Fajar baru saja menyingsing di atas perairan dingin Selat Denmark. Ombak bergulung dengan tenang, seolah belum mengetahui bahwa sebentar lagi salah satu pertempuran laut paling mengerikan dalam sejarah akan terjadi.
Di atas HMS Hood, kapal penjelajah tempur terbesar dan paling dihormati Angkatan Laut Kerajaan Inggris, awak kapal sudah bersiap di posisi masing-masing. Kapal ini telah menjadi simbol kekuatan maritim Inggris sejak Perang Dunia I, dan kini ia memimpin perburuan kapal perang Jerman yang paling ditakuti—Bismarck.
Di anjungan, Laksamana Lancelot Holland berdiri dengan penuh wibawa. Di sampingnya, para perwira memantau cakrawala dengan saksama. Laporan dari kapal perusak pengintai telah memastikan posisi target mereka.
"Bismarck and Prinz Eugen dead ahead! They're 24 kilometres away and closing fast!" (Bismarck dan Prinz Eugen di depan! Jarak 24 kilometer dan semakin mendekat!), teriak salah satu perwira.
Perintah pun diberikan. "Man the main batteries! We must send them to the depths before they break into the Atlantic!" (Siapkan meriam utama! Kita harus menenggelamkan mereka sebelum mereka mencapai Atlantik!)
Dari kejauhan, sosok raksasa Bismarck dan kapal penjelajah berat Prinz Eugen mulai terlihat. Laksamana Holland tahu bahwa jika kapal-kapal Jerman ini berhasil lolos ke perairan terbuka, mereka bisa menghancurkan banyak kapal dagang Inggris. HMS Hood dan HMS Prince of Wales adalah satu-satunya kapal yang cukup dekat untuk mencegat mereka.
Pukul 05.52, pertempuran dimulai.
HMS Hood melepaskan tembakan pertama, diikuti oleh Prince of Wales. Meriam berkaliber besar menggelegar, mengirimkan proyektil raksasa melesat ke arah kapal-kapal Jerman. Ledakan membahana di lautan, menyelimuti area pertempuran dengan asap dan semburan air.
Di pihak Jerman, Bismarck dan Prinz Eugen tidak tinggal diam. Mereka membalas tembakan dengan akurat, mengincar bagian tengah HMS Hood, di mana lapisan bajanya lebih lemah dibandingkan bagian lainnya.
Dentuman meriam terus menggetarkan udara. Laksamana Holland tetap tenang, mengamati pergerakan musuh. Ia percaya bahwa pengalaman dan kekuatan Hood akan membawanya pada kemenangan.
Namun, dalam hitungan menit, takdir berkata lain.
Pukul 06.00, Prinz Eugen berhasil mendaratkan tembakan pertama ke Hood, menyebabkan kebakaran kecil di geladaknya. Namun, tembakan yang benar-benar menentukan datang dari Bismarck.
Tembakan salvo dari monster Jerman itu memuntahkan proyektil Armor Piercing berukuran 380 mm yang meluncur dengan presisi dan akurasi yang mengerikan.
Salah satu dari proyektil itu menghantam tepat di bagian tengah HMS Hood—tempat gudang penyimpanan amunisi.
Hening sejenak.
DUAAARRRRRR!!!
Sebuah ledakan dahsyat mengguncang seluruh kapal.
Ledakan itu begitu besar hingga langit tampak bergetar. Asap hitam membumbung tinggi. Api menyembur ke mana-mana. Ledakan itu membelah tubuh HMS Hood menjadi dua dalam sekejap.
Gelombang kejutnya terasa bahkan hingga ke Prince of Wales, yang berada ratusan meter jauhnya.
Para awak di atas Hood tidak sempat bereaksi. Dalam hitungan detik, kapal kebanggaan Inggris yang telah bertugas lebih dari 20 tahun itu terbelah dan mulai tenggelam ke dalam laut yang dingin.
Laksamana Holland dan hampir semua awak kapal—berjumlah 1.415 orang—hilang bersama kapal mereka.
Dari atas Prince of Wales, para pelaut hanya bisa menyaksikan dengan horor bagaimana Hood tenggelam, meninggalkan puing-puing dan kobaran api yang mengapung di atas air.
Dalam sekejap, kapal perang terkuat Angkatan Laut Kerajaan Inggris telah tiada.
Suasana di Prince of Wales dipenuhi keterkejutan. Mereka baru saja menyaksikan kebanggaan Inggris dihancurkan dalam hitungan menit. Namun, tidak ada waktu untuk berduka.
