Jika ada yang bilang ku lupa kau
Jangan kau dengar
Jika ada yang bilang ku tak setia
Jangan kau dengar
Banyak cinta yang datang mendekat
Ku menolak
Semua itu karena ku cinta kau
Lagu dari BCL memecah keheningan ketika Dara sedang asyik membaca novel detektif dikamarnya. Dia meraih HP yang ada tepat di sampingnya. Sesaat dalam hatinya bertanya siapa yang meneleponnya? Senyum langsung mengembang ketika dia membaca nama yang ada di layar HP.
"Halo, Assalamu'alaikum," sapa Dara.
"Wa'alaikum salam. Lagi ngapain, Ra?" tanya sang penelepon.
"Gak ngapa-ngapain lagi santai aja sambil baca novel. Kenapa? Ada apa, Kak?" tanya Dara sembari dia membenarkan posisi duduknya.
"Ada waktu sebentar gak? Aku mau ngomong serius."
"Iya, Kak. Ada apa?"
"Dengerin baik-baik ya.” Sang penelepon berdehem mencoba membersihkan tenggorokannya agar tidak mengganggu dan lebih nyaman.
"Bismillahirrahmanirrahim," lanjut sang penelepon. "Ra, kamu mau gak menikah denganku? Menjadi ibu dari anak-anakku kelak?"
Deg ! Jantung Dara langsung berdebar kencang. Dia merasa ingin langsung teriak Yes,I will, tetapi kemudian dia langsung menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dara mematung tak percaya.
"Ra, kamu masih di sana?" Pertanyaan sang penelepon langsung membuyarkan lamunan Dara.
“I-iya, Kak," jawab Dara dengan terbata-bata.
"Tapi, apa aku boleh meminta sedikit waktu untuk menjawabnya?"
"Boleh, sangat boleh. Aku kasih waktu paling cepat tiga hari ... paling lama satu minggu. Bagaimana?"
"Baik, Kak. Aku ... akan coba memikirkannya," jawab Dara sambil mengatur nada bicaranya. Dia tidak mau kalau sang penelepon tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya.
"Baiklah kalau begitu. Pikirkan baik-baik. Aku tunggu jawabannya segera. Jika jawabannya itu Ya. Aku akan langsung menemui kedua orang tuamu."
Senyum makin mengembang di bibir Dara.
"Baik, Kak. Aku akan memikirkannya baik-baik."
"Ya sudah, aku tutup teleponnya. Jangan terlalu larut baca novelnya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam." Dara memandangi ponselnya.
Dara mulai senyum-senyum sendiri sambil meraih dan memeluk guling yang ada di dekatnya. Antara percaya dan tidak, seseorang yang baginya sangat susah untuk diraih tiba-tiba mengutarakan perasaannya. Bukan untuk menjadi seorang pacar, tetapi untuk menjadi istrinya, pendamping hidupnya, ibu dari anak-anaknya kelak.
Kak Ardi. Seorang lelaki yang dicintai Dara sejak dulu. Tetapi, saat itu Dara tidak bisa mengutarakan perasaannya kepada Kak Ardi. Karena dia tahu, kalau ini adalah perasaan yang salah. Waktu itu Dara masih mempunyai pacar.
Tiba-tiba raut muka Dara berubah. Dia ingat kalau ada quote yang mengatakan ‘Manusia bisa berencana tapi tetap Tuhan yang menentukan’. Gadis itu mulai berpikir. Apakah nanti jika aku jawab ya kita akan sampai ke pelaminan? Apakah semua akan berjalan dengan lancar? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika salah satu keluarga aku atau dia ada yang tidak setuju lalu membatalkan rencana pernikahan? Apakah nanti aku masih bisa berteman dan bersahabat kembali dengan Kak Ardi? Apakah rasa pertemanannya masih sama? Atau malah canggung dan akhirnya putus komunikasi seperti beberapa waktu yang lalu?
Jika memang itu yang akan terjadi Dara merasa tidak rela. Baginya, Kak Ardi adalah sahabat terbaiknya. Seseorang yang mau dengan sabar mendengar setiap curahan hatinya. Bersama Kak Ardi, Dara bisa meluapkan semua emosinya tanpa rasa canggung. Pernah sekali waktu Dara bercerita tentang kekasihnya dahulu. Dia bercerita dengan penuh emosi hingga akhirnya air mata pun tumpah dan membasahi pipinya. Dengan sabar Kak Ardi mendengarkan semua keluh kesah kisah percintaannya.
