Di sebuah kerajaan yang makmur dan sejahtera, beredar mitos tentang Dewa Permohonan. Setiap orang berhak memohon satu permintaan kepada sang Dewa, meski hasilnya tak akan tampak dalam sekejap mata. Namun, orang-orang amat percaya akan mitos tersebut.
Clep!
Sebuah pedang menembus dada seseorang, langsung menusuk jantungnya. Semua mata yang menyaksikan kejadian itu terbelalak, tetapi tak ada yang berani bersuara. Mereka hanya bisa menatap orang yang melempar pedang itu dengan perasaan takut.
“Dasar sampah!” umpat orang tersebut. Ia melangkah dengan tenang, seolah tak pernah melakukan kesalahan, lalu menggenggam kembali pegangan pedangnya dan menariknya keluar. Darah segar menyembur deras, dan sosok yang terkena pedang itu tumbang seketika.
Dialah Evelyne von Astria, seorang Duchess dari salah satu dari tiga keluarga pendiri kerajaan. Keluarga Astria dikenal memiliki ilmu magis dalam menyembuhkan orang.
“Orang sekarat, cara tercepat menyembuhkannya adalah mati!” ucap Evelyne dengan senyum mengerikan. Matanya menyapu sekeliling, menatap tajam orang-orang yang masih terpaku ketakutan.
Hari itu, kerajaan sedang menggelar festival penyembahan kepada Dewa Permohonan. Semua warga berkumpul untuk memohon berkah dari sang Dewa. Evelyne pun turut hadir, tetapi ucapannya berubah menjadi malapetaka. Seseorang berani menyebutnya pembantai, dan amarahnya pun meledak. Di hari suci itu, ia mengotori tanah dengan darah.
“Duchess Astria! Apa yang Anda lakukan?!” Suara seorang pria bergaung di tengah kerumunan.
Evelyne melirik malas. “Heeh, Raja. Kau belum mati juga?” gumamnya dengan nada mengejek.
“K-kau!” Sang Raja mengepalkan tangannya, matanya dipenuhi kemarahan. Selama dua tahun terakhir, ia menderita penyakit aneh yang tak bisa disembuhkan oleh tabib mana pun.
Sejak ratusan tahun lalu, tugas penyembuhan keluarga kerajaan memang diamanatkan kepada keluarga Astria. Namun kini, tidak lagi. Evelyne tak pernah menundukkan kepalanya pada siapa pun sejak ibunya meninggal karena permainan licik di dalam kediaman Duke Astria.
Hatinya telah mati. Ia tak lagi bisa membedakan mana yang benar dan salah. Bagi Evelyne, siapa pun yang berani menentangnya berarti ingin merasakan pedangnya menembus tubuh mereka.
“Bukankah ini pengkhianatan?” bisik salah satu warga dengan suara gemetar.
Sang Raja tetap tak berkutik. Bukan karena ia tak ingin menyingkirkan Evelyne yang angkuh dan kejam, tetapi karena ia tak bisa. Evelyne adalah satu-satunya keturunan Astria yang masih hidup. Jika ia terbunuh, harapan akan sirna, dan kutukan mengerikan akan menimpa seluruh kerajaan.
Di dekat Raja, seorang pria berjubah berdiri tegap. Wajahnya tertutup berewok dan kumis lebat, rambutnya panjang hingga sepinggang. Ia tampak seperti seorang barbar, tetapi julukannya adalah Pedang Kerajaan, sang penjaga perbatasan yang tak terkalahkan. Dialah Piter von Zisilus, seorang jenius pedang yang terhormat dan disegani.
Selain itu, Piter juga pemimpin dari salah satu tiga keluarga pendiri kerajaan. Sebagai Duke Zisilus, ia dikenal sebagai ahli strategi dan pemimpin yang brilian.
“Haaah, kau diam saja, Piter?” sindir Evelyne. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Evelyne tak pernah bersinggungan dengan keluarga Zisilus karena jasa besar mereka di masa lalu.
Trang!
