NovelToon NovelToon

Tergoda Tunangan Sahabat

Bab 1

Malam kembali turun dengan gemerlap lampu kota yang menyamarkan sisi gelapnya. Hana Pricillia—gadis penuh dendam, berdiri di depan sebuah klub malam Inferno, mengamati pintu masuknya yang dijaga ketat oleh dua pria bertubuh kekar. Musik berdentum keras dari dalam, menciptakan getaran samar di udara.

Setelah beberapa detik menimbang, gadis cantik dengan jaket kulit hitam sedikit kebesaran itu melangkah masuk ke dalam klub. Suara musik semakin keras, disertai aroma alkohol dan asap rokok yang menusuk. Hana melangkah dengan hati-hati, matanya memindai setiap sudut ruangan, mencari tanda-tanda yang mungkin membawanya lebih dekat pada sebuah jawaban.

Gadis itu duduk di kursi bar dengan santai, menatap bartender di depannya, lalu tanpa banyak basa-basi, menyodorkan amplop tebal berisi uang tunai. Gerakannya cepat, memastikan tidak ada yang memperhatikan.

Bartender itu melirik isi amplopnya sekilas, lalu menyisipkannya ke dalam saku celemek dengan cekatan. Dia mendekat ke arah Hana, suaranya hampir tak terdengar di tengah dentuman musik. “VVIP, dini hari,” bisiknya sebelum menyodorkan segelas soda dingin.

Hana mengangguk singkat, mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. Bartender ini adalah salah satu sumber informasinya—seseorang yang berhasil dia suap sebelumnya untuk memata-matai pergerakan tertentu di klub ini.

***

Dini hari datang dengan keheningan yang aneh, seolah dunia luar ikut menahan napas untuk apa yang akan terjadi. Musik di Inferno tetap menggelegar, tetapi di dalam kepala Hana, hanya ada suara denyut jantungnya sendiri.

Hana berdiri di depan cermin. Dengan gerakan mantap, dia melepaskan jaket kulit hitamnya, memperlihatkan dress pendek nan seksi berwarna hitam yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. Sebuah kalung tipis menghiasi lehernya, memberikan sentuhan elegan pada penampilannya yang baru. Dia menggerai rambut panjangnya, membiarkannya jatuh hingga bahu, lalu mengusap sedikit lipstik merah di bibirnya.

Melihat pantulan dirinya di cermin, Hana menarik napas panjang. Sekarang, dia benar-benar terlihat seperti salah satu ladies yang sering menemani para tamu VVIP di klub ini. Penampilan ini bukan pilihannya, tapi dia tahu, untuk memasuki wilayah yang penuh bahaya seperti ini, dia harus memainkan peran dengan sempurna.

Setelah keluar dari toilet, dia menatap bartender yang berdiri di balik meja, memberikan isyarat samar dengan kepalanya ke arah pintu di ujung ruangan. Itu adalah pintu menuju area VVIP—zona tersembunyi di mana semua rahasia kelam klub ini tersimpan.

Tanpa ragu, dia melangkahkan kaki jenjangnya menuju pintu VVIP, melewati pengunjung yang terhuyung-huyung karena mabuk dan penjaga yang tampak terlalu sibuk dengan obrolan mereka sendiri untuk peduli. Di depan pintu, dua pria berbadan kekar berdiri dengan sikap waspada, tatapan mereka tajam dan menakutkan, seperti elang yang mengawasi mangsanya.

Bartender yang tadi menerima uang dari Hana muncul di sampingnya, memberikan isyarat singkat kepada para penjaga. Tanpa banyak bicara, mereka membuka pintu dengan gerakan yang penuh otoritas, dan Hana melangkah masuk.

Ruangan VVIP terasa jauh lebih menakutkan dibandingkan area klub yang riuh. Suara musik samar menggema, tapi suasananya lebih sunyi, menciptakan aura misterius yang hampir bisa diraba. Lampu redup memantulkan kilauan dari dinding kaca dan meja-meja yang dihiasi botol-botol alkohol mahal, menciptakan suasana glamour yang dipenuhi dengan ketegangan.

Di sudut ruangan, beberapa orang duduk santai di sofa kulit hitam yang elegan, namun tatapan mereka tajam seperti pisau, seolah-olah siap menerkam jika ada yang berani melangkah terlalu jauh. Hana menelan ludah, berusaha menenangkan diri meskipun detak jantungnya berdebar keras.

Dia melangkah mendekati salah satu meja, di mana seorang pria dengan jaket kebesaran Red Dragon duduk, dikelilingi oleh dua wanita bergaun sexy yang menonjol dada montoknya yang menggoda. Pria itu—Aaron Wijaya, pemimpin geng motor Red Dragon—dikenal bukan hanya karena kekuasaannya, tetapi juga karisma yang menawannya.

Begitu mata Aaron menemukan sosok Hana, sebuah kilatan minat melintas di wajahnya. Dia menilai kehadiran gadis cantik ini dari atas hingga bawah, mengekstrak setiap detail dari penampilannya yang memikat. Dengan balutan dress yang pas di tubuhnya yang sintal serta riasan yang simpel namun memiliki daya tarik tersendiri, Hana terlihat seperti bintang yang terjebak dalam dunia malam yang keras dan berbahaya.

Senyum tipis tersungging dari bibir Aaron. "Kemarilah," titahnya dengan suara dalam dan menggoda, matanya tak pernah lepas dari Hana. Dengan gerakan angkuh, dia menyingkirkan dua wanita di sebelahnya, seolah-olah mereka hanyalah ornamentasi yang mengganggu perhatian.

Dengan langkah pelan namun pasti, Hana mendekat. Semua tatapan di dalam ruangan seolah mengikutinya, menciptakan aura yang menakutkan sekaligus menggoda.

Tanpa ragu, Hana dengan beraninya duduk di pangkuan Aaron langsung.

"Wow," Aaron terkekeh, seperti predator yang telah menemukan mangsanya. "Gue suka keberanian lo." Dengan satu tangan, dia menyentuh wajah cantik Hana dengan lembut, tetapi sentuhannya terasa penuh kuasa.

