"Mulai saat ini, Lie Ragil Nugraha telah dikeluarkan dari sekte Bulan Sabit dan dilarang menginjakkan kaki di Sekte Bulan Sabit selama sisa hidupnya!"
Suara pria paruh baya bergema di aula sidang. Manor Sanjaya, Tetua Agung Sekte Bulan Sabit, sedang menatap seorang pemuda dengan sombong dan angkuh.
Tidak hanya itu, seluruh Tetua memandang pemuda tersebut dengan ekspresi jijik dan hina. Bahkan sang Ketua Sekte terlihat acuh tak acuh dan tidak peduli.
"Haaaaah."
Suara helaan napas berat terdengar dari pemuda itu sambil tersenyum kecut. Padahal ia merupakan murid yang rajin dan tekun, akan tetapi. Para petinggi Sekte tidak menyukainya dan memandang rendah dirinya, hanya karena bakat kultivasinya yang sangat buruk.
Ia juga tak jarang menerima ejekan dan hinaan dari sesama murid Sekte Bulan Sabit, sang pemuda pun hanya pasrah dan berbalik, melangkah keluar dari aula tanpa mengatakan sepatah katapun.
***
Diluar aula sidang, sang pemuda memandang kearah langit seraya membatin. 'Tanpa kekuatan dan latar belakang, aku hanyalah sampah yang bisa dibuang kapan saja.'
*
Lie Ragil Nugraha, seorang pemuda tampan berusia 17 belas tahun dari keluarga Nugraha. Keluarga Nugraha merupakan keluarga kelas menengah dikota Batu. Keluarga Nugraha cukup dihormati dan memiliki reputasi yang baik dikota Batu.
Satu tahun yang lalu, Lie menjadi murid luar sekte Bulan Sabit berkat bantuan dan koneksi Keluarga Nugraha.
Di dunia kultivator, yang kuat berkuasa sedangkan yang lemah binasa. Dua Minggu yang lalu, kedua orang tua Lie, Arya Nugraha dan Wulandari berselisih sampai bertarung dengan beberapa Tetua sekte Matahari.
Arya dan Wulan terpaksa membunuh mereka untuk bertahan hidup. Hal ini membuat Ketua Sekte Matahari murka dan melakukan penyerangan ke kediaman keluarga Nugraha.
Mereka membunuh semua anggota keluarga Nugraha yang berada disana. Sejak saat itu, Keluarga Nugraha telah dinyatakan lenyap dari kota Batu, hanya dalam waktu satu malam.
Pada peristiwa berdarah tersebut, Lie sedang berada di sekte Bulan Sabit bersama teman kecilnya Mayangsari. Mayang bukanlah murid sekte, ia hanya mengunjungi teman masa kecilnya seperti biasanya.
Ketika Lie merasa marah dan sedih atas tragedi yang menimpa keluarganya. Ia juga bertekad untuk berlatih lebih keras agar menjadi lebih kuat, untuk membalas dendam dan melindungi orang-orang tercintanya.
Akan tetapi, disaat tekadnya sudah terbentuk dengan semangatnya yang berkobar. Ia malah diusir dari sektenya, yang membuatnya kecewa dan kembali putus asa.
Kini Lie tinggal seorang diri disebuah desa kecil di pinggiran kota Batu. Namun begitu, Mayang selalu datang untuk menemani dan menghibur Lie di rumah peninggalan neneknya.
Lie di temani oleh Mayang sudah pernah mencoba pergi ke Keluarga Santoso di Ibukota Provinsi, namun tentu saja Keluarga Santoso yang terkenal arogan itu tidak menerima dan bahkan mengusir anak miskin dan tidak berguna seperti Lie.
**
Desa Kasihan
Lie dengan langkah gontai berjalan di sebuah jalan setapak dengan raut wajah sedih dan putus asa. Keluarganya dimusnahkan dan dia dikeluarkan dari sekte karena bakat kultivasinya yang buruk.
Satu tahun telah berlalu semenjak dirinya diterima menjadi murid luar di sekte Bulan Sabit, tapi basis kultivasinya mentok di Alam Pembentukan Qi tahap dua.
Tahap kultivasi di Dunia Elanor terdiri dari :
Alam pembentukan Qi
Alam Qi sejati
Alam Guru Besar
Alam Bumi
Alam Master Qi
Alam Prajurit Agung
Alam Langit
Alam Kehampaan
Alam Raja Agung
Alam Penguasa
Alam Transformasi
Alam Kaisar Abadi
Masing-masing Alam dibagi menjadi sepuluh tahapan.
