NovelToon NovelToon

I Am Morgan Seraphine

Pink

"MORGAN!" Lengkingan suara seorang gadis bernama Cherry menggema di rumah yang senyap sunyi, kicauan burung di pagi hari pun teredam suaranya oleh teriakan gadis itu.

Meski mendengar Cherry berteriak memanggil namanya tapi Morgan tetap santai memotong buah apel dan menatanya rapi di piring.

Langkah kaki yang terburu-buru seperti sedang dikejar anjing itu semakin mendekat. Sudut bibirnya sedikit tertarik.

"Morgan, apa yang harus aku lakukan?" rengek Cherry di ujung tangga.

Morgan meletakkan pisau lalu membalikkan tubuhnya, matanya melihat dari atas sampai bawah tubuh gadis itu yang hanya dililit handuk kecil berwarna putih.

"What's wrong?"

"Lihat ini!" Dalam sekali tarikan Cherry membuka handuknya, handuk itu jatuh menutupi telapak kakinya. Ia berjalan mendekati Morgan dengan tubuh yang polos tanpa sehelai benang.

Morgan saat itu juga menutup wajah. Sebenarnya ini adalah pemandangan biasa, bahkan mungkin sudah menjadi sebuah pemandangan yang tak mungkin dilewatkan setiap paginya, tapi bukan berarti tubuhnya akan terbiasa juga. Ia lelaki normal.

"Jangan menutup wajah mu. Kamu harus melihat ini!" Cherry berjinjit meraih kedua tangan Morgan dan menggenggamnya sehingga Morgan bisa melihat tubuhnya.

"Apa?" tanya Morgan berusaha untuk sabar.

"Ada bulunya." Cherry menunjuk bagian sensitifnya.

"What wrong with that?"

"Jelek," papar Cherry. Bibir bawahnya maju, matanya berembun dipenuhi air mata.

"Itu artinya kamu sudah dewasa. Itu normal, Cherry."

Cherry menggelengkan kepala. "Tapi kenapa harus ada bulunya? Jelek. Aku tidak suka."

"Hanya bulu tipis. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya," tutur Morgan. Tersenyum sambil mengusap kepala gadis itu.

"Tidak, Morgan. Aku sudah bilang aku tidak suka ada bulunya," cicit Cherry kekeuh.

"Kalau begitu cukur saja. Simpel, kan?" saran Morgan. Dua alisnya terangkat dan senyumnya lebar.

Cherry seketika tersenyum. "Kamu benar. Kenapa aku tidak berpikir sampai sejauh itu, ya?" Ia langsung berlari tunggang langgang menaiki anak tangga, bahkan handuknya ditinggalkan begitu saja di ujung tangga.

"Astaga, anak itu...." Morgan menggelengkan kepalanya dengan tingkah Cherry yang meski umurnya sudah mau menginjak sembilan belas tahun tapi dia masih polos seperti anak kecil.

"Aku harus sabar menghadapi gadis itu."

"AAAAAAAAAA...." Jeritan yang sangat kencang dan melengking itu berasal dari kamar Cherry.

Morgan mengangkat tubuhnya yang condong setelah mengambil handuk Cherry. "Sekarang ada apa lagi?" gumam Morgan. Kakinya melangkah membawa dirinya ke kamar gadis itu.

"Cherry, kenapa kamu berteriak?" tanya Morgan sesampainya di kamar Cherry. Namun gadis itu tak ada di kamarnya, pun langkahnya tertuju ke kamar mandi.

Morgan masuk ke dalam kamar mandi, tak perlu melangkah lebih dalam karena Cherry sedang duduk di atas wastafel.

"Daddy, look!" Cherry membuka lebar pahanya, dua tangannya digunakan untuk menghapus air mata yang keluar beberapa tetes.

Morgan melihat area sensitif Cherry dan ada bercak darah di sana.

"Aku mencoba mencukur bulunya dengan gunting, tapi aku malah menggunting kulit ku. Ini sakit," rintih Cherry.

Morgan menepuk jidatnya. "Astaga!" Ia semakin dibuat tak habis pikir. "Siapa yang menyuruhmu menggunakan gunting?"

"Lalu harus dengan apa? Mungkinkah menggunakan pencukur janggut mu?" tebak Cherry. Ia menggaruk lehernya yang sedikit gatal.

