Prolog
Devian pow
Devian Emilio Alatas, Direktur di PT Samco Group, sejak menjabat, profit perusahaan meningkat dua kali lipat. Anak tunggal dari Mahesa Alatas dan Citra Shiela Alatas Kemampuannya itu membuat dirinya menjadi CEO muda paling berkompeten saat ini. Tubuh atletis, wajah tampan dan setelan jas mahal semua sesuai dengannya.
Maora pow
Maora Vionna Anderson secretary cantik, atau biasa dipanggil Maora. Memiliki seorang Kakak yang bernama Alena Caressa Anderson. Anak dari pasangan Joan Anderson dan Viandra Thomas. Sudah delapan tahun pula ia bekerja menjadi Secretary dari seorang Direktur terkaya di Indonesia, yaitu Devian.
BAB 1
Iam A Asisstant Boss
Maora merebahkan diri sambil menghela nafas panjang. Kedua matanya tak berhenti mengerjap menatap ke arah atap rumahnya.
"Jika setiap hari bekerja seperti ini kapan aku menikah?" keluh Maora. Sesaat, pikirannya melayang membayangkan dirinya dengan Devian. Menjadi sepasang suami istri yang begitu bahagia dan harmonis.
Drt ... drt ...
Getaran ponsel membuyarkan lamunannya. Maora tersadar dan seketika memukul kepalanya.
"Duh, kenapa aku membayangkan pak Devian?" ujar Maora sambil mengacak-ngacak rambutnya sendiri.
Maora bergerak menuju ke ruang rias dan duduk sambil menatap wajahnya yang memang sudah pantas untuk berkeluarga.
Beberapa saat kemudian pintu kamar Maora terbuka. Seorang wanita yang tiga tahun lebih tua darinya, mulai berjalan menghampiri dirinya.
"Dek, ada apa?" tanya Alena yang tak lain adalah kakak Maora.
Maora tersenyum dan meraih kedua tangan kakaknya yang mulus tanpa noda.
"Tidak ada apa-apa. Memangnya kenapa?" tanya Maora antusias.
"Kamu pasti capek! Sini, biar kakak pijitin," kata Alena beralih memijat pundak adiknya.
"Maora sudah terbiasa kali, Kak! Kakak nggak perlu khawatir," ujar Maora menghentikan tangan kakaknya.
"Maafin kakak ya, kakak belum bisa bantu kamu untuk melunasi hutangnya Ayah. sampai-sampai kamu bekerja sekeras ini."
"Tak apa kak. Maora sangat beruntung memiliki kakak. Karena kakak sudah mau menjadi kakak sekaligus pengganti ibu yang baik untukku, sampai sekarang," tutur Maora sambil tersenyum.
"Kakak juga beruntung mempunyai adik seperti kamu," ucap Alena memeluk erat adiknya.
Senyum merekapun tertoreh.
"
"Ya udah istirahat , ya. Besok kamu berangkat kerja pagi-pagi 'kan ?" tanya Alena mengingatkan Maora.
***
“huuuuaahh” Maora menguap. Dan menggeliat dari tidurnya.
Dengan malas, ia mulai berjalan gontai ke arah kamar mandi. Hampir setengah jam rutinitas mandinya selesai. Dengan cepat ia mulai memilih baju kerja yang tersedia di almari kecilnya.
"Perfect," ucap batin Maora tersenyum seraya memandang ke arah televisi kesayangannya.
Kedua mata indahnya mengerling saat melihat arah jam yang melingkar ditangannya.
"Ya Tuhan, sudah jam 5," kata Maora terbelalak kaget.
dia segera bergegas pergi ke halte.
Sesampai di dalam bus, Maora melihat arloji merapatkan sweater. Udara pagi yang dingin selalu membuat Maora tak patah semangat saat berangkat kerja.
"Fighting!" kata Maora sambil mengangkat tangan dan tersenyum ceria.
Hosh hosh hosh
Nafas Maora terengah-engah. Kedua tangannya memegang kedua lutut seraya menatap ke arah pintu masuk rumah Devian. Ia mulai mengatur nafasnya dan bersikap untuk tenang.
Maora bergegas memasukkan sandi yang sudah diluar kepala di dalam otaknya. Pintu terbuka otomatis dan Maora berjalan sambil celingak celinguk melihat apakah bosnya sudah bangun apa belum.
Maora segera menuju ke walk in closed untuk mengambil beberapa pakaian, dasi, jam tangan dan sepatu buat si Bos.
