuan kamu dengan nya.

#########

Monika menuruni anak tangga. Wajah wanita itu terlihat begitu bahagia karena mendapat kabar dari Lilis yang merupakan teman sosialitanya dulu.

"Hai cantik, lagi apa?" Monika langsung duduk disamping Ica yang sedang menonton televisi.

Ica menoleh kearah Monika, bibirnya melengkung membentuk senyuman manis pada wanita yang menjadi ibu tiri nya sejak dirinya masih bayi. "Hai juga Mami," ucapnya dengan sopan.

Ica memang sudah mengetahui kalau Monika hanya ibu sambungnya, tapi ia yang selalu diperlakukan baik dan penuh kasih sayang, membuatnya membalas perlakuan Monika dengan sopan dan jadi anak yang penurut, yang selalu menghormati ibu sambungnya.

"Sayang, boleh kan kalau Mami kamu ini nikah lagi?" tanya Monika sambil tersenyum penuh harap.

Ica menatap Monika, wanita yang hanya terpaut usia delapan belas tahun dengannya, memang masih terlihat cantik. Apalagi dandanannya yang selalu modis, membuat wanita yang kini hampir berusia kepala empat itu masih terlihat muda. Bahkan tak ayal banyak orang yang menyangka kalau keduanya sepasang adik dan kakak. Ica juga selalu merasa kasihan, melihat ibu sambungnya yang mulai terlihat kesepian setelah Bram yang merupakan papi nya meninggal karena kecelakaan, beberapa tahun yang lalu.

"Aku sih setuju-setuju saja, selagi bisa membuat Mami bahagia," jawabnya seolah tanpa ragu.

"Memang siapa calonnya?" tanyanya kemudian.

Monika tersenyum, sebenarnya dirinya ragu untuk mengatakan kepada Ica. "Ada deh, besok kita akan melakukan pertemuan. Ica ikut ya, biar Ica bisa lihat sendiri gimana orangnya."

Ica menekuk bibir bawahnya. "Palingan juga om-om perut buncit, pendek, kepalanya botak, terus usianya diatas papi. Iya 'kan?" tebaknya sambil mengulum senyumnya.

"Tebakan kamu salah, bahkan seratus persen sangat salah." Monika berdiri, setelah sempat mencubit hidung mancung Ica.

"Kok aku jadi kepo ya. Boleh dong lihat fotonya," ujar Ica yang langsung berdiri mengejar Monika yang sudah lebih dulu berlari.

Monika tergelak, dia menghentikan tubuhnya di tengah tangga yang menuju lantai atas. Usianya yang sudah berumur membuatnya jadi lebih sering lelah, bahkan otot kakinya terasa cepat sakit. "Udah, Mami menyerah. Cape..." keluhnya saat Ica berhasil menarik ujung lengan bajunya.

Ica tertawa, tangannya masih memegang ujung baju Monika. Dari dulu sampai sekarang mereka berdua memang selalu berprilaku layaknya anak kecil. Namun karena itulah keduanya hampir tidak pernah bertengkar. "Cepat aku mau lihat calon papa tiri aku!".

Ica mencoba meraih ponsel Monika yang kemungkinan terdapat foto pria yang akan menjadi papa tiri nya.

Monika masih mempertahankan ponselnya, dari dulu dirinya memang sering membuat anaknya itu penasaran.

"Yee, dapat." Ica dengan girangnya membawa ponsel itu. Dirinya yang tau password ponsel Monika, membuatnya dengan mudah membuka ponsel itu. Dengan cepat tangannya membuka galery.

Namun Monika yang juga tak kalah cepat ia meraih ponselnya, dan prang....

Ponsel itu langsung jatuh. Ica segera mengambil ponsel itu. "Mami, ponselnya gak bisa nyala. Maaf..." lirihnya dengan kepala yang menunduk penuh penyesalan sambil membolak balikan ponsel yang dipastikan sudah tidak bisa dipakai lagi.

"Sudah gak apa-apa, nanti tinggal beli lagi," jawab Monika dengan wajah santai nya. "Kebetulan iPhone keluaran terbaru sudah rilis," imbuhnya kemudian yang memang tidak mempersalahkan ponselnya yang sudah tidak berbentuk lagi.

"Kalau kamu mau, nanti sekalian Mami belikan juga," sambil tersenyum, sebelah tangan Monika terulur mengusap pipi sang putri sambung kesayangannya itu.

Ica membalas senyuman wanita yg sudah seperti ibu kandungnya itu. Gadis yang selalu nampak biasa saja, meskipun dengan kekayaan yang berlimpah, tetapi ia lebih memilih berpenampilan sederhana dan barang-barang yang dimilikinya juga tidak semua harus keluaran terbaru. Baginya, hartanya lebih baik ditabung, daripada dihamburkan untuk membeli barang yang pada ujungnya hanya akan menjadi rongsokan, karena kalau hidup terus mengikuti gengsi, sampai kapanpun dirinya tidak akan merasa puas.