"Siapa nama lo?"

Hana mendekatkan wajahnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik "Esther," tepat di telinga Aaron. Suaranya yang lembut dan sexy seperti mantra, mengaitkan keduanya dalam permainan yang berbahaya.

Pria itu tersenyum tipis, matanya menyiratkan rasa penasaran yang bercampur kekaguman. "Esther," ucapnya pelan, mengulang nama itu dengan penuh kesan. "Nama yang indah."

Tangan Aaron yang nakal bergerak perlahan, menyentuh pipi Hana dengan sentuhan yang lembut namun penuh kendali. Jari-jarinya yang kasar mengusap bibir ranum Hana, menelusuri lekuknya dengan gerakan yang menggoda. Sensasi itu membuat napas Hana tertahan, tapi dia menolak untuk terlihat lemah di hadapannya.

Aaron mendekatkan wajahnya, tatapannya terkunci pada bibir Hana yang memikat. Udara di antara mereka terasa semakin tipis, intensitasnya membakar seperti api yang hampir tak tertahankan. Namun, saat bibir Aaron hampir menyentuh miliknya, Hana dengan cepat mengangkat tangannya, meletakkan jarinya di bibir pria itu, menghentikan gerakannya.

"Oh?" gumam Aaron, menarik diri sedikit. Senyum di wajahnya memudar untuk sesaat, digantikan dengan seringai kecil yang menyiratkan rasa tertantang. "Berani banget lo nolak gue?"

"Gue ke sini bukan untuk jadi mainan," kata Hana tegas.

Aaron mengamati gadis itu beberapa saat, ekspresinya sulit ditebak. Lalu, dia tertawa kecil—tawa yang dalam, rendah, dan menggema di ruangan, menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. "Lo emang beda, dan gue suka itu."

Tanpa peringatan, Aaron meraih pinggang Hana dan menarik tubuh rampingnya ke dalam pelukannya. Genggamannya kuat, membuat Hana sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak terbiasa mendengar kata "tidak."

"Mulai malam ini, lo milik gue, Esther."

Pengakuan itu membuat jantung Hana berdebar, bukan karena romansa, tapi karena rasa kemenangan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Dia berhasil mendapatkan perhatian Aaron, ketua Red Dragon—dan itu artinya dia semakin dekat pada tujuannya.

Namun, di balik senyum tipis yang muncul di wajahnya, Hana tahu ini baru langkah pertama. Jalan menuju balas dendamnya masih panjang, dan bermain dengan api seperti Aaron berarti dia harus siap menghadapi segala risiko. Tapi dia tidak peduli. Balas dendam itu sudah terlalu lama tertunda, dan sekarang dia sudah berada di pusat kekuatan yang dia butuhkan untuk menghancurkan semuanya.

***

Enam bulan yang lalu....

"Bangun, ayang… tolong bangun..." Hana menangis tersedu-sedu, genggamannya pada tangan Rico semakin erat, seolah ingin mentransfer setiap tetes kehangatan yang masih tersisa dari tubuh kekasihnya. Tapi tangan itu dingin, kaku, tak ada lagi balasan seperti biasanya.

"Lo janji bakal menang balapan malam ini, tapi kenapa malah tidur di sini, hm? Lo nggak mau peluk gue, Rico Fernando!" Imbuhnya dengan terisak-isak, suaranya bergetar penuh harap. Tangan lentiknya tak henti-henti mengguncang tubuh kaku Rico—kekasihnya, berharap ada keajaiban, berharap pria itu membuka mata dan tertawa, berkata ini semua hanya lelucon buruk atau prank.

Namun kenyataan tetap dingin. Tubuh itu tetap diam, tak bergerak.

"Dokter! Tolong periksa pacar saya lagi! Dia nggak mungkin meninggal, Dok!" jerit Hana tiba-tiba. Matanya liar mencari siapa pun yang bisa memberikan harapan, meski hanya setitik.

Seorang perawat dengan lembut mendekat, menyentuh bahu Hana. "Mbak, ikhlaskan. Mas nya sudah meninggal dunia."

Hana menggeleng keras, air matanya semakin deras. "Nggak! Dia masih hidup! Tolong panggil dokter! Pacar saya nggak mungkin meninggal. Dokter! Dokter, tolong periksa Rico lagi!" Suara teriakan Hana memecah udara di ruang IGD yang suram.

Si perawat tetap mencoba menenangkannya, tetapi Hana tak peduli. Dunia terasa runtuh di sekelilingnya, menyisakan kekosongan yang menyesakkan dada.

Gadis itu jatuh terduduk di lantai, masih memegangi tangan Rico yang dingin, seolah jika ia cukup lama di sana, Tuhan akan mengubah takdir buruk ini. "Ayang… bangun, lo nggak boleh ninggalin gue… gimana gue hidup tanpa lo?" bisiknya, hampir tak terdengar di antara isakannya yang terus memburu.

Hana tahu, di sudut hatinya yang paling dalam, Rico tak akan kembali. Tapi ia belum siap menerima takdir buruk itu. Tidak malam ini. Tidak sekarang.

***

Saat tubuh Rico perlahan diturunkan ke liang lahat, Hana berdiri di tepi gundukan tanah dengan tubuh gemetar. Pandangannya kabur oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti. Suara talqin yang dilantunkan oleh Ustaz bercampur dengan isak tangis keluarga dan kerabat di sekitarnya, namun Hana nyaris tak mendengar apa-apa.

Ketika tubuh Rico sepenuhnya berada di liang lahat, Hana seolah kehilangan kekuatannya. Lututnya terasa lemas, nyeri tak tertahankan menyelimuti tubuhnya. Kakinya serasa tak bertulang, membuatnya jatuh terduduk di depan makam yang belum selesai ditimbun. Tangannya yang bergetar meraup tanah di sampingnya, mencengkeramnya erat seolah itu satu-satunya pegangan yang tersisa di dunia ini.

"Ayang... kenapa ninggalin gue secepat ini?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Namun rasa sakit dalam suaranya terasa menusuk hati siapa pun yang mendengarnya.