Seorang perwira muda berbisik dengan suara gemetar, "Hood… has been lost…" (Hood… sudah tidak ada…).
Kapten John Leach, yang memimpin Prince of Wales, mengepalkan tangannya.
"It’s not over! We have to make them pay!" (Kita belum selesai! Kita harus membalasnya!), serunya.
Meski mengalami kerusakan, Prince of Wales terus bertempur sejenak sebelum akhirnya mundur untuk menyelamatkan kapal dan awaknya. Namun, berita tenggelamnya Hood telah menyebar ke seluruh Inggris.
Dendam membara di hati para pelaut Inggris. Kapal-kapal Kerajaan Inggris bersumpah untuk memburu Bismarck dan menenggelamkannya, berapa pun harga yang harus dibayar.
Di ujung cakrawala, kapal tempur raksasa Bismarck berlayar menjauh dengan kecepatan penuh, ombak putih bergulung di belakangnya. Kapal kebanggaan Kriegsmarine itu telah melawan HMS Hood dan Prince of Wales dalam pertempuran dahsyat di Selat Denmark. Kini, ia menjadi buruan utama seluruh armada Inggris.
Di atas HMS King George V, Laksamana John Tovey berdiri di anjungan, matanya tajam menatap cakrawala.
"We cannot allow Bismarck to reach France. This is our last shot!" (Kita tak boleh membiarkan Bismarck mencapai Prancis. Ini kesempatan terakhir kita!), katanya tegas.
Malam telah menjelang di Samudra Atlantik yang luas. Langit mendung menutupi bulan, menyisakan gelap pekat di atas lautan yang bergelombang. Di kejauhan, kapal perang raksasa Bismarck terus melaju, mencoba menghindari kejaran armada Inggris. Setelah menenggelamkan HMS Hood dalam pertempuran di Selat Denmark, kapal kebanggaan Kriegsmarine ini menjadi buronan nomor satu Royal Navy.
Di atas kapal induk HMS Ark Royal, sirene peringatan berbunyi nyaring. Di geladak penerbangan, para awak dengan cepat menyiapkan pesawat torpedo Fairey Swordfish. Pesawat-pesawat bermesin baling-baling itu tampak kecil dan kuno jika dibandingkan dengan raksasa baja seperti Bismarck, tetapi mereka telah terbukti sebagai senjata yang mematikan.
"All units, Bismarck is the target. She must not be allowed to escape!" (Semua unit, Bismarck adalah target kita. Kita tidak boleh membiarkan dia lolos!), suara perwira penerbangan bergema di radio.
Di bawah sorotan lampu merah kabin, para pilot mengenakan helm dan kacamata mereka. Baling-baling berputar kencang, menghasilkan suara menderu yang khas. Tak lama kemudian, pesawat-pesawat tua itu satu per satu meluncur ke udara, menuju sasaran mereka yang jauh lebih besar dan lebih kuat.
Di atas geladak Bismarck, awak kapal berjaga dengan waspada. Kapten Ernst Lindemann dan Laksamana Günther Lütjens berdiri di anjungan, mengamati cakrawala dengan ketegangan yang tak kasatmata. Mereka tahu bahwa kapal-kapal Inggris masih memburu mereka. Namun, ancaman datang dari udara—sesuatu yang lebih sulit diantisipasi di tengah malam.
Tiba-tiba, suara gemuruh mesin terdengar di kejauhan. Bayangan pesawat kecil muncul dari balik awan.
"Feindflieger! Anflug aus Südwest!" (Pesawat musuh terdeteksi! Mereka datang dari arah barat daya!), teriak salah satu awak radar.
Sorotan lampu antipesawat segera dinyalakan, menyapu langit yang gelap. Meriam Flak 37 mm dan 20 mm mulai menyalak, memuntahkan hujan peluru ke arah pesawat Swordfish yang mendekat.
"Hold steady... Close the distance... Now!" (Tetap tenang... Dekati target... Sekarang!), ucap seorang pilot Swordfish.
Ia menurunkan ketinggian, menghindari tembakan musuh, lalu menyesuaikan posisi untuk menjatuhkan torpedo.
Di geladak Bismarck, awak kapal terus berusaha menghalau serangan. Beberapa torpedo pertama meleset, menghantam laut dan meledak di kejauhan. Namun, satu torpedo meluncur tepat menuju buritan kapal.
"Torpedo achtern! Sofort hart Steuerbord!" (Torpedo di buritan! Segera putar ke kanan penuh!)