Tahap 1-3 disebut juga tahap awal
Tahap 4-6 disebut juga tahap menengah
Tahap 7-9 disebut juga tahap akhir
Tahap 10 disebut juga tahap puncak
Di kerajaan Cinde saat ini. Alam langit adalah Alam tertinggi. Itu dikarenakan kerajaan Cinde hanyalah sebuah kerajaan kecil di benua Tengah Dunia Elanor.
Sedangkan di Kerajaan besar benua Tengah Dunia Elanor terdapat kultivator diatas alam langit. Menurut rumor, Di benua Barat terdapat Kultivator Alam Penguasa sedangkan di Dunia Elanor sendiri, konon Terdapat Kultivator Alam Kaisar yang legendaris!
*
Di sebuah rumah kayu di dekat hulu sungai.
"Mayang, apa kamu tidak pulang!" seru Lie dari dalam rumah.
"Tidak! Nanti saja, hari masih terang." seru Mayang dari luar dengan suara lantang.
Seorang gadis tersenyum dari balik pintu masuk dengan sangat hangat, mereka berdua adalah teman semasa kecil yang nampak sudah seperti saudara.
"Terimakasih Mayang, kamu selalu membantuku dan ada disaat aku sedang kesusahan." ujar Lie dengan sungguh-sungguh.
"Kamu bicara apa? Bukankah dari waktu kamu masih di sekte pun, aku selalu menemanimu? Lalu apa bedanya dengan sekarang?" ujar Mayang seraya melangkah masuk kedalam rumah.
"Bukan begitu, aku merasa tidak enak saja, dan aku takut kedua orang tuamu akan memarahiku kelak, jika mereka tahu kalau aku sudah diusir dari sekte." jawab Lie memberikan pendapat yang ada dalam otaknya.
"Tidak usah dipikirkan, aku bisa menyakinkan kedua orang tuaku, intinya aku akan selalu berada di dekatmu." jawab Mayang dengan senyum hangat seraya menatap wajah Lie.
Walaupun Mayang dan Lie adalah teman akrab semasa kecil, namun terlihat jika Mayang menaruh hati padanya, tapi semua itu dipendam oleh Mayang
"Sudah! Apa kamu sudah makan? aku akan memasak yang spesial untukmu hari ini, bagaimana?" tanya Mayang membujuk.
Lie hanya mengangguk sebagai tanda setuju, mereka berdua pun segera berjalan kearah dapur. Melepaskan segala kesedihan dengan canda tawa, sambil memasak beberapa makanan.
Perlu diketahui, Mayangsari adalah Anak dari Keluarga Purnama. Sebuah keluarga besar yang berada dikota Batu, namun dia sama sekali tidak berminat untuk berlatih kultivasi.
Menurutnya, kultivasi itu sulit dan membosankan. Sedari kecil, Mayang adalah anak yang cerdas dan mandiri. Semenjak Ayah dan ibunya sibuk dengan kultivasi dan bisnis keluarga, dirinya yang kesepian bertemu dengan Lie.
Hubungan mereka pun berlanjut sampai menjadi seorang teman dekat, lebih tepatnya seorang sahabat. Dan mereka berdua pun menyatakan sumpah untuk menjadi seorang saudara.
***
Sore pun tiba, pada saat ini dimeja kecil yang terbuat dari belahan kayu.
"Emmmmm kenyang...!" Mayang menyantap berbagai hidangan sampai kekenyangan. Lie tersenyum kecil melihat sahabatnya bersandar dikursi kayu, sembari mengusap-usap perutnya.
Suasana sore hari yang sunyi dihiasi obrolan santai dari Kedua sahabat berbeda jenis ini. Setelah larut, Mayang pamit Kembali pulang ke kediamannya.
Keesokan harinya....
Lie menyambut pagi yang cerah dengan senyum merekah. Setelah melakukan aktivitas pagi dan membersihkan tubuh, Lie keluar dari rumah untuk memancing ikan di sungai dekat rumah.
Namun, baru saja akan menutup Pintu, sebuah suara terdengar memanggil dari arah belakang. "Kamu mau kemana Lie?"
Menoleh kearah sumber suara, Lie tersenyum dan menjawab, "Memancing di sungai, apa kamu mau ikut?"
