NovelToon NovelToon

Bukan Duda Biasa

Satu

Bibir Manda menipis usai melihat dari pintu Cafe yang baru terkuak memunculkan sosok temannya. Sudah lebih dari setengah jam dia duduk menunggu, bahkan minuman yang telah dia pesan sudah hampir tandas.

Berdesis usai menyedot habis minumannya Manda menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. "Aku kirain gak bakal datang," ujarnya menyindir.

Meringis garing Marwah langsung mendudukan diri di kursi depan Manda dan meletakkan tas tangan yang harganya sudah Manda pastikan senilai jutaan di kursi yang tepat berada di sebelah wanita itu.

"Sorry. Lama ya?" sahut Marwah namun tak menampak wajah bersalah, dan langsung mengangkat sebelah tangannya memanggil pelayan.

Pelayan tiba dengan segera Marwah memesan minuman dan camilan. Melirik ke arah Manda yang masih menampilkan raut wajah cemberut juga menilik ke arah gelas kosong milik temannya itu, tanpa pikir panjang Marwah memesankan lagi minuman yang sama.

"Mbak tambah lagi sama minuman yang itu ya," ucap Marwah menunjuk gelas di hadapannya.

Si pelayan Cafe pun mengangguk dan mencatat apa saja yang dipesan Marwah, lalu kembali mengangkat kepala untuk bersuara, "Ada lagi yang mau dipesan?"

"Tidak itu saja," sahut Marwah hingga akhirnya sang pelayan Cafe mengangguk berucap permisi.

"Tadinya aku mau cabut duluan," ujar Manda bersamaan dengan meletakkan ponselnya ke atas meja.

"Dasar gak sabaran banget," sahut Marwah sibuk mengambil barang dari dalam tasnya. "Tadi aku tuh nitipin Risma dulu ke Mama, gak mungkin kan aku bawa bocah buat hang out kemari," timpalnya sambil memoles lipstik merah di bibirnya.

"Aku aja malah gak sempat dadan," ujar Marwah dengan suara tak jelas, sebab bibirnya bergerak menyesuaikan arah polesan lipstiknya.

Sedangkan Manda yang memperhatikan hanya geleng kepala. Menatap ngeri pada sahabat dekatnya itu. "Norak banget sih selera kamu?" ucapnya mencibir.

"Apa? Ini?" sahut Marwah melirik dengan mengacungkan lipstik di tangannya.

"Hmm," gumam Manda menatap tanpa minat. "Udah kayak tante-tante tahu gak, dandan begitu."

Terbahak Marwah justru menertawakan temannya itu. "Asli. Aku kan sadar umur," ujarnya menimpali kembali memoles lipstik di ujung bibirnya.

Namun gerakannya seketika terhenti dan melirik ke arah temannya yang tak kunjung menanggapi ucapannya, karena biasanya temannya itu akan menimpali hingga beradu argumen dan pendapat.

Hanya diam dan mengalihkan tatapan ke arah luar, itulah yang tengah dilakukan Manda. Membuat Marwah berfikir apa mungkin kata-katanya tadi menyinggung temannya. Tapi buru-buru dirinya mengenyahkan pikiran itu dan memasukan alat make-up ke dalam tas mahalnya.

"Kenapa? Kok malah diem?" ujar Marwah dan keburu pelayan datang mengantarkan pesanan.

Hingga pelayan itu pergi baru Manda mengeluarkan suara. Bukan menanggapi pertanyaan Marwah melainkan menunjuk satu gelas yang diletakkan di hadapannya. "Ini buat siapa?"

"Kamu lah," sahut Marwah menyesap minumannya.

"Aku gak pesan. Lagian aku tadi udah minum."

"Aku yang traktir," ucap Marwah sambil meletakkan kembali gelasnya. "Gimana sama pertemuan kemarin?"

Hanya melirik dan sambil masih menyesap minuman, ekspresi Manda nampak begitu tenang.

"Rencana Mas Aditya berhasil dong!" ucap Marwah antusias, cepat mengambil kesimpulan.

Manda sontak memberengutkan wajahnya. Mendesah panjang napasnya dengan menggeleng kepala sebagai jawaban dari ucapan sahabatnya itu.