Ketika Dara hanya ingin meluapkan unek-uneknya, maka Kak Ardi pun akan menjadi pendengar yang setiap. Tidak akan berkomentar sepatah kata pun. Dan ketika Dara menginginkan sebuah pendapat, maka Kak Ardi pun akan memberikan pandangannya yang terbaik dan tidak memaksakan sarannya itu. Dia tidak mau kehilangan seseorang seperti Kak Ardi.
Bagi Dara, Kak Ardi adalah paket lengkap. Seorang pria tampan, dengan kepribadian yang menyenangkan serta pandai membawa suasana. Kak Ardi punya perbendaharaan lelucon-lelucon konyol hingga garing yang akan membangkitkan kembali mood Dara.
Dara merebahkan dirinya, mencoba untuk tidur dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif itu. Dia mencoba mengingat beberapa lelucon yang pernah dilontarkan Kak Ardi yang membuatnya tertawa terbahak-bahak dan menghilangkan kesedihannya. Tanpa disadari Dara tertawa kecil karena mengingat kenangan itu.
Diraihnya ponsel dan membaca jam yang tertera di layar. Sudah jam sebelas malam, berarti sudah lebih dari satu jam yang lalu Kak Ardi meneleponnya. Dara menghela napas. Mencoba memejamkan mata, mencoba berpikir jernih dan mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan maksud Kak Ardi ke mama papa esok hari. Dara berharap kedua orang tuanya akan mengembalikan keputusan ada pada dirinya. Dan semoga mereka memberikan restu pada keputusan apa pun yang akan diambilnya nanti dan Dara pun berharap keputusan yang akan diambilnya nanti apa pun itu, itulah yang terbaik. Semoga.
Dara mulai memosisikan tubuhnya. Mencari posisi yang nyaman untuk membawanya ke alam mimpi. Dara mencoba memejamkan mata sambil memeluk guling. Dan tiba-tiba dia tersenyum. Dia kembali membuka matanya. Dibelainya guling yang ada di dalam peluknya.
"Jika Tuhan mengizinkan, tidak ada halangan yang membentang dan apa yang aku inginkan jadi kenyataan. Berarti tidak lama lagi aku tidak akan memerlukan guling ini. Karna nanti ada seseorang yang aku cintai sejak dulu dia yang nantinya akan menjadi guling hidup untukku. Ah! Bahagianya. Muah!" Dara mencium gulingnya bertubi-tubi. Dia malu dengan tingkahnya sendiri. Dia mencoba menyembunyikan wajahnya di balik bantal guling yang ada di pelukannya.
"Hmm. Apa yang dilakukan Kak Ardi sekarang ya? Apakah dia sedang merasakan yang sama seperti yang aku rasakan? Adakah rasa cemas yang meliputi hatinya seperti aku ini? Atau justru dia sedang merasa bahagia karena sudah bisa mengutarakan isi hatinya? Atau malah ternyata dia biasa-biasa saja? Atau mungkin sudah tidur nyenyak sekarang?" Dara bergumam sendiri. "Jika kamu sudah tidur, apakah kamu sedang memimpikan aku?"
Plak!
Dara menepuk jidatnya. Dia baru ingat kalau besok pagi dia harus bangun pagi karena ada beberapa pekerjaan yang tertunda kemarin. Sedangkan pekerjaan itu akan dipresentasikan hari itu juga. Dara membolak-balikkan badannya mencari posisi agar dia segera terlelap. Tidak berhasil.
Dara tiba-tiba tersenyum lagi. Suara Kak Ardi yang berdehem terngiang-ngiang ditelinganya.
" Hem ... hem ... hem .... Bismillahirrahmanirrahim." Dara menirukan suara Kak Ardi ketika telepon tadi.
"Andai aku bisa menjawab langsung, Kak ... tanpa memikirkan hal ini itu ..., tetapi jika tidak dipikirkan aku takut menyesal kemudian." Dara menghela napas.
Dara kembali memeluk gulingnya erat dan memejamkan mata. Berusaha untuk terlelap dengan menghitung domba hingga akhirnya terbawa ke alam mimpi.
Satu jam sebelum pernyataan cinta ditelepon.
Ardi baru saja pulang dari tugas lemburnya di kantor. Dia berjalan ke arah ruang keluarga di mana ibu dan ayahnya berada.