Lima belas menit berlalu,
Kedua mata Maora tak berhenti mengerjap. Ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat melihat tubuh kekar yang di miliki sang atasannya itu.
"Maora ... Maora!" seru Devian
Jentikan tangan Devian membuyarkan lamunan Maora.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Devian penasaran. Dahinya mengernyit melihat sang sekertaris melamun di pagi hari.
"Ti-dak. Oiya, ini baju untuk Bapak. Saya sudah menyiapkan semuanya," jawab Maora seraya menyunggingkan senyum manisnya."Kalo begitu saya tunggu di luar, ya, Pak. Permisi!" ucap Maora pergi.
Devian menyeringai. Untuk pertama kalinya, ia melihat sang sekertaris melakukan tugasnya dengan lembut.
Hampir setengah jam, Maora menunggu atasannya di bawah. Rasa jenuh dan menahan lapar mulai menghampiri dirinya.
"Aduh, mana laper lagi," gumam Maora dalam hati seraya mengusap-usap perutnya yang tertutup oleh kemejanya."Pokoknya, sesampai di kantor aku akan suruh Sari untuk membuatkan nasi goreng untukku. Masakannya 'kan sangat enak!"
Maora menyeringai sambil membayangkan nasi goreng buatan Sari yang pernah ia rasakan.
Sejenak, hentakan kaki Devian mengejutkan Maora. Tanpa buang waktu, Maora bergegas menghampiri Devian yang menuju ke arah cermin besar yang tersedia di ruang tamu tersebut.
"Maora, bagaimana penampilanku hari ini? tanya Devian bercermin sambil berpose kanan kiri melihat penampilannya.
Maora tersenyum tipis. Untuk kesekian kalinya, ia harus mengatakan pujian untuk atasannya itu.
"Menurut saya Pak Devian sangat tampan dan sempurna," ucap Maora sambil tersenyum manis.
"Memang dari dulu, ketampanan dan kesempurnaan selalu melekat padaku," kata Devian sombong.
"Saya sangat tau itu!" jawab Maora tersenyum tipis.
****
Selesai meeting, Maora berhasil membuat Devian bangga akan presentasinya di depan klien.
"Selama menjadi boss kamu, aku belum pernah melihat rumahmu, aku ingin kesana!" kata Devian yang mengagetkan Maora. Spontan, Maora menghentikan mobilnya secara mendadak.
"Ada apa Maora? Apa yang terjadi?" tanya Devian panik.
Pak Devian mau apa kerumah saya?" tanya Maora memastikan.
"Ya, Kenapa? Apa ada yang salah jika seorang boss ingin berkunjung ke rumah karyawannya?" tanya Devian yang membuat Maora menegak salivanya dengan paksa.
"Bukan begitu, Pak. Cuman masalahnya, rumah saya itu sangat kecil beda dengan rumah Bapak," ujar Maora menjelaskan.
"Tak masalah! Aku hanya ingin bersilahturahmi saja dengan keluarga kamu."
"Ya udah terserah Bapak!" ucap pasrah Maora sambil menghela nafas panjang.
Di dalam perjalanan, rintikan hujan mulai membasahi jalanan, pohon-pohon bergoyang mengikuti arahnya angin bertiup.
Terjadi keheningan di antara mereka berdua. Kedua mata Devian mengernyit saat melihat sekertarisnya yang cantik terdiam.
"Apa rumah kamu masih jauh?" tanya Devian yang melihat hujan semakin deras.
"Apa bapak tetap akan kerumah saya?"kata Maora dengan hati-hati sambil melihat kearah bosnya yang melipat tangannya di dada sambil memejamkan matanya.
"Iya!"
Maora menghela nafas panjang. Jari jemari tangannya tak berhenti bergerak, bibir mungilnya juga tak berhenti bergumam.
"Mau apa dia kerumahku? apa kata orang nanti kalau aku membawa laki-laki kerumah?" kata Maora dalam hati.
Sesampai didepan rumah, Maora menatap wajah bosnya yang kelihatan begitu damai. Alisnya yang tebal, bulu mata yang lentik, hidung mancung, membuat Maora sedikit terpesona.
"Maora, ada apa denganmu?" Ujar Maora dalam hati seraya menepuk jidatnya.
Perlahan, Ia mulai membangunkan bosnya yang tertidur pulas dimobil.
"Pak, sudah sampai," kata Maora menggoyangkan tangan Devian.
"Sudah sampai?" tanya Devian menggeliat.
"Iya," jawab Maora.
Mereka berlari menuju rumah yang sangat sederhana.
