NovelToon NovelToon

Harry'S Love Story

The Beginning

Happy Reading

****

Emilya POV

Aku masuk ke dalam kereta bawah tanah dengan berdesak-desakkan.  Tubuhku yang hanya 170cm dengan berat 50kg, membuatku terdorong dengan mudah oleh arus manusia.  Aku melipat bibirku menjadi garis keras,  menahan arus manusia yang mendorongku. Aku sudah di dalam kereta dan di sini sangat penuh. Aku menyelip di antara manusia, mencari sudut yang aman untukku. Yah, setidaknya dengan tubuh kurus, aku bisa menyelinap dengan mudah, tapi tidak dengan tinggi badanku. Saat remaja di masa pubertasku, aku senang dengan pertumbuhan tinggi badanku yang pesat, tapi dia berhenti tumbuh di 170cm. Yeah… Itu memang ukuran standar, tapi tidak cukup standar jika harus berjuang di kereta bawah tanah karena lawanku adalah manusia dengan tinggi 180cm ke atas,

dengan badan yang kekar tentunya.

Aku menutupi wajahku dengan syal dan menurunkan topi rajutku semakin dalam ke kepalaku. Untung sekarang musim gugur jadi tidak masalah jika berdesak-desakkan seperti ini. Namun jangan harap saat musim panas, kereta bawah tanah bagaikaan neraka. Sempit, panas, tidak ada AC, kulit lengket saling bersentuhan, dan yang terburuk adalah bau badan. Berbagai bau badan manusia di New York berkumpul menjadi satu di sini. Menjijikkan dan membuatku mual setiap mengingatnya.

“Perhentian selanjutnya Manhattan.  Jauhi pintu dan patuhi aturan. Have a nice day.” Suara wanita moderator yang selalu kudengar setiap menaiki kereta bawah tanah. Mungkin itu hanya suara dari computer yang diputar berulang-ulang kali, tapi siapa pun pemilik suara itu itu, hanya dia seorang yang selalu menyemangatiku dengan kata-kata ‘Have a nice day’ setiap harinya dan aku memberi dia nama Clara, yeah aku tau itu konyol karena

memberi nama pada suara computer.

Kereta segera melambat dan aku segera mengambil ancang-ancang untuk menerobos manusia-manusia ini karena aku memiliki beberapa pengalaman buruk saat di kereta...Yeah, pernah sekali atau lebih tepatnya beberapa kali, aku pernah terdorong arus manusia yang masuk kereta karena badanku kurus dan ringan, membuatku terjebak di kereta daan memaksaku harus keluar di perhentian selautnya. Lalu, aku kehilangan pekerjaan karena terlambat. Fantastis bukan? Yeah, setidaknya ada Clara yang menghiburku dengan kata ‘Have a nice day’ miliknya saat itu.

Setelah berhenti dan pintu berhenti, aku segera menyelinap di antara tubuh. kami bersedak-desakkan, membuat udara dingin sedikit pengap. Aku menodongkan kepala ke arah depan, sebagai perisaiku dan berjalan dengan cepat. Lalu, yaps... Aku sudah keluar dari kereta dan mendesah lega. Aku memperbaiki topi kupluk rajutku seraya berjalan.

"Permisi..." ucapku pada beberapa orang saat berjalan di stasuin kereta yang padat. Aku menaiki tangga menuju kehidupan New York yang di atas tanah. Suara mesin mobil, klakson mobil, langkah kaki manusia adalah suara khas Kota New York. Bising dan bising. Aku berjalan cepat, mengikuti langkah pejalan kaki yang juga tidak kalah cepat. Sekarnag sudah larut, tapi kota ini tidak pernah sepi. Aku menarik lengan jaketku untuk memeriksa jam, sudah pukul sepuluh malam dan jalanan masih ramai. Aku melewati jalan dan gang yang kuhapal jelas. Aku menggunakan jalan tikus menuju rumahku untuk mempercepat perjalananku dan menghemat uangku. Aku bisa saja menggunakan bus dan lewat jalan besar, tapi akan sangat boros. Bagiku dan bagimu juga, uang sesuatu yang sangat berharga. Hanya dengan uang aku bisa bertahan hidup di kota kapitalis ini.