Namun, semuanya terlambat. Dalam sekejap, torpedo menghantam bagian belakang Bismarck dengan keras. Ledakan dahsyat mengguncang kapal, menghancurkan bagian kemudi dan memaksa kapal raksasa itu kehilangan kendali.
Di anjungan, Kapten Ernst Lindemann merasakan guncangan hebat. Ia segera menyadari sesuatu yang mengerikan—kemudi terkunci. Bismarck kini hanya bisa berputar dalam lingkaran, tak mampu melarikan diri.
"Scheiße! Wir können sie nicht mehr steuern!" (Sial! Kita tidak bisa mengendalikannya!), ucap pengemudi kapal.
"Hit! Our torpedo struck her!" (Kena! Torpedo kita menghantamnya!), seru pilot Swordfish.
Di geladak Ark Royal, para awak bersorak. Mereka telah melakukan sesuatu yang hampir mustahil—melumpuhkan kapal perang terkuat Jerman hanya dengan pesawat tua.
Dalam beberapa jam ke depan, Bismarck hanya bisa berputar-putar tanpa tujuan, menunggu ajalnya. Tanpa kemampuan bermanuver, ia menjadi target empuk bagi armada Inggris yang semakin mendekat.
Laksamana Lütjens dan Kapten Lindemann tahu bahwa takdir mereka telah ditentukan. Mereka hanya bisa bertahan dan menghadapi serangan yang akan datang.
Di kejauhan, kapal-kapal Royal Navy semakin mendekat, siap mengakhiri legenda Bismarck untuk selamanya.
Sementara itu, di dalam Bismarck, Kapten Ernst Lindemann berdiri tegap di ruang kendali. Matanya sesaat melirik peta besar di meja.
Mereka sudah hampir mencapai perlindungan Luftwaffe di Prancis. Namun, bahan bakar menipis, dan kapal perangnya terluka setelah terkena torpedo dari pesawat Swordfish milik Ark Royal.
"Nur noch ein bisschen... Ich muss durchhalten..." (Kita harus bertahan... sedikit lagi), bisiknya, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, nasib telah menentukan lain. Saat malam mulai menjelang, kapal perusak Inggris HMS Cossack dan beberapa kapal lainnya mulai menggempur Bismarck. Peluru suar menerangi langit malam, bayangan kapal perang Jerman terlihat jelas di permukaan laut yang bergejolak.
Di tengah hujan proyektil, suara ledakan mengguncang geladak. Bismarck tak bisa lagi bermanuver. Mesin-mesinnya rusak, kemudi terkunci. Ia kini hanya bisa berputar tanpa kendali di lautan luas.
Keesokan paginya, kapal-kapal perang utama Inggris tiba. HMS Rodney dan HMS King George V membuka tembakan. Gelombang ledakan menghantam Bismarck tanpa ampun.
Ledakan demi ledakan mengguncang dek kapal. Peluru dari kapal perang Inggris seperti HMS Rodney dan HMS King George V menghantam lambung baja Bismarck. Meriam antipesawat masih menyalak, tetapi sia-sia. Jaringan komunikasi terganggu, persenjataan utama lumpuh, dan kemudi kapal telah hancur akibat serangan sebelumnya dari pesawat torpedo Swordfish.
Di dalam ruang kendali, Laksamana Günther Lütjens berdiri tegak, matanya menatap dingin ke arah medan perang yang mulai kehilangan harapan. Di sekelilingnya, para perwira sibuk berteriak memberi perintah kepada kru yang masih tersisa.
"Herr Admiral! Wir haben keine Kontrolle mehr! Die Maschinen antworten nicht!" (Tuan Laksamana! Kita kehilangan kendali atas kapal! Mesin utama tidak merespons!), teriak seorang perwira muda dengan wajah pucat.
Laksamana Lütjens menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ini adalah akhirnya. Namun, ia tidak akan membiarkan Bismarck menyerah begitu saja.
"Admiral Lütjens, es scheint, dass dies das Ende der Bismarck ist." (Laksamana Lütjens, sepertinya ini akhir dari Bismarck), ucap Kapten Ernst Lindemann.
"Wir werden bis zum letzten Mann kämpfen. Es gibt keine Kapitulation. Deutschland wird unserer gedenken!" (Kita bertempur sampai titik darah penghabisan. Tidak ada penyerahan. Jerman akan mengingat kita!), serunya dengan penuh keteguhan.
Dentuman meriam semakin membahana, sementara Bismarck terus dihujani tembakan tanpa ampun. Api mulai berkobar di beberapa bagian kapal, menerangi malam yang kelam dengan semburat jingga menyala. Tubuh-tubuh bergelimpangan di geladak, tetapi mereka yang masih hidup tetap berusaha melawan.