"Assalamualaikum, Bu, Yah," sapa Kak Ardi sembari berjalan menuju sofa kosong di samping ayah dan ibunya duduk yang sedang menyaksikan acara televisi.
"Wa'alaikum salam. Baru pulang kamu, Nak? Lembur lagi?" Ibu menoleh ke sumber suara seraya tersenyum menyambut kedatangan putranya.
"Iya, Bu. Lumayan bikin pundak pegal. Terlalu banyak yang diurus dan diketik " Kak Ardi menghempaskan diri di sofa dan membuka kancing lengan bajunya.
"Kalo kamu sudah punya istri kan enak, Di. Pulang kerja capek ada yang mijitin, ada yang ngelayanin," jawab Ayah dengan mata masih tertuju pada televisi.
"Iya, Nak. Kapan kamu akan mengenalkan calon istrimu ke Ibu? Sudah ada belum? Tadi sore Tante Suci telepon dan cerita katanya punya calon yang pas buat kamu. Dia anak dari sahabatnya gitu. Anaknya cantik, pintar dan juga calon dokter. Sekarang sih masih kuliah tapi bentar lagi lulus. Pengenalan dulu juga boleh. Gimana kamu mau gak?" Ibu membelai rambut anaknya.
"Gimana, Nak? Temui saja dulu anaknya. Kan sekitar dua minggu lagi kita pergi ke kota B, nanti Ibu suruh Tante Suci bawa gadis itu ke rumah Eyang ya. Biar kalian saling kenal. Gimana, Nak? Kamu setuju tidak dengan pendapat Ibu?" Ibu memandang putranya meminta persetujuan.
"Tidak ada salahnya, Di kamu mengenal gadis itu. Kalau nantinya setelah bertemu kamu merasa tidak cocok ya sudah berteman saja. Toh, tidak ada salahnya. Belum ada ikatan hanya baru perkenalan." Ayah menimpali
Ardi mengela nafas.
"Entahlah, Bu. Nanti aku coba pikirkan dulu ya."
"Atau jangan-jangan sebenarnya kamu sudah punya calon sendiri ya, Di?" Ayah mencoba menebak.
Deg ! Ardi kaget. Dia mencoba membetulkan posisi duduknya.
"Tuh kan, salah tingkah." Ayah tersenyum menggoda.
"Apa itu benar, Nak? Kamu sudah punya calon sendiri? Kok belum dibawa kesini buat dikenal in ke Ibu sama Ayah?" Ibu menyelidik.
“Iya, Bu," jawab Ardi datar.
"Siapa? Orang mana? Tinggalnya di mana?" Ibu bertanya-tanya.
"Ada, cewek, tinggalnya di Bumi. Tapi, gak tahu orang mana sedikasihnya aja sama yang Kuasa," jawab Ardi dengan menahan tawa.
"Ih! Kamu ya, orang ini Ibunya lagi nanya bener ke anaknya. Eh! dia malah bercanda." Ibu mencubit gemas lengan anaknya.
“Aduh! Sakit, Bu." Ardi mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap lengannya.
"Makanya, kalo orang tua lagi tanya kamu jawab yang benar, dong,” jawab Ibu kesal.
"Ibu ... ibu ... kamu kayak gak kenal anakmu aja,” ucap Ayah santai. "Sudah jangan goda Ibumu lagi jawab saja pertanyaannya."
Ardi menatap kedua orang tuanya secara bergantian.
"Ayah, Ibu,” ucap Ardi sambil memegang kedua tangan ibunya. "Iya memang, aku sudah lama menaruh hati pada seorang gadis. Tapi, aku tidak tahu dia punya perasaan yang sama denganku atau tidak. Secara dulu kita pernah putus komunikasi dan baru akhir-akhir ini kita baru mengobrol lagi."
"Terus?" tanya Ibu penasaran.
"Terus, aku juga sudah mencoba mencari-cari informasi juga tentang dia sekarang ini. Sedang dekat dengan seseorangkah atau tidak. Dan ternyata ... dia sedang kosong. Belum punya kekasih." Ardi tersenyum.
"Lalu apa yang kamu tunggu, Nak? Kalau menurut kamu dia yang terbaik kenapa tidak?" Ibu meyakinkan Ardi.
"Aku hanya sedang memantapkan diri, Bu. Aku tidak mau mengambil keputusan dengan emosi hanya karena sering ditanya kapan nikah? Aku mau ini terjadi karena aku yakin memilih dia dengan segala tingkah laku baik dan buruknya. Sehingga aku tidak akan menyesal dikemudian hari," jawab Ardi mantap.