Morgan menarik kursi kemudian dirinya duduk tepat di depan Cherry. Ia menunduk membuka kabinet bawah dan membawa alat yang ia butuhkan.

"Aku tahu hari ini akan terjadi makanya aku sudah menyiapkan segala keperluan mu di dalam kabinet ini," ungkap Morgan sambil memperlihatkan alat pencukur dan pelembabnya.

"Kamu tidak memberitahuku."

"Kamu tidak bertanya padaku," balas Morgan tak mau kalah.

"Kalau begitu tolong bantu saja aku. Aku tidak bisa melakukannya," pinta Cherry. Ia memegang kedua lututnya agar tetap terpisah jauh.

"Sebelum mencukurnya kamu harus mengoleskan cream supaya saat dicukur nanti tidak sakit," tutur Morgan sembari mempraktekkannya.

Wajah dan tangannya mungkin santai, tapi sesuatu yang tak terlihat karena dikurung dalam sangkar yang rapat sedang tidak santai sekarang.

Dia meronta setelah melihat warna pink murni di depannya.

Morgan mulai mencukur bulu-bulu halus yang kecil di sana.

"Morgan, kenapa telinga mu merah?" Cherry menyentuh telinga Morgan yang merah dan ternyata tidak hanya merah tapi juga sangat panas.

"Jangan menyentuhnya!" Morgan langsung menutup telinganya untuk beberapa saat.

"Hmmm..." Cherry mencoba menerka sebab telinga Morgan memerah dengan otak kecil nan polosnya.

Cherry tersenyum berulang kali memerhatikan Morgan yang begitu serius membantunya.

"Morgan, do you know why my nipples and Miss V are pink?" tanya Cherry iseng.

"Mungkin karena kamu masih muda, memiliki kulit yang putih bersih, dan kamu juga cantik," tebak Morgan.

"No." Cherry menggelengkan kepalanya berulang kali sambil melempar tawa kecil.

"Kalau begitu kenapa?"

"Cause my name is Cherry," jawab Cherry, suara tawanya lebih besar dari sebelumnya.

"Hahaha...." Morgan menggeleng pelan, sama sekali tidak menduga kalau dia akan menjawabnya seperti itu.

"Apa kamu suka dengan nama mu?" tanya balik Morgan.

"Awalnya tidak karena aku memiliki nama buah. Tapi semenjak aku tahu bahwa nama ini kamulah yang memberikannya aku jadi suka nama ini."

"Tapi bolehkah aku tau kenapa namaku Cherry? Kenapa tidak Sophia? Eleanor? Atau mungkin Abigail, atau juga Angel?!"

"Bukankah aku pernah mengatakannya padamu?" Morgan menengadah sebentar untuk melihat wajah Cherry dan ia mendapat gelengan kepala dari gadis itu.

"Waktu itu aku tidak peduli tentang nama mu. Aku hanya menamai mu secara acak dan kebetulan waktu aku menemukan mu itu sedang musim cherry," jawab Morgan jujur.

"Bahkan karena cherry yang sedang aku makan jatuh ke kardus mu lah yang membuat aku bisa menemukan mu," lanjutnya.

"Aku tidak pernah berpikir kalau kamu akan tumbuh sebesar ini dan menjadi gadis cantik. Aku sempat berpikir mungkin kamu akan mati di tanganku. Bagaimana pun aku seorang pria yang sama sekali tidak memiliki pengalaman mengurus bayi, tiba-tiba saja menemukan mu, dan memutuskan untuk merawat mu."

Cherry tertawa menggemaskan. Fakta bahwa dirinya anak yang dipungut dijalanan sekarang tidak lagi membuatnya sakit hati. Apalagi setelah tahu bahwa pria yang memutuskan untuk merawatnya juga seorang yatim piatu yang dipungut panti asuhan.

Makanya setiap kali Morgan berkata bahwa dia tidak berharap dirinya akan hidup sampai detik ini, alih-alih merasa sedih dirinya justru merasa santai saja dengan itu. Toh, dirinya sudah tahu karakter Morgan seperti apa.

Morgan adalah sosok pria yang penyayang meski tidak bisa dipungkiri juga bahwa dia pria si pemilik sikap dingin dan mulut yang selalu blak-blakan.

Cherry mengerang. Pahanya spontan merapat karena jari tangan Morgan masuk ke bagian paling sensitif nya. Ia pun langsung membekap mulut tatkala Morgan menatapnya tajam.