Suara pedang keluar dari sarungnya.
Evelyne menatap Piter tanpa ekspresi. Wajahnya sulit ditebak saat pria itu melangkah maju, menyeret pedang besarnya di atas tanah berbatu.
“Apa yang kau mau, Eve?” tanya Piter, suaranya bergetar hebat.
Mata Evelyne memerah, giginya bergetar, dan wajahnya menampakkan kemarahan bercampur dengan sesuatu yang lain, sebuah rasa sakit yang tak terlukiskan.
“Bangsat! Kau yang melakukannya, kan?!” pekik Evelyne, suaranya sarat dengan kesedihan. Bahkan semua orang terkejut
Semua orang terdiam. Bahkan sang Raja pun terkejut.
Evelyne melemparkan sarung pedangnya, memperlihatkan bilah tajam yang sanggup menebas kepala siapa pun tanpa ampun.
“Sadarlah, Eve!” teriak Piter akhirnya.
Tiba-tiba, hujan turun deras. Warga berlarian mencari tempat berteduh, menyisakan tiga sosok yang tetap berdiri di tengah lapangan—Evelyne, Piter, dan sang Raja.
“KAU yang mengambil kesucianku! KAU yang membuatku seperti ini! KAU, bedebah, Piter!!”
Evelyne berteriak dengan suara mengguncang langit, seiring petir yang menyambar keras.
Sang Raja terpaku, menatap bergantian antara Piter dan Evelyne. Pengawal datang menawarkan payung, tetapi Raja menolaknya.
Piter menghela napas berat. “Aku memang tak dapat dimaafkan… Aku juga tak bisa mengubah segalanya. Tapi, Eve… Aku hanya berharap kau tidak membenci anak di perutmu.”
JEDAR!
Suara petir menyambar langit.
Sang Raja membelalakkan mata. Anak?
Seluruh kerajaan tahu bahwa Evelyne pernah menikah, tetapi di malam pernikahannya, ia membunuh suaminya sendiri. Sejak saat itu, ia tak pernah berdekatan dengan siapa pun.
Sedangkan Piter… Baginya, Piter adalah pria yang tak pernah peduli pada lawan jenis. Sang Raja tak pernah melihatnya menunjukkan ketertarikan pada siapa pun.
Namun, hari ini…
Sang Raja menyaksikan kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah rahasia besar yang tersembunyi di balik darah dan pengkhianatan.
“Aku memang pantas mati,” bisik Piter, lalu ia mengangkat pedangnya dan menaruhnya di lehernya sendiri.
Mata Evelyne dan sang Raja melebar.
Cret!
Krek!
Duk!
Piter mengakhiri hidupnya sendiri.
Evelyne terengah-engah, menatap kepala Piter yang kini tergeletak di hadapannya.
Sang Raja terdiam, lalu pingsan akibat terkejut.
“Aaaaaaaaaaa!!”
Teriakan Evelyne menggema, menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Jika bukan karena nyawa lain yang dikandungnya, mungkin ia sudah menyusul Piter saat itu juga.
Hujan semakin deras. Beberapa pengawal istana akhirnya datang. Dengan langkah gontai, Evelyne mendekati jenazah Piter.
Di tangan pria itu, ada selembar kertas permohonan dari upacara pagi tadi. Evelyne meraihnya dengan tangan gemetar dan membaca isinya.
AKU BERHARAP EVE DAPAT BAHAGIA.
Tetesan air mata jatuh di atas kertas itu.
Dan untuk pertama kalinya, Evelyne menangis.
.
.
Setelah kejadian hari itu, Evelyne mengurung diri di kamar. Setiap hari dia dihantui rasa penyesalan, wajah cantiknya kini tampak pucat. Dia makan seadanya dan menangis, lalu kembali tertidur.
Itulah yang dia lakukan setiap harinya, hingga suatu hari sebuah kabar mengantarkan Evelyne keluar dari kediamannya. Kabar di mana sang Raja dinyatakan sakit parah dan hampir sekarat.