"ini rumah saya Pak!" ucap Maora melirik bosnya merapikan rambut yang terkena air hujan.
Maora membuka pintu rumah yang terkunci. Sejenak, kedua mata Maora terbelalak kaget saat melihat isi rumahnya berantakan. Maora kembali menutup pintu yang terbuka tadi dengan keras, hingga membuat Devian kaget.
"Ada apa?" tanya Devian mengernyit.
"Bapak tunggu di sini dulu, ya. Ada sedikit masalah di rumah saya,"kata Maora meringis.
"Apa perlu bantuan?" tanya Devian menawarkan diri.
"Tidak, Pak. Terimakasih. Saya hanya butuh waktu lima menit untuk mengatasinya. Sebentar ya, Pak!" gegas Maora masuk ke dalam rumah dan meninggalkan atasannya itu di luar seorang diri.
"Apa dia nyaman tinggal disini?" gumam Devian melihat rumah Maora yang terbilang sangat sederhana.
Lima menit kemudian Maora membuka pintu dan mempersilahkan bosnya untuk masuk.
"Apa kau nyaman tinggal disini? "kata Devian yang duduk disofa ruang tamu.
"Nyaman, Pak !" jawab Maora sembari membawa teh untuk bosnya.
"Kok sepi, bukankah kau masih punya Kakak dan Ayah?" kata Devian ingin tau.
"Kebetulan, kakak saya dapat jadwal shif malam dan Ayah saya belum pulang," tutur Maora yang tiba-tiba menjerit ketakutan saat mendengar suara petir.
Semua gelap, listriknya padam seketika.
Dengan cepat, Devian mencari handphonenya tapi tak menemukannya.
"Sial, handphoneku 'kan di mobil?" gumam Devian.
"Maora kau tak apa? "kata Devian yang mulai mencari Maora yang ketakutan.
Devian terus meraba-raba seperti orang buta. Sesaat kemudian diraihlah tangan Maora dan terkejut saat Maora memeluk tubuhnya.
"Tenanglah, jika kamu takut pejamkan mata kamu!" kata Devian mulai menenangkan Maora yang pobia akan kegelapan.
****
Keesokan harinya, secara bersamaan Alena dan ayah pulang.
Kedua mata mereka terkejut saat melihat ada mobil di depan rumah mereka.
"Alena, mobil siapa ini? "Ayah yang melihat Alena menggelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua bahunya.
Keduanya terdiam sejenak dan langsung berjalan dengan cepat menuju kedalam rumah.
Ceklek
"Maora... "teriak Ayah yang terkejut melihat putrinya tertidur di pelukan seorang lelaki.
Mereka terbangun.
"Ayah! " kata Maora yang dengan cepat melepaskan pelukan Devian.
"Siapa dia? berani-beraninya dia tidur disini?" tanya Ayah geram.
Kedua mata ayah memicing menatap lelaki yang berani memeluk putrinya layaknya hubungan kekasih.
Devian tersenyum dan menyikapi ayah dengan tenang.
"Ayah, ini Pak Devian!" kata Maora dengan hati-hati memperkenalkan Devian.
"Maora apa pantas seorang laki-laki tidur di rumah wanita yang belum menikah? "ucap Ayah penuh penekanan.
"Perkenalkan saya Devian atasannya Maora," kata Devian memperkenalkan diri ke Ayah dan Kakak Maora.
"Saya nggak butuh kenalan!! Yang terpenting kamu harus tanggung jawab!" ketus Ayah dengan nada tinggi.
"Ayah, kakak, ini tak seperti yang kalian pikirkan. Maora dan Devian tidak melakukan apa-apa yah? " kata Maora dengan wajah cemas."Kak tolong percayalah sama Maora," kata Maora menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Maora apa kamu tau, gara-gara kejadian ini kamu sudah mencemarkan nama baik keluarga Maora," timpal Alena.
"Tapi kak ..." kata Maora dengan menitikan air mata.
"Meskipun kamu tidak melakukan apa-apa tapi orang-orang sudah berfikir negatif tentang kalian," kata Alena ceramah.
Devian merasa sangat bersalah. Untuk pertama kalinya ia melihat Maora menangis sesenggukan akan kesalahpahaman yang terjadi pada mereka.
"Ayah, apa yang harus saya lakukan untuk mempertanggungjawabkan semua ini?” kata Devian mulai memperlurus.
"Kalian harus menikah!" kata Ayah yang mengagetkan Maora.
"Ayah," kata Maora terhenti.