"Itu geli, Morgan," ungkap Cherry seraya perlahan melepaskan tangan yang menutupi bibirnya. Ia berusaha membela diri.

"Tapi rasanya enak," lanjutnya polos. "Itu berdenyut saat kamu menyentuhnya. Tolong sentuh lagi, aku ingin merasakannya lagi."

Morgan memijat keningnya. Masa iya dirinya harus memberikan Cherry edukasi tentang hal-hal sensitif, tapi rasanya ia sangat tidak tahan dengan kepolosan gadis itu.

"Sekarang sudah selesai. Ayo, bersiap berangkat sekolah!" Morgan memangku tubuh Cherry turun dari wastafel.

Cherry menatap dirinya dari pantulan kaca, ia terkekeh geli saat melihat plester bergambar cherry di atas kulit sensitifnya yang terluka.

"Di mana kalung mu?" tanya Morgan, baru menyadari leher gadis itu polos.

"Aku memutuskan untuk menyimpannya di laci," jawab Cherry. Ia berjalan menuju kamarnya dan Morgan mengikutinya di belakang sambil memerhatikan dua belahan mematikan Cherry yang sedang bergerak ke kanan dan kiri.

"Kenapa? Kalau kamu terus memakai kalung peninggalan orang tua mu itu mungkin suatu hari nanti kamu akan bertemu dengan mereka."

Tidak seperti dalam sebuah novel atau film, anak yang ditinggalkan di jalanan akan ditinggalkan dengan sepucuk surat untuk memberitahu nama dan tanggal kelahiran anak itu, atau sejumlah uang di dalamnya.

Justru waktu dirinya menemukan Cherry di dalam kardus, dia terbungkus kain tipis dengan darah dan plasenta yang belum dipotong seakan anak yang baru lahir langsung dibuang, keadaannya sangat menyedihkan, karena itulah dirinya memutuskan untuk merawat Cherry.

Tapi di dalam kardus itu ada kalung dengan liontin berlian berbentuk kupu-kupu berwarna biru cantik. Dulu dirinya sempat menduga kalau Cherry adalah anak seorang wanita kaya raya.

Tapi sampai detik ini dirinya pun belum menemukan siapa orang tua asli Cherry. Jangankan mencari orang tua Cherry, bahkan orang tuanya sendiri pun dirinya tidak tahu.

"Aku tidak ingin bertemu dengan mereka," ujar Cherry ketus. "Untuk apa aku harus bertemu dengan orang yang telah membuang ku?"

"Sampai mati pun aku hanya ingin bersamamu." Cherry melingkarkan tangannya di leher Morgan dan bergelayut manja.

Morgan tertawa ringan. "Kamu tidak bisa seperti ini. Setelah dewasa nanti kamu akan jatuh cinta dan menikah, lalu memiliki keluarga sendiri, dan kamu akan jauh lebih bahagia dari sekarang."

"Tidak mungkin," bantah Cherry. "Kebahagiaan ku hanya ketika bersama mu."

"Karena itulah..., kamu juga tidak boleh menikah dengan siapapun. Kita hidup untuk satu sama lain saja. Setelah dewasa nanti aku bisa menjadi istri mu, Morgan. Toh, kita tidak punya hubungan darah."

"Kalau kamu menikah dengan wanita lain, mungkin aku akan meninggalkan rumah ini, atau mungkin juga bunuh diri."

"Aku tidak bisa hidup tanpa mu." Cherry menyandarkan kepalanya di dada bidang Morgan.

Yang seharusnya menjadi sosok ayah, tapi justru dirinya mencintai Morgan lebih dari seorang anak pada ayahnya. Apa salahnya? Dirinya dan Morgan bukan ayah dan anak asli.

"Oh, iya." Cherry menepuk keningnya teringat akan sesuatu. "Minggu depan temanku akan ulang tahun. Boleh aku datang?"

"Tentu saja boleh. Kenapa tidak?" Morgan membantu memakaikan tas ke punggung Cherry.

"Dia bertanya tentang ulang tahunku juga dan aku bilang aku tidak punya tanggal lahir."

"Kata siapa kamu tidak punya tanggal kelahiran?" sergah Morgan. "Tentu saja kamu punya. Tanggal lahir mu dibuat dari tanggal aku menemukan mu dan itu tanggal tujuh di bulan Juli sama seperti bulan kelahiran ku yang diberikan oleh panti asuhan."

