NovelToon NovelToon

Pelacur Milik Sang CEO

Malam Pertama yang Menghancurkan Harga Diri

Langit malam tampak kelabu, seolah turut meresapi beban berat yang menghimpit dada Ayla. Awan menggantung muram, seakan menyiratkan bahwa malam ini bukanlah malam biasa. Angin berembus dingin, menusuk lembut kulitnya yang kini dibalut gaun hitam pendek—bukan miliknya, melainkan milik tempat yang akan memperkenalkannya pada sisi gelap kehidupan, dunia kelam yang selama ini hanya ia kenal lewat cerita-cerita murahan, kisah yang dulu hanya sebatas bisikan dan bayangan di sudut pikirannya.

Tangan Ayla sedikit gemetar, menahan gelisah yang tak mampu ia sembunyikan. Bibirnya dipulas merah pekat, mencolok dan mencuri perhatian, matanya dihias tajam dengan eyeliner yang membingkai tatapannya—tatapan yang tampak tegas di permukaan, namun menyimpan getir dan keraguan di kedalamannya. Tidak ada riasan yang benar-benar mampu menyamarkan kegundahan yang menyelinap diam-diam dari balik sorot matanya.

“Bukan ini yang aku inginkan…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar, kepada bayangan dirinya sendiri yang terpantul di cermin kecil yang tergantung di dinding ruang belakang restoran mewah itu—cermin yang seakan memantulkan kegamangan, sekaligus menjadi saksi bisu atas langkah yang belum tentu ingin ia tapaki.

Restoran itu tampak begitu elegan dari luar—berkelas, bersih, dengan sentuhan arsitektur yang mencerminkan kemewahan dan kesempurnaan. Aromanya harum, semerbak rempah-rempah mewah yang menggoda siapa saja yang melintas di depannya. Dari luar, tak ada yang akan mengira bahwa di balik dinding tebal yang menjulang itu, tersembunyi dunia malam yang hanya dikenal oleh segelintir orang—dunia gelap yang tak terjamah oleh cahaya pagi, dunia yang membungkus luka dengan gemerlap, lalu menampilkannya seolah segalanya baik-baik saja.

Di sanalah tempat para pria berdasi tinggi datang bukan hanya untuk makan malam atau sekadar menikmati musik lembut yang mengalun, tapi untuk mencari pelarian dari hidup mereka yang berisik—pelarian yang dibungkus dengan senyum wanita-wanita berbalut gaun tipis dan tubuh yang harum, yang menjual luka demi sejumput kehidupan, demi lembaran rupiah yang bisa membawa mereka bertahan sehari lagi.

Dan di balik semua itu, berdiri tegak seorang wanita yang disegani sekaligus ditakuti—sosok yang dikenal dengan nama Mami Jenny. Ia bukan sekadar pemilik restoran, melainkan pengatur segala urusan di balik dapur mewah tempat itu. Ia tahu siapa yang datang, siapa yang pergi, siapa yang menyembunyikan luka, dan siapa yang mencoba bertahan. Ia adalah ‘penjaga’ dunia malam yang tersembunyi di balik gemerlap restoran tersebut, tempat para wanita menggantungkan hidup, harapan, dan kadang—air mata.

Mami Jenny dikenal sebagai wanita keras, berwibawa, dengan tutur kata yang tajam namun penuh perhitungan. Tapi di balik ketegasannya, terselip sisi keibuan yang sering kali muncul dalam diam—sentuhan lembut yang ia berikan pada anak-anak gadis yang datang padanya dalam keadaan terpuruk. Senyum manisnya selalu terpulas rapi, parfum menyengat selalu melekat pada tubuhnya, dan langkahnya yang mantap selalu membawa aura dominan yang membuat orang segan bicara sembarangan.

Namun, siapa sangka, wanita sekuat Mami Jenny juga menyimpan sejarah panjang—tentang perjuangan yang getir, luka yang tak terlihat, dan kelicikan dunia malam yang pernah menginjak-injak harga dirinya. Ia dulu juga pernah terjatuh dalam kehidupan yang sama—pernah menjadi salah satu dari mereka yang kini ia lindungi. Tapi ia bangkit, membangun tempat ini bukan hanya sebagai ladang usaha, melainkan sebagai benteng pertahanan—agar wanita lain yang bernasib serupa bisa bertahan tanpa harus dilumat habis oleh kerasnya kehidupan. Tempat itu menjadi rumah bayangan—tempat berteduh dari hujan luka yang tak pernah benar-benar reda.