Seorang sahabat, Haruka mencoba membantunya berdiri, namun ia menepis dengan lembut, memilih tetap di tempatnya. Pandangannya terpaku pada makam yang kian tertutup tanah. Setiap sekop tanah yang dilemparkan terasa seperti pukulan lain pada hatinya.

Saat tanah terakhir diratakan, Hana memejamkan matanya. Ada sesuatu yang patah dalam dirinya, sesuatu yang tak akan pernah bisa diperbaiki.

"Han, lo kudu kuat, ayok kita pulang."

Hana tak mengindahkan Ruka, tangan kecilnya gemetar, menyentuh batu nisan yang baru saja dipasang, seolah berharap bisa merasakan kehangatan yang dulu selalu ada.

“Gue nggak bisa... gue nggak bisa ninggalin Rico di sini sendirian, Ruka.” katanya lirih.

Ruka menghela napas panjang, mengusap lembut punggung sahabatnya. “Han, Rico nggak pernah sendirian. Lo harus percaya, Rico ada di tempat yang lebih baik sekarang. Dan dia pasti nggak mau lihat lo kayak gini...”

Hana menggeleng keras, tangisnya semakin pecah. "Kalau tahu kata-kata terakhirnya semalam itu adalah kalimat perpisahannya, gue nggak akan izinin dia balapan Ruka... Dan, sekarang dia pergi...”

Ruka menunduk, tak bisa membantah kata-kata Hana. Semua yang terjadi malam itu terasa seperti luka yang tak mungkin terhapus.

**Flashback On**

Deru mesin memenuhi udara malam, bercampur dengan sorak-sorai penonton setia yang selalu hadir di setiap pertandingan balap jalanan. Malam ini, arena penuh dengan semangat dan adrenalin yang meluap. Semua mata tertuju pada satu nama—Rico Fernando, yang menggantikan El Zio, pembalap utama Speed Demon, dalam pertandingan melawan Red Dragon.

Rico berdiri di samping motornya, tampak percaya diri, meski malam ini taruhannya besar. Pria blesteran Jerman itu mengenakan jaket balapnya yang penuh dengan logo Speed Demon, lalu menatap Hana, kekasihnya, yang berdiri tak jauh darinya.

"Doain gue, ayang," ucap Rico dengan senyum penuh arti, sambil meraih helm full face-nya.

Hana tersenyum lebar, matanya bersinar penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia melangkah mendekat dan dengan manja mencium pipi kanan Rico. "Bintang malam ini adalah Rico Fernando," katanya dengan nada penuh percaya diri. "Gue yakin, malam ini lo bakalan bersinar."

Rico tertawa kecil, senyumnya menghangatkan malam yang dingin. "Kemenangan ini gue persembahkan spesial untukmu, my sunshine," "Selamanya cuma kamu yang bisa menerangi hati gue yang redup."

Bugh!

Hana memukul lengan Rico pelan, wajahnya memerah mendengar kata-kata Rico yang terasa terlalu manis. "Lebay," cicitnya malu-malu, namun senyumnya tak pernah surut.

Rico hanya terkekeh, lalu menyentuh pipi Hana dengan lembut. "I love you," ujarnya dengan tulus, lalu mencuri satu kecupan di bibir ranum sang gadis.

Cup!

"Ini jimat keberuntungan gue." Bisiknnya, sebelum mengenakan helm full facenya. Mata hazelnya yang berada di balik visor helm itu menatap Hana penuh cinta.

Malam itu, sorakan semakin memuncak, sementara Rico menyalakan mesinnya, suara knalpot motornya memecah udara. Dari kejauhan, Hana menatap punggung Rico dengan perasaan bangga dan doa yang tak putus-putus.

Gadis itu tak pernah menyangka bahwa malam itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka dalam senyuman.

Prit!

Tiupan peluit panjang menggema di malam yang gelap, menandakan perlombaan dimulai. Dua motor melesat secepat kilat, beradu adrenalin dalam kompetisi yang selalu penuh risiko dan semangat. Penonton bersorak riuh, menyaksikan kedua pembalap yang berlomba-lomba menjadi yang tercepat dan keluar sebagai pemenang.

Di satu sisi, Rico Fernando mengendalikan motornya dengan lincah, menguasai jalur balapan dengan keterampilan yang sudah terasah. Meskipun lawannya, Welly—ketua Red Dragon—berusaha bermain curang dengan segala cara, Rico tetap tenang dan fokus. Ia menghindari berbagai trik licik yang dilakukan Welly, mengandalkan kecepatan dan ketepatan untuk tetap unggul.

Akhirnya, dengan kecepatan dan keberanian, Rico berhasil melintasi garis finish lebih dulu. Sorakan dan teriakan kegembiraan memenuhi udara, sementara rekan-rekan satu timnya, termasuk Hana, melompat kegirangan merayakan kemenangan tersebut.

Sayangnya, kegembiraan itu tak bertahan lama. Dengan brutal, Welly dan anggota Red Dragon yang lain tak terima atas kekalahan mereka, menyerang. Dalam sekejap, suasana berubah menjadi mencekam dan keributan yang tak terhindarkanpun terjadi.

Hana berdiri di pinggir lapangan, matanya terbelalak melihat kekacauan yang terjadi. Pukulan dan teriakan saling bersahutan, hingga pandangannya terfokus pada Rico yang terlibat dalam keributan tersebut.

Naas, di tengah perkelahian yang tak terelakkan itu, Rico diserang secara brutal. Suara benturan dan jeritan memenuhi udara saat ia terjatuh, tubuhnya terkulai tak berdaya dengan darah yang menggenang di sekitarnya. Sebuah besi bangunan, menancap tepat di perutnya.

Dalam sekejap, dunia Hana runtuh. Semua kebahagiaan yang baru saja dirasakannya terenggut dalam satu momen kelam.

**Flashback Off**

Tak seperti arti namanya, Hana, yang berarti bunga—indah, anggun, dan memikat—Hana Priscilia, gadis berusia delapan belas tahun itu, justru tak memiliki keindahan seperti itu lagi sekarang. Semua dunianya runtuh seketika, saat kekasihnya Rico Fernando tewas dibunuh oleh anggota geng motor—Red Dragon.