Morgan menyelipkan anak rambut Cherry yang tampak mengganggu pandangan gadis itu.

You Are My Sunshine

Setelah lonceng jam terakhir dinyalakan, para siwa dan siswi berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Di depan gerbang sekolah ada banyak orang tua yang hendak menjemput anaknya ataupun supir yang hendak menjemput anak majikannya, ada juga beberapa siswa yang membawa kendaraan sendiri.

Cherry berdiri sambil memegang kedua strap tasnya. Ia tidak sadar bahwa bibirnya melengkung tinggi hingga membuat dua matanya menyipit karena terlalu fokus memerhatikan anak-anak yang sedang bersama para orangnya.

"Cherry!" Panggilan itu seketika membuyarkan lamunan Cherry. Dia menoleh ke samping, melihat siapa yang telah memanggil namanya.

"Me?" Cherry menunjuk dirinya sendiri dan laki-laki itu mengangguk.

"Masih ingat aku, kan?"

Cherry menunjukkan deretan giginya, dirinya menyesal karena tidak bisa mengingat laki-laki di hadapannya saat ini.

"Aku James, dari kelas sebelah mu. Minggu kemarin kita satu kelompok saat acara sekolah," terangnya.

"Ah!" Mulut Cherry menganga lumayan besar. Sekarang dirinya ingat.

"Kamu ingat, kan?"

Cherry menganggukkan kepalanya. "Tapi, kenapa kamu mencari ku?"

James menundukkan kepala, menyembunyikan senyumnya yang saat ini tengah mengembang. "Sebenarnya tidak begitu penting. Aku hanya ingin memberikan mu ini,-" Tangannya yang disimpan di belakang terulur ke arah Cherry. Di tangannya kini ada satu buket bunga dan coklat berbentuk love yang di bawah pita hiasnya ada sepucuk surat hasil tulisan tangannya sendiri.

James mengangkat kepalanya lagi, telah siap untuk beradu pandang dengan gadis yang kini sedang dirinya sukai. Tapi, nyalinya kembali menciut tatkala melihat pria dewasa bertubuh tinggi di belakang Cherry.

Ia meneguk salivanya. Sial, dirinya memberikan hadiah bukan di waktu yang tepat. Pria di belakang Cherry saat ini adalah ayahnya yang terkenal sangat ketat pada Cherry.

Di belakang Cherry Morgan berdiri tegap, rahangnya yang tegas semakin terlihat lebih jelas ketika ia menatap bocah laki-laki di depannya. Berani sekali dia memberikan hadiah pada putrinya?

Cherry menatap bingung pada James yang tiba-tiba menunjukkan ekspresi ketakutan. Ia sedikit memutar tubuhnya, mencoba mengikuti arah pandangan James.

"Daddy," panggil Cherry riang. Ternyata di belakangnya saat ini adalah Morgan. Pun ia langsung memeluknya, melepaskan rasa penatnya setelah belajar seharian pada pria yang dicintainya.

Sekaligus melepaskan rindu yang terasa sudah menumpuk juga.

Morgan merangkul pundak Cherry. "Thank you for the gift, Boy." Alih-alih Cherry, justru yang membawa semua hadiah dari tangan James itu Morgan.

"Terima kasih, James. Lain kali aku akan memberimu hadiah juga," ucap Cherry sebelum tubuhnya ditarik untuk pergi ke dalam mobil.

"Kapan kamu datang?" tanya Cherry sambil berjalan. Untuk bisa menatap wajah Morgan dirinya harus menengadah. Ia tidak khawatir jatuh meskipun tidak memerhatikan jalan sebab Morgan ada untuk melindunginya.

"Sejak kamu melamun melihat para orang tua dan anaknya," ungkap Morgan lalu membukakan pintu mobil. Sebelum Cherry masuk dirinya menyempatkan diri untuk mengecup kepala gadis itu.

Meski tak diungkapkan, dirinya tahu pasti bahwa di hati kecilnya Cherry pasti menginginkan juga sebuah keluarga yang lengkap seperti mereka.

Pun Cherry masuk ke dalam mobil setelah dibukakan pintu oleh Morgan. Senyumnya belum menghilang setelah dicium begitu lama oleh pria itu. Baginya sekecil apapun perhatiannya maka tetap berharga. Begitu juga Morgan segera masuk ke dalam kursi kemudi.