Aku mempercepat langkahku saat melewati bar tua di gang, bar yang di penuhi pemabuk tua, penggangur, dan preman New York. Berurusan dengan mereka bukanlah ide yang bagus. Aku membelok menuju jalan besar yang mengarahkanku ke perumahan rakyat menengah ke bawah. Aku menyebrangi jalan yang sepi dan bunyi musik beat keras terdengar. Yeah, pesta anak-anak zaman sekarang. Mereka berpesta hampir tiap malam dan membuat keributan, tapi tidak ada yang melarang karena lokasi rumah kami kumuh. Hukum tidak berlaku di sini, jika kau mengganggu pesta mereka maka imbasnya kau bisa kehilangan nyawa. Dan sialnya, jarak rumahku ke rumah yang selalu mengadakan pesta itu hanya berjarak empat rumah. Bayangkan aku menghabiskan setiap malamku dengan mendengar musik sialan mereka.

Aku memasuki pekarangan rumahku yang kecil dan menatap ke arah Rumah Georgo, pemilik rumah yang selalu membuat keributan dengan musik kerasnya sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Aku membuka sepatuku dan menaruhnya pada rak sepatu.

"Aku pulang..." teriakku dan tidak ada yang menyahut. Aku berjalan ke arah dapur dan membuka kabinet, mencari makan malamku, tidak ada. Aku menurunkan tanganku dengan hati kecut. Mereka tidak meninggalkan makan malam lagi, yah mereka.. Keluargaku lebih tepatnya. Aku menarik kursi dan duduk. Aku mengetuk-ngetuk tanganku di atas meja. Aku lapar. Sial. Aku meremas tanganku dengan keras, menahan amarahku.

"Emi... Kaukah itu?" aku mengangkat kepala ke arah suara kaki yang menapaki anak tangga kami yang berdecit setiap di pijak. Dia tua dan butuh di ganti. Untung keluarga yang tinggal di rumah ini memiliki berat badan standar, kalau tidak, tangga itu sudah roboh sejak dulu.

"Yah.." ucapku dan Hailey muncul di dapur dengan piyama tidurnya.

"Hai, little bird..." Hanya dia yang memanggilku little bird sejak dulu, kakakku yang berhati lembut.

"Kalian tidak meninggalkan makanan untukku?" ucapku kecut dan dia tersenyum seraya berjalan ke arah kabinet yang lain. Setelah itu, dia membawa sepiring omelet sosis untukku dan sedikit mie kuning saos.

"Ini...." ucapnya, "Apa perlu kupanaskan dulu di microwave?"

Aku menggeleng seraya menarik piring itu, "Tidak perlu, nanti hanya menambahi beban biaya listrik."

Hailey ikut duduk di hadapanku saat aku mulai menyantap makananku.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"

"Baik..." aku tersenyum dengan perhatiannya. Kakakku yang satu ini adalah wanita rapuh dan paling lembut hatinya. Hanya saja, karena terlalu rapuh membuat dia tidak bisa melakukan apa pun. Fisiknya lemah, mudah sakit, dan mudah tertipu oleh rayuan pria. Itu bisa dibuktikan dengan dia yang hamil diluar nikah sekitar 10 tahun lalu dan menambah beban keluarga. Saat itu usianya bahkan belum genap 17 tahun dan tentu saja mantan kekasihnya itu tidak mau bertanggung jawab. Untuk membela haknya pun kami tidak bisa karena lemahnya hukum yang melindungi wanita dan anak zaman sekarang. Terutama karena kami miskin.

Hailey merogoh sesuatu dari saku piyamanya dan menaruh sebuah amplop putih di sana. Aku menatap matanya yang sendu lalu melihat jemarinya yang lecet.

"Gaji pertamaku..." bisiknya, "Tidak banyak, tapi aku berharap kau mengambil setengah gajiku untuk dirimu sendiri dan setengahnya untuk keperluan keluarga..."

Aku menarik napas dan membuang muka darinya, merasa bersalah. Hailey harus bekerja di pabrik sebagai pemecah biji-bijian karena dia tidak menyelesaikan pendidikan SMA-nya dan itu membuat dia kesulitan mencari pekerjaan yang layak. Di tambah, dia jauh dari kata pintar. Dia ceroboh, suka linglung, polos, dan dia tipe wanita yang harus dilindungi selalu.

Aku kembali melanjutkan makan dan tidak menatapnya, "Simpan saja untuk keperluan Will...." Will adalah anaknya yang berusia delapan tahun. Dia pria kecil yang manis, ceria, cerdik, dan pintar. Aku berharap penuh padanya untuk bisa mengangkat derajat keluarga kami, keluarga Teatons.

"Aku ingin kau yang memegang uang ini, Em..."