Dengan kereta kudanya dia datang ke istana, perutnya saat itu sudah membesar. Semua mata tertuju pada Evelyne, dan dia langsung menghadap ke arah kamar sang Raja.
“Duchess saya mohon, selamatkan suami saya hiks hiks,” Tangis seorang wanita cantik jelita, dia adalah Ratu Kerjaan saat ini.
“Semua orang keluar, Ratu kau tinggal disini!” Perintah Evelyne dan duduk di hadapan sang Raja yang saat ini terbaring di atas ranjangnya.
Akhirnya semua orang keluar, Evelyne menghela nafasnya perlahan dia mengulurkan kedua tangannya ke atas tubuh sang Raja. Evelyne menutup matanya hingga cahaya hijau keemasan keluar dari telapak tangannya.
Cahaya itu kian membesar dan terang hingga menyelimuti seluruh tubuh sang Raja. Sang Raja perlahan membuka kedua matanya dan menggerakkan tangannya.
“Evelyne!” Teriak sang Raja.
Clep!
Sebuah pedang menancap di perut buncit Evelyne, matanya seketika membulat, nafasnya tertahan dan hingga pedang itu kembali ada yang mencabut dan darah keluar dengan hebatnya dari perut Evelyne.
“Penjaga!” Teriak sang Raja, dan masih terdengar oleh Evelyne. Raja juga tampak menahan perut Evelyne yang mengeluarkan banyak darah.
“Tolong, selamatkan anakku.” Ucap Evelyne dalam nafas terakhirnya, sang Raja membulatkan matanya dan langsung mengambil pedang dan menodongkannya pada sosok di belakang tubuh Evelyne. Yang tak lain dan tak bukan adalah sang Ratu.
.
.
.
“Haaa.. haa.. haa… haah…” Suara nafas terengah terdengar begitu sakit, seorang gadis cantik dengan rambut keemasan bangun dari tidurnya dia langsung menekan perutnya dan tersentak kaget kemudian.
“Anakku?” Ucapnya dan langsung memutar mata ke arah sekeliling, nampak sunyi dan sebuah kamar mewah kini ditempatinya.
Sebuah kamar yang amat familiar baginya. Itu adalah kamarnya saat berusia 19 tahun. Dia menatap ke arah cermin dan bergegas lari.
Bruk!
Dia terjatuh. Kepalanya berdenyut amat sakit, dan pengelihatannya mengabur. Dengan segenap tenaganya, dia kembali bangkit dan berjalan sempoyongan ke arah cermin.
“A-aku kembali?” gumam Evelyne von Astria.
Tok! Tok! Tok!
“Nak, apa kau sudah bangun?”
Suara dari luar kamar membuat mata Evelyne terbelalak. Dia langsung berjalan ke arah pintu dan perlahan membukanya.
“Ibu…” gumam Evelyne, lalu langsung memeluk wanita di hadapannya dengan berurai air mata. Sang ibu, yang tak lain adalah Duchess Astria, terkejut sesaat sebelum akhirnya mengusap punggung putrinya dengan lembut.
“Nak, kamu tidak apa-apa?” tanya sang ibu. Evelyne mengangguk-angguk, tetapi tangisnya tertahan seketika saat mengingat sesuatu.
Dia segera melepaskan pelukannya dan menatap wajah sang ibu yang tampak begitu pucat. Evelyne tahu bahwa kondisi kesehatan ibunya saat ini tidak baik, bukan karena penyakit biasa, tetapi karena racun yang dikonsumsi dalam jangka panjang tanpa disadari.
"Saya baik-baik saja, Ibu. Namun, saya mengalami kesulitan dalam suatu hal," ucap Evelyne. Tangannya mengepal erat. Kini, dia tak akan membiarkan siapa pun menyakiti orang-orang tercintanya lagi.
Evelyne mempersilakan ibunya masuk ke dalam kamar. Dia tidak langsung menceritakan apa yang terjadi karena di sana, bahkan tembok pun punya telinga. Oleh karena itu, Evelyne akan menyelesaikan semuanya sendiri.