Bersambung...

Bab 2

"Maksud kalian…" Kata-kata Hana tercekat di tenggorokan, seolah ada beban besar yang mengganjal di sana. Tubuhnya gemetar, dan tangan kecilnya mengepal erat, seolah mencoba menahan rasa sakit yang begitu menyayat hati.

"Kematian Rico… ditutup sebagai kecelakaan?" Hana mengulanginya lagi.

El—Ketua Speed Demon, mengangguk pelan, "Polisi tidak menemukan cukup bukti untuk menuntut Welly atau anggota Red Dragon. Semua saksi mengarah pada kesimpulan bahwa ini adalah kecelakaan dalam balapan liar."

"Nggak! Itu bukan kecelakaan! Mereka menyerangnya! Gue lihat dengan mata gue sendiri Rico dipukuli sampai mati! Dan luka itu, bukan luka tertusuk besi seperti yang mereka bilang. Polanya berbeda." Hana mengambil ponselnya lalu membuka foto dan video yang menunjukkan luka tusuk di perut Rico.

"Lihat ini!" ujar Hana, jemarinya menunjuk gambar yang terlihat jelas di layar. "Kalau ini memang tusukan besi seperti yang mereka bilang, kenapa bentuk lukanya seperti ini? Luka ini lebih mirip tusukan belati, El! Bukan luka yang disebabkan oleh logam runcing di arena balapan!"

El, yang biasanya tangguh dan tegas, kini hanya bisa terdiam. Matanya terpaku pada layar ponsel itu, meneliti setiap detail luka yang ditunjukkan Hana. Ia melirik Sammy di sebelahnya.

Suasana tiba-tiba menjadi sangat sunyi, El menghela napas panjang, pandangannya kembali ke Hana yang masih menatapnya dengan penuh tekad.

"Kalau ini tusukan belati," gumam El pelan. Matanya menyipit, meneliti luka sayatan sekitar empat centimeter itu pada layar ponsel Hana. "Berarti kemungkinan besar... ada oknum polisi yang menutupi kasus ini."

Ruangan itu kembali sunyi, El mengusap dagunya, pikirannya mulai menyusun potongan-potongan teka-teki yang selama ini terasa samar.

"Welly nggak mungkin bekerja sendiri," sahut Sammy—Mekanik Speed Demon, tiba-tiba, memecah keheningan. "Gue tahu dia nggak seberani itu. Kalau dia sampai menyerang Rico dengan cara seperti itu, pasti ada yang memengaruhinya."

"Lo tahu sesuatu, Sam?"

Sammy mengangguk pelan, "Gue denger dari Rico beberapa hari sebelum kejadian... Welly sering terlihat dekat dengan seseorang. Gue nggak tahu siapa orang itu, tapi Rico bilang ada yang aneh. Katanya, Welly jadi lebih percaya diri, kayak ada yang 'backup' dia dari belakang."

"Jadi, lo pikir orang itu yang menghasut Welly untuk bertindak seperti ini?"

"Bisa jadi," jawab Sammy sambil mengangkat bahu. "Welly bukan tipe orang yang punya nyali besar untuk bergerak sendirian, apalagi sampai nekat membunuh Rico di depan umum. Ini pasti kerjaan orang yang lebih besar, lebih berkuasa."

"Brengsek!!!" El mengumpat keras, tinjunya menghantam meja hingga membuat semua orang di ruangan itu tersentak. Amarah terpancar jelas di matanya, rahangnya mengeras menahan gejolak emosi yang hampir tak terkendali. "Gue harus bongkar ini semua. Nggak peduli apapun itu!"

Ia berbalik menatap Sammy dengan tajam, seperti memberikan perintah yang tak bisa ditolak. "Kumpulin semua anggota, gue nggak mau ada yang ketinggalan. Kita harus tegakkan keadilan buat Rico, apapun risikonya."

Sammy mengangguk tanpa ragu. "Siap, bos. Gue bakal panggil mereka sekarang juga." Tanpa membuang waktu, dia mengambil ponselnya dan mulai menghubungi anggota geng satu per satu.

"El, lo yakin mau ngelakuin itu malam ini juga? Kita bahkan belum tahu siapa dalangnya, gimana kalau—"

"Han, Rico bukan cuma temen gue, dia saudara gue. Gue nggak bisa diem aja sementara orang-orang brengsek itu bebas berkeliaran."

Hana menunduk, menggigit bibir bawahnya. Ia ingin membantah, ingin meminta El untuk lebih berhati-hati, tapi ia tahu percuma. Ketika El, si keras kepala itu sudah mengambil keputusan, tak ada yang bisa menghentikannya.

***

Malam itu juga, semua anggota Speed Demon berkumpul di markas. Suasana terasa tegang, meskipun wajah-wajah mereka menunjukkan keberanian, tak bisa disangkal ada rasa khawatir yang mengintip di baliknya.

El berdiri di tengah-tengah dengan gagah berani, suaranya lantang ketika ia berbicara. "Kita nggak di sini cuma buat balapan. Kita di sini karena satu hal: keadilan buat Rico. Gue tahu ini berbahaya, tapi gue nggak akan mundur. Kalau ada di antara kalian yang nggak mau ikut, gue nggak bakal maksa."

Namun, tidak ada yang pergi. Semua anggota Speed Demon tetap berdiri tegak, menunjukkan solidaritas yang luar biasa.

"Baik," kata El sambil mengangguk pelan. "Kita mulai malam ini. Kita tegakkan keadilan untuk saudara kita, Rico Fernando."

Sorak-sorai kecil memenuhi ruangan, memecah ketegangan. Semua bersiap untuk  pertempuran paling berbahaya dalam hidup mereka.

***

Hana mulai gelisah ketika menyaksikan rombongan Speed Demon yang dipimpin El keluar dari markas. Sorot mata mereka penuh dengan amarah, tekad untuk membalaskan dendam Rico terlihat jelas. Tapi di hati Hana, ada rasa takut yang semakin mencekam. Takut jika ada korban terjatuh lagi.