Aku segera mengambil uang itu dan memasukkannya dalam kantongku, enggan berdebat dengannya, "Akan aku simpan dalam tabungan Will...."

"Kau harus mengambil setengah."

"Tidak perlu, Hailey..."

"Kau harus berbelanja dan membeli baju baru.."

"Akan aku lakukan..." ucapku akhirnya, "Trims..." aku tersenyum kecil padanya.

Bagiku, membeli baju baru adalah sebuah kemewahan yang jarang kumiliki. Aku dan Hailey terbiasa membeli baju bekas di pasar ilegal New York.

"Apa kau sudah menjenguk Ibu?" tanyanya.

Aku menggeleng. Kesibukanku membuatku tidak sempat menjenguk ibuku yang dirawat di rumah sakit sejak dua tahun lalu. Dia mengalami store berat, gangguan psikis, dan trauma berat yang harus membuat dia harus di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Dia masih berusia 45 tahun , tidak terlalu cukup tua tapi hidup cukup berat untuknya. Ayahku seorang pecandu, yang sangat keras, dan pemarah. Dia suka memukuli kami dan Ibu selalu ada untuk menjadi tameng kami. Hal itu menimbulkan trauma serius dan membawanya ke titik ini, seorang pasien dengan penyakit berat.

"Kau harus mengunjunginya atau dia akan lupa wajahmu..."

"Yeah, aku akan pergi hari minggu ini..."

Aku bangkit dari dudukku dan mencuci piringku yang sudah kosong, lalu menaruhnya dalam rak piring. Aku melap tanganku yang basah ke celanaku seraya menatap Hailey.

"Trims untuk makan malamnya..."

"Baiklah. Aku akan kembali ke atas. Good nite, Em..."

"Good nite..." dia memutar tubuhnya, "Hailey..." cegatku dan dia memutar kepala.

"Yeah?"

"Apa Julia sudah pulang?"

Julia Elizabeth Teatons, saudara kembarku. Orang yang pertama kali bertemu kami mungkin tidak akan bisa membedakan kami karena kami sangat mirip. Bahkan suara kami cukup mirip. Perbedaan yang mencolok dari kami adalah warna rambut, dia berambut coklat yang dia wariskan dari Ibu dan aku berambut hitam kecoklatan yang kudapatkan dari Ayahku. Tulang pipinya lebih tinggi dan badannya jauh lebih berisi dari badanku. Tinggi kami sama. Lalu sifat kami adalah yang paling jelas. Dia pelawan, tidak peduli dengan sekitarnya, suka berpesta, bersenang-senang, menghabiskan uang, dan tidak bertanggung jawab. Berbanding terbalik denganku yang sekarang berperan seperti kepala keluarga.

"Mungkin dia sedang menikmati pesta George...." ucap Hailey. Tnetu saja dia berpesta, memangnya dimana lagi dia? Bekerja? Mana mungkin.

Aku mengangguk dan segera mematikan lampu dapur sebelum akhirnya naik ke lantai dua dan menuju kamarku. Kamarku yang sempit dan satu-satunya tempat untukku bisa bernapas lega. Ada singel-bad di sudut ruangan, meja belajar dengan komputer tua di sudut lain, ada sofa kecil, lemari keyu tua, dan rak kecil berisi buku-buku. Aku melepas syal dan jaketku, mengganti celana jeansku dengan celana piyama. Lalu, berjalan ke arah rak dan mengambil sebuah novel. The Great Gatsby.

Aku segera melemparkan diriku di atas tempat tidur dan mulai membaca. Aku suka membaca, bukan hanya novel, dongeng, tapi segala jenis buku yang berbau ilmu pengetahuan. Aku suka belajar sesuatu yang baru, tapi keadaan hidup membuatku tidak memiliki kesempatan untuk menempuh bangku pendidikan. Aku bahkan belum genap 25 tahun, tapi aku masih berharap dan bermimpi jika suatu saat aku bisa menempuh bangku kuliah. Aku sangat tertarik dengan sesuatu yang berbau bisnis dan sastra. Pasti menyenangkan bisa belajar hal baru.