“Ibu, saya ingin sekali jalan-jalan di taman hari ini. Bisakah Anda menemani saya?” tanyanya.
Duchess Astria terdiam sejenak sebelum terkekeh. "Ah, ternyata putriku sedang gugup, rupanya. Tidak apa-apa, Nak. Pertunanganmu malam ini pasti akan baik-baik saja. Ibu akan menemanimu ke taman setelah sarapan."
Sang ibu mengelus rambut Evelyne penuh kasih sayang. Evelyne tersenyum samar. Jadi, dia kembali ke momen ini? Momen yang selalu terngiang dalam benaknya, tangan lembut yang hangat membelai rambutnya, dan senyuman yang teduh itu selalu ada dalam benaknya.
Sosok ibu bagi Evelyne memang sangat berarti, sosok yang dapat menjadikan dirinya kuat dan bahkan berubah dalam hitungan detik. Dan kali ini, kesempatan kedua dia dapati, Evelyne tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu begitu saja.
Anak yang dulu dia kandung harus segera dia dapatkan kembali, dan pria yang mencintainya dengan tulus harus dia balas ketulusan itu berkali-kali lipat. Sedangkan mereka yang telah Bernai menyingung, dan bermain api di belakangnya maka Evelyne tak akan sungkan untuk melenyapkan mereka.
Jika memang begitu, kali ini dia harus memainkan pertunjukan yang bagus, dan memberi pelajaran pada mereka yang telah membuatnya terluka dahulu.
Laksa Aragont. Dia dikenal sebagai pria kuat dan tangguh, suksesor dari Marquis Aragont. Saat ini, dia adalah tunangan Evelyne, pria yang dulunya dianggap menjanjikan.
Pagi itu, setelah sarapan, Evelyne menemui ibunya dengan mengenakan gaun indah khas musim semi. Gaun itu sedikit terbuka, memperlihatkan keanggunan tubuhnya yang menawan.
"Ayo, Ibu! Kita ke taman!" ajaknya riang.
Di sana, sang ayah, Duke Astria tengah menatapnya. Lelaki itu mengangguk pelan.
“Ah, Ayah rupanya di sini.” Evelyne menatapnya lekat-lekat sebelum berkata dengan tenang, “Apa Ayah berniat membatalkan pertunanganku? Jangan katakan itu pada Ibu, tapi katakan langsung padaku.”
Duke Astria berdehem sebelum akhirnya berkata, “Duke Zisilus mengirimkan surat. Dia akan berkunjung hari ini.”
Evelyne menajamkan tatapannya.
“Mungkin ini memalukan. Tapi Alena saat ini tengah mengandung, dan itu akan menjadi aib bagi kita jika tidak segera dinikahkan.”
Evelyne menggertakkan giginya. Bajingan.
Gerombolan sampah memang seharusnya berada di tempat sampah.
“Siapa ayahnya?” tanyanya, tetap tenang. “Maksud saya, anak di dalam perut Alena, Ayah?”
Ibu Evelyne tampak gelisah, sementara Duke Astria menghela napas. "Laksa Aragont."
Evelyne menahan tawa sinis.
Bagaimana tidak? Selama ini, Laksa adalah tunangannya, tetapi kini dia malah menghamili wanita lain?
"Suamiku… apakah Anda berencana…" Ibu Evelyne berbisik dengan mata berkaca-kaca.
Evelyne menggenggam tangan sang ibu dengan lembut. "Aku kakaknya, Ibu. Jadi, aku yang harus menikah lebih dulu, bukan begitu, Ayah?"
Duke Astria mengangguk. “Benar. Duke Zisilus mengajukan surat pertunangan untuk keluarga kita. Namun, seperti yang beredar dalam rumor, dia memiliki sifat yang kasar dan keras.”
Evelyne mengernyit. Kasar? Yang benar saja. Mana ada pria kasar yang justru memilih bunuh diri karena merasa bersalah pada wanitanya?