“Ini nggak boleh terjadi,” gumam Hana. Tangannya gemetar saat merogoh ponselnya dari dalam jaket. Ia membuka kontak dan segera mencari nama yang bisa ia percayai saat ini—Ruka istri El.

Telepon tersambung setelah beberapa dering. "Halo?" suara Ruka terdengar di ujung sana.

"Ruka... Lo harus lakukan sesuatu. El bawa semua anggota Speed Demon buat nyerang markas Red Dragon."

"Apa?!" Ruka hampir berteriak. "Kapan? Kenapa gue nggak dikasih tahu?!"

"Barusan," Hana berkata terburu-buru. "Mereka nggak mikir panjang, Ruka. Gue nggak mau ada pertumpahan darah lagi. Gue nggak mau ada yang mati lagi."

Ruka terdiam sejenak, mencoba memahami situasi. "Lo di mana sekarang?" tanyanya cepat.

"Di markas Speed Demon. Gue nggak bisa nahan mereka."

"Gue kesana sekarang," ucap Ruka tegas. Tanpa menunggu jawaban Hana, Ruka menutup telepon.

Hana menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia menatap jauh keluar, bayangan perkelahian, luka, dan kehilangan kembali menghantuinya.

"Rico, maafin gue," bisiknya, air mata mengalir pelan di pipinya. Ia hanya berharap kali ini semuanya tidak berakhir tragis seperti sebelumnya.

***

Hana mengepalkan tangan erat di pangkuannya, tubuhnya sedikit gemetar saat mobil yang dikemudikan Ruka menyusuri jalanan yang semakin sepi dan gelap. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah mengingatkan betapa besar risiko yang mereka hadapi malam ini.

"Lo yakin di sini?" tanya Ruka, matanya waspada mengamati sekeliling.

"Iya," jawab Hana dengan suara bergetar. Ia menunjuk ke depan, ke arah jalan kecil yang nyaris tak terlihat. "Belok kiri di ujung jalan. Ada bengkel di sana. Itu markas Red Dragon."

Ruka menekan pedal rem perlahan, membelokkan mobilnya sesuai arahan Hana. Jalan sempit itu terasa seperti lorong menuju jurang bahaya. Ketika mereka tiba di ujungnya, sebuah halaman luas dengan motor-motor berjejer memenuhi pandangan mereka.

"Itu tempatnya," bisik Hana, menunjuk ke arah bangunan kecil dengan cahaya neon merah suram bertuliskan 'Red Dragon Garage'. Tulisan itu berkedip-kedip, seolah mencerminkan atmosfer gelap di dalamnya.

Ruka menghentikan mobil beberapa meter dari bengkel tersebut. Ia menatap ke depan, mendengarkan suara riuh samar yang berasal dari dalam bangunan. Sorak-sorai kasar bercampur dengan dentingan logam yang jatuh membuat suasana semakin mencekam.

"Lo yakin mereka di sini?"

Hana mengangguk cepat. "El bawa semua anggota Speed Demon. Gue yakin mereka ada di sini."

"Ayo, kita cari El. Jangan bikin gerakan mencurigakan."

Hana melangkah keluar, tubuhnya terasa gemetar. Ia mengikuti Ruka dari belakang, berjalan mengendap-endap mendekati bengkel itu. Semakin dekat, suara benturan dan jeritan menjadi lebih jelas. Jantung Hana berdebar kencang, tangannya gemetar saat ia mencoba mengintip ke dalam melalui celah pintu yang sedikit terbuka.

Pemandangan di dalam membuatnya tercekat sesaat. Beberapa pria tergeletak di lantai, beberapa mengerang kesakitan, sementara yang lain terlihat pingsan dengan darah mengalir dari tubuh mereka. Bau anyir bercampur dengan oli membuat perut Hana terasa mual.

Ruka menatap Hana dengan wajah serius. "Kita telat," gumamnya penuh penyesalan.

"Yakin mau masuk?"

Ruka mengangguk. "Kalau nggak, El bisa mati di sana."

Dengan hati-hati, mereka mendorong pintu lebih lebar, melangkah masuk ke ruangan penuh kekacauan. Hana menahan napas, matanya menyapu seisi ruangan yang kacau itu. Di tengah ruangan ia menemukan, Sammy terlihat menghajar Welly tanpa ampun.

"Mana El?" tanya Ruka panik begitu masuk ke ruangan tersebut.

Seorang anggota Speed Demon yang bersandar di dinding dengan wajah penuh luka mengangkat tangan lemah, menunjuk ke halaman belakang. "Bos... ada di sana..." Setelah itu, pria tersebut jatuh tak sadarkan diri.

Hana merasakan dadanya semakin sesak. Tanpa menunggu arahan lagi, ia berlari melewati puing-puing dan tubuh-tubuh yang terkapar, menuju halaman belakang menyusul Ruka yang berlari pontang-panting.

Ketika sampai di sebuah gudang, pemandangan yang ia lihat membuat langkahnya terhenti.

“Ruka…” bisiknya, matanya membelalak saat melihat sahabatnya tengah menahan El yang berusaha menerjang seseorang yang tergeletak di lantai. Darah mengalir di sekitar pria itu, bercampur dengan kotoran di lantai gudang. Sedikit lagi, dia bisa menyingkap hoodie yang pria misterius itu kenakan, namun istrinya terlebih dahulu menariknya.

"Lepas Ruka, gue harus tahu siapa brengsek yang udah mempengaruhi Welly sampai tega ngebunuh Rico!" balas El dengan suara penuh kebencian, meronta untuk melepaskan diri dari genggaman Ruka.

“El, cukup! Lo mau bunuh dia?”

"Dia pantas mati! Lepasin Ruka!"

"Nggak El, gue nggak mau lo jadi pembunuh! Sadar El." Ruka terus mengingatkan.