Penampilanku tidak menarik, jauh dari kesan cantik, tapi ada seseorang yang bisa menerimaku yaitu Max Logan. Dia pacarku yang tiga tahun lebih muda dariku atau lebih tepatnya dia masih berusia 21 tahun. Aku dan dia sudah pacaran selama empat tahun, tapi dia harus melanjutkan kuliah di Seattle. Dia menggeluti dunia seni dan dia suka berpetualang. Dia sangat baik, ramah, memiliki lesung pipi manis, rambut pirang, mata hijau yang cantik, dan yah.. Beberapa orang melihat dia sebagai orang yang membosankan karena bisa dilihat jelas dari penampilannya. Kardigan, kemeja, kacamata, dan sepatu sneaker. Mungkin Max tidak punya selera yang bagus dalam pakaian, tapi aku mencintai dia apa adanya.

Kami sangat sibuk, tapi kami tetap berusaha untuk tetap memberikan waktu untuk saling bicara melalui ponsel kami. Aku merindukannya, rindu pelukan hangatnya, rindu tawanya ringan, rindu mendengar dia bercerita tetang peengalamannya, dan aku benar-benar merindukan segala hal tentang dia.

 

****

Author POV

Suara desah terdengar keras mengisi kamar hotel itu. Harry mendorong keras dan terus mendorong untuk menemukan pelepasannya. Wanita itu menggantungkan kakinya pada pinggul Harry, memberi akses lebih dalam. Harry semakin masuk dan tidak mempedulikan wanita itu mulai meringis kesakitan karena Harry sangat kasar dalam mendorong. Tidak lembut dan tidak hati-hati. Hanya membabi buta. Gerakannya penuh keegoisan, yang dipikirkan Harry adalah pelepasannya dan bukan wanita itu.

"Ahkkkk..." pelepasan mereka segera datang. Harry mendesah lega dan segera ambruk di samping wanita yang tampak kelelahan itu. Napas mereka memburu. Wanita itu memeluk Harry dan Harry segera menepis tangan itu. Dia segera bangkit berdiri.

"Kau akan pergi?" tanya wanita itu saat Harry memakai bajunya.

"Yeah..."

"Tidak mau menginap?" ucap wanita itu dengan nada menggoda

Harry mengancing kemejanya. Bahkan nama wanita itu saja Harry tidak tau. Hanya wanita acak yang dia ditemukan di pesta. Wanita bodoh. Seingat Harry dia seorang selebriti. Sekarang, banyak selebriti hanya mengandalkan wajah. Tidak punya bakat dan bodoh. Hanya bisa mengandalkan tubuhnya untuk mendapatkan peran dalam sebuah film. Menggoda siapa pun dengan tubuhnya.

"Aku sudah membayar tagihan hotel..." ucapnya dan segera pergi dari kamar hotel.

Harry memiliki hidup yang rapi, disiplin, dan teratur. Dia tampan dan sangan tampan, kuat, berbakat, hebat, super kaya, wajah aristokrat, muda, dan dia bujangan yang paling diincar oleh wanita-wanita. Semua wanita berharap bisa meniduri bujangan kaya nan tampan ini tanpa bayaran bahkan mereka memohon-mohon. Namun, tidak ada yang cukup hebat untuk bisa menarik perhatian Harry. Mereka cantik, badan sintal, berisi, dan itu tidak cukup untuk menarik perhatian Harry. Bagi Harry, wanita-wanita itu hanya teman semalam di tempat tidur, pemuas birahi, dan penyedot uang yang paling hebat.

Dia pernah memiliki seorang wanita dalam hidupnya dan satu-satunya yang mungkin akan dia cintai seumur hidupnya. Dan itu dulu. Hanya saja, wanita yang dia cintai dengan tulus itu memilih pria lain. Sekeras apa pun Harry memohon agar wanita itu kembali, tapi dia tidak kembali. Hati wanita itu tidak untuknya,tapi mengetahui bahwa wanita yang dicintai itu bahagia bersama pria lain sudah cukup untuk Harry.

Asalkan dia bahagia, itu sudah cukup untuknya.

Dia tampan, hebat, kuat, berbakat, kaya, populer, tapi dia rapuh di dalam. Dia sangat sendirian di hingar-bingar dunia yang kacau ini. Dia ingin mencari cahaya, tapi dia tidak menemukannya. Akhirnya dia berubah menjadi pria penyendiri, pendiam, tegas, disiplin, dan menata hidupnya dengan sangat rapi. Wajahnya yang keras dan datar adalah temengnya, setelan rapi adalah jubahnya, dan keahliannya adalah senjata untuk menghadapi dunia yamg tidak ramah ini.

 

****

MrsFox

 

 

 

 

 

 

 

 

Emilya's Life

Happy Reading

***

Emilya POV

"Astaga... Dia sangat panas. Kau lihat setelannya tadi? Sial, itu pantat terkeren yang pernah kulihat.."