"Siapa bocah laki-laki tadi?" tanya Morgan sembari memasangkan seatbelt.

"Hanya tetangga kelas," jawab Cherry ringan.

"Dia sepertinya menyukaimu," lanjut Morgan sedikit ketus. Cherry menggelengkan kepalanya, memberitahu Morgan bahwa dirinya tidak tahu menahu tentang hal itu.

"Kamu harus hati-hati terhadap semua bocah laki-laki yang mendekati mu. Jangan jadi wanita yang mudah didekati."

"Tidak ada yang mendekatiku selama aku bersekolah, Morgan. Beberapa temanku mengatakan bahwa pria yang menyukaiku tidak berani mendekati karena mereka takut dengan ayahku dan itu kamu," jelas Cherry panjang lebar. Tapi ketika dirinya menoleh pada Morgan, pria itu seolah mengabaikan apa yang dikatakannya.

Morgan sedang fokus berusaha membuka hadiah yang diberikan anak tadi. Ia tertarik pada sepucuk surat yang ada di atas coklatnya.

"Dear Cherry." Paragraf pertama yang dibaca Morgan membuat dia langsung menoleh pada Cherry. Cherry menatapnya balik tapi dengan ekspresi bingung. Cherry kemudian mengangkat kedua bahunya.

"Izinkan aku sedikit memuji mu sebelum menyampaikan tujuan ku mengirimkan surat ini." Morgan memberikan jeda sebentar. Ia menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan anak sekolah jaman sekarang.

Padahal dulu waktu dirinya masih sekolah, satu angkatan anak laki-laki yang bersamanya tak pernah ada yang memberi surat cinta pada wanita yang disukai. Justru sebaliknya, para wanita lah yang sering datang memberikan hadiah dan surat.

Apa mungkin bocah itu sangat menyukai Cherry sehingga dia memberanikan diri mengirimkan semua ini? Morgan menoleh pada Cherry, menemukan Cherry yang saat ini bersandar sambil memejamkan mata.

Morgan tersenyum memuji wajah cantik Cherry yang tampak lebih damai ketika tidur. Salahkah dirinya protektif padanya? Ia hanya ingin yang terbaik untuk gadis yang ia rawat sejak kecil.

"Lentik bulu matamu, teduh tatapan mu, pipimu yang chubby kadang merah merona, bibirmu yang glossy nan ranum membuat ku terkadang ingin menciumnya. Lekukan tubuh mu yang seperti gitar spanyol tak kalah indah. Kamu wanita sempurna di mataku, Cherry."

Sebelum membaca sampai akhir Morgan meremas kertas itu dan dibulatkan seperti bola kemudian ia lemparkan ke luar mobil.

"Tidak berguna," hardik Morgan. Bocah laki-laki tidak sopan itu harus diberikan peringatan supaya tidak mendekati Cherry lagi. Pun ia membawa mobilnya menjauh dari halaman sekolah.

...*****...

"Ughh...." Cherry menggeliat dalam tidurnya, dua jari telunjuknya dipakai untuk mengucek mata, perlahan ia membuka matanya lalu mengerjap beberapa kali supaya pandangnya lebih jelas. Ia menoleh ke sampingnya.

"Mau makan di restoran?" tawar Morgan, menoleh sekilas pada Cherry.

"Masakan mu juga enak," sahut Cherry sambil tersenyum lebar. "Tapi kalau kamu malas masak, restoran juga boleh. Ke mana pun juga boleh, aku akan mengikuti mu."

Morgan terkekeh, tangan kirinya terulur mengacak-acak rambut Cherry gemas.

"Masakan seorang ibu akan lebih enak dari masakan siapapun."

"Kalau kamu mau ibu, aku bisa memberikan mu satu," lanjut Morgan dan terkekeh dengan ucapannya sendiri.

Cherry tertawa lantang. "Siapa? Bukankah kemarin kamu baru saja putus dengan kekasih mu yang ke seratusnya? Nasib mu di dunia percintaan sangat sial."

Morgan hanya tersenyum tak membantah. Toh, yang Cherry katakan itu benar. Memangnya apa alasan dirinya hingga saat ini masih menjadi single daddy? Itu karena tidak ada wanita yang mau menjadi ibu untuk Cherry.