Pintu terbuka perlahan, menimbulkan suara berderit lembut yang mengisi keheningan ruangan. Aroma parfum khas segera menyusup ke udara, diikuti oleh sosok wanita yang memasuki ruangan dengan langkah anggun dan percaya diri. Gaun merah menyala membalut tubuh Mami Jenny dengan sempurna—menampilkan keanggunan sekaligus kekuasaan yang terpancar dari setiap gerakannya. Kalung emas besar menggantung megah di leher jenjangnya, berkilau setiap kali terkena pantulan cahaya lampu. Jemarinya yang lentik, dihiasi cincin-cincin mewah, menggenggam secangkir teh hangat yang mengepul perlahan, menyebarkan aroma menenangkan di antara ketegangan yang menggantung di udara.

“Kamu cantik malam ini,” ujarnya dengan nada lembut namun penuh makna, sembari meletakkan cangkir teh di atas meja kecil yang berada dekat dengan tempat Ayla duduk.

Ayla hanya menoleh sekilas, menyembunyikan gugup dalam sorot matanya. Senyum tipis terpaksa ia tarik di wajahnya, semacam respons sopan yang nyaris tak sampai ke matanya. “Terima kasih, Mami…” ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam detak jantungnya yang berdegup semakin cepat.

Mami Jenny duduk di sampingnya, menyilangkan kaki dengan elegan. Setiap gerakannya begitu terukur, seolah dunia ini memang tempatnya berkuasa. Tatapannya tajam, namun malam itu terlihat sedikit lebih lembut—seperti seorang ibu yang tahu anaknya akan memasuki dunia yang tak lagi ramah.

“Deg-degan, ya?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup dalam untuk menyentuh bagian hati yang paling rapuh.

Ayla tidak menjawab langsung. Ia hanya menunduk, menatap gaun yang membalut tubuhnya, lalu menarik napas panjang, seolah mencoba menguatkan dirinya sendiri. Mami Jenny tahu perasaan itu. Ia mengenalnya dengan baik—perasaan canggung, takut, bingung, sekaligus terpaksa. Dan malam itu, Ayla sedang berdiri tepat di titik yang dulu pernah Mami pijak.

Ayla menarik napas panjang. “Aku bahkan masih berharap ini semua cuma mimpi. Tapi kenyataannya… aku akan menjual harga diriku hanya demi lembaran uang.”

“Jangan berpikir seperti itu, Sayang,” ujar Mami Jenny, menepuk lembut punggung tangannya. “Kamu bukan menjual harga diri. Kamu hanya berjuang dengan cara yang tak semua orang bisa pahami.”

Ayla tertawa getir. “Apa bedanya, Mi? Aku akan tidur dengan pria asing malam ini. Pria yang bahkan tidak tahu namaku.”

Mami Jenny mengangguk pelan. “Tapi kamu melakukannya bukan untuk kesenangan. Kamu melakukannya demi adikmu. Itu membuatmu berbeda.”

Mata Ayla mulai berkaca-kaca. “Adik itu satu-satunya keluargaku… Dia belum tahu aku akan melakukan ini. Kupikir lebih baik dia tak pernah tahu.”

“Dan memang jangan sampai tahu,” kata Mami Jenny tegas. “Biarlah semua luka kamu tanggung sendiri. Tapi kamu akan lihat nanti, Sayang… ketika dia sembuh, kamu akan tahu semua ini tidak sia-sia.”

Hening sejenak.

Mami Jenny lalu berdiri, mengambil map merah dari atas meja. “Satu hal lagi. Karena kamu istimewa malam ini—karena ini pertama kalinya kamu turun lapangan—aku beri kamu klien yang juga baru pertama kali datang ke sini.”

Ayla menoleh cepat. “Baru pertama kali juga?”

“Iya,” jawab Mami Jenny. “Katanya dia nggak pernah tertarik dengan dunia beginian. Tapi malam ini, dia bilang ingin… melupakan dunia sejenak.”

“Kenapa harus aku?”

“Karena kamu beda. Kamu masih punya aura polos, tapi cukup menggoda. Itu yang dia minta.”