Namun, perlahan, monster raksasa itu mulai kalah. Lambungnya terkoyak, air laut mulai menggenangi ruang-ruang dalam kapal. Para kru, dengan mata penuh ketakutan dan tekad, membantu rekan-rekan mereka yang terluka, sementara yang lain bersiap menghadapi ajal mereka.
Di ruang kendali yang dipenuhi asap, Laksamana Lütjens tetap berdiri. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan daratan jauh di Jerman—tanah airnya yang mungkin tak akan pernah ia lihat lagi. Ia teringat keluarganya, para pemuda yang bertempur bersamanya, dan sumpah setianya pada negaranya.
"Herr, wir müssen sofort weg! Das Schiff geht unter!" (Tuan, kita harus pergi! Kapal ini akan tenggelam!), seru seorang perwira.
Namun, Laksamana Lütjens hanya menggeleng. "Dies ist das Ende. Ich bleibe bei der Bismarck." (Kita sudah sampai di titik ini. Aku akan tetap di sini, bersama Bismarck.)
Gelombang besar menghantam kapal yang miring ke satu sisi. Ledakan terakhir dari dalam lambung menggema, mengguncang seluruh struktur kapal. Seolah-olah Bismarck sendiri menangis dalam kematiannya.
Para kru yang masih hidup melompat ke laut yang dingin membekukan. Sementara itu, di atas geladak yang mulai tenggelam, Laksamana Lütjens menatap langit untuk terakhir kalinya.
Dalam hembusan napas terakhirnya, ia berbisik, "Das Vaterland wird uns sicher nicht vergessen..." (Tanah air pasti tidak akan melupakan kita...)
Pertempuran di Laut Atlantik telah mencapai akhirnya. Kapal perang Bismarck, yang dijuluki monster penguasa lautan dan kebanggaan Kriegsmarine, kini tenggelam ke dasar samudra.
Seluruh awak kapal berjuang hingga titik darah penghabisan, namun takdir berkata lain—hampir semua dari mereka gugur bersama kapal yang mereka banggakan.
Dan dengan itu, Bismarck, sang monster penguasa lautan, perlahan tenggelam ke dasar Atlantik, membawa serta kenangan dan tragedi yang akan dikenang sepanjang sejarah.
Di tengah kehampaan antara kehidupan dan kematian, Laksamana Günther Lütjens berdiri dalam kekosongan tanpa batas. Tidak ada cahaya, tidak ada suara—hanya kehampaan yang menyelimuti seolah alam semesta menahan napas, menunggu keputusan yang akan mengubah segalanya.
Saat ia tenggelam dalam kegelapan, tiba-tiba sebuah cahaya lembut menyinari ruang hampa itu. Sosok bercahaya berdiri megah di atas lingkaran sihir berwarna emas. Tubuhnya bersinar seperti cahaya bulan, dengan rambut panjang mengalir bagai sutra perak, sesekali memancarkan semburat bintang. Matanya, bagaikan dua galaksi yang berputar perlahan, menyimpan kebijaksanaan yang melampaui waktu.
Jubah putih keemasan membalut tubuhnya, dihiasi pola runik yang terus bergerak seolah bernyawa. Di punggungnya, sepasang sayap transparan berkilauan dengan warna pelangi samar, seakan terbuat dari cahaya itu sendiri. Di atas kepalanya, sebuah mahkota bercahaya melayang, melambangkan keilahiannya.
"Laksamana Günther Lütjens, senang bertemu denganmu," suara sang dewi bergema di kehampaan. Nada suaranya lembut, tetapi penuh kewibawaan.
"Siapa kau?" tanya sang laksamana dengan waspada.
"Aku adalah Velthoria, dewi takdir yang menjaga keseimbangan dunia, salah satu dari dewi di dunia lain."
Lütjens mengerutkan kening. "Apa maksudmu? Bukankah aku sudah mati?"
"Kau belum sepenuhnya mati," jawab Velthoria tenang. "Jiwamu masih belum bisa beristirahat dengan damai. Kau telah menumpahkan begitu banyak nyawa ke lautan, tetapi aku akan memberimu kesempatan kedua untuk menebus semuanya."
Lütjens terdiam, hatinya dipenuhi keraguan. "Kesempatan kedua? Untuk apa? Aku sudah mati, dan aku menerima itu. Apa peduliku dengan dunia lain?"