Lie dan Mayang pun menuju sungai dengan alat pancing masing-masing. Setelah tiba di sungai, Lie menentukan tempat yang nyaman untuk memancing, dia dan Mayang mulai fokus memancing.
Beberapa jam kemudian. Di ember yang mereka bawa sudah penuh dengan berbagai macam ikan dan ukuran, ember pun ditutupi dedaunan, agar hasil pancingan tidak melompat keluar.
"Berenang dulu ah biar segar, sekaligus menenangkan pikiran." ujar Lie lirih, seraya melepas bajunya dan bersiap melompat ke air sungai yang cukup dalam.
"Tunggu Lie! Dulu nenekku pernah bilang jangan pernah berenang di sungai ini." ujar Mayang menghentikan Lie dengan cepat, seraya memberitahu tentang larangan yang dikatakan mendiang nenek saat masih hidup.
"Tenang saja, tidak apa-apa, toh hanya sungai biasa." timpal Lie tidak mengindahkan perkataan Mayang.
"Byur....!"
Mayang hanya terdiam melihat sahabatnya berenang kesana kemari dengan santai, namun ada perasaan cemas tergambar dari wajah cantiknya saat ini.
Lima belas menit kemudian, saat matahari sudah berada diatas ubun-ubun. Lie pun masih dengan riang terus berenang.
"Lie mari kita pulang. Udah mau tengah hari." ajak Mayang.
"oke!" jawab Lie lalu ia berjalan menuju tepi sungai.
Namun tiba-tiba sebuah kekuatan misterius menarik tubuh Lie ke dasar sungai. Lie terseret ke sebuah gua yang ada di dasar sungai. Lie yang terkejut, semakin mengerutkan keningnya saat menyadari di dalam gua itu kering dan air sungai hanya berada diarea luar.
Sementara itu Mayang kebingungan karena tiba-tiba Lie menyelam kedalam sungai, lalu menghilang dalam sekejap mata. Mayang ingin ikut menyelam, tapi dia sadar tidak bisa berenang. Ia hanya bisa menunggu di tepi sungai dengan bingung, penasaran sekaligus cemas melanda pikirannya.
Bagaimana tidak, Menurut apa yang diceritakan oleh neneknya. Di dalam sungai ini terdapat sebuah mahluk yang sangat kuat dan kejam, untuk itu area sungai dilarang digunakan untuk berenang.
Di dalam gua, Di dasar sungai
"Kemarilah Nak"
Lie yang masih diliputi rasa terkejut, kembali tambah terkejut ketika dia mendengar suara misterius dari kedalaman gua. Lie merasa penasaran sekaligus takut secara bersamaan, ia bingung dan bimbang untuk mengikuti perintah suara itu atau tidak.
Seolah paham jika Lie sedang dilanda keraguan dan kekhawatiran, suara misterius itu kembali berkata. "Jangan takut, Nak! Aku tidak akan menyakitimu."
Lie menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya. Setelah beberapa saat berpikir dan menyakinkan diri, Lie melangkah memasuki kedalaman gua dengan langkah mantap.
Dengan arahan dari suara misterius yang terus menggema, sampailah Lie disebuah aula kuno berukuran kecil. Di tengah aula, terdapat sosok Roh lelaki tua dengan pakaian yang sangat kuno.
Melayang sambil menatap Lie dengan datar. Aura yang keluar dari tubuhnya terkesan berwibawa dan Agung, Lie menyimpulkan bahwa suara misterius itu berasal dari lelaki tua di hadapannya ini.
"Sebutkan nama lengkap mu!" pinta lelaki tua itu dengan suara datar. Terselip sedikit harapan dalam nada bicaranya.
"Lie Ragil Nugraha...! Maaf kalau boleh tahu, kakek ini siapa?" tanya Lie dengan sopan dan hati-hati.
"Hahaha.... Bagus! Bagus! Lie, aku adalah leluhurmu, sekaligus leluhur Keluarga Nugraha kuno, namaku Cakra Nugraha." jawab Lelaki tua dengan tawa bahagia. Ia tampak senang dan bersemangat.
"Leluhur..?" ulang Lie, tercengang mendengar perkataan lelaki tua yang mengaku leluhurnya itu.
'Setelah menunggu ditempat ini selama ribuan tahun, akhirnya aku bertemu dengan keturunanku, hehe.' batin leluhur Cakra sembari tersenyum senang.