Ditengah perdebatan El dan Ruka, mereka tak sadar jika pria berhoodie itu memanfaatkan kesempatan untuk menyandera Hana. Pria itu bangkit dengan cepat, lalu tanpa mereka sadari lengan besarnya tiba-tiba melingkari tubuh Hana dari belakang, dan dinginnya logam pipa besi yang menjadi senjatanya melingkar di leher Hana.

"Aaaaa—" Hana mencoba berseru, tetapi suara seraknya tertahan. Matanya membesar saat ia menyadari pria misterius yang sebelumnya dihajar El kini mencengkeramnya dengan kekuatan penuh.

"El!" jerit Hana, "Tolong!"

El dan Ruka kompak menoleh, mereka membeku sejenak, menyadari situasi lengah yang mereka ciptakan. "Shit!" Umpat El kesal, ia melangkah mendekat. "Lepasin dia!"

Pria misterius itu tersenyum miring, mencengkeram leher Hana lebih erat dengan pipa besi dinginnya. "Satu langkah lagi, dan gadis ini akan menemani si brengsek Rico di liang lahat." ancamnya.

Hana meronta, mencoba melawan, tetapi kekuatannya tak sebanding. Napas pria itu terdengar kasar dan berat di telinga Hana, seperti predator yang mencium aroma kemenangan.

"El... tolong..." bisik Hana ketakutan, tubuhnya mulai lemas dan pasrah diseret.

El berdiri terpaku, tangannya terkepal hingga buku-bukunya memutih. Wajahnya penuh kebingungan antara melawan atau menahan diri.

Sementara diluar sana, suara sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin tegang.

Pria misterius itu makin panik. Ia mengencangkan pipa besi di leher Hana sambil menyeret gadis itu mundur.

"Aaaah...." Hana yang kesakitan mengerang rendah.

Tak mampu lagi menahan diri, El nyaris melompat maju. Namun suara Ruka yang melengking, memotong langkahnya. "Berhenti, El! Hana bisa mati!"

"Shit!" El berhenti, tangannya terkepal kuat, rahangnya mengatup keras saat melihat pria berhoodie itu kabur, menyeret Hana ke luar gudang tanpa bisa berbuat apa-apa lagi.

Hana yang menjadi tawanan, tak diam saja. Ia terus mencoba melawan, tubuhnya memberontak dengan sisa-sisa kekuatannya yang hampir habis. Namun, pipa besi yang melingkar di lehernya semakin menekan, membuat napasnya tercekik.

"Diam, atau mau gue kirim lo ke neraka sekarang juga?" suara pria itu menggema di telinga Hana, dingin dan penuh ancaman.

Hana terdiam, tubuhnya bergetar. Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan.

Setelah merasa cukup jauh dari gudang, pria misterius itu berhenti sejenak, lalu dengan kasar mendorong Hana ke tanah. Tubuh gadis itu terlempar, kedua lutut dan telapak tangannya menghantam permukaan kasar yang penuh serpihan batu kecil. Rasa sakit menjalar cepat, tetapi gadis itu hanya bisa mengerang pelan.

Pria itu tidak berkata apa-apa lagi. Dengan langkah cepat, ia melesat masuk ke dalam bayangan malam, menghilang seperti hantu yang menelan dirinya sendiri dalam kegelapan.

Hana terbaring lemah, dadanya naik turun saat ia berusaha mengatur napas. Sakit di lutut dan tangannya terasa menyengat, tetapi ia mencoba untuk bangkit. Saat itulah ia merasakan sesuatu di genggaman tangannya—rantai kalung yang terputus.

Di tengah kepanikannya, Hana ternyata tanpa sadar meraih kalung yang tergantung di leher pria itu. Ia menatap benda kecil itu di telapak tangannya dengan tatapan penuh tanya. Liontin yang menggantung pada rantai itu terlihat sederhana, tetapi ada ukiran aneh di permukaannya—simbol yang tidak ia kenali.

Bersambung...

Bab 3

Sirene polisi meraung memecah malam, lampu biru-merah berkedip menerangi markas Red Dragon yang porak-poranda. Hana, masih terguncang, duduk bersandar di dinding, napasnya tersengal. Dengan Ruka yang merangkul bahunya erat, mencoba menenangkan.

"Tenang, Han. Polisi udah datang."

Di tengah kekacauan, polisi mulai mengamankan dan menggiring mereka semua yang terlibat perkelahian. El dan beberapa anggota Speed Demon tak mampu mengelak ketika tangan mereka diborgol dan diamankan ke kantor polisi.

***

Di kantor polisi, Hana duduk di depan ruang interogasi bersama dengan Ruka yang tampak cemas. Suaminya tengah di interogasi, Ruka takut akan terjadi sesuatu hal yang buruk dengannya. Tangannya gemetar saat Hana dengan lembut menggenggamnya memberikan dukungan.

Didalam ruang interogasi, El menyodorkan ponselnya dan memutar rekaman percakapan jebakan yang sengaja dia rekam saat mengonfrontasi Welly. Suara Welly terdengar jelas, mengungkapkan pengakuan yang sangat mengejutkan.

“Lo yang tusuk dia, kan?” suara El terdengar dalam rekaman itu.

“Mata lo jeli juga, ya? Ya, gue yang nusuk si brengsek itu! Polisi udah bikin cerita sendiri, kasusnya udah ditutup sebagai kecelakaan. Semua orang bakal melupakan Rico,” jawab Welly dengan nada penuh kesombongan.

Polisi mendengar rekaman itu dengan wajah serius. Salah satu petugas mengangguk kepada rekannya. "Kami akan menyelidiki lebih lanjut Terima kasih atas bukti ini."

***

Hari-hari berlalu seperti bayangan kelabu bagi Hana. Polisi akhirnya menetapkan Welly dan beberapa anggota Red Dragon sebagai tersangka pembunuhan Rico Fernando. Rekaman yang diberikan oleh El menjadi bukti tak terbantahkan, menyingkap kebusukan yang selama ini tersembunyi. Tidak hanya itu, rekaman tersebut menyeret beberapa oknum polisi korup yang mencoba menutup kasus tersebut dengan dalih kecelakaan.