"Kau benar... Sial karena aku tidak memiliki kesempatan berbicara dengannya."

Aku mengikat rambutku seraya mendengar cerita Alice dan Rose, rekan kerjaku di toko kaset. Setelah mengikat rambut, aku fokus memeriksa kardus kaset yang baru datang seraya mendengar cerita Alice dan Rosalie tentang pria tampan yang baru saja membeli kaset dari sini. Banyak album yang keluar awal bulan ini, membuat kami repot untuk mengisi stok.

"Aku menaruh nomorku di struk pembayaran, semoga dia menghubungiku..." timpal Alice.

"Lalu kau membiarkan dia memasuki selangkanganmu?" ucap Rose. Dia sangat pedas dalam berucap, tapi aku yakin Alice tidak marah karena sebagian besar yang dikatakan Rose benar.

"Yeah.. Siapa pula yang tidak ingin dimasuki pria sepanas dia... Astaga, mengingatnya saja membuatku bergairah." Mereka berdua selalu begitu, membicarakan tentang pria dan hubungan intim sepanjang waktu.

"Kau memang membuka selangkanganmu untuk semua pria, Alice..." Koreksi Rose.

"Kau tidak mau bertanya sesuatu, Em?" tanya Alice, mengabaikan komentar kasar Rosalie.

"Pria itu maksudmu?" Aku tidak terlalu tertarik membicarakan pria mana pun, bagiku Max adalah pria paling tertampan. Yah, itu terdengar menjijikkan, tapi siapa yang peduli. Max adalah priaku.

"Yeah..."

Aku mengangkat kardus lain dengan mudah dan menaruhnya ke lantai, "Album apa yang dia beli?" tanyaku.

"Album? Dari sekian hal dan kau bertanya tentang album yang dia beli?" ucap Alice dengan nada yang sedikit dilebih-lebihkan.

Aku tersenyum, "Aku serius. Aku ingin menilai dia dari album yang dia beli..."

Alice memutar matanya, "Dia membeli album seorang pianist terkenal itu dan itu keping terakhir album itu di sini. Aku ragu dia suka albumnya, kurasa dia suka pianistnya..."

Aku kembali mengingat-ingat siapa pianist yang tengah naik daun akhir-akhir ini, "Maksudmu Kenny Sharp?" Aku tau wanita cantik itu karena rata-rata pelanggan kami memburu albumnya beberapa hari ini.

"Yeah.. Kenny Sharp.." sambung Melanie, "Kurasa dia suka album itu karena dia benar-benar suka, Alice. Dan bukan kerena pianistnya cantik. Albumnya memang bagus. Dan itu album keduanya, bukan? Sangat laku di pasaran.."

Aku mengangguk menyetujui perkataan Melanie. Aku suka mendengar musik dari Kenny, musik pianonya benar-benar sesuatu. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana, tapi saat mendengarnya membuat perasaanmu teraduk-aduk dan membawamu ke tempat magis. Dia benar-benar pianist terkeren pada dekade ini.

"Yeah, Kenny Sharp... Aku ingin seperti dia.." lanjut Melanie, "Dia sangat cantik, berbakat, kaya, dan memiliki suami yang luar biasa tampan.. Betapa beruntungnya dia.."

"Kita tidak tau masalah hidup apa yang dia alami.."ucapku. Aku yakin semua orang memiliki masalah dalam hidupnya masing-masing, mau dia konglomerat atau putri kerajaan.

"Masalah? Aku tidak yakin orang-orang kaya seperti dia memiliki masalah.." timpal Alice, "Tapi, suaminya benar-benar tampan, panas, dan... Ahk.. Kenapa tidak ada pria yang melamarku seperti Scout Sharp itu?"

Yeah, aku setuju bahwa Kenny Sharp benar-benar wanita yang cantik dan beruntung. Dia memiliki segala hal yang diinginkan setiap wanita-wanita seluruh dunia ini. Mulai dari kecantikan, ketenaran, kekayaan, dan suami yang luar biasa tampan. Bahkan dia baru melahirakan tiga anak kembar. Media sangat penasaran tentang kehidupan pasutri ini walau mereka cukup tertutup. Tapi aku tidak yakin dia meraih itu dengan mudah, pasti dia meraih itu semua dengan perjuangan keras. Aku yakin tenang itu.