"Baiklah, saya bakan menikahi Maora," jawab Devian yang membuat Maora semakin kaget.
"Pak Dev ...," kata Maora mengantungkan ucapannya.
"Kapan Ayah mengizinkan kami untuk menikah? Saya akan selalu siap!" kata Devian yang mulai memegang pundak Maora yang bergetar.
"Lebih cepat lebih baik, aku akan kabari kamu," ujar Ayah dengan tatapan matanya yang tajam.
"Ayah ...," keluh Maora.
"Ayah ,bagaimana kalau dia kabur?" bisik Alena.
"Iya, ya?" tanya ayah sambil berfikir.
"Minggu depan kalian harus resmi menjadi suami Istri," Perkataan Ayah kembali membuat Maora tercengang.
"Iya Ayah , kalau begitu izinkan calon menantumu ini untuk bekerja dulu!" ucap Devian yang berpamitan.
****
Maora berlari mengejar Devian yang akan masuk mobil.
"Pak ...," kata Maora dengan nafas tidak beraturan.
"Kamu ibur saja," kata Devian dengan lembut.
Tatapan matanya membuat Maora terkejut akan perlakuannya.
"Kenapa? Aku memberimu libur! Bukankah itu yang kamu mau?" tanya Devian mengernyit.
"Kenapa bapak mau menikahi saya?" tanya Maora meminta penjelasan.
Devian menatap Maura sangat lama dan tersenyum tipis.
"Karena ... Karena, kau sangat pendek dan chubby." Ucap Devian mengerling nakal. Maora sangat shock mendengar alasan Devian yang tak masuk akal itu.
What..?
"What?" kata Maora kaget dan terkekeh ketika melihat atasannya selalu menyudutkannya.
"Saya hanya bercanda, bukankah kamu sendiri tahu kalo saya adalah orang yang bertanggung jawab," kata Devian.
Maora hanya terdiam. Mulutnya seakan terkunci tak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Nasi sudah menjadi bubur. Kita jalani saja sesuai kemauan ayah kamu," ucap Devian seraya memegang bahu Maora."Baiklah saya akan ke kantor sebentar, saya akan kembali lagi," pamit Devian yang mulai masuk ke dalam mobil.
"Ya Tuhan, apa mungkin aku harus menikah dengan pak Dev?" tanya batin Maora menatap mobil Devian yang mulai menghilang dari hadapannya.
Di kamar, Maora termenung dan tak bisa berpikir lagi. "Kenapa harus Pak Devian?" keluh Maora meraih guling yang ada disampingnya."Padahal kalau aku sudah melunasi hutang ayah, aku ingin keluar dari kehidupan Pak Devian. Kenapa dia malah masuk dalam kehidupanku?" gerutu Maora terkejut saat ayahnya datang menghampiri.
"Ayah," kata Maora terbangun.
"Maora bilang sama bos kamu itu, suruh dia mengurusurus semua tentang pernikahan kalian," pinta ayah bernada tinggi.
"Ayah bisakah kita menikah dengan cara sederhana saja," kata Maora.
"Apa?" tanya Ayah memicing.
"Maksud Maora ijab kabul saja Ayah, sederhana saja!"timbrung Maora.
"Bukankah dia bos besar? Apa dia bangkrut? tanya ayah.
"Bukan begitu Ayah, apa kata orang-orang nanti kalau aku mendadak menikah? Pasti semua orang akan berpikiran macam-macam tentang Maora. Apalagi menikah dengan atasan Maora," kata Maora melas.
Ayah mengerling. Sebenarnya ia sangat kasihan dengan kata-katanya yang mungkin menyakiti hati putrinya.
"Ya sudah. Kamu atur semuanya. Pokoknya kalian harus tetap menikah," kata Ayah meninggalkan Maora.
***
Di kantor
Devian mengernyit sambil mengetukan jari jemari tangannya di atas meja.
"Apa yang kamu pikirkan? Bukankah itu yang kamu inginkan dari Maora?" tanya Mike yang duduk didepannya.
"Tapi aku tak yakin, apa Maora menyukai pernikahan ini atau tidak," kata Devian berjalan mondar mandir kesana kemari."Dari dulu aku memendam rasa ini padanya," ujar Devian menghela nafas panjang.
"Apa kamu pernah mengutarakan isi hatimu kepadanya?" tanya Mike yang melihat Devian mengelengkan kepala.
"Tapi aku sangat yakin dia juga memiliki perasaan yang sama kepadaku," kata Devian Pede.
"Apa aku harus mengumumkan kepada semua Dewan Direksi?" tanya Mike.