Sang dewi tersenyum lembut. "Karena kau tidak akan pergi dengan tenang. Jiwamu masih dihantui oleh dosa-dosa dari kehidupan sebelumnya. Kau telah membuat keputusan yang mengorbankan banyak nyawa. Sebagai seorang laksamana, kau membawa kebanggaan sekaligus kehancuran. Jika kau ingin menebusnya, aku menawarkan jalan."
Lütjens mengepalkan tangannya. Ia ingin menolak. Ia ingin tetap mati, tenggelam bersama Bismarck, dan melupakan segalanya. Namun, ingatan akan masa lalunya mulai muncul satu per satu. Perintah-perintah yang ia berikan di medan perang, kapal-kapal yang tenggelam, para awak yang berjuang dan gugur atas namanya. Dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya.
Kemudian, ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Baiklah... Aku akan menerima tawaran ini. Tapi bagaimana caraku menyelamatkan dunia itu? Aku hanyalah seorang laksamana, bukan seorang pahlawan yang bertarung dengan pedang dan sihir."
Dewi Velthoria mengangkat tangannya, menciptakan lingkaran sihir bercahaya di udara. "Aku akan memberimu kemampuan yang sesuai dengan pengalaman dan keahlianmu. Namun, ada satu syarat lain yang harus kau terima."
Lütjens menyipitkan mata. "Syarat apa?"
Sang dewi tersenyum penuh arti. "Kau akan bereinkarnasi sebagai seorang gadis."
Sejenak, keheningan menyelimuti kehampaan. Lütjens terpaku, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. "Kau pasti bercanda. Aku seorang pria. Seorang laksamana. Kenapa aku harus menjadi seorang gadis?"
"Aku tidak bisa mereinkarnasimu sebagai pria. Ada larangan yang mengatur segalanya. Menghidupkan kembali seseorang dengan jiwa, tubuh, dan jenis kelamin yang sama melanggar hukum ilahi," jawab Dewi Velthoria dengan tenang.
"Jadi, jika kau menghidupkanku kembali sebagai pria yang sama seperti kehidupan sebelumnya, maka kau akan menerima hukuman setimpal?" tanya Lütjens, mulai memahami situasinya.
"Itu benar," jawab Velthoria.
"Tapi yang kubutuhkan adalah seorang pemimpin yang bisa membawa harapan. Dalam wujud barumu, ini adalah kesempatan terakhir bagimu untuk menebus seluruh dosa yang telah kau perbuat," lanjutnya.
"Dapatkah kau menerima perubahan ini dan menebus kesalahanmu?"
Lütjens ingin menolak. Namun, sekali lagi, bayangan dosa masa lalunya melintas dalam pikirannya. Jika ini adalah harga yang harus ia bayar untuk menebus kesalahannya… maka ia harus menerimanya.
Kemudian, sebuah pemikiran penting terlintas dalam benaknya.
"Aku juga membutuhkan teman-temanku jika kau ingin aku bertempur kembali," ujar Laksamana Günther Lütjens.
"Jika hanya aku yang bereinkarnasi, perjuanganku ke depannya akan semakin sulit." Lanjutnya.
Sang Dewi Velthoria tersenyum lembut sebelum menjawab, "Aku sudah mengetahui hal itu."
"Semua temanmu yang bereinkarnasi telah kuberi tanda di pundak sebelah kiri mereka. Sementara itu, untuk para petinggi sepertimu, kau dapat mengenali mereka melalui tato di punggung—sama seperti yang akan kau miliki di tubuh barumu."
"Setelah kau bereinkarnasi, kau hanya perlu mencari mereka yang memiliki tato serupa."
"Dan satu hal lagi yang ingin kuberikan kepadamu," lanjut sang dewi. "Saat tato di punggungmu terasa sakit dan terbakar panas, ikutilah suara yang terdengar di dalam kepalamu."
Dengan tarikan napas berat, akhirnya ia mengangguk. "Baiklah. Aku akan menerima reinkarnasi ini."
Dewi Velthoria tersenyum puas. "Bagus. Sebagai hadiah, aku akan memberimu beberapa keterampilan yang akan membantumu dalam kehidupan barumu."
Ia melambaikan tangannya, dan seberkas cahaya meluncur ke tubuh Lütjens. Seketika, informasi tentang kemampuan barunya mulai mengalir dalam benaknya:
Strategic Mind (Pikiran Strategis) – Kemampuan ini mempertajam naluri taktisnya. Dengan ini, ia bisa menganalisis situasi dan membuat keputusan dalam sekejap, layaknya di medan perang.