Aku kembali fokus ke kasetku, membongkar dari kardus, menghitung jumlahnya, dan menyusun ke dalam rak dengan tetap mendengar celotehan Alice tentang pria yang dia temui di bar. Yeah, Alice tidak akan pernah selesai membahas tentang pria. Dia benar-benar seorang pemuju pria.

"Aku akan ke kasir sebentar.." ucap Rose saat bunyi telepon pesawat terdengar dan segera bangkit berdiri.

"Em.." aku mengangkat kepalaku saat namaku di sebut, "Em, ini telpon untukmu..." Untukku?

Aku segera bangkit dan meninggalkan Alice sendiri, saat melewati lorong rak kaset, aku berpapasan dengan dengan Rose, "Telpon dari kantor polisi.."

Kantor polisi? Aku berjalan setengah berlari menuju kasir. Aku mengangkat telepon yang di taruh di atas meja kasir.

"Halo?" ucapku.

"Apa ini dengan Emilya Teatons?" suara pria berat yang nada bicaranya malas dan tidak semangat. Jelas dia melakukan panggilan seperti ini sepanjang hari, terdengar dari dia yang tidak membalas sapaanku.

"Yah, itu aku..."

"Kami dari Departemen Kepolisian New York bagian Manhattan. Saudara anda, Julia Teatons kami tangkap karena melanggar beberapa peraturan. Kami harap anda dapat datang ke sini."

"Okay..." bisikku dan segera menutup telepon. Julia. Julia lagi.. Sampai kapan dia berhenti membuat masalah. Dia selalu membuat masalah dan terpaksa aku yang menyelesaikannya. Pernah sekali aku berpikir untuk membiarkannya di penjara dan tidak membayar tebusannya, tapi aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa. Seberapa buruk apa pun yang dia lakukan padaku, aku tidak bisa meninggalkannya. Dan Julia memanfaatkan sifatku yang lemah.

Aku berjalan cepat ke tempat Alice dan Melanie, "Hai, guys..." mereka menatapku, "Aku memiliki sedikit masalah, shiftku tinggal 30 menit lagi. Bisakah aku pulang lebih dulu dan kumohon jangan memberi tahu Bob?" Bob adalah bos kami.

"Pergilah, Em. Kami tidak apa-apa.." ucap Melanie.

"Apa saudarimu membuat masalah lagi?" tanya Alice.

"Begitulah..."

"Good luck kalau begitu..."

Aku tersenyum, "Trimss..." aku segera meninggalkan mereka menuju kamar ganti. Aku membuka lokerku dan memasukkan baju kerjaku dan memakai pakaianku. Aku memakai jaketku dan syalku. Aku segera bergegas menuju halte bus menuju departeman polisi Manhattan.

Aku naik ke bus dan berdiri menggantung karena tidak ada kursi kosong. Aku menggigil ditambah aku belum makan siang. Aku memang sering melewatkan makan siang dan makan malamku. Atau lebih tepatnya aturan makan tiga kali sehari tidak berlaku untukku, aku hanya makan saat aku lapar. Jika seharian aku tidak lapar, maka seharian aku tidak makan.

Aku segera turun saat aku sudah sampai. Aku berjalan satu blok sebelum aku sampai di Departeman Kepolisian. Aku segera masuk ke tempat itu dan melihat betapa ramainya tempat itu. Aku melihat papan pengumuman yang penuh pengumuman orang dan peliharaan yang hilang. Aku berjalan ke arah penjara yang berada di sudut ruangan.

"Julia..." ucapku melihat dia duduk di lantai bersama tahanan lainnya. Beberapa dari mereka adalah gelandangan yang tidka punya rumah, sengaja melakukan kejahatan hanya untuk menerima tempat tinggal semalam.

Julia melihat ke arahku dan tersenyum kecil. Rambutnya di cat lagi menjadi warna merah nyentrik, sangat kontraks dengan kulit putihnya. Terakhir rambutnya berwarna hitam dicampur dengan warna hijau nyentrik. Maskara hitam tidak pernah lepas dari kelopak matanya. Dia berdiri dan terkejut dengan pakaiannya. Dia memakai kaos ketat yang menunjukkan belahan dadanya, jaket kulit hitam, hotpants, stoking jaring-jaring, dan sepatu boot. Dia benar-benar anak punk. Mungkin orang akan berpikir bahwa kami tidak kembar identik

 

 

 

 

 

 

Emilya's Life (2)

"Penampilanmu mengerikan..." ucapku tidak percaya saat dia berdiri di depan besi sel.