"Gak ah, yang lama juga masih bagus," menggelengkan kepala, memutar tubuhnya melangkah menuju kamar.

"Ah kamu, selalu saja ngirit. Harta yang ditinggalin papi kamu tuh banyak, gak akan habis walau sampai tujuh turunan," ujar Monika yang sudah hafal sifat Ica.

Ica mengangkat pundaknya acuh. "Iya Mami, tapi Ica mikirin turunan Ica yang ke delapan, kalau Ica terus menghamburkan hartanya kasian nanti dia gak kebagian."

Pelakor

Pagi yang datang tanpa diperintah seolah memaksakan semua orang untuk mengerjakan rutinitas seperti biasanya.

Namun, tidak seperti biasanya, pagi ini Ica begitu terlihat ceria. "Pagi, Mam!" ucapnya sambil menarik salah satu kursi meja makan dan mendudukkan tubuhnya disitu.

Monica membalas senyum Ica "tumbenan, habis mimpi apa emang? seneng amat tuh muka," ucapnya sambil memberikan dua lapis roti yang sudah diolesi selai strawberry yang merupakan kesukaan Ica.

"Mimpi yang bakal jadi kenyataan dong Mam," ucapnya dengan sumringah.

"Halah, palingan juga soal cowok," tebak Monica yang begitu tepat sasaran tentunya.

"Semalam aja kamu manyun gara-gara nungguin chat dari doi." Monica mulai menggoda mood putrinya.

Ica melirik sekilas, "malam hp nya lowbat."

Monica memberikan tatapan mengejek, "baru satu hari resmi pacaran aja udah alasan lowbat, nanti-nanti alasan apalagi ya..." ucap Monika dengan mimik wajah seolah sedang berpikir.

"Ih Mami..." bibir Ica maju lima langkah.

"Kuliah aja dulu yang bener, jangan ngurusin pacaran," ucap Monica sambil mengunyah roti miliknya.

"Belum tentu juga dia serius, patah hati baru tau rasanya nanti kamu," imbuhnya kemudian dengan wajah yang mulai terlihat menang.

Ica menaruh kembali gelas susu yang tidak jadi diminumnya. "Dia serius dong, buktinya habis nembak langsung ngajak nikah." Ica mengukir senyum manisnya saat ingatannya kembali pada moment diatas gedung kemarin.

"Oh" tanpa terkejut, Monica hanya menanggapi ucapan Ica dengan datar.

"Bulet banget tuh," sinis Ica yang tidak puas dengan respon sang mami, padahal dia ingin menceritakan semua kebahagiaannya.

Sebegitu akrabnya hubungan antara Ica dengan ibu sambungnya, sehingga tanpa ragu Ica menjadikan Monica ibu sekaligus teman curhatnya. Bahkan dari semua banyaknya teman Ica yang bisa dijadikan teman curhat, tidak ada yang bisa membuat Ica klop selain dengan Mami sambungnya itu.

Namun, biasanya respon Monica yang suka heboh, apalagi berhubungan dengan seorang lelaki, kini hanya biasa saja, membuat Ica heran.

"Apa mungkin Mami lagi galau?" pikiran Ica mulai menjelajah.

"Mii?"

"Hum, iya," jawab Monica yang seketika menoleh.

Ternyata wanita itu sedang memikirkan sesuatu, namun entah apa yang sedang dipikirkannya.

"Kenapa si, jangan bilang Mami batal nikah?" tanya Ica to the point.

Monica mengulas senyum samar "Mami gak papa. Ya jadi dong nikah, kalo gak jadi nanti Mami repot gara-gara digosipkan minta mahar gede. Mami males kalau harus klarifikasi," jawabnya mulai becanda.

"Dasar korban gosip," celetuk Ica menjulurkan lidahnya.

"Nanti malam, Mami mau makan malam diluar, membicarakan soal tanggal pernikahan Mami. Dan kamu harus ikut ya, biar cepat tau siapa calon papa tiri kamu."

"Kenapa diluar Mii, kenapa gak di rumah saja?"

"Biar Bibi gak repot masak banyak, kasian." Tidak hanya baik terhadap Ica, Monica juga termasuk majikan yang tidak selalu merepotkan asisten rumah tangganya, terbukti dengan ia yang selalu turun tangan sendiri untuk hal-hal sepele yang masih bisa ia kerjakan. Seperti menyiapkan sarapan, Masak untuk makan malam kalau ia pulang cepat dari kantor. Bahkan masih banyak hal lain yang terkadang membuat pembantu di rumahnya merasa tidak enak.

"Oke nanti Ica pasti nemenin Mami deh."