Namun, satu misteri masih menggantung. Dalam setiap interogasi, Welly bersikeras bahwa pembunuhan Rico adalah tindakannya sendiri. Ia menolak mengungkapkan siapa pria misterius yang menghasutnya untuk melakukan itu. Bahkan di bawah tekanan hakim, ia tetap mempertahankan cerita yang sama.

“TIDAK ADA YANG MENYURUHKU! AKU MEMBUNUHNYA KARENA AKU INGIN!” seru Welly dengan suara lantang di ruang sidang. Matanya menyala dengan emosi, tetapi nada bicaranya terdengar seperti upaya terakhir untuk menyembunyikan sesuatu.

Hana yang duduk di bangku penonton hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang amarah dan frustrasi yang menyeruak di dadanya. Ia tahu Welly berbohong. Pria itu hanya menjadi tameng untuk seseorang yang lebih besar, seseorang yang menarik tali di balik layar.

Hakim mengetukkan palunya, menghentikan riuh rendah di ruang sidang. “Setelah mempertimbangkan bukti-bukti dan keterangan saksi, pengadilan memutuskan terdakwa, Welly Kusuma, bersalah atas pembunuhan Rico Fernando. Terdakwa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang ditutup.”

Suara palu yang menghentak meja itu seperti memaku semua orang di tempatnya. Welly menunduk dengan wajah datar, tetapi Hana melihat sesuatu dalam tatapannya—sebuah kepuasan aneh, seolah ia senang memikul dosa itu sendirian.

Hana mengepalkan tangannya di pangkuan, kuku-kukunya menekan telapak tangan hingga terasa sakit. "Ini belum selesai. Rico pantas mendapatkan lebih dari sekadar keadilan semu ini."

Ketika ruangan mulai sepi, Ruka menepuk bahunya. “Kita sudah mencoba yang terbaik, Han. Mungkin ini memang akhirnya.”

“Belum, Ruka. Dia melindungi seseorang. Gue tahu itu. Gue akan cari dalang sebenarnya, apa pun yang terjadi.”

Ruka menggenggam jemari Hana erat, "gue mohon Hana, berhenti. Gue nggak mau El terlibat kembali. Demi ponakan lo." Ruka menarik tangan Hana dan meletakkannya di perutnya yang masih datar.

Hana terkejut, menarik tangannya seolah tak percaya. "Lo... lo hamil?"

Ruka mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Iya. Gue baru tahu beberapa hari yang lalu. El belum tahu. Gue bahkan belum sempat ngomong sama dia... Makanya gue mohon, Han. Kalau lo mau terus nyari pria itu, jangan libatkan El lagi. Dia udah cukup terluka karena kehilangan Rico. Dan sekarang, gue mau dia fokus sama study dan calon bayi kita."

Hana terdiam, perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa bersalah telah menyeret El sejauh ini. Di sisi lain, dorongan untuk menemukan kebenaran tentang Rico masih terlalu besar untuk dihentikan. Ia menatap Ruka, lalu mengangguk pelan. "Gue ngerti, Ruka."

"Sorry kalau gue egois, Han."

Hana menggeleng, lalu tersenyum tipis. "Lo nggak egois. Lo berhak bahagia, Ruka. Jadi, lo bakalan ikut El ke London?"

"Rencananya begitu, gue nggak bisa jauh dari El."

"Dasar bucin! Untung lo hamil pas kelar ujian. Apa jadinya kalau lo hamil pas masih sekolah, hah? Udah gue ingetin ratusan kali, juga masih aja kebablasan."

Ruka tertawa kecil, meskipun pipinya merona malu. "Sorry-sorry. Gue nggak nyangka juga, Han. Tapi sekarang gue cuma mau fokus sama keluarga kecil gue." Tatapannya menjadi serius, menggenggam tangan Hana lebih erat. "Han, janji satu hal sama gue. Jangan sampai lo sendiri terluka, ya?"

Hana menatap balik sahabatnya itu, lalu mengangguk perlahan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa janji itu sulit ditepati. Ia akan lakukan apapun untuk membalaskan dendam kematian Rico, bahkan jika nyawa adalah taruhannya.

Saat mereka keluar dari ruang sidang, Hana memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Ia merasakan dinginnya liontin kecil yang ia tarik dari pria misterius malam itu—satu-satunya petunjuk yang ia miliki sekarang. Liontin itu terukir sebuah inisial kecil di bagian belakangnya, namun hingga kini, ia belum bisa menguraikan apa artinya.

Hana mengangkat liontin itu ke arah cahaya, matanya menyipit seolah ingin menggali rahasia yang tersembunyi di balik benda kecil tersebut. "Gue akan temukan lo, dan gue pastikan lo akan membayar mahal atas apa yang lo lakuin."

***

Langit mendung menggantung di atas pemakaman, menyelimuti suasana dengan kelabu yang seakan menyerap semua warna dunia. Hana berdiri kaku di depan nisan sederhana bertuliskan nama Rico Fernando. Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi ia tidak bergeming. Matanya terpaku pada ukiran itu, setiap huruf terasa seperti belati yang menusuk dadanya.

“Rico,” bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru angin. Kenangan bersamanya tiba-tiba menyerbu pikirannya—senyum hangatnya, tawa renyahnya, cara dia memanggil namanya dengan sayang. Momen-momen kecil yang dulu membuat hidupnya penuh kini hanya meninggalkan rasa sakit yang menusuk.

Air mata yang ia tahan akhirnya mengalir, menelusuri pipinya. Ia mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa perih yang seolah tak berujung. “Kenapa mereka tega ngambil lo dari gue?” lirihnya, suaranya pecah oleh tangisan.

Cukup lama Hana disana hingga rasa rindunya puas terobati. Gadis itu baru meninggalkan pusara sang kekasih melangkah pergi dengan langkah berat. Sepatu hitamnya menyusuri jalanan pemakaman yang basah oleh embun pagi. Ia tahu, dunia tidak akan berhenti berputar untuk meratapi kepergiannya. Tapi bagi Hana, dunia sudah berhenti sejak hari itu.