"Bayar saja tebusanku pada si botak itu. Aku membusuk di tempat sialan ini..." dia menyisir rambutnya dengan jemarinya. Kepala kiri bagian bawahnya botak dan memamerkan telinga kirinya yang di tindik. Ada lima tindik di sana, berjejer di daun telinganya. Dia benar-benar merombak penampilannya dengan cepat.

Nada bicaranya selalu begitu. Tidak peduli, "Apa yang terjadi?"

Dia memutar mata, "Ayolah, Em... Hentikan basa-basinya dan bayar saja..."

Aku ingin marah dengan siakpanya dan nada bicaranya yang kurang ajar, tapi aku tidak bisa. Benar-benar tidak bisa. Ada semacam ikatan. Ikatan antara saudara kembar dan aku membenci itu karena membuatku tidak bisa

marah dan benci pada Julia.

Aku menghela napas dan menuju pria botok yang dia maksud. Dia menatapku, seolah sudah menungguku. Aku duduk di depan pria yang berumur sekitar 40 tahunan, badannya gendut, perut buncit, dan kumis. Penampilan khas

polisi New York saat ini. Bukannya berbadan tegap, langsing, dan berwajah sangar. Tidak lupa sekotak donat dan kopi super manis di mejanya.

"Kau saudarinya? Emilia Teatons?" Dia salah mengucap namaku. Seharusnya Emil-ya dan bukan Emilia.

 "Yah, dia saudara kembarku.." Dia melihatku dan tampaknya dia berusaha membandingkan wajahku dengan Julia.

 "Penampilan kalian berbeda," dia kembali fokus ke berkas-berkasnya, "Dia melanggar beberapa peraturan. Mengendarai mobil dalam keadaan mabuk dan merusak properti negara, lalu---"

"Properti negara?" potongku dan dia menatapku.

 Dia mengangguk, "Yah, properti negara..."

 "Apa itu?"

"Tong sampah..." Sial. Dia membicarakan properti negara seolah Julia merusak istana kepresidenan, pesawat tempur, dan tank. "Bisa kulanjutkan?" tanyanya kembali.

"Yeah..."

 "Dia mengendarai mobil yang sudah habis pajak, tidak memiliki SIM, dan melanggar peraturan rambu lalu lintas..." dia menutup berkas itu dan menatapku, "Jadi total pelanggarannya sebanyak lima dan dia dikenai hukum berlapis... Dia sudah di sini selama tiga hari, jadi hukumannya tinggal--"

 "Tiga hari?" potongku dengan nada tidak percaya.

Dia menunjukkan wajah kesal karena aku memotong ucaapannya lagi, "Yeah, tiga hari dan bisakah aku bicara tanpa dipotong..."

"Oh.. Sorry. Tidak akan terjadi lagi..."

Dia menghela napas, "Karena dia sudah berada di sini selama tiga hari, hukumannya tinggal uang denda dan uang tebusan. Lalu, dia harus melakukan kerja sosial setiap akhir pekan karena merusak properti

negara selama satu bulan.."

"Tong sampah.." koreksiku, kesal dengan nadanya.

"Yeah, tong sampah adalah properti negara, Nona..."

"Berapa dendanya?" aku merogoh saku jaketku, hendak mengambil dompet.

"$250"

AKu menghentikan tanganku dan menatap si botak itu,

 

"Apa?"

"$250, itu sudah termasuk $100 uang dendak dan $150 uang tebusan..."

Aku menarik napas dengan berat. $250?

"Kenapa sangat mahal?"

"Dia terkena undang berlapis, kau tau yang kukatakann tadi, bukan?"

"Yah.." bisikku dan mengambil uang terakhir di dompetku.

Totalnya pas $250 karena aku sengaja membawa itu untuk membayar uang listrik, uang pajak, uang air yang sudah menunggak satu minggu. Dengan berat aku memberi uang itu dan menandatangani sebuah surat, lalu dia

memberiku dua nota. Satu bahwa pembayaran sudah selesai dan satunya untuk kerja sosial Julia. Si botak itu bergerak menuju sel dan aku berdiri untuk mengikutinya. Dia membuka pintu sel dan Julia segera keluar dari sel.

"Terima kasih, tampan..." ucap Julia dengan nada nakal yang dibuat-buat. Aku menggigit bibirku dan berjalan keluar dari kantor polisi.

"Kau akan ke mana setelah ini?" tanyaku setelah kami keluar dari kantor polisi. Kami berjalan di trotoar yang sepi dengan Julia berada di depanku. Lalu Julia memutar tubuhnya, membuatku menghentikan langkahku.