Mami Jenny tersenyum kecil. “Lagipula… pria ini bukan orang sembarangan. Dia… teman lama restoran ini, tapi sangat tertutup. Bahkan pakai nama samaran: Mr. L.”

Ayla mengernyit. “Nama asli?”

“Dirahasiakan. Tapi satu yang pasti, dia orang penting.”

Ayla kembali menunduk. Degup jantungnya makin tak menentu. Ia tak tahu siapa pria itu, dan ia juga tak peduli. Yang ia tahu, malam ini harus segera selesai.

“Ayla…” Mami Jenny memegang tangannya sekali lagi. “Kalau kamu ingin menangis setelah ini, menangislah. Kalau kamu ingin marah, marahlah. Tapi jangan pernah merasa kamu hina karena ini. Dunia memaksa kita jadi kuat dengan cara yang menyakitkan.”

Ayla menahan napas, lalu mengangguk perlahan.

Kamar hotel itu terasa sunyi. Lampu remang menciptakan bayangan lembut di setiap sisi. Ayla berdiri mematung di dekat jendela, menatap kota yang gemerlap dari lantai tinggi. Hatinya kosong. Waktu terasa berjalan sangat lambat, seolah memberinya kesempatan terakhir untuk mundur.

Namun tak lama kemudian…

Ceklek.

Pintu terbuka.

Langkah kaki terdengar berat dan agak limbung. Ayla menoleh, dan seketika matanya melebar. Wajah yang muncul dari balik pintu adalah wajah yang sangat ia kenal—Leonard Aryasatya.

CEO utama tempat ia bekerja setiap hari.

Tapi pria itu tampak berbeda malam ini. Jas mahalnya sedikit kusut, dasinya longgar, dan langkah kakinya sedikit terhuyung. Aroma alkohol kuat langsung menyeruak ke udara. Baunya menusuk hidung Ayla, membuatnya makin panik. Tak hanya karena identitas pria itu, tapi karena ia tak pernah membayangkan, malam pertamanya akan seperti ini.

Leonard sedang mabuk.

Matanya sayu, tapi penuh hasrat. Tatapannya liar dan tak fokus.

“Hm…” Leonard mendekat sambil menatap Ayla dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu Lara?”

Ayla nyaris kehilangan suara. Ia terpaksa mengangguk pelan. “I—iya… saya Lara.”

Leonard hanya tertawa kecil. “Kamu… cantik.”

Sebelum Ayla sempat bicara, tangan pria itu menarik lengannya kasar dan mendorongnya ke ranjang besar di tengah ruangan. Tubuh Ayla jatuh telentang, dan jantungnya langsung berdegup kencang tak karuan.

“Maaf… saya… belum siap…” gumam Ayla pelan, mencoba menahan gerakan pria itu.

Namun Leonard justru mendekat, menatap wajah Ayla lebih dalam. “Aroma tubuhmu…"

Ayla mencoba tersenyum kaku. “Saya… hanya wanita yang disuruh menemanimu malam ini.”

Leonard menunduk, wajahnya makin dekat. Aroma alkoholnya membuat Ayla nyaris mual. Tapi ia bertahan. Ia menahan tangis. Ia mencoba tetap tenang, walau hatinya sudah hancur.

Dan malam itu… adalah awal dari segalanya.

Malam ketika harga dirinya jatuh, dan kehidupan Ayla berubah selamanya.

Jejak Samar Dan Bentuk Perjuangan

Leonard

Leonard merasakan kepalanya berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menekan pelipisnya. Nyeri itu menusuk, mengingatkannya bahwa efek alkohol semalam masih menguasai tubuhnya. Dia menghela napas pelan sebelum akhirnya membuka mata, membiarkan pandangannya menyesuaikan dengan cahaya redup kamar hotel.

Langit-langit yang terlihat masih tampak samar, seperti pikirannya yang belum sepenuhnya jernih. Leonard mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kepingan ingatan yang berserakan. Semalam…

Bayangan itu perlahan muncul—siluet seorang wanita yang samar, sosok misterius yang mengisi malamnya.

Bibirnya, aromanya, tatapan matanya… Semua itu masih tertinggal samar di ingatan Leonard, seperti jejak asap yang perlahan memudar.