"Benarkah ucapanmu itu, Kek?" tanya Lie sedikit ragu-ragu.
"Tentu saja. Dulu, Keluarga Nugraha Kuno adalah salah satu Keluarga besar di Benua timur, bahkan merupakan keluarga nomer tiga di Dunia Elanor ini. Pada masa Puncak kejayaannya, Keluarga Nugraha pernah mendominasi hampir sepertiga Benua!
Haaa... Sayang sekali, seiring berjalannya waktu. Keluarga Nugraha semakin melemah, bahkan setiap generasi semakin memburuk serta kekuasaan dan kekuatan keluarga Nugraha menurun dan merosot. Hingga tiba saat ini, keluarga Nugraha benar-benar hancur dan musnah." imbuh leluhur Cakra sambil mendongak menatap langit-langit gua, seakan mengenang masa lalu.
Sedangkan Lie hanya menunduk dan merenung. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Keluarganya pernah menjadi keluarga besar di benua Timur? Mendominasi sepertiga Benua? Kenapa ayah dan kakeknya dulu tidak pernah menceritakan hal itu?
Setelah beberapa saat bergelut dengan pikirannya sendiri, Lie mendongak sekaligus menatap leluhurnya.
"Kalau begitu, kenapa leluhur memanggilku kemari?" tanya Lie penasaran.
"Aku ingin mewariskan kekuatan Keluarga Nugraha kepadamu. Aku berharap Keluarga Nugraha akan kembali berjaya dibawah kendalimu. Apakah kamu bersedia keturunanku?" ujar Leluhur Cakra Nugraha.
"Aku bersedia, Leluhur." jawab Lie yakin. Keluarga Nugraha adalah Keluarganya, tentu saja dia ingin memajukan dan membuat keluarganya kembali ke puncak dunia.
Walaupun saat ini dirinya hanya hidup sebatang kara, namun dimasa depan Lie pasti akan mempunyai pasangan dan keturunan, yang mana merekalah yang akan meneruskan keluarga Nugraha.
"Hmm." leluhur Cakra berdehem lalu mengangguk, melambaikan tangannya kemudian.
Seketika muncul sebuah benda bulat berwarna ungu kegelapan di telapak tangganya, lalu benda yang lebih mirip seperti bola itu melayang dan memasuki tubuh Lie melalui kedua pelipis.
Lie merasakan energi alam dalam skala besar memasuki tubuhnya dengan sangat cepat, lalu berubah menjadi Qi murni dan mengisi dantian miliknya.
"Ini adalah pusaka Keluarga Nugraha kuno, Mutiara Naga Kegelapan. Mutiara itu akan membantumu menyerap energi alam dengan cepat, memperkuat tubuh, otot, dan tulang, bahkan mungkin saja membantumu disaat-saat kritis." jelas leluhur Cakra.
"Ini....!" Lie yang terkejut seketika berubah menjadi senang dan bersemangat, saat mutiara naga kegelapan memasuki tubuhnya, itu mempercepat kenaikan kultivasinya.
Leluhur Cakra melambaikan tanganya kembali. Kemudian muncul Cahaya yang sama dengan Mutiara Naga Kegelapan, namun cahaya ungu kali ini terlihat lebih pekat.
Tak lama kemudian, cahaya ungu pekat itu kembali memasuki kepala Lie. Mengendap dan bermukim di dalam lautan pengetahuan Lie tanpa di perintah.
Seketika, Lie merasakan berbagai ingatan tentang jurus tingkat tinggi, keterampilan medis dan alkimia tingkat tinggi, mantra tingkat tinggi, serta beberapa informasi dan pengetahuan lainnya memasuki pikirannya.
"Aaaachhh....!"
Lie menjerit ketika kepalanya merasakan rasa sakit yang sangat luar biasa. Rasa sakit seolah di hantam Godam besar, lalu di tusuk-tusuk dengan ribuan jarum, membuat Lie tak tahan dan pingsan di tempat.
*
Beberapa saat kemudian.
Lie tersadar dari pingsannya. Ia merasakan tubuhnya sangat kuat dan dipenuhi oleh energi yang sangat melimpah. Dengan sangat tebal dan melimpahnya energi alam di dalam gua, serta berkat bantuan dari Mutiara Naga Kegelapan.
Lie berhasil menerobos ke alam Qi sejati tahap Kelima!