"Aku butuh $50.." tangan kirinya idsodrkan untuku dan tangan kanannya di saku jaketnya. Apa dia gila?!

"Itu uang terakhirku..."

Dia memajukan bibirnya kesal, "Ayolah, Em... Jangan pelit pada saudaramu. Saudara kembarmu lebih tepatnya.. Cepat berikan. $30 pun jadi..."

"Kau gila, hah?!! Itu uang terakhirku, sialan...." aku tidak menutupi kemarahanku.

Dia mengangkat bahu dan memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, "$10. Hanya $10. Tidak mungkin kau tidak punya..."

Aku memejamkan mata, berusaha meredakan amarahku. Aku tidak akan marah, tidak di tempat seperti ini.

"Aku akan pergi sekarang...." aku memutar tubuhku hendak meninggalkannya, tapi dia segera meraba jaketku. Mencari-cari dompetku.

"Hanya $10..." ucapnya dengan nada memaksa

Aku mendorong tubuhnya, "Hentikan... Hentikan, Julia!!" Julia terdorong ke depan dengan dompetku di tangannya.

"Berikan!!" aku maju hendak mengambil dompet usangku, tapi Julia berhasil menghindar dan mulai membuka dompetku dengan tergesa-gesa.

"Sial.. Sepeser pun kau tidak punya?" ucap Julia dan segera melempar dompetku.

"Julia!!" teriakku kesal dan segera memungut dompetku. Ada rasa malu di dadaku saat dia mengatakan itu.

"Jangan panggil aku Julia, tapi Juls... Bye.." dan dia segera berlari meninggalkanku.

Aku ingin mengejarnya dan menamparnya, tapi aku ketinggalan jauh dari dia. Lagi pula, aku tidak yakin bisa menamparnya. Aku hanya bangkit dan memasukkan dompet kosongku yang usang. Saat aku berdiri, ponselku berdering dan aku melihat layarnya.

Sial. Tuan Finderkick! Ini bosku di tempat kerjaku. Aku melihat jam di ponsel dan sudah pukul enam lewat lima belas. Aku sudah terlambat 15 menit. Astaga, dia sisialan yang tidak mentoleransi keterlambatan. Aku segera mengangkatnya.

"Jika kau tidak datang 10 menit, jangan harap kau bekerja di sini!" dia berteriak keras dan segera menutup telponnya. Sial, situasi hatinya pasti sedang buruk. Sebenarnya, suasana hatinya selalu buruk dan melampiaskan kemarahnnya padaku.

Aku berlari dan mencari jalan tercepat ke sana. Tidak ada bus langsung menuju ke sana karena jaraknya tidak terlalu jauh dari sini. Aku menyembrang jalan dam hampir tertabrak. Dengan panik aku berteriak meminta maaf

dan berlari lagi. Aku kembali mengingat beberapa toko yang membawaku ke tempat kerjaku.

Toko sepatu

Bar.

Restoran Cina.

Dan aku mengingatnya satu persatu hinga aku sampai di Finderkick's Bar. Aku berjalan dari pintu khusus karyawan dan berharap tidak menemui si Finderkick pemarah. Aku masuk ke dapur dan melihat beberapa teman karyawanku sedang sibuk. Bar-nya selalu ramai jika malam datang.

"Emilya..." seru Melanie, satu-satunya yang menyebut namaku dengan benar, "Cepat ganti baju dan bantu kami...."

"Yah..." aku segera berganti baju dan membantu Melanie memasak di dapur. Sangat sibuk karena pesanan datang silih berganti. Melanie adalah kepala chef di sini, sejujurnya hanya aku dan dia pemasak di sini. Sisanya hanya melayani di luar dapur dan meracik alkohol.

"Kau beruntung datang saat Finderkick pergi..." ucap Melanie seraya membalik-balikkan makanannya.

"Yah, aku beruntung. Tampaknya, suasana hatinya sedang buruk.." aku memotong sayuran.

"Dia berkelahi lagi dengan isterinya..." dia menaruh sepiring pasta di meja lain, "Pesanan no 13!!" teriaknya seraya membunyikan bel putih. Lalu kami kembali sibuk, tidak ada kata istirahat karena pesanan terus datang. Padahal aku tidak yakin apakah makanan kami enak untuk di makan. Lalu, kami berhenti saat jam menunjukkan jam 11 malam, jam terakhirku untuk bekerja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!