***

Rutinitas Hana kini tak ubahnya seperti robot tanpa jiwa. Setiap pagi, alarm ponselnya meraung keras, tapi Hana tidak langsung bangun. Ia meraihnya dengan gerakan lamban, menekan tombol mati, lalu kembali terbaring, menatap langit-langit kamar yang terasa lebih sempit dari biasanya.

Setelah beberapa menit menatap kosong, Hana bangkit, menyeret kakinya ke kamar mandi. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa berat. Ia bersiap untuk sekolah tanpa antusiasme—hanya bergerak karena tuntutan waktu.

Di sekolah, Hana bukan lagi gadis yang dulu dikenal ceria dan cerewet. Ia hanya duduk di bangkunya, mendengarkan teman-temannya berbicara tanpa benar-benar menyimak. Jika dulu Hana selalu menjadi pusat perhatian dengan candaan dan komentarnya, kini ia menjadi bayangan samar yang hampir tidak terlihat.

"Han, lo mau ikut ke kantin nggak?" Ruka mendekati bangkunya, mencoba memasang senyum. "Ada menu baru, mie level kesukaan lo."

Hana menggeleng pelan tanpa menatap Ruka. "Kalian aja. Gue nggak lapar."

"Han," Ruka menghela napas, lalu menarik kursi untuk duduk di sampingnya. "Lo nggak bisa terus kayak gini. Udah sebulan lebih lo diem terus. Semua orang khawatir, tahu?"

"Gue cuma lagi pengin sendiri, Ruka. Nggak apa-apa, kok."

***

Setiap sore, setelah bel sekolah berbunyi, Hana pulang tanpa sepatah kata. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya, mengunci diri. Ibunya sering mencoba mengajaknya berbicara, menawarkan makan malam bersama, atau sekadar duduk di ruang keluarga, tetapi Hana selalu menolak dengan lembut.

Di dalam kamar yang gelap, Hana berbaring di ranjangnya, memandangi dinding kosong. Kadang-kadang, ia mengalihkan pandangan ke foto Rico yang ia letakkan di meja kecil di sudut ruangan. Senyuman Rico di foto itu terasa seperti ejekan, mengingatkan Hana bahwa kebahagiaannya telah direnggut tanpa ampun.

Air matanya tidak lagi mengalir. Hana merasa kering, kosong, dan mati rasa. Kehilangan Rico adalah luka yang menggerogoti dirinya perlahan-lahan, meninggalkan kehampaan yang tidak pernah bisa ia jelaskan.

---

Setelah bel sekolah berbunyi, Hana mengemasi buku-bukunya tanpa bicara. Ia menghindari obrolan dengan teman-temannya, hanya menunduk dan melangkah keluar dari kelas. Tidak ada lagi senyuman atau sapaan ringan yang dulu menjadi ciri khasnya.

Saat tiba di rumah, ia langsung menuju kamarnya tanpa berhenti di ruang tamu atau dapur seperti biasanya.

"Sayang, makan dulu, Nak," suara lembut ibunya menyapa dari dapur, penuh harapan.

"Belum lapar, Ma," jawab Hana singkat sambil terus melangkah ke kamarnya.

"Hana, Mama kangen ngobrol sama kamu," tambah ibunya, mencoba menahan Hana lebih lama.

Hana berhenti sejenak di depan pintu kamar, menoleh setengah hati. "Ma, aku capek. Besok aja ya," katanya pelan sebelum masuk dan menutup pintu.

Di dalam kamar, suasana gelap menyelimuti ruangan, hanya diterangi oleh sinar matahari yang tersisa dari celah tirai. Hana melemparkan tasnya ke sudut ruangan. Pandangannya terpaku pada dinding kosong di depannya, seperti berharap sesuatu akan muncul dan memberikan jawaban atas kekosongan yang ia rasakan.

Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju lemari dan membuka pintu yang menyimpan kenangan. Di sana, di antara tumpukan pakaian, ada jaket terakhir yang dikenakan Rico sebelum meninggal dunia.

Hana meraih jaket itu dengan tangan gemetar. Ia memeluknya erat, seolah-olah dengan begitu ia bisa merasakan kehadiran Rico di sisinya. Wangi tubuh Rico masih tertinggal di jaket tersebut, memberikan rasa nyaman dan sekaligus menambah kepedihan di hatinya. Air mata kembali mengalir tanpa henti, membasahi jaket yang kini menjadi satu-satunya penghubung antara dirinya dan Rico.

"Gue kangen, yang... Gue harap semua ini cuma mimpi buruk dan saat gue bangun, lo ada di sini, tersenyum seperti biasanya."

Setiap aroma yang tercium dari jaket tersebut membawa Hana kembali pada kenangan-kenangan indah bersama Rico.

Dalam kesendirian dan kesepiannya, Hana mencoba menemukan ketenangan. Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha menerima kenyataan. "Gue harus kuat," katanya pada dirinya sendiri, meskipun hatinya terasa remuk.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Han, Mama boleh masuk?" suara ibunya terdengar lembut namun cemas.

"Aku pengin sendiri, Ma."

"Hana, kamu nggak bisa terus begini. Mama tahu kamu sedih, tapi please jangan berlarut-larut. Rico pasti sedih lihat kamu seperti ini," desak ibunya dari balik pintu.

"Ma, aku baik-baik aja, Mama nggak perlu khawatir."

Hening menyelimuti ruangan untuk beberapa saat sebelum suara langkah kaki ibunya menjauh. Hana memeluk kembali jaket Rico dan memejamkan mata, berharap kegelapan bisa memberinya sedikit kedamaian.

Tapi tidak. Dalam kegelapan itu, hanya ada bayangan-bayangan kenangan yang terus menghantui. Senyuman Rico, tawanya, suara cerianya. Semuanya seperti jarum tajam yang menusuk perlahan, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.

"Kalau aja aku bisa balik ke masa lalu," bisik Hana pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya terlelap dalam kehampaan yang semakin dalam.

Malam itu, Hana tertidur dengan jaket Rico di pelukannya, seolah-olah itu adalah satu-satunya cara untuk tetap merasakan kehadiran kekasihnya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!