"Leluhur, terimakasih banyak. Aku pasti akan berusaha mengembalikan kejayaan keluarga Nugraha ini." ucap Lie seraya membungkuk dan menangkupkan tangan di dada.
"Haha.... Bagus Cucuku, memang itulah yang aku harapkan. Dan satu lagi, ini adalah Tombak Kegelapan. Tombak ini akan mengikutimu menaklukkan dunia kultivator bersama dengan Mutiara Naga Kegelapan." ucap Leluhur Cakra sembari melemparkan sebuah tombak seukuran satu meter berwarna hitam kelam.
Lie menangkap Tombak yang dilemparkan padanya, menatap bentuk dari tombak yang sudah berada di tanganya. Di lihat dari bentuk fisiknya, tombak yang ada di tangan Lie terkesan biasa saja, tidak ada yang istimewa dari tombak itu.
"Terimakasih banyak, Leluhur atas semua warisan ini, kalau begitu aku mohon undur diri." ujar Lie sambil membungkuk dan hendak pergi dari aula.
"Tunggu dulu, Nak." suara leluhur Cakra menghentikan langkah Lie.
"Ada apa Leluhur?" Lie kembali bertanya dan mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Kalo kamu mengalami kesulitan di sekitar ibukota kerajaan, cari dan Mintalah bantuan pada keluarga Prakasa. katakan saja kamu adalah keturunan Cakra Nugraha." pesan leluhur Cakra, lalu terdiam sejenak.
"Ini adalah token keluarga Nugraha kuno, tunjukkan kepada anggota inti keluarga Prakasa." ucap Leluhur Cakra sambil melemparkan sebuah token yang tertancap pada pedang kecil di atasnya dan seekor naga emas melilit Token tersebut.
"Yang terakhir, ini cincin penyimpananku, di dalamnya terdapat koin emas, berbagai senjata langka, herbal langka dan lainnya. pergunakan sebaik-baiknya." ucap leluhur Cakra sembari menyerahkan sebuah cincin kepada Lie.
"Terima kasih leluhur, kalau begitu Izinkan aku pamit. Temanku masih menunggu di atas!" ucap Lie sambil membungkuk Seraya hormat.
"Pergilah dan guncang dunia ini, tunjukkan jika keluarga Nugraha kuno masih ada." mengucapkan itu Roh leluhur cahaya perlahan memudar, lalu hilang bak ditelan angin.
***
Sementara itu, Mayang yang masih menunggu di atas tebing sungai sangatlah cemas, ia mulai berpikir yang tidak-tidak. karena sudah hampir satu jam lamanya Pemuda pujaannya tenggelam dan tak kunjung muncul, namun saat ini...
Byur...!
Sesosok tubuh muncul di permukaan sungai. Lie melihat ke sekeliling dan menemukan Mayang sedang menatapnya antara cemas dan bahagia namun....
"Lieeeee...!" teriak Mayang kesal dengan wajah yang memerah sambil menggembungkan kedua pipinya. Ia memungut beberapa kerikil kecil dan melemparkannya pada Lie.
"Aduh... Aduh, kamu kenapa Mayang?" tanya Lie, kemudian bergegas berenang menuju tepi sungai sembari menghindari lemparan sahabatnya itu.
Ketika Lie naik dari sungai, Mayang hanya meliriknya sekilas, kemudian meninggalkan begitu saja menuju rumah kayu.
"Hei! Mayang! Tunggu aku!" Teriak Lie seraya melambaikan tangan, dan mengejar Mayang yang berjalan lebih dulu.
"Kenapa dia marah? Apa mungkin karena aku terlalu lama saat berada didalam gua?" gumam Lie, seraya terus berjalan mengikuti sahabatnya.
*
Siang hari, di meja makan.
Lie dan Mayang telah selesai menyantap ikan hasil tangkapannya tadi pagi. Kemudian Mayang segera berbalik dan berjalan kembali ke rumahnya, dia kembali tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Apa kamu marah?" tanya Lie sedikit berteriak menghentikan laju Mayang. Lalu Lie mengambil sesuatu dari cincin penyimpanan pemberian leluhurnya.
Bergegas Lie mengejar Mayang dan menghadang jalannya seraya berkata. "Mayang, apa kamu marah gara-gara tadi aku terlalu lama menyelam? Maafkan aku jika itu membuatmu risau, tapi..."