Mulut Marwah terbuka tapi tak keluar satu ucapan apapun. Dirinya tak habis pikir dengan sahabatnya yang satu ini. Membuang napas akhirnya dirinya berujar, "Sebenarnya kurang apa sih lelaki yang dikenalin sama Mas Aditya sama kamu? Dia kan temannya suami aku, satu kantor lagi. Dan kurang apa coba?"

Menipiskan bibirnya mau tak mau Manda membuka suara tapi keburu didahului oleh Marwah. "Bukan selera kamu gitu?" tebaknya.

"Hmm tepat," sahut Manda.

Mendengus keras, Marwah kesal menghadapi sahabatnya ini. Dan mau tak mau kini dirinya mengeluarkan kata bernada emosi. "Apa sih yang kamu cari Manda? Inget umur! Kalau kamu tetap pilih-pilih dan memberi syarat tinggi dengan jodoh yang menurut kamu harus sesuai dengan kriteria ketidak-masuk-akalanmu— kamu tak akan cepat menikah. Ingat Manda, ingat! umur kamu udah hampir kepala empat. Mau sampai kapan!" ujar Marwah yang telah dikuasai kesal sampai menembus ubun-ubun.

Sedangkan Manda menanggapinya dengan memberengutkan bibir. "Habisnya," gumamnya menggantungkan kalimat.

"Habisnya apa?" sontak Marwah menanggapi dengan ketus.

Membuang napas akhirnya Manda mengemukakan alasannya. "Habisnya— habisnya kalau suami kamu mau ngenalin ke orang, harusnya orang yang bener dong!"

"Orang yang bener gimana maksudnya? Emang Mas Aditya ngenalin ke kamu orang yang gak bener?" sahut Marwah mengerutkan keningnya.

"Ya— maksud aku, suami kamu kan kerja di Bank punya Negara. Jadi staff pula dan punya posisi tinggi. Harusnya ngenalin orang tuh yang rada jelas, masak satpam!" ujar Manda menggerutu.

Marwah seperti kehilangan orientasinya. Jadi yang dimaksudkan sahabatnya tadi adalah karena profesi yang jelas tak sesuai dengan kriteria, tapi jika menilik profil Manda rasanya dia hanya bisa geleng kepala.

"Jadi yang kamu inginkan itu yang seperti apa? Bos gitu? Haduh Manda, harusnya kamu juga harus berkaca, apa profesi kamu?" ujar Marwah tak peduli jika kata-katanya terlalu nyelekit dan terdengar pedas untuk sahabatnya.

"Buka mata kamu lebar-lebar. Kamu itu hanya seorang— Ah sudahlah aku malah capek sendiri ikut ngurusin masalahmu," ucap Marwah yang sudah jengah akan pemikiran sahabatnya itu. Dia justru dibuat kesal sendiri dengan pilihan-pilihan hidup yang dibuat rumit.

Manda menipiskan bibirnya. Dia sebenarnya sudah menekan segala bentuk kriteria yang dia eluh-eluhkan. Dulu dia memang memasang standar tinggi pada calon pasangannya, tapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia— dia memangkas satu persatu harapannya. Asalkan...

Aist... Rasanya masih saja sama jika dia masih menyebutkan patokan harapannya.

Menghela napas panjang, akhirnya Manda berucap dengan nada putus asa, "Gini-gini banget ya jalan hidup yang harus kutempuh."

Kalau sudah memasang tatapan memelas, Marwah sebagai orang yang begitu dekat terhadap Manda juga merasa ikut iba. Bila dibandingkan dengannya sungguh nasib mereka bertolak belakang.

Marwah lebih dulu menikah, tepat di usia dua puluh empat tahun. Memilki suami dengan jabatan yang lumayan bagus, juga memiliki dua pasang anak putra dan putri yang usianya kini menginjak enam dan dua tahun.

Tentu Manda menilai sahabatnya itu telah memiliki kehidupan yang sempurna, sedangkan dirinya sampai sekarang masih saja pusing memikirkan siapa yang akan jadi jodohnya.

Lagi-lagi Manda menghela. "Apa hingga akhir hayat nanti aku akan tetap menyandang status sebagai perawan tua ya?"

"Amit-amit... Punya mulut kalau ngomong jangan ngaco!" ujar Marwah menimpali. "Naudzubillah mindalik. Gak— gak jangan sampai. Sekali pun kamu gak ketemu jodoh kamu, aku rela kok jodohon Rizky ke kamu."