"Jangan dulu!!! Biarkan ini menjadi kejutan untuk semua orang," kata Devian sambil tersenyum.
***
Hari telah berlalu, baru kali ini Devian Emilio Alatas mengurus dirinya sendiri tanpa ada maora di sisinya. Mulai memilih baju kemeja, dasi, dan sepatu, semuanya ia lakukan seorang diri.
Sesaat, Devian tersenyum seraya memandang dirinya yang memantul di cermin.
"Memang aku sangat tampan, maora tak akan menyesal menjadikan aku sebagai suaminya," kata Devian seraya membenarkan jasnya.
Ting tong
Suara bel pintu mengejutkan Devian. Dengan langkahnya yang perfect, ia melangkahkan kaki menuju ke arah pintu.
Senyum manisnya tertoreh saat melihat beberapa puluh parcel telah tiba di rumahnya.
"Bagaimana? Apa sesuai dengan apa yang kamu inginkan?" tanya Mike menghampiri sahabatnya yang terlihat begitu perfect.
"Iya. God job!" kata Dev menyeringai.
"By the way, siapa saja yang kesana?" tanya Mike duduk sembari menyilangkan kedua kakinya.
"Untuk saat ini kita berdua saja. Nanti, kalo menikah baru kamu undang semua Dewan Direksi dan semua karyawan," kata Devian senang.
****
Di rumah, Ayah terbelalak kaget saat melihat beberapa puluh parcel memasuki rumahnya.
"Selamat sore Ayah, semoga Ayah senang dengan senja ini," kata Devian dengan sopan.
"Apa ini tidak berlebihan?" tanya Ayah bingung melihat parcel berjejer di rumahnya.
"Ini belum seberapa Ayah di waktu pernikahan nanti, saya akan adakan di hotel Bintang Lima," kata Devian dengan senyum manisnya.
Sejenak, tatapan Devian beralih ke arah Maora yang keluar. Ia terpana akan kecantikan Maora meskipun tanpa menggunakan make up.
"Pak?" tanya Maora mengagetkan Devian.
"Ya, ada apa?" Pak Devian
"Bisa kita bicara sebentar," kata Maora yang melihat Devian tersenyum.
Devian mengikuti langkah Maora yang berjalan di halaman samping rumahnya. Tanaman yang indah dan suara kicauan burung membuat pemandangan menjadi asri.
"Sebelumnya saya minta maaf, karena kejadian kemarin, Bapak harus ...," kata Maora terhenti.
"Sudahlah! Saya tidak mau ada orang kecewa gara-gara saya. Kau tahu itu 'kan? kata Devian menyeringai.
"Ya, Anda benar. Tapi kalau kita benar-benar menikah bagaimana nasib bapak dan keluarga bapak? Apa kata orang-orang di kantor nanti, Pak?" tanya Maora bingung." Status keluarga kita juga berbeda dan saya tidak mau ada yang sakit hati gara-gara pernikahan ini," ucap Maora.
Devian menghela nafas panjang. Sudut matanya mengerut melihat calon istrinya seakan tak mau pernikahan ini terjadi.
"Kamu tahu siapa aku dan Siapa yang akan sakit hati gara-gara pernikahan ini?" tanya Devian penasaran. "Apa malah sebaliknya? Kamu takut orang terdekatmu sakit hati?" tebak Devian yang ingin tau.
"Bukan begitu Pak, saya belum siap saja untuk menikah," ujar Maora.
"Kalau begitu bilang saja kepada Ayah untuk menunda semua ini," kata Devian dengan tenang.
"Tak semudah itu Pak! Ayah saya mempunyai penyakit jantung, saya takut kalau saya membantahnya jantungnya akan kumat," kata Maora menjelaskan.
Devian duduk terdiam sambil menopangkan dagunya di tangan. Ia berpikir untuk mencari jalan keluar dari masalah yang membebankan bagi Maora.
"Ehm, bagaimana kalau kita menikah di atas kertas," usul Maora yang membuat bosnya terbelalak kaget mendengarnya.
"Apa maksud kamu?"Devian terlihat bingung.
"Kita menikah kontrak," kata Maora.
Hancur rasanya hati Devian mendengar kata-kata Maora yang seperti itu. Apa yang diharapkan tidak sesuai yang ia inginkan.
"Apa kamu tak mempunyai rasa terhadapku?" tanya Devian penuh penekanan.
" Apa?" tanya Maora terkejut dengan apa yang terlontar dari mulut atasannya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!