Naval Tactics Mastery (Penguasaan Taktik Angkatan Laut) – Meskipun dunia baru ini tidak memiliki kapal perang, pemahamannya tentang strategi tempur dapat diterapkan dalam berbagai situasi, termasuk perang antar kerajaan.
Commanding Presence (Kharisma Pemimpin) – Kemampuan ini memberinya aura kepemimpinan yang kuat, membuat orang lain lebih mudah menerima dan mengikuti perintahnya.
Adaptability (Fleksibilitas Supernatural) – Memungkinkannya beradaptasi dengan cepat terhadap dunia baru, baik dalam budaya, bahasa, maupun teknik bertarung.
Divine Blessing (Berkat Ilahi) – Perlindungan khusus dari Dewi Velthoria yang meningkatkan daya tahan tubuh dan mempercepat pemulihan luka.
Gate Shifting (Pergeseran Gerbang) – Kemampuan tingkat tinggi yang memungkinkan pengguna membuka gerbang antar dimensi atau berpindah ke lokasi tertentu dalam dunia yang sama. Kemampuan ini memberinya kendali atas perjalanan ruang dan waktu, mulai dari teleportasi instan hingga perpindahan antar dunia.
Dewi Velthoria menatapnya dengan lembut. "Perjalananmu baru saja dimulai. Aku telah mengatur kebangkitanmu di dunia baru. Gunakan kehidupan keduamu dengan bijak, dan selamatkan dunia ini dari kehancuran."
Sebuah gerbang cahaya terbuka di belakang Lütjens. Ia menatap dewi itu untuk terakhir kalinya sebelum cahaya terang menyelimuti tubuhnya sepenuhnya.
Dalam sekejap, ia menghilang dari kehampaan.
Dewi Velthoria tersenyum kecil sebelum mengalihkan pandangannya ke kejauhan. "Semoga takdir membawamu menuju penebusan yang sejati…" bisiknya lembut.
Kesadaran perlahan kembali. Pandangannya masih buram, kepalanya terasa berat, seolah baru saja melewati perjalanan panjang yang tak berujung. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi yang ia rasakan adalah tubuh yang asing—kecil, lemah, dan jauh berbeda dari tubuhnya yang dulu.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku di ambang pintu. Mata gadis itu membulat, ekspresinya seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Barang yang dibawanya terjatuh dari genggamannya, suara dentingan terdengar saat benda itu menyentuh lantai kayu.
Dengan tangis yang pecah, gadis kecil itu berlari dan memeluknya erat.
"Ana!!! Akhirnya kamu bangun! Ibu kira kamu akan pergi meninggalkan ibu sendirian..."
Sang Laksamana hanya bisa terdiam. Pelukan hangat itu begitu nyata, begitu erat hingga ia bisa merasakan getaran tubuh gadis kecil yang menangis tersedu-sedu. Namun, yang lebih mengejutkan adalah kata-kata yang baru saja ia dengar. "Ibu?"
Bingung, ia menoleh ke kiri dan kanan. Matanya menangkap bayangan di cermin di sudut ruangan. Dua gadis kecil terlihat di sana. Salah satunya memeluk yang lain dengan erat, air mata mengalir di pipinya.
Pikirannya berputar liar, mencoba memahami situasi ini. Ia mengangkat tangannya—tangan kecil, mungil, jauh berbeda dari tangan kekar yang dulu sering menggenggam kemudi kapal dan memberi perintah kepada ribuan prajurit. Ia menyentuh wajahnya sendiri, kulitnya halus tanpa bekas luka pertempuran.
“Tunggu sebentar…” gumamnya dalam hati. “Kalau gadis ini seorang ibu… Maka gadis kecil yang dipeluknya itu…?!?”
Jantungnya berdegup kencang.
Saat itulah kesadaran menghantamnya seperti gelombang besar. Ia telah bereinkarnasi.
Bukan sebagai seorang pria gagah yang pernah memimpin armada perang, bukan sebagai sosok yang ditakuti di medan tempur, tetapi sebagai seorang gadis kecil.
Anastasia von Siegfried, seorang anak yang baru saja membuka matanya kembali di dunia ini, dengan jiwa seorang laksamana yang terperangkap di dalamnya.
Cahaya lembut matahari pagi menembus celah jendela kayu, menerangi ruangan kecil dengan sinarnya yang hangat. Suara burung berkicau di kejauhan, mengiringi hembusan angin yang menerpa dedaunan. Perlahan, kelopak mata seorang gadis kecil terbuka, menyambut dunia dengan tatapan yang masih buram.
Kesadaran mulai kembali. Sang Laksamana, yang kini hidup kembali dalam tubuh seorang anak, terbangun dengan kebingungan.