"Sialan! Masak aku jadi menantumu," sahut Manda diselingi tawa.

"Lha iya, aku kan sahabat yang baik. Kurang apa coba aku ke kamu. Jangan lupakan, yang dikenalkan ke kamu kemarin itu juga campur tangan usahaku. Kalau gak salah sudah tujuh orang yang aku kenalin ke kamu, tapi beneran deh, aneh banget. Sebenarnya atau jangan-jangan ada yang salah sama diri kamu?" ucap Marwah mengamati sahabatnya dengan tatapan curiga.

"Maksudmu?" sahut Manda mulai was-was.

"Kamu gak berpikir gitu, sulitnya jodohmu mungkin saja disebabkan kerena sebuah kutukan?" kata Marwah memelankan kata diakhir kalimat.

"Kutukan?" Mengernyitkan kening, Manda pun mempertegas ucapan sahabatnya.

Hingga membuat sahabatnya itu mengangguk yakin dan berujar, "Hmm, kurasa kamu sedang mengalaminya."

To be Continue

Dua

"Kutukan? Emang masih berlaku kutukan di jaman milenial?" timpal Manda diakhiri tawa.

"Ya kali aja kan. Soalnya kamu sial terus. Kalau gak kutukan ya bisa jadi karma."

"Apaan sih, ngaco aja!" sahut Manda tak terima.

"Heh! Inget-inget deh kesalahan di masa lalu apa yang udah kamu buat sama mantan-mantan pacar kamu. Kali aja ada salah satunya sakit hati, nyumpahin kamu dan lebih ngerinya ngirim santet ke kamu."

"Ajim!" sahut Manda frontal. Dia mengeleng dengan bibir menipis.

Marwah pun tak kuasa menanggapinya dengan menghela napas yang serasa putus-putus. "Saranku minta maaf deh sama tuh mantan."

"Buat apa? Lagian aku pacaran juga udah lama. Mana tahu kabar mereka tinggal dimana aja!"

"Seenggaknya usaha lah. Jaman milenial gini 'kan, bukannya cari informasi lebih mudah."

Manda merasa sulit untuk menerima saran itu. Memang dia akui, dulunya dia player. Mantan pacarnya bertebaran di mana-mana. Belum putus dari pacar satu sudah ada orang baru yang menyatakan cinta kepadanya.

Selingkuh sudah jadi hal biasa. Diputusin saja dia gak pernah, malahan sampai pernah dulu Marwah menyebutnya sang kolektor mantan. Sebab ya gitu, mantannya bertaburan di mana-mana.

"Gak, ah malu," ucap Manda setelahnya.

"Anggap aja itu jadi langkah penebus dosa akibat para mantan yang kamu sakiti."

"Kalau aku nemuin mereka, terus niat aku yang cuma mau minta maaf malah dipermalukan gimana?"

"Anggap aja itu resiko," timpal Marwah. "Lagian mau mempermalukan gimana coba, lihat statusmu yang belum nikah aja udah pasti kamu diketawain."

"Dasar sahabat lucknut!" suhut Manda memincing geram. "Iya-iya yang itu gak usah dipertegas."

Marwah pun kini meringis. "Ngingetin, barang kali lupa," ujarnya lalu meraih gelas minumannya untuk disesap.

Berdehem setelah meletakkan kembali gelasnya, Marwah berujar, "Mungkin bisa jadi jodohmu dari sekian mantan-mantan pacarmu."

Menggeleng. Pikiran Manda malah serasa buntu. Memulai dan mengingat siapa saja yang pernah disakitinya, tapi setelah diingat-ingat memang cukup banyak. Bahkan...

"Aku yakin mereka sudah menikah," ucap Manda mendesah panjang lalu menegak minumannya langsung usai menarik dan membuang sedotannya.

"Kudengar Zainal sudah jadi duda."

Uhuk... Manda menyemburkan minuman yang belum sempat mengalir ke tenggorokannya. Tersedak hingga menimbulkan minumannya keluar dari mulutnya, membasahi sekitarannya tak terkecuali mengenai wajah Marwah.

"Issst... Jorok!" desis Marwah jijik bercampur kesal.

"Lagian ngapain nyebut-nyebut nama Zainal?" ucap Manda seakan kesulitan, sebab bersamaan dengannya berdehem menormalkan suara.