Entah sebuah kutukan atau memang takdirnya yang sial, tapi hingga saat ini dirinya selalu gagal jika dalam masalah wanita. Satu-satunya yang belum ia miliki dan ingin dimiliki adalah wanita.

Entah di mana salahnya, entah di mana kurangnya, tapi semua wanita yang pernah dirinya kencani tak pernah ada yang mau diajak hidup bersama sampai tua nanti. Seakan mereka bersama hanya untuk uangnya saja.

Hingga saat ini hanya Cherry seorang yang pernah mengatakan ingin sehidup semati bersama dirinya.

"Aku tidak butuh ibu," celetuk Cherry, tatapan matanya fokus melihat mobil-mobil di depannya. "Kamu saja sudah cukup bagi ku."

"Hiduplah untuk satu sama lain tanpa harus ada orang lain di antara kita."

Morgan tersenyum diiringi hati yang menghangat karena ucapan gadis itu.

"You are my sunshine...."

Morgan langsung menoleh pada Cherry kala gadis itu bernyanyi. Ekspresi wajahnya tampak riang bahagia. Ia pun tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum menikmati lagu yang favorit Cherry.

"My only sunshine, you make me happy, when skies are gray. You'll never know, dear, how much I love you, please don't take, My sunshine away." Cherry menutup bibir dengan dua tangannya, malu setelah bernyanyi dengan suara miliknya yang alakadarnya.

"Tampaknya kamu sangat bahagia, Baby Girl," komentar Morgan sambil terkekeh ringan.

"Iya, aku memang sedang bahagia," jawab Cherry manja. Ia menganggukkan kepalanya antusias, tapi tatapannya masih tertuju ke depan sana daripada menatap Morgan yang sedang menatapnya juga.

"Bahagia karena apa? Karena siapa? Mungkinkah karena bocah laki-laki tadi?" tebak Morgan, pertanyaan terakhirnya sedikit ketus.

Pertanyaan Morgan itu langsung dijawab gelengan kepala oleh Cherry.

"Its you, its always you," jawab Cherry dengan sebuah nyanyian. Dia menjentikkan jarinya lalu dua jarinya membentuk seperti sebuah pistol dan menunjuk Morgan, tak lupa sebelah matanya berkedip saat menghadap pada pria itu.

Saat itu juga Morgan tertawa lebih keras.

"Suaramu bagus, Cherry. Kalau kamu ingin menjadi superstar mungkin akan mudah bagimu untuk meraihnya."

"Aku tidak menginginkannya," jawab Cherry santai. Siapapun yang melihat wajahnya saat ini pasti akan yakin kalau dirinya benar-benar tidak berminat untuk menjadi superstar.

"Lalu apa cita-citamu sekarang? Masih kekeh ingin menjadi wanita karir mengikuti jejak ku?"

"Sekarang tidak lagi," jawab Cherry sambil menggelengkan kepalanya.

"Kini aku bercita-cita menjadi pemilik panti asuhan terbesar di dunia sehingga aku bisa menampung semua anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya karena alasan apapun."

"Dan aku akan menjadi ibu untuk mereka. Aku akan merawat mereka dengan sangat baik dan adil sehingga mereka tidak merasa kekurangan kasih sayang sedikitpun walaupun mereka hidup di panti asuhan."

"Aku ingin melakukannya seperti yang sekarang kamu lakukan padaku," tukas Cherry barulah ia menoleh lagi pada Morgan.

Morgan memberhentikan mobilnya tepat di depan sebuah restoran.

Morgan melepaskan sabuk pengamannya, tubuhnya sedikit condong ke arah Cherry. Jarak di antara mereka semakin dekat, aroma parfum Cherry menyelimuti indera penciumannya. Tangannya terulur menarik tubuh Cherry untuk masuk ke dalam pelukannya.

Bibirnya maju, niatnya jelas sekali untuk mengecup kening gadis itu, namun sebelum niatnya terlaksana, Cherry sudah lebih dulu bertindak.

Dengan gerakan yang begitu cepat dan penuh keyakinan, Cherry mengangkat wajahnya. Matanya yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini memancarkan kedalaman emosi yang tak pernah Morgan lihat sebelumnya.

Saat itu juga bibirnya yang lembut menyentuh bibir Morgan, mengejutkan pria itu sejenak.