Lie sedikit ragu-ragu untuk menceritakan apa yang terjadi, biar bagaimana hal seperti ini pasti akan sulit dicerna oleh Mayang, yang notabene tidak terlalu menyukai kultivasi.
Akhirnya dengan sedikit berbohong Lie menceritakan sedikit dengan apa yang sudah dia alami saat menyelam, namun banyak yang dia tutupi, terutama dengan kekuatannya saat ini dan Tombak Kegelapan.
"Hmmmm.... Pokoknya kamu salah!" ucap Mayang dengan tatapan galak.
"Sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau besok aku traktir kamu malam di restoran?" bujuk Lie pada sahabatnya.
"Kamu serius? Apa kamu punya koin perak untuk mentraktirku?" tanya Mayang memastikan.
"Kamu tenang saja, apa ini cukup?" jawab Lie seraya menunjukan beberapa koin emas pada Mayang.
"Ko-koin emas! In-ini koin emas asli!" seru Mayang tergagap, namun ada rasa girang pada wajahnya.
"jujurlah, darimana kamu mendapatkan Koin emas ini?" tanya Mayang dengan tatapan tajam, bak ibu kost yang sedang menagih pembayaran.
"Sudah kubilang aku menemukan gua di dasar sungai, dan menemukan beberapa koin emas ini." jawab Lie sedikit berbohong, karena hanya itulah yang bisa dia katakan untuk menyakinkan Mayang.
***
Beberapa saat kemudian.
"Energi alam di daratan ini jauh lebih sedikit dibandingkan di dalam gua dasar sungai tadi." gumam Lie, saat melakukan latihan di dalam kamarnya.
Karena energi alam yang sedikit, proses penerobosan pun menjadi sangat lambat. Namun berkat Mutiara Naga Kegelapan yang membantu menyerap energi alam secara gila-gilaan, Lie berhasil kembali menerobos ke alam Qi sejati tahap Keenam, setelah berusaha keras sepanjang hari.
Keesokan harinya
Lie melakukan aktivitas seperti biasanya, kemudian dia berangkat menuju pasar Setelah semuanya selesai. Dia Berencana untuk menemui Mayang yang sudah menunggunya di tepi pasar.
Kota Kasihan adalah kota kecil yang berada di benua Timur dunia Elanor ini. Tidak banyak orang yang berkuasa di Kota Kecil ini, paling hanya beberapa keluarga saja yang benar-benar memiliki kekuatan.
Sesampainya di tempat yang dijanjikan. Mayang menarik lengan Lie kesana kemari, membuat Lie merasa pusing mengikuti keinginan sahabatnya ini.
"Aku mau itu! Yang ini juga mau! Itu kayaknya enak! wajah daging sapi!" Mayang membeli berbagai makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya.
Lie juga tidak lupa membeli beberapa pakaian dan makanan favoritnya, mereka memborong apa saja yang menurut mereka bagus dan senangi.
Setelah memasukan semua barang yang mereka beli dan perut merasa kenyang, kemudian mereka berdua memutuskan pergi meninggalkan pasar dengan senyum ceria.
"Berhenti!"
Sebuah teriakan yang sangat tidak ramah terdengar dari belakang mereka. Lie dan Mayang sontak berhenti, memutar tubuh mereka tiga puluh derajat.
Terlihat dua orang berpakaian merah dengan usia sebaya dengan Lie, berjalan menghampiri dengan sorot mata mengejek. Mereka satu Pria dan satu wanita.
"Ada apa?" tanya Lie datar. Dari pakaian yang mereka kenakan, Lie mengetahui jika mereka adalah murid Sekte Bulan Sabit.
"Heh! Bukannya ini sampah yang dibuang sekte kita?" tanya murid wanita dengan jijik.
"Eh? Benar, sampah miskin sepertimu juga bisa belanja dipasar. Mencuri koin dari mana kau hah!" hardik si murid pria ketika ia melihat banyak jajanan di tangan Mayang.
Lie memang sengaja tidak memasukan beberapa jajanan ke dalam cincin, karena rencananya untuk dimakan selama perjalanan pulang.
"Bukan urusanmu." jawab Lie acuh tak acuh.
"Beraninya kau! Suatu kehormatan bagi sampah sepertimu untuk berbicara dengan kami! Oke, aka ku tunjukkan kepadamu perbedaan orang kuat dan sampah!" bentak murid pria sembari mengeluarkan aura basis kultivasinya, begitu pula dengan si murid wanita.