Ia mengerang pelan, merasakan denyutan di kepalanya semakin tajam. Dengan gerakan lamban, ia mengusap wajahnya, seolah berharap sentuhan itu bisa membantunya mengingat lebih jelas. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, semuanya tetap kabur. Potongan-potongan memori berkelebat dalam benaknya, tetapi tidak ada yang utuh. Alkohol telah merenggut sebagian besar ingatannya.

Perlahan, Leonard melirik ke samping. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.

Wanita itu sudah pergi. Tidak ada jejak keberadaannya, seolah ia hanyalah mimpi yang terbawa angin pagi.

Leonard menghela napas panjang, membiarkan udara berat memenuhi paru-parunya sebelum perlahan ia hembuskan kembali. Seharusnya ia tidak peduli. Tidak ada gunanya memikirkan seseorang yang bahkan namanya pun tidak ia ingat. Semalam hanyalah satu dari banyak wanita malam yang sering menghampirinya —wajah-wajah tanpa nama yang datang dan pergi tanpa arti.

Tidak ada yang spesial.

Tidak ada alasan untuk mengingatnya.

Dengan malas, Leonard mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, merasakan otot-ototnya yang masih sedikit kaku. Udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya saat ia melangkah menuju kamar mandi, membiarkan kakinya bergerak tanpa banyak berpikir.

Begitu sampai di depan cermin, ia menatap pantulannya dengan mata sedikit menyipit. Rambutnya berantakan, menambah kesan kusut yang memang sudah terpampang jelas di wajahnya. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya—bekas cakaran samar di dadanya. Garis-garis tipis yang menggores kulitnya itu terasa seperti bukti bisu bahwa semalam bukan sekadar malam biasa.

Persetan.

Leonard mendengus pelan, menggeleng untuk mengusir pikirannya sendiri. Ia tidak ingin larut dalam sesuatu yang tidak penting. Apa pun yang terjadi semalam, biarlah terkubur bersama sisa-sisa mabuk yang perlahan menghilang.

Saat hendak membersihkan tubuhnya, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Bercak merah di atas sprei putih.

Dahi Leonard mengernyit. Jantungnya berdegup lebih cepat. Darah?

Ia menatap noda itu lama, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.

"Tidak mungkin…" gumamnya.

Tidak ada wanita polos di tempat seperti itu. Ia yakin perempuan semalam sudah biasa dengan hal semacam ini.

Tanpa membuang waktu lagi, ia berbalik, mengambil handuk, dan mulai bersiap untuk pergi ke kantor. Rutinitas tetaplah rutinitas—tak peduli apa yang terjadi sebelumnya.

...-------...

Ayla

Sementara itu, di tempat lain, Ayla sudah berada di rumah sakit. Hawa antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan aroma obat-obatan yang sudah begitu akrab di hidungnya. Bau itu selalu mengingatkannya pada hari-hari panjang yang ia habiskan di sini, berjuang tanpa kenal lelah untuk seseorang yang paling berharga dalam hidupnya.

Tubuhnya terasa remuk, seolah setiap bagian dirinya menanggung beban yang terlalu berat. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti mengiris luka yang baru saja menganga, meninggalkan jejak nyeri yang tak kunjung mereda. Namun, ia tidak bisa membiarkan rasa sakit itu menghentikannya. Tidak sekarang. Tidak ketika masih ada alasan yang membuatnya harus terus berdiri.

Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan ketegangan yang merayap di pundaknya. Dengan langkah perlahan, ia mendekati ranjang rumah sakit di mana seorang laki-laki terbaring dalam tidur yang tenang.

Arya.

Adiknya. Satu-satunya keluarga yang tersisa di dunia ini. Satu-satunya alasan mengapa ia terus bertahan, mengorbankan segalanya, bahkan dirinya sendiri. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuknya—untuk memastikan bahwa adiknya mendapatkan kesempatan hidup yang lebih lama, lebih baik.

Tatapan Ayla melembut saat ia mengamati wajah Arya yang pucat, napasnya naik turun dengan ritme yang tenang di balik selimut rumah sakit. Ia tampak damai dalam tidurnya, seolah tidak menyadari beban berat yang ada di pundak kakaknya.

Ayla menelan ludah, menahan emosi yang mendesak di dadanya. Perlahan, ia meraih tangan Arya, menggenggamnya erat seakan ingin mentransfer kekuatan yang masih tersisa dalam dirinya. Hanya dengan melihat adiknya, ia tahu bahwa tidak peduli seberapa sulit keadaannya, ia akan terus berjuang.