“Aku tidak keberatan,” katanya akhirnya. “Demi martabat keluarga kita. Ayah, saya sudah ada janji dengan Ibu untuk jalan-jalan di taman. Bisakah Ayah mengurus sisanya?”
Nada suaranya dibuat sedikit imut, dan sang ayah pun akhirnya mempersilakan.
Alena sendiri tak memiliki gelar Astria karena dia hanyalah anak haram hasil hubungan sang ayah dengan seorang pelayan. Wanita itu selalu berlagak sebagai nyonya saat Duke Astria tak ada di rumah, dan dialah yang telah meracuni ibu Evelyne hingga sakit seperti sekarang.
“Saya pamit, Ayah,” Evelyne menundukkan badan dengan penuh tata krama sebelum pergi bersama ibunya.
Saat mereka hendak keluar kediaman, sebuah kereta kuda memasuki halaman mansion yang luas.
Evelyne dan ibunya terdiam sejenak ketika seorang pria bertubuh tinggi besar keluar dari kereta. Jubah besarnya menutupi tubuhnya, sementara janggut dan kumis tak terawat menutupi wajahnya.
"Salam kepada Duke Zisilus," Evelyne menunduk hormat.
“Hem senang bertemu dengan anda Lady Evelyne, salam kepada Duchess Astria.”
Piter von Zisilus menundukkan kepalanya dengan hormat kepada ibu Evelyne, dan Duchess Astria membalasnya dengan senyuman ramah.
"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Duke," ucap Duchess Astria.
Evelyne pun tersenyum dan mengangkat wajahnya dengan anggun, layaknya seorang lady yang terhormat.
“Selamat atas pertunangan Anda, Lady Evelyne,” kata Piter dengan sopan.
Evelyne terkekeh kecil. "Bukankah Anda tunangan saya? Haruskah saya juga memberi selamat pada Anda, Tuan Duke?"
Piter tampak terpaku mendengar ucapannya.
“Maafkan ketidaksopanan saya. Sepertinya pendengaran saya kurang baik akhir-akhir ini,” katanya akhirnya, meminta penjelasan lebih lanjut.
"Benarkah? Sayang sekali. Bukankah malam ini adalah acara pertunangan kita?"
Duchess Astria terdiam, tak dapat berkata-kata melihat sikap Evelyne yang begitu dewasa dan tenang.
"Biar ayahmu yang menjelaskannya nanti, Nak. Tuan Duke, izinkan saya dan putri saya menikmati momen minum teh hari ini," ujar Duchess Astria akhirnya.
“Baik, Duchess. Namun, apakah Lady Astria bersedia meluangkan waktu sejenak setelah minum teh?” Duchess Astria menatap Evelyne, begitu pula Piter.
“Dengan senang hati, Tuan Duke,” jawab Evelyne dengan elegan. Mereka pun akhirnya pergi.
Sementara itu, Alena yang diam-diam memperhatikan mereka terkekeh penuh kemenangan.
"Kamu memang harus berkorban demi keluarga yang kau banggakan itu, Evelyne. Maka, lakukanlah pengorbanan itu sampai akhir," batinnya, merasakan kepuasan dalam hatinya.
Pinter von Zisilus akhirnya sampai berhadapan dengan Duke Astria. Mereka kini tengah duduk di ruang tamu Kediaman Duke Astria. Suasana di antara mereka tampak tegang, hingga helaan napas kasar terdengar dari Duke Astria.
"Tuan, bagaimana jika Anda menikah dengan putri saya, Alena? Putri saya, Evelyne, adalah penerus keluarga ini," ucap Duke Astria dengan berat hati.
Pinter terkekeh sumbang. "Apakah Anda berniat melakukan konfrontasi dan menjadikan anak di perut putri Anda sebagai anakku?"
Deg!
Seketika itu juga, Duke Astria terdiam. Tentang kehamilan Alena, tak ada satu pun yang mengetahuinya. Jika Duke Zisilus bersedia menjadi suami Alena, ia berencana menggugurkan anak yang dikandung Alena. Bagaimanapun, Evelyne adalah penerus keluarga Duke Astria.