Mereka berdua bermaksud untuk menekan Lie dan Mayang dengan basis kultivasi mereka yang mereka anggap kuat itu.
Lie menyipitkan matanya. Si pria berada di Alam Qi sejati tahap Ketiga, sedangkan si wanita berada di alam Qi sejati Tahap Kelima.
"Lie....!" Mayang saat ini merasa tertekan, takut dan cemas, keringat dingin sudah keluar dari tubuhnya.
Lie segera membuat pelindung energi untuk melindungi Mayang. Bagaimana pun juga, Mayang hanyalah seorang manusia biasa tanpa kultivasi.
"Hah? Kalian tidak terpengaruh oleh aura kami? Bagaimana mungkin?" tanya murid wanita dengan heran dan terkejut. Si pria juga tercengang dan tak percaya.
Lie sangat malas meladeni kedua orang ini. Ia belum ingin berurusan dengan sekte bulan sabit untuk saat ini. Lie menarik lengan Mayang dan berjalan meninggalkan pasar.
Si murid pria tersadar dari keterkejutannya. Melihat Lie dan sahabatnya perlahan menjauh, ia pun meraung marah. "Beraninya kau mengabaikan kami! Cari mati!"
Sebuah serangan Qi murni berwarna biru melesat kearah Lie dan Mayang. Lie tersenyum tipis merasakan sebuah serangan di belakangnya, ia berbalik dan melepaskan serangan balasan Qi murni berwarna ungu kehitaman.
"Duar!"
letupan kecil tercipta saat kedua Qi murni beradu. Qi biru milik si murid pria hancur, sedangkan Qi ungu milik Lie tetap meluncur kearah dua murid sekte bulan sabit yang sedang tercengang.
Baaaam
Ledakan yang bergema di gerbang pasar menarik perhatian para kultivator disekitar. Satu persatu dari mereka menuju kearah sumber ledakan.
"Lemah!" ejek Lie, kemudian menarik lengan Mayang dan pergi meninggalkan pasar.
Di bekas ledakan, si murid wanita hanya mengalami luka ringan. Sedangkan si murid pria memegangi dadanya yang terasa nyeri.
"uhuk... Uhuk..!"
Murid pria terbatuk beberapa kali, kemudian menyemburkan seteguk darah segar.
"Kenapa murid buangan sekte tiba-tiba menjadi kuat begitu?" renung murid Wanita dengan heran dan bingung.
"Sudahlah. Nanti kita bahas di sekte. Sekarang kita harus pergi dari sini sebelum menjadi bahan lelucon orang-orang." ajak murid pria.
Mereka berdua meninggalkan pasar dengan perasaan malu dan marah. Sementara itu para kultivator di sekitar mulai berdiskusi, membicarakan kejadian yang baru saja terjadi.
"Bukankah dua anak berpakaian merah itu adalah murid sekte Bulan Sabit? Siapa yang berani menyerang mereka?" tanya seorang kultivator bebas yang baru saja datang.
"Benar. Siapapun itu yang berani menyinggung sekte Bulan Sabit akan mati." sahut kultivator lain menanggapi.
***
Sementara itu, Lie dan Mayang telah tiba di rumah Lie. Rumah sederhana yang terbuat dari bambu dan berada di pinggiran sungai.
"Lie.."ucap Mayang ragu.
"Ada apa?" tanya Lie.
"A-Aku ingin...emm...itu ..em...." Mayang terbata tidak jelas.
"Kamu mau apa?" tanya Lie lembur, sambil menyunggingkan senyum.
"Aku ingin belajar kultivasi." jawab Mayang lirih.
"Hah?" Lie sedikit terkejut mendengar keinginan sahabatnya.
"Aku ingin berlatih kultivasi Lie." terang Mayang menegaskan.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin berkultivasi?" tanya Lie bingung. Biasanya sahabatnya ini selalu malas jika diajak berkultivasi. Kenapa sekarang tiba-tiba ingin berkultivasi?
"Aku hanya tidak ingin menjadi beban untukmu, aku juga ingin melawan orang-orang jahat!" ungkap Mayang dengan penuh semangat.
"Aku bisa saja membantumu namun kamu harus ijin pada ayah dan ibumu dulu." jawab Lie sambil tersenyum. Kejadian dipasar tadi mungkin menyadarkan Sahabatnya ini betapa pentingnya sebuah kekuatan. Jika Lie tidak cukup kuat, mungkin merekalah yang akan terluka oleh serangan murid Bulan Sabit.