"Anak ibu sudah benar-benar dewasa sekarang, Yah." Ibu membelai rambut Ardi.
"Keturunan siapa dulu dong!” Ayah mengangkat kedua tangannya menirukan orang yang sedang menegakkan kerah bajunya.
"Dia juga anak ibu juga, Yah.” Ibu tidak mau mengalah.
"Sudah, ah! Aku mau ke kamar mau ganti baju dan tidur." Ardi berdiri dan mulai berjalan ke arah kamarnya di lantai dua.
Ardi memasuki kamarnya. Dia menaruh tas kerjanya di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia duduk di tepi ranjang sambil membuka satu persatu kancing baju kemejanya dan juga jam tangannya. Ditaruhnya jam tangan di atas nakas dekat dengan tas kerjanya. Lalu dibawanya kemeja itu ke sudut kamar di mana keranjang cucian kotor berada.
Ardi masuk kamar mandi. Mencuci muka dan membasuh keringatnya. Diambilnya handuk yang tergantung di belakang pintu kamar mandi. Dia mengeringkan muka, tangan, dan beberapa bagian tubuh lainnya yang terkena cipratan air. Ardi keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada dan handuk yang melingkar di pinggangnya, karena kaos singletnya sedikit basah terkena air. Dia menuju ke arah lemari dan mencari kaos dan celana pendek untuk dikenakannya.
Ardi kembali duduk di tepi ranjangnya. Mengambil tas di atas nakas untuk mencari ponselnya. Setelah menemukannya dia langsung memeriksa ponselnya, apakah ada pesan atau panggilan penting yang terlewatkan ketika sedang lembur tadi ? Karena sepanjang lembur tadi ponsel dalam mode diam.
Ada panggilan tak terjawab dari Tante Suci sore tadi. "Mungkin ini yang ibu ceritakan tadi," gumam Ardi.
Ada beberapa pesan WhatsApp dari teman-teman satu kantornya, dia membaca dan menjawab seperlunya. Senyum Ardi mengembang ketika dia melihat salah satu nama di pesan WhatsApp yang belum terbuka. Dara Amelia. Dia membacanya dengan senyum yang masih mengembang.
"Iya, nanti aku temani ngobrolnya. Memang ada masalah serius apa sih kak?" Isi pesan WA dari Dara.
Seperti yang sudah diungkapkan kepada Ibunya kalau beberapa hari ini Ardi sedang mencoba memantapkan hati untuk mengungkapkan perasaannya kepada Dara. Seorang gadis yang dia kenal sekitar lima tahun lalu. Awalnya pertemanannya biasa saja hanya sekedar Pak Manajer dan karyawan stafnya. Tetapi, kemudian hubungan itu berubah menjadi lebih akrab ketika tidak sengaja kamar kos Dara menjadi tempat menginap sang gebetannya Pak Manajer, yaitu Ardi. Dari situlah mereka mulai bercerita satu sama lain. Dari mulai pekerjaan hingga ke percintaan.
Ardi merasa konyol ketika mengingat kejadian beberapa tahun lalu itu. Dia mengingat di mana dia pernah merasa bahagia sekaligus sedih ketika Dara keluar dari kantor mereka yang lama dan pindah ke kantor yang lebih dekat dengan rumahnya jadi tidak perlu mengekos lagi. Dia merasa bahagia karena Dara sekarang bisa lebih sering kumpul dengan orang tuanya, yang seperti Dara inginkan. Dan pastinya dia bahagia karena Dara meninggalkan pacarnya. Karena bagi Ardi cowok itu tidak baik untuk Dara. Hanya sering membuat Dara bersedih dan merasa terkekang.
Dan Ardi merasa sedih ketika Dara memutuskan pindah kantor karena dia merasa akan jauh dari Dara. Tidak akan bisa lagi dia untuk melihat senyum Dara yang menyejukkan baginya. Dan itu memang terjadi karena masing-masing dari mereka mengganti nomor ponselnya.
"Sepertinya ini sudah saatnya. Aku percaya hal yang baik pasti akan dimudahkan." Ardi bergumam dalam hati.
Lalu jempol tangan Ardi menekan nomor ponsel Dara.
Tut! Tut! Tut! Jaringan telepon tersambung.
"Halo. Assalamu'alaikum." Dara menjawab teleponnya.