Di mana aku...? pikirnya.
Namun, sebelum ia bisa mencerna keadaan, tubuh mungilnya tiba-tiba direngkuh dalam pelukan hangat. Seorang wanita dengan rambut perak panjang dan dua ekor kucing menangis tersedu di dadanya.
"Ana!!! Akhirnya kamu bangun! Ibu kira kamu akan pergi meninggalkan ibu sendirian..."
Tangisan kebahagiaan itu membuatnya terdiam. Pelukan erat yang terasa nyata, suara yang penuh kasih sayang—ini semua bukan mimpi. Ia menatap wanita itu dengan mata membulat. Perlahan, ingatannya kembali mengalir. Ia adalah Gunther Lütjens, seorang Laksamana yang gugur bersama kapal kebanggaannya, Bismarck. Namun sekarang, ia telah bereinkarnasi menjadi Anastasia von Siegfried, seorang gadis kucing kecil, putri dari Seraphina.
Sang ibu, Seraphina, adalah mantan petualang peringkat S yang kini hidup sederhana di sebuah desa kecil. Karena ia berasal dari ras Nekomata, manusia setengah kucing, tubuhnya terlihat mungil, tetapi aura ketangguhan masih terpancar dari cara ia bergerak dan berbicara.
"Ibu...?" suara kecil Anastasia terdengar lirih. Kata itu keluar begitu saja, meskipun hatinya masih diliputi kebingungan.
Seraphina mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Ya, sayang. Ibu di sini. Ibu sangat bersyukur kamu akhirnya sadar. Kamu sudah tidur selama tiga hari sejak tenggelam di sungai."
Tenggelam? Sejenak, Anastasia merenung. Tubuh ini sebelumnya adalah seorang anak yang hampir mati karena insiden itu, lalu jiwanya yang baru ditempatkan ke dalam tubuh ini.
Saat sendirian, ia duduk di depan cermin tua di pojok kamar. Yang ia lihat adalah seorang gadis kecil dengan sepasang telinga kucing, rambut pirang yang sedikit bercampur perak, serta dua ekor yang mirip dengan ibunya. Perlahan, ia menyentuh wajahnya sendiri.
"Jadi, ini tubuh baruku..."
Kemudian, matanya menangkap sesuatu di pundaknya. Sebuah tato yang tampak misterius terukir di sana. Tato inilah yang disebut Dewi Velthoria.
"Tato apa ini...?" gumamnya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Seraphina masuk ke kamar dengan senyum lembut. "Ada apa, Ana?"
Anastasia menoleh ke arah ibunya. "Ibu... tato ini. Sejak kapan aku memilikinya?"
Seraphina menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Tato itu sudah ada sejak kamu lahir. Ibu tidak tahu dari mana asalnya, tetapi itu tidak pernah berubah sejak hari pertama kamu datang ke dunia ini."
Anastasia terdiam. Berarti Dewi Velthoria sudah menyiapkan tubuh ini sejak awal.
Malam pun tiba. Di dalam rumah kecil di pinggiran desa, Anastasia dan Seraphina duduk di meja makan. Setelah menikmati makan malam sederhana, mereka pergi ke kamar. Sang ibu bercerita tentang kehidupannya di masa lalu sebagai petualang.
"Ibu dan teman ibu pernah mengalahkan seekor naga yang mengancam kerajaan ini," kata Seraphina dengan nada bangga. "Tapi, tentu saja, itu tidak mudah. Kami harus menyusun strategi selama berhari-hari dan mempersiapkan diri dengan baik."
Anastasia menyimak dengan penuh perhatian. Ia masih merasa aneh dengan kehidupan barunya, tetapi mendengar cerita ibunya membuatnya sedikit nyaman.
Anastasia menatap ibunya dengan penuh rasa ingin tahu. "Jika Ibu adalah seorang petualang dan pernah mengalahkan naga, ke mana semua uang, penghargaan, dan pencapaian Ibu?" tanyanya dengan nada penasaran.
Seraphina, yang sedang duduk di tepi tempat tidur, tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia menggaruk pipinya dengan canggung, lalu tertawa kecil. "Y-yah... Dulu Ibu suka minum dan membeli beberapa perlengkapan yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan, hehe..." jawabnya dengan nada malu.
Anastasia mengerutkan kening. "Jadi, Ibu menghabiskan semua harta yang Ibu dapatkan hanya untuk minuman dan barang-barang tidak penting?"