Karena Arya adalah satu-satunya alasan ia tetap bertahan.

Perlahan, Ayla mendekat, setiap langkahnya dipenuhi kehati-hatian, seolah ia takut membangunkan adiknya dari tidurnya yang lelap. Saat jaraknya hanya beberapa senti dari ranjang, ia berhenti, menatap wajah Arya yang tampak begitu damai dalam tidurnya.

Tangannya yang dingin terulur, jari-jarinya menyusuri helaian rambut lembut milik adiknya, menyibakkan sedikit poni yang menutupi dahinya. Sentuhan itu ringan, penuh kasih sayang, seolah ia ingin menyimpan momen ini dalam ingatannya selama mungkin.

Matanya menelusuri setiap detail wajah Arya—kulitnya yang pucat, bibirnya yang sedikit kering, serta napasnya yang naik turun dengan ritme teratur. Jauh di lubuk hatinya, Ayla tahu adiknya sedang berjuang, bertahan melawan rasa sakit yang mungkin tak pernah ia keluhkan.

Hatinya terasa berat, tapi ia menunduk, mengecup kening Arya dengan penuh kelembutan. Ciuman yang bukan sekadar sentuhan fisik, melainkan doa, janji, dan harapan yang ia sisipkan di sana.

“Sebentar lagi, kamu akan dioperasi, Arya,” bisiknya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh emosi yang berputar di dalam dadanya. Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan, “Tunggu sedikit lagi, ya? Kakak janji semua akan baik-baik saja.”

Janji yang ia ucapkan dengan segenap keyakinan, meskipun jauh di dalam dirinya, ada ketakutan yang menghantui. Namun, ia tidak boleh menunjukkan kelemahan. Tidak sekarang. Arya butuh dia. Butuh kekuatan yang ia berikan, meskipun dirinya sendiri hampir runtuh.

Maka, ia menggenggam tangan adiknya erat, membiarkan kehangatan itu menyalakan kembali tekad dalam dirinya. Bagaimanapun juga, ia akan menepati janjinya.

Setelah memastikan selimut Arya tetap rapi, Ayla berdiri tegak, menatap wajah adiknya sekali lagi. Seakan ingin mengukir setiap detailnya dalam ingatan, ia mengamati bagaimana napas Arya naik turun dengan tenang, bagaimana kelopak matanya yang tertutup tampak begitu damai, seolah tidak ada rasa sakit yang mengintai di balik tubuhnya yang lemah.

Ayla menelan ludah, berusaha menekan emosi yang mulai menggumpal di dadanya. Ia ingin tinggal lebih lama, ingin menggenggam tangan adiknya sedikit lebih erat, ingin memastikan bahwa Arya akan baik-baik saja saat ia pergi. Tapi ia tahu, waktu tidak memihaknya.

Dengan berat hati, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit berdebar. Tangannya terulur mengambil tas yang tergantung di samping ranjang, menggenggamnya erat seolah itu adalah jangkar yang bisa menahannya tetap kuat.

Waktu semakin mendekat. Ia tidak bisa berlama-lama di sini.

Dengan langkah tegap, ia berjalan menuju pintu kamar rawat, menoleh sekilas sebelum akhirnya melangkah keluar.

Waktunya bekerja.

Waktunya memastikan bahwa janji yang ia buat tadi bisa menjadi kenyataan, tidak peduli seberapa besar pengorbanan yang harus ia lakukan.

Ketakutan Ayla

Di Kantor

Begitu tiba di kantor, Ayla menarik napas dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Dengan kemeja sederhana dan rok panjang, ia kembali berbaur dalam perannya sebagai pegawai honorer yang culun dan tidak mencolok, seperti biasa.

"Duh, kamu telat lagi," komentar Nadya, sahabatnya yang selalu mengenakan kacamata, langsung menyambutnya dengan nada setengah mengomel.

"Kamu habis dikejar utang, ya?" seloroh Fira dengan nada ceria, seperti kebiasaannya yang suka bercanda.

Ayla hanya tersenyum tipis, mencoba tidak terlalu menanggapi. Tubuhnya masih terasa sangat lelah, dan pikirannya masih dipenuhi banyak hal.

"Kurang tidur," jawabnya singkat, sambil meletakkan tasnya di meja, berharap percakapan ini tidak berlanjut lebih jauh.