"Maksud aku bisa jadi dia salah satu mantanmu yang tersakiti. Dulu seingatku kan Zainal orang yang kamu selingkuhi lebih dari tiga kali."

"Iya, habisnya—" ucapan Manda terputus sebab kini Marwah lebih dulu berujar dengan nada suara tak mau kalah.

"Habisnya apa? Mudah kamu bodohi gitu? Bahkan dipikir pun itu hukum karma. Coba inget-inget dulu kamu kan dapet balesan malah diselingkuhi sama Raihan!"

"Eh kok jadi kamu yang nyolot sih? Gak terima gitu si Zainal tersakiti trus ungkit masalah Raihan?"

"Ya gak gitu maksud aku," ujar Marwah yang sedikit melunak. "Lagi pula kenapa coba cowok sebaik Zainal kamu gituin?" gerutunya.

"Kok jadi kamu yang kedengeran gak terima. Atau jangan-jangan kamu yang malah nyumpah-nyumpahin aku?"

Wajah Marwah seketika pias, dengan mata mengerjab akhirnya dia menggeleng-gelengkan kepala. "Ng— nggak kok. Mas—masak aku tega nyumpahin yang gak baik-baik ke kamu," ujar Marwah yang kini malah terdengar gugup.

To be Continue

Hayooo siapa yang dulu pernah nyumpahin temen baiknya sendiri yang hoby mainin hati.....

Tiga

"Kamu memang gak pintar nyembunyikan kebohongan dariku," ucap Manda membaca gelagat sahabatnya, dengan bersidekap dada dirinya pun menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi Cafe.

Mendapat tatapan tak menyenangkan dari Manda, Marwah pun akhirnya menganggukan kepala. Menunduk sesaat sebelum akhirnya menatap Manda kembali. "Ok, aku mau buat pengakuan dosa. Dulu aku memang sempat kesal sama kamu. Tiap ada gebetan selalu aja ketikung sama kamu. Entah sadar apa gak, di belakangmu aku selalu mengumpatimu. Berharap suatu saat kamu sendiri dapat karmanya. Minimal sih diselingkuhi," jelas Marwah mengakui.

Terkejut, jelas itu yang saat ini dirasakan Manda. Sekejam itukah dirinya? batinnya sontak bertanya-tanya.

Sosok Marwah sudah dikenalnya lama, sejak mereka berdua menginjak bangku sekolah menengah pertama. Bila dihitung selama dua puluh tahun, dan kenapa bisa persahabatan yang dilakoninya bertahan selama itu? Padahal dalam hati Marwah menyimpan rasa hasad, dengki dan mungkin saja iri.

"Itu serta merta juga bukan salahku kan? Salahmu juga yang gak berperasaan," ujar Marwah lagi-lagi membuat Manda kehilangan kata-kata.

"Aku gak sedikit pun nyalahin kamu," sahut Manda namun terjeda. "Kalau memang kamu sakit hati, kenapa gak bilang?"

Marwah nampak berfikir sejenak, sebelum akhirnya menghela napas. "Aku juga nyadar diri kok, kalau kamu lebih cantik," ucapnya dengan bibir berkerut.

Kini justru ditanggapi Manda dengan senyum. Bukan karena dapat pujian kata cantik melainkan dia menemukan satu fakta bahwa dia ternyata tidak peka. Selalu menutup mata atas kebahagiaan yang selama ini dia terima, tapi tak pernah dia sangka bahwa ada yang terluka di belakangnya.

"Lalu kamu puas sekarang lihat keadaanku yang seperti ini?"

Nyeri berdenyut di sebalik dada Marwah. Dia sontak menggeleng. "Aku bukan tipe orang yang bahagia di atas penderitaan orang lain. Kalau aku tipe yang seperti itu, sudah lama aku ninggalin kamu dan gak akan bingung-bingung mikirin masalah kamu. Cariin kamu jodoh, kenalin kamu ke sana-sini. Ya walau ujung-ujungnya juga masih kamu tolak!" tegasnya.

Langsung saja Manda bangkit berdiri menghambur dan memeluk Marwah. "Beruntung banget gak sih, aku dapet sahabat kayak kamu," ujarnya hendak mengecup pipi Marwah tapi buru-buru sisi wajahnya di dorong kuat.