Seraphina tersenyum canggung. "Yah, kalau dipikir-pikir sekarang, sepertinya memang begitu... Tapi saat itu Ibu tidak merasa membuang-buang uang, lho! Semua perlengkapan yang Ibu beli terlihat keren!"
"Tapi, kalau begitu, ke mana semua perlengkapan Ibu sekarang?" tanya Anastasia lagi, masih belum puas dengan jawaban ibunya.
Seraphina menghela napas sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Ah... Semua pedang dan perlengkapan Ibu disimpan oleh ayahmu. Dia takut kalau Ibu mabuk, Ibu bisa menghancurkan wilayahnya dengan tidak sengaja."
Anastasia terdiam sejenak, mencoba membayangkan ibunya yang kecil dan mungil ini bertarung melawan naga serta mengayunkan pedang besar. Lalu, tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul di benaknya. "Tunggu... Kalau begitu, berarti Ibu memang cukup kuat sampai Ayah khawatir seperti itu?"
Seraphina tertawa dan mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Tentu saja! Dulu, Ibu adalah salah satu petualang terkuat. Tapi sekarang, tugas Ibu adalah merawatmu dan memastikan kamu tumbuh dengan baik."
Anastasia tersenyum kecil. "Kalau begitu, suatu hari nanti, aku ingin melihat perlengkapan Ibu!"
Seraphina terkekeh. "Mungkin suatu hari nanti, jika Ayah mengizinkan," katanya sambil menatap Anastasia dengan lembut. "Tapi sekarang, sudah cukup larut. Sebaiknya kamu tidur."
Ia menarik selimut dan menutup tubuh kecil Anastasia dengan hangat. Lalu, dengan gerakan lembut, ia menepuk kepala putrinya. "Selamat tidur, Anastasia."
Anastasia menguap kecil sebelum memejamkan matanya. "Selamat tidur, Ibu..."
Seraphina tersenyum melihat wajah putrinya yang perlahan terlelap. Dalam hati, ia merasa bersyukur bisa menjalani kehidupan sederhana ini bersama anak yang begitu berharga baginya.
Keesokan harinya, suara roda kereta kuda terdengar dari luar rumah. Anastasia, yang sedang duduk di dekat jendela, melihat seorang pria turun dari kereta bersama seorang anak laki-laki dan seorang wanita.
Seraphina membuka pintu dan tersenyum. "Heinrich... Liliane... August... Kalian datang."
Heinrich von Siegfried, seorang pria gagah berambut pirang dengan aura seorang bangsawan, berjalan mendekat dengan langkah mantap. Di sampingnya, Liliane von Siegfried, seorang wanita anggun dengan rambut pirang, berdiri dengan penuh wibawa. Dan di belakang mereka, seorang anak laki-laki seusia Anastasia, August von Siegfried, menatap dengan rasa ingin tahu.
"Seraphina, aku senang melihatmu baik-baik saja," kata Heinrich. Tatapannya lalu beralih ke Anastasia. "Dan Ana... aku sangat lega kamu telah sadar."
"Ana," suara Seraphina lembut, "ini ayahmu dan ibu tirimu, Liliane."
Anastasia menatap pria itu dengan sedikit kebingungan. Jadi ini ayahnya? Heinrich von Siegfried, seorang bangsawan yang merupakan pemimpin wilayah ini. Dan wanita di sampingnya, Liliane, adalah istri sahnya sekaligus teman lama Seraphina.
Anastasia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Senang bertemu denganmu, Ayah, Ibu Liliane."
Liliane tersenyum ramah. "Kami sangat mengkhawatirkanmu, Ana. August juga ingin bertemu dengan kakaknya lagi."
Anastasia melirik bocah laki-laki itu. August menatapnya dengan ragu, lalu tersenyum kecil. "Aku senang kakak sudah sadar."
Meskipun masih canggung, Anastasia bisa merasakan bahwa mereka benar-benar peduli padanya. Hubungan antara Seraphina dan Liliane tampaknya cukup harmonis meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.
Heinrich menghela napas lega. "Aku ingin membawa kalian kembali ke rumah utama untuk sementara. Ana masih butuh waktu untuk pulih."
Seraphina menatap Anastasia, lalu tersenyum lembut. "Apa pendapatmu, Ana?"
Anastasia terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Baik, Ibu."
Meski masih banyak pertanyaan di kepalanya, ia sadar bahwa ini adalah awal dari perjalanan barunya. Dengan kehidupan yang berbeda, keluarga yang baru, dan tanda takdir yang sudah melekat di tubuhnya, Anastasia von Siegfried akan segera menghadapi masa depan yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!