"Saya tak pernah berniat menyinggung hal pribadi seperti ini, Tuan Duke. Namun, kehormatan keluarga kami sangat dijunjung tinggi. Anda tak perlu cemas mengenai pengganti Anda di masa depan. Saya berjanji, anak pertama kami akan bermarga Astria," ucap Pinter, berusaha menenangkan Duke Astria.
Namun, kekhawatiran Duke Astria bukan hanya itu. Ada konsekuensi lain, setiap putra atau putri Zisilus pasti akan memakan korban nyawa, yaitu ibunya sendiri. Itu sudah menjadi rahasia umum, dan semua orang mengetahuinya.
"Saya senang mendengarnya. Namun, ada hal lain yang saya harapkan dalam aliansi ini, Tuan Duke," ujar Duke Astria, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Alena hanyalah anak haramnya dan tak sebanding dengan Evelyne, yang memiliki darah bangsawan murni, pendidikan tinggi, serta kecerdasan luar biasa. Selain itu, Evelyne juga sudah mampu menggunakan kekuatan suci dan bisa menyembuhkan keluarga kerajaan.
"Katakan apa yang Anda harapkan?" tanya Duke Zisilus dengan tenang.
"Bisakah Evelyne melahirkan tanpa mempertaruhkan nyawanya?"
Hening. Ruangan itu terasa sesak dalam keheningan yang menyesakkan.
"Itu bisa saya lakukan. Namun, semuanya tergantung pada Lady Evelyne sendiri, sejauh mana kekuatan sucinya dapat digunakan," jawab Duke Zisilus.
Duke Astria tertegun dan menundukkan kepala. Kini tak ada lagi jalan mundur, semua telah terbentuk dan harus dilakukan.
"Malam ini, upacara kedewasaan Evelyne akan dilaksanakan, sekaligus pemilihan suami. Oleh karena itu, saya berharap Anda datang sebagai salah satu pria yang akan dipilih Evelyne," ucap Duke Astria.
Duke Zisilus terdiam. Ia tak yakin akan dipilih oleh Evelyne, mengingat banyak pria rupawan dan berpendidikan menginginkannya malam ini. Namun, teringat kembali ucapan Evelyne beberapa saat lalu, ia menyunggingkan senyum dan mengangguk setuju. Dia tau akan perasannya sendiri pada Evelyne yang sudah tertanam sejak dia kecil, namun kebernainya tak pernah sebesar saat ini.
.
.
Sementara itu, Duchess Astria tengah berbincang dengan putrinya. Evelyne tampak menggenggam setangkai bunga dan duduk berhadapan dengan sang ibu.
"Ibu, bisakah Anda berhenti mengonsumsi teh ini?" Evelyne menunjuk cangkir teh di hadapan sang ibu.
Duchess Astria terdiam sejenak. "Memangnya ada apa sampai putriku tampak begitu cemas?" tanyanya, bingung.
Evelyne mengambil beberapa kertas tipis selebar 1 cm dan sepanjang 5 cm, lalu mencelupkan satu per satu ke dalam teh. Dari hampir 25 kertas, satu di antaranya berubah warna menjadi kuning kecoklatan.
"Teh ini beracun, Ibu," bisik Evelyne.
Seketika itu juga, Duchess Astria terbatuk keras dan menjatuhkan cangkir di atas meja.
"Jangan panik, Ibu, saya mohon. Sejak awal, saya memang curiga ada sesuatu yang aneh dalam teh ini. Meski aroma dan rasanya sangat memikat, teh ini seakan mendapat campuran dari daun lain yang mirip dengan daun teh," lanjut Evelyne.
Duchess Astria menggenggam tangannya sendiri, perasaan takut dan amarah bercampur aduk. Ia tak sadar selama ini telah mengonsumsi sesuatu yang mencurigakan. Bahkan, ia tak tahu siapa yang bermain di balik layar. Melihat sedikit bukti ini, jelas bahwa di dalam kediaman Astria ada mata-mata, atau lebih buruk lagi, ada seseorang yang menginginkan kematiannya.