Ceklek! Grab!
Drap..Drap..Drap.. Dara keluar kamarnya langsung berlari menuruni anak tangga.
" Mama, Bi Odah..aku telaatt..!! " Teriak Dara berlari menuju ruang makan yang bersebelahan dengan dapur.
" Neng..pelan-pelan..hati-hati.." Balas Bi Odah dengan tangan yang sudah menyiapkan bekal buat Dara.
" Makasih, Bi.." Dara mengambil kotak bekalnya dari tangan Bi Odah.
" Ma, aku langsung berangkat ya..udah telat nih.." Dara mengangkat cangkir teh yang ada didepan Mama lalu menyeruputnya cepat.
" Aduuhh..panas! " Dara menjulurkan lidahnya lalu mengipasinya dengan tangannya.
" Pelan-pelan dong sayang...Makanya jangan buru-buru.." Mama menasehati.
" Iya ma, udah ya Dara berangkat..Dah Mama..Muah.." Dara mencium pipi Mamanya dan langsung berlalu pergi.
" Gak sarapan dulu naaakk ? " Mama bertanya setengah teriak.
" Gak mah, dah telaatt..." Dara melmbaikan tangannya sambil terus berlari ke garasi.
" Iihh.. ini anak, bukannya semalem dia katanya mau tidur cepat ya..? Kenapa jadi telat sekarang ? " Mama menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Dara.
Dara masuk ke garasi langsung mengeluarkan motor matiknya. Dengan dibantu Pak Maman, Dara sudah siap berangkat ke kantor.
" Pak Maman, makasih ya..tolong tutupin pintunya ya..aku berangkat.." Dara menjalankan motornya.
" Iya neng, hati-hati di jalan.." Pak Maman berteriak.
" Tin..Tin.." Dara membunyikan klakson motornya tanda dia menjawab perkataan Pak Maman.
Dara menyusuri jalan raya yang sudah mulai penuh dengan kendaraan. Dia mengendari dengan sedikit mengebut. Dia memacu motornya dengan meliuk-liuk untuk menyalip kendaraan-kendaraan yang ada di depan. Dan tiba-tiba saja lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Spontan Dara langsung mengerem motornya.
Ciiiittt..!! Nyaris saja Dara menabrak mobil yang ada di depannya.
" Huufft...hampir aja.." Dara mengelus-uelus dadanya.
" Ting..! " Lampu berubah menjadi warna hijau.
Kembali Dara memacu kuda besinya dengan lebih hati-hati dan dalam batas kecepatan normal, karena sudah mendekati kantornya.
Dara membelokan motornya ke arah area parkir. Dia memarkirkan motornya tidak jauh dari pintu masuk kantor. Dia langsung lari masuk kantor dengan masih menggunakan helmnya.
" Pagi, Mas Jono.." Dara menyapa ke salah satu OB yang sedang bersih-bersih di salah satu sudut ruangan.
" Pagi Mba Dara..." Sapa balik OB tersebut dengan muka heran.
Dara langsung duduk di kursi kerjanya. Menyalakan komputer dan sedikit membanting tasnya ke meja kerjanya. Dia langsung mencari beberapa file yang ada di sudut meja dan segera membacanya. Komputer mulai nyala. Dara masih membaca dan membolak-balikan file yang ada di tangannya. Kemudian Dara membuka file powerpoint yang tersimpan kemarin. Dia mulai mengetik memasukan data dari file itu. Para karyawan yang lain mulai memasuki ruangan. Dara masih serius mengetik.
" Ra, kamu pake pelindung biar gak diomelin Bu Yanti ya ? " Ledek Novi, yang meja kerjanya sebelahan dengan Dara.
" Apaan sih lu nov ? Gak ngerti gue..Lagi fokus nih.." Dara masih sibuk dengan komputernya.
Novi hanya bisa tersenyum menahan tawanya, takut mengganggu Dara.
" Tak..tak..tak.....klik..klik..klik.." Bunyi suara keyboard dan mouse Dara.
" Taakkk ! Oke..finish.." Dara memencet tombol enter.
Tak..tok..tak..tok.. Suara sepatu memasuki ruangan menuju meja Dara.
" Eeehhhh..!! akhirnya..." Dara mengangkat kedua tangannya untuk meregangkan badannya.
" Dara ! Kamu apa-apan didalem ruangan pake helm ? " Tanya wanita paruh baya yang sekarang berdiri di depan meja Dara.