Mereka lalu larut dalam perbincangan ringan, membahas berbagai hal yang sedang hangat di kantor. Suasana sedikit lebih hidup dengan obrolan yang mengalir tanpa henti.

"Kamu tahu nggak? CEO kita, Leonard Aryasatya, sudah kembali!" kata Nadya tiba-tiba dengan nada penuh semangat, seolah menyampaikan berita besar.

Ayla yang sedang sibuk merapikan beberapa dokumen di mejanya langsung terdiam. Tangannya refleks berhenti bergerak.

Leonard?

Nama itu seperti petir yang menyambar telinganya. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang.

"Dan katanya," Fira ikut menimpali dengan suara penuh antusias, "sepupunya juga bakal sering ke kantor mulai sekarang!"

Ayla mengerjap, mencoba menelan keterkejutannya. Ia harus tetap tenang, tidak boleh menunjukkan reaksi berlebihan.

"Siapa?" tanyanya akhirnya, dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin, seolah tidak ada hal aneh dalam pertanyaan itu.

Namun, di dalam dirinya, ada perasaan gelisah yang sulit ia abaikan.

"Kenzo Ardian," jawab Nadya dengan nada penuh antusias. "Dia juga kaya dan berkuasa, tapi lebih misterius dari Leonard. Kabarnya, dia jarang muncul di media, dan hampir tidak ada yang benar-benar tahu apa yang ada di balik sosoknya."

Ayla menarik napas dalam, mencoba meredam gelombang kegelisahan yang tiba-tiba melandanya.

Tangannya mencengkeram ujung meja tanpa sadar. Ia berusaha menenangkan pikirannya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan belaka.

Namun, satu pertanyaan terus berputar di benaknya—bagaimana bisa ia menghadapi seseorang yang baru saja ia layani semalam?

Pikirannya mulai dipenuhi skenario-skenario buruk yang bisa saja terjadi. Ia berharap Leonard tidak mengenalinya, atau lebih tepatnya, ia berharap pria itu bahkan tidak memperhatikannya sama sekali.

Ayla menggigit bibirnya, mencoba menepis rasa cemas yang semakin menghimpit. Bagaimanapun juga, ia tidak boleh menunjukkan reaksi berlebihan. Tidak boleh ada yang tahu.

Mami Jenny

Di tempat lain, di sebuah ruangan yang remang-remang dengan aroma parfum mahal yang samar tercium di udara, Mami Jenny duduk dengan wajah tegang. Jemarinya yang bersarung kuku merah pekat menggenggam lengan kursinya erat-erat, sementara tatapannya terpaku pada sebuah benda di atas meja.

Di hadapannya, sebuah kotak merah kecil tergeletak dengan tenang, kontras dengan kegelisahan yang bergejolak dalam dadanya. Itu adalah kotak yang semalam ia tinggalkan di dekat Ayla, sesuatu yang seharusnya menjamin keamanan dan menghindari masalah.

Dengan napas tertahan, tangannya terulur, membuka kotak itu perlahan, seolah ia masih berharap ada kesalahan. Namun, harapan itu sirna dalam sekejap begitu matanya menangkap isi kotak tersebut.

Alat pengaman di dalamnya masih utuh.

Tidak tersentuh.

Mami Jenny mengerutkan kening, ekspresinya berubah serius.

Ayla tidak memakainya.

Dada Mami Jenny terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat seiring pikirannya yang mulai berputar dengan berbagai kemungkinan. Jika Ayla benar-benar tidak menggunakan alat itu, maka ini bisa menjadi masalah besar—masalah yang bisa berujung pada sesuatu yang jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, berpikir cepat.

Apa yang harus ia lakukan?

Haruskah ia memberitahu Ayla?

Tidak. Itu bukan pilihan yang bijak. Jika Ayla tahu, gadis itu pasti akan panik, dan kepanikan hanya akan membuat situasi ini semakin tidak terkendali.

Mami Jenny menggigit bibirnya, menahan kegelisahan yang semakin menyesakkan dada.

Tidak, ia tidak boleh membiarkan ini menjadi perhatian siapa pun. Ini harus dirahasiakan… setidaknya untuk sekarang.

Dengan gerakan cepat, ia menutup kembali kotak merah itu, kemudian tanpa berpikir panjang, memasukkannya ke dalam laci mejanya. Tangannya meraih kunci kecil di samping, memutar lubangnya hingga terdengar bunyi klik yang menandakan laci itu terkunci rapat.