*
Di atas batu besar tepat di tengah sungai, Mayang sedang duduk bersila dengan mata yang tertutup, dia tetap memaksa Lie untuk mengajarinya kultivasi, dan mau tidak mau Lie hanya bisa menuruti keinginan sahabatnya itu.
"Jernihkan pikiranmu, tenangkan perasaan. Coba rasakan energi alam di sekitarmu, lalu coba serap perlahan-lahan." Lie memberikan intruksi pada sahabatnya.
Sepuluh menit telah berlalu, energi alam disekitar sungai perlahan memasuki tubuh Mayang. Lie menyalurkan Qi murni pada tubuh Mayang, guna membantu proses awal perubahan energi alam menjadi energi Qi murni.
Tiga puluh menit berlalu dengan cepat, "Wussh!"
Gelombang aura alam pembentukan Qi tahap Pertama menyebar disekitar sungai. Dengan bakat dan kecerdasan Mayang, hanya dalam waktu singkat ia berhasil menembus penghalang antara manusia biasa dan kultivator.
"Selamat Mayang! Kamu sudah menjadi seorang kultivator." ucap Lie dengan senyum bangga pada sahabatnya.
"Makasih lie, ini semua berkat bantuan mu." Mayang tersenyum manis.
*
Empat hari kemudian...
Dalam beberapa hari ini Lie dan Mayang melakukan aktivitas seperti biasanya. Mereka juga sangat rajin berkultivasi, saat ini Lie berada di alam Qi sejati tahap Delapan, sedangkan Mayang berada di alam pembentukan Qi tahap Ketiga.
Di teras rumah..
"Mayang, kamu suka pakai senjata apa?" tanya Lie kepada sahabatnya itu.
"Hmmm.... Kayaknya pedang." ujar Mayang menanggapi setelah membayangkan senjata yang cocok untuknya.
Lie mengeluarkan empat buah pedang dari cincin penyimpanan pemberian leluhurnya. Tentu saja pedang ini merupakan senjata tingkat tinggi.
"Coba pilih pedang mana yang kamu suka. Nanti kita berlatih pedang bersama." ujar Lie seraya menunjuk ke empat pedang yang sudah diletakkan olehnya.
Memperhatikan keempat pedang yang ada di depannya. Mayang nampak sedikit bingung untuk memilih, pasalnya keempat warna dan corak pedang sangat bagus menurutnya.
"Hmm... Yang ini sepertinya bagus." ujar Mayang sembari mengambil pedang berwarna perak dengan ukiran petir kecil pada gagangnya.
"Pilihan yang bagus Mayang. Ini namanya pedang petir surgawi." jelas Lie sambil tersenyum seraya menyerahkan pedang yang di tunjuk oleh Mayang.
*
Di halaman belakang rumah
Ting! Ting! Ting!
Suara benturan pedang terdengar nyaring. Lie dan Mayang sedang berlatih teknik pedang dengan sungguh-sungguh. Suara pedang yang bertabrakan bagaikan irama musik yang mengalun dengan merdu.
Mereka berlatih pedang hingga menjelang siang hari. Kemudian beristirahat untuk makan siang bersama, keceriaan pun tercipta dari keduanya.
Selesai beristirahat, Lie dan Mayang melanjutkan aktivitas. Mereka berdua berkultivasi di sebuah batu besar di tengah sungai, energi alam di tengah sungai lebih banyak di bandingkan di dalam rumah.
Setelah berkultivasi hingga menjelang malam, Lie dan Mayang bergegas kembali pulang. namun kali ini Lie berinisiatif untuk mengantarkan Mayang kembali kerumahnya.
Selama perjalan mereka berdua berbincang penuh dengan keceriaan. Tidak ada raut kesedihan yang terpancar dari keduanya, semua sudah itu sudah terlupakan.
Lie kembali pulang setelah mengantarkan Mayang, dia berpamitan dengan kedua orang tua Mayang terlebih dahulu sebelum kembali berjalan kearah rumahnya.
Dalam perjalanan pulang, Lie bergumam dalam hati. 'Sekte Bulan Sabit, akan ku buat kalian menyesal telah membuang ku dari sekte. Dan sekte Matahari, tunggulah.. Akan ku balas dendam keluargaku seratus kali lipat!' gumam Lie, kemudian menutup mata sejenak dan melanjutkan perjalanan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!