" Eh..Bu Yanti..kaget..saya.." Dara menyeringai.
" Itu..kamu ngapain di dalam kantor pake helm ? " Bu Yanti menunjuk helm yang masih terpasang di kepala Dara.
" Ya Allah.. maaf bu..saya gak sengaja.." Dara langsung membuka helmnya dan menaruhnya di bawah meja kerjanya.
" Hmmm.." Bu Yanti menggelengkan kepalanya.
" Sudah selesai laporan bulanan yang untuk persentasi rapat nanti ? "
" Sudah bu, ini sudah saya simpan di flashdisk. " Dara memberikan ke Bu Yanti.
" Ok. untuk file printnya mana ? "
" Ini, bu.." Dara memberikan file yang dibacanya tadi.
" Ok. Thank you ya.." Bu Yanti berlalu menuju ruangannya yang ada di ujung lorong lantai ini.
" Woi..!! Kenapa lu gak bilang dari tadi,kalo gue masih pake helm..? " Dara menepuk punggung Novi sedikit kencang.
" Woi..!! Sakit woi.." Novi mengusap-usap bahunya.
" Kan gue udah bilang dari pertama dateng. Itu lu lagi pake pelindung biar gak dimarahin sama Bu Yanti ? Yeee..dasar lu nya aja yang gak ngeh ! "
" Abis gue lagi ngejar laporan yang mau dibuat presentasi nanti siang. Kan lu tahu sendiri kemarin filenya baru dateng pas gue dah dijalan pulang. Yudah jadi gue baru bisa nyelesaiinnya sekarang. " Bela Dara.
" Iya deh iya..." Jawab Novi sembari memutar balik badannya ke depan komputer lagi.
Dara kembali menatap komuternya. Menyalakan winamp dan memasukan beberapa list lagu disana. Setelah lagu dinyalakan Dara bangkit dari tempat duduknya berjalan menuju dapur kantor. Dia mengambil cangkir kesayangannya dan menaruh satu kantong teh celup kedalamnya. Tak lupa dia memasukan satu sendok gula pasir dan menambahkan air panas dari dispenser. Ketika sedang mengaduk teh manisnya tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara cowok yang menyebut namanya.
" Ra, PP buat presentasi nanti siang udah dikasih ke Bu Yanti ? " Tanya seorang cowok yang sedang berdiri didepan pintu.
" Ya Ampun ! Mas Rizal, ngagetin ajah...udah Mas tadi..kerjanya ngebut lagi.." Jawab Dara sembari nyeruput teh manis hangatnya.
" Heh ! Ini di kantor, panggil aku dengan Pak Rizal. " Kata Mas Rizal sambil salah satu tangannya bertolak pinggang.
" Ups ! Maaf Pak Rizal. " Dara menutup mulutnya dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya membawa cangkir teh hangatnya.
" Ya sudah kalau begitu, aku balik ke kantor ku dulu. Daahh... " kata Mas Rizal meninggalkan Dara yang masih asik menyeruput teh hangatnya.
Dara menuangkan lagi air hangat di cangkirnya sebelum dia melangkah ke meja kerjanya. Ketika sedang berjalan dia seperti melihat punggung seseorang yang dia kenal. Orang itu diantar oleh Mas Rizal menuju ruangannya Bu Yanti.
" Itu siapa ya ? Berasa kenal.." Dara tertegun melihat punggung orang itu yang sekarang sudah masuk ke ruangan Bu Yanti.
" Woi..! Udah ngambil teh manisnya ? Tuuhh..ada kerjaan lagi dari Pak Rizal. Filenya udah nunggu di meja. " Kata Novi membuyarkan lamunan Dara.
" Iihh..ngagetin ajah lu..Iya ini mau balik ke meja. Lu sendiri mau kemana ? " Dara tanya balik ke Novi.
" Mau ambil minum juga lah..Haus gue.." Jawab Novi berlalu ke dapur kantor.
Dara balik ke meja kerjanya. Dia mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Rizal dengan fokusnya. Masih bertemankan playlist di winamp. Tidak berapa lama Dara merasa ada yang memperhatikannya sedari tadi. Dia mengangkat kepalanya dari depan komputer tapi tidak menemukan siapa-siapa. Dia hanya melihat Mas Rizal yang akan masuk ke dalam ruangannya. Hmm..mungkin hanya perasaannya dia saja. Pikir Dara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!