Obrolan mereka terhenti bersamaan dengan acara sarapan mereka yang juga telah habis.

"Yah... kok malah turun hujan si, terus gimana aku berangkat kuliah," Ica menghembuskan nafasnya kasar setelah melihat dari balik jendela kaca air hujan yang mulai turun membasahi bumi.

Monica membereskan bekas sarapannya, "biasanya juga hujan. kan Ica pake mobil, kenapa kaya takut kehujanan."

Ica yang yang juga baru menyelesaikan sarapannya kembali mengukir senyumnya, "soalnya pacar Ica pagi ini mau jemput. kalo hujan gini gimana dong, mana dia pake motor." Wajah yang semula tersenyum itu kini berubah muram.

Bukan soal pakai motornya Ica menjadi muram, namun ia khawatir kalau pacarnya itu tidak jdi menjemputnya.

"Padahal dari kemarin dia gak ada ngasih kabar, giliran mau ketemu, malah terhalang hujan," gerutunya sambil menenteng tas menuju ruang tamu.

"Jangan-jangan pertanda tuh," celetuk Monica yang ternyata mendengar suara pelan Ica.

Ica menghentikan langkahnya, dengan cepat ia menoleh, "Mami.. perasaan dari tadi ngomongnya gitu mulu deh." Dengan mata yang membola, Ica menggembungkan pipi sedikit chubby nya.

Tidak mau kalah julid, kini Ica menyunggingkan senyumnya, "hati-hati aja yang bentar lagi mau nikah, pas udah nikah suaminya ditikung daun muda baru tau Mami, hahaha."

"Sekarangkan lagi viral tuh Mam."

"Iya mami juga tau, si pelakor yang berkoar - koar yang mengatakan ingin insyaf, 'kan?," ucap Monica yang tak mau memberikan kesempatan Ica untuk membuatnya kesal.

Ternyata kesibukannya sebagai wanita kantor tidak membuatnya ketinggalan dengan berita-berita yang lagi viral.

"Yakin Mam? pelakor sekarang serem-serem loh Mam, covernya aja manis, ditambah kalo suami Mami nanti tipe yang mudah berpaling, beuh... alamat Mami menangis deh, kek sinetron kesukaan Mami," Ica mulai merasakan hawa-hawa kemenangannya yang bisa kembali menggoda Monica.

Dengan sikap elegan, Monica berucap, "Mami sii gak takut sama pelakor kaya begituan, asalkan bukan anak Mami aja yang jadi pelakor nya."

Tanpa bisa menahan kegelian nya, tawa Ica seketika pecah, "hahaha, mimpi aja Ica ogah ngerebut suami orang, apalagi suami Mami yang masih calon."

"Hahaha," tawa Ica semakin menjadi saat pikirannya mulai terbayang dengan visual calon Papa tirinya yang kemungkinan bertubuh tambun dengan kepala botak lengkap dengan kumis lele yang menjadi penyempurna kejelekan calon suami maminya.

"Oke, mami pegang ya janji kamu." Setelah sempat mengusap ujung kepala Ica, Monica melangkah menuju pintu utama.

"Ica janji Mam, langit bumi bersaksi," teriaknya dengan sengaja, tanpa menghentikan tawanya yang terus pecah.

Tanpa menoleh, Monica melambaikan sebelah tangannya, "Mami duluan ya, selamat kembali galau gara-gara pacarnya gak bisa jemput, bye.."

"Kenapa buru-buru si Mam, emang gak mau liat pacar Ica dlu?!"

"Gk!" jawab Monica yang hampir tidak terdengar oleh Ica.

"Kata siapa pacar Ica gak jadi jemput, palingan bentar lagi juga hujan reda," gerutu Ica sambil meyakinkan dirinya.

Jarum jam terus berputar. Ica yang mulai gelisah karena hari ini ada kelas pagi ia mengambil ponselnya dari dalam tas, tujuannya untuk menghubungi Kenan.

Drtt..

Belum sampai Ica membuka kunci layar ponselnya, ponsel itu sudah lebih dulu menyala dengan adanya satu notifikasi pesan WhatsApp dari orang yang akan ia hubungi.

maaf, aku gak bisa jemput. ~ Kak Kenan

Dan benar saja, ketakutannya kini terjadi. Dan semua itu pasti gara-gara hujan.

Tanpa membalas pesannya, Ica yang sedikit kesal kembali memasukan ponselnya dan menukarnya dengan kunci mobil yang juga berada didalam tasnya.

#########

Dengan emosi yang meluap-luap, pemuda itu mengendarai motor bebeknya tanpa takut dengan hujan yang masih semangat mengajak pasukannya untuk menyerbu daratan, dan membasahi semua yang menghalanginya, termasuk berjatuhan diatas tubuh Kenan yang dalam hitungan detik berhasil membuat tubuhnya basah kuyup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!