Untuk saat ini, hanya dia yang tahu. Dan ia harus memastikan tetap seperti itu.

Kembali ke Suasana Kantor

Hari ini, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Pegawai berlalu-lalang dengan ritme yang lebih cepat, seolah ada energi tak kasat mata yang membuat semuanya bergerak lebih gesit.

Dan bagi Ayla, hari ini terasa lebih berat daripada hari-hari sebelumnya.

Bukan hanya karena tugasnya yang bertambah, tapi juga karena keputusan yang baru saja diumumkan pagi ini—untuk waktu yang belum bisa ditentukan, ia diminta menggantikan resepsionis yang biasanya menjaga ruangan CEO.

Sebuah tugas yang seharusnya sederhana.

Namun bagi Ayla, itu berarti satu hal: ia akan lebih sering bertemu dengan Leonard Aryasatya.

Darahnya berdesir setiap kali mengingat nama itu. Tangannya sedikit gemetar saat merapikan beberapa dokumen di mejanya. Bagaimana bisa dia menjalani hari-hari ke depan dengan harus berada begitu dekat dengan pria itu?

Ia berusaha mengatur napasnya, mencoba menenangkan kegugupan yang semakin menjadi-jadi.

Tiba-tiba—

"Ayla!"

Sebuah suara mengagetkannya hingga ia tersentak. Ayla langsung menoleh dengan jantung yang masih berdebar kencang.

Di hadapannya, Nadya berdiri dengan ekspresi sedikit panik.

"Ada apa?" tanyanya, suaranya sedikit goyah akibat kejutan tadi.

Nadya tak membuang waktu dan langsung berkata dengan nada terburu-buru, "CEO sudah datang, ayo beri hormat!"

Ayla membeku sejenak.

CEO sudah kembali.

Leonard Aryasatya sudah kembali.

Pikiran Ayla langsung dipenuhi ketakutan yang ia coba tekan sejak tadi. Namun, ia tidak bisa berlama-lama larut dalam ketegangan, karena Nadya sudah lebih dulu melangkah dengan cepat, nyaris setengah berlari menuju lantai bawah.

Ayla menelan ludah.

Tidak ada pilihan lain. Ia harus ikut.

Jantung Ayla semakin tidak karuan, berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya bahkan mulai terasa dingin akibat kegugupannya.

Namun, ini bukan saatnya untuk panik.

Ia menghela napas panjang, memastikan bahwa penampilannya benar-benar tidak mencolok. Tidak ada yang boleh memperhatikannya lebih dari yang seharusnya. Dengan sedikit ragu, Ayla akhirnya melangkah turun, bergabung dengan pegawai lainnya yang sudah menanti kehadiran sang CEO.

Dari sudut ruangan, ia mencuri pandang.

Sosok Leonard Aryasatya berdiri di sana dengan postur tegap dan sorot mata tajam yang begitu menusuk. Dingin. Berwibawa. Berbahaya. Seolah hanya dengan tatapannya saja, pria itu bisa membuat siapa pun kehilangan keberanian.

Namun, perhatian Ayla tak hanya tertuju pada Leonard.

Di sampingnya, ada pria lain yang memiliki kemiripan wajah dengannya—hanya saja, ekspresinya jauh berbeda. Jika Leonard terlihat penuh tekanan dan mendominasi ruangan dengan auranya yang mengintimidasi, pria ini justru tampak lebih tenang. Ada senyuman kecil yang terbit di sudut bibirnya, memberikan kesan ramah yang kontras dengan ketegangan yang ada.

Tak perlu bertanya, Ayla tahu siapa dia.

Kenzo Ardian.

CEO kedua perusahaan, sekaligus sepupu dari Leonard.

Sementara Ayla masih berusaha mencerna suasana, seorang pria—manajer perusahaan—melangkah maju dengan ekspresi profesional. Suaranya terdengar jelas saat ia berbicara dengan nada sopan dan hati-hati.

"Maaf, Tuan. Saya izin memberitahukan bahwa Lia, resepsionis ruangan Anda, sedang cuti untuk beberapa waktu. Sebagai penggantinya, posisi tersebut sementara diisi oleh Hana, pegawai honorer dari bagian pemasaran."

Ayla menahan napas. Dia sangat gugup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!