"Bawa ini ke mana pun, Ibu. Ini akan sangat membantu," ujar Evelyne, menyerahkan kertas uji racun itu pada ibunya.
"Dan saya berharap Ibu merahasiakan kejadian ini terlebih dahulu. Saya juga akan mencari penawar yang tepat," lanjutnya.
Duchess Astria hampir menangis mendengar ucapan putrinya. Ia langsung merengkuh Evelyne dan menahan tangisnya.
"Terima kasih banyak, Nak."
Evelyne mengangguk pelan. Namun, sebelum pembicaraan mereka berlanjut, seorang tamu tak diundang tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka.
"Lady Evelyne, kecantikan Anda mengalahkan bunga di taman ini," ucap pria itu, menyerahkan setangkai mawar putih.
Evelyne menatap sosok pria yang baru saja menyapanya, Laksa Aragont. Evelyne bangkit dari duduknya, namun alih-alih menerima bunga itu, ia langsung menunduk memberi hormat layaknya seorang Lady yang terhormat.
"Senang berjumpa dengan Anda, Tuan Laksa. Adakah alasan yang membawa Anda ke sini?" tanyanya sopan.
Seketika itu juga, Laksa mengepalkan tangannya, mencengkeram batang mawar, lalu menatap Evelyne dengan sedikit sinis.
"Malam ini adalah acara pertunangan kita, Lady. Haruskah kita berbicara seformal ini?" tanyanya, berusaha menebarkan pesonanya. Namun sayang, hal itu tak mempan pada Evelyne.
"Memang demikian. Menghormati dan menghargai berlaku dalam hubungan suami-istri. Bagaimana mungkin saya, yang bahkan belum masuk tahap perkenalan, harus berbicara tidak sopan pada Anda, Tuan Laksa?"
Duchess Astria mengangguk pelan. Apa yang dikatakan putrinya memang benar.
Di tengah ketegangan itu, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap datang. Ia menunduk memberi salam kepada Duchess Astria, menunjukkan perbedaan sikap antara dirinya dan Laksa.
"Senang berjumpa lagi dengan Anda, Duchess Astria. Akankah saya mendapat waktu seperti yang saya minta beberapa jam lalu?"
Duchess Astria terkekeh dan berdiri. "Senang juga bertemu dengan Anda, Tuan Duke. Tentu saja."
Pinter menoleh ke arah Evelyne dan mengulurkan tangannya. "Bolehkah saya meminta waktu Anda, Lady Evelyne?"
Evelyne menerima uluran tangan itu sebelum akhirnya digandeng oleh Pinter. "Sesuai permintaan Anda, Tuan Duke," jawabnya dengan hormat.
Mereka berjalan menuju taman yang lebih sunyi. Percakapan mereka mungkin akan sedikit lebih pribadi dan tak layak didengar orang lain.
"Anda suka minum teh?" tanya Pinter, berusaha mengalihkan kegugupannya.
"Ya, saya suka beberapa jenis teh. Tuan Duke, apakah Anda gugup?" goda Evelyne, terkekeh kecil. Karena tanpa sengaja Evelyne merasakan bila tangan Piter sedikit bergetar.
"Apakah saya bisa berbohong saat ini? Bukankah sudah sangat jelas?" Pinter menghela napas panjang. Dia sama sekali tak dapat menyembunyikan kegugupannya, Evelyne ingin terbahak, mendapatkan kejujuran dari Duke Zisilus yang terkenal sebagai pedang Kerjaan itu.
"Saya memang pandai menilai orang, dan mata saya cukup jeli melihat tingkah seseorang. Ah, lupakan. Saya lelah bersandiwara. Cepat katakan apa yang Anda inginkan," ujar Evelyne, langsung ke inti pembicaraan. Karena dia yakin bila Piter bukan hanya akan melakukan omong kosong belaka saat ingin bertemu dengannya, selain itu. Evelyne juga ingin tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Piter.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!