"Gak usah lebay!" ucap Marwah risih.

Meringis, Manda mundur kembali ke kursi dan berujar, "Refleks."

"Tapi aku kayaknya udah nyerah deh sekarang buat jodoh-jodohin kamu."

"Kenapa?"

"Masih tanya kenapa? Ya aku malu sendiri lah. Kamu aja gak ada itikad baik saat ketemuan dan ujungnya selalu aja gagal."

"Kalau gak cocok mau dibilang apa. Hati gak bisa dipaksa," sahut Manda seraya menghela. Mengikuti kata hati bila dihadapkan orang seorang lelaki yang walau punya wajah rupawan dan status mapan sekali pun, kadang hatinya merasa gundah hingga berakhir pada penolakan.

Bisa saja saat dia sudah merasa cocok pun terkadang ada satu, dua alasan lain yang membuat harapannya pupus. Seperti dua tahun silam, orangtua dari pihak lelaki menolak sebab usia Manda yang sudah menginjak angka tiga puluh tahun. Mereka merasa bila anaknya nekad menikahi Manda akan sulit mendapat keturunan sebab usianya.

Berkat dari orang di sekelilingnya pun Manda kemudian bangkit, menata kembali harapannya. Namun dua tahun berselang hasilnya tetap saja sama.

"Hmmm, dipaksa pun ujungnya pasti gak baik," ucap Marwah menanggapi.

Dengan bibir memberengut Manda mengangguk-unggukan kepalanya. Dia berharap menikah seumur hidup sekali, bukan seperti dulu yang pacaran tiap bulan berganti-ganti.

Dan kalau memahami jalan hidupnya, bila dikatakan apa yang tengah dialaminya adalah suatu karma? Mungkinkah?

Dia dulu telah mereguk apa itu indahnya bermain dalam api asmara. Berkencan, menikmati waktu berdua, jalan bersenang-senang dan dalam garis besar pacarannya masih dalam tahap yang dia kira wajar, yakni kesuciannya masih terjaga.

Meski di luaran sana banyak yang menyanksikannya, tetap hanya dirinya dan Tuhan yang tahu bahwa hingga kini dirinya masih perawan. Setidaknya dengan yang satu itu dia masih mampu menegakkan kepalanya.

Menghela napas, Manda pun memilih bangkit dari duduknya dan mengambil tasnya. "Aku balik," pamitnya.

"Loh, kok?" sahut Marwah tak terima. "Tadi kamu yang ngajak janjian kesini, kok balik gitu aja?"

Dalam hati Manda malas untuk melanjutkan perbincangan kali ini. Hingga akhirnya dia memilih alasan lain untuk berbohong, "Udah jam setengah dua, aku lupa kalau ada janji. Lagian aku tadi udah nungguin kamu lama."

"Ya gak gitu juga, baru juga sejam aku duduk disini." Berdecak, Marwah pun mengalah. "Ya udah deh kalau emang ada janji," ucapnya yang terdengar menyindir tak percaya.

Namun Manda berfikir masa bodoh saja dan berujar lagi. "Aku balik," pamitnya.

Mendapat jawaban bergumam dari Marwah, akhirnya Manda memutar tubuhnya untuk melanjutkan niatnya untuk pulang.

***

Dalam perjalanan pulang, sorot mata Manda terus tertuju pada kaca jendela bus kota yang ditumpanginya. Jarak yang ditempuh sekitar tiga puluh menit.

Ponsel dalam genggamannya kali ini bergetar, sontak memutus lamunannya. Dalam layar ponsel yang telah dia buka terpampang tulisan pesan yang menyebutkan nama Naya, keponakannya.

[Naya] : Tante. Kalau pulang, titip makanan.

Tak berniat membalas, Manda memasukan ponselnya ke dalam tas salempangnya. Berdiri menyadari bahwa rute yang dilewati telah dekat dengan tempat tinggalnya, Manda bergegas menuju pintu bus. Menunggu sesaat hingga bus berhenti di sebuah tempat pemberhentian, akhirnya Manda pun turun.

Terdiam sesaat di tempat hingga bus melaju semakin menjauh dari tempatnya berpijak, pikiran Manda seolah tengah mengambang.

Sampai kapan hidup akan terus begini-begini saja? bisik halus yang di rasanya menggerogoti hari-harinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!