Morgan terkesiap. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak. Ciuman itu bagaikan aliran listrik yang menyambar seluruh tubuhnya.

Berbanding terbalik dengan wajah Cherry yang bahagia, bahkan meski bibirnya masih menempel ia tetap tersenyum. Ia pun menjatuhkan dirinya ke pelukan Morgan.

"Kamu mencuri start," celoteh Morgan memeluk Cherry erat. Ia mengecup pipi gadis itu, menyalurkan rasa bahagia dan haru yang sedang dirasakan hatinya saat ini. Ia bangga pada niat baik Cherry. Meski sedikit terkejut juga karena ciuman mendadak dari gadis itu.

Tapi ia tidak bisa membantah kalau bibir gadis itu terasa manis.

Bathtub

"Daddy!" Cherry menuruni anak tangga sambil memanggil sang ayah. Matanya menyusuri seluruh ruangan tapi Morgan tak terlihat di mana pun. Ia tersenyum penuh makna, yakin kalau saat ini Morgan sedang di kamarnya.

"Aduh!" Karena tak berhati-hati kaki kirinya terkilir yang membuat tubuhnya langsung jatuh dari anak tangga ke dua dari yang paling bawah. Tubuh Cherry ambruk dan tengkurap di lantai.

"Ya ampun, betapa sialnya aku...," rintih Cherry sambil berusaha bangkit. Ia duduk untuk memeriksa kakinya, tidak berdarah ataupun memar, hanya merah tapi menyakitkan. Pun ia berusaha untuk berdiri dengan sisa tenaga yang ada, berjalan tertatih-tatih ke arah kamar Morgan.

"Morgan!" panggil Cherry, tapi untuk kesekian kalinya pria itu tak kunjung menjawab. Cherry melihat pintu kamar mandi terbuka, dugaannya tidak salah lagi pria itu pasti sedang mandi.

Cherry perlahan membuka seluruh pakaiannya, tak terkecuali bra maupun celana dalamnya, sehingga dirinya sekarang berjalan ke arah kamar mandi dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun.

"Morgan!" Cherry berkacak pinggang di samping Morgan yang sedang rebahan di bathtub sambil memejamkan mata.

Morgan buru-buru membuka matanya dan pandangnya tertuju ke arah langit-langit. Jangan bilang kalau Cherry datang tak berbusana lagi untuk mandi bersamanya?

Morgan menoleh ke sampingnya dan langsung kembali menutup mata. Sialnya..., karena yang ia takutkan tetap terjadi.

Cherry masuk ke dalam bathtub, duduk bersebrangan dengan Morgan, dua tangannya di simpan di samping bathub.

"Kenapa kamu memakai celana dalam? Mandi kan harus telanjang?!" tanya Cherry masih sambil memerhatikan tubuh Morgan yang kekar.

Hot seperti sugar daddy yang sering berlalu lalang di sosial medianya. Beruntung sekali karena dirinya punya satu di rumah. Tak akan ia biarkan Morgan menjadi milik orang lain.

"Karena aku tahu kamu akan datang ke sini." Perlahan Morgan membuka mata, mencoba untuk hanya menatap manik mata gadis itu, dan tidak menatap ke arah lainnya.

Morgan meletakkan siku tangan kanannya di atas marmer bathub, jari telunjuknya mengusap bawah hidung, serta mengulum bibirnya berulang kali kala melihat Cherry di depannya.

"Memangnya kenapa kalau aku datang ke sini? Sejak aku kecil kita kan sudah terbiasa mandi bersama," tanya Cherry sedikit ketus. Bibir bawahnya sedikit maju bersamaan dengan dua alisnya yang mengerut, menunjukkan rasa kesalnya karena Morgan bertingkah seakan tak mau mandi bersamanya.

Morgan mendengus pelan. "Cherry, aku sudah sering peringatkan padamu, kamu sudah dewasa, jadi kita gak bisa mandi bareng lagi seperti waktu kamu masih kecil. Paham, kan?" Sebelah alis Morgan terangkat, menatap dalam manik mata Cherry.

"Huft!" Cherry membuang muka dari pria itu.

Morgan tersenyum datar. Mungkin ini salahnya juga karena terlalu memanjakan gadis itu, tapi dirinya mengira kalau Cherry sudah dewasa maka dia akan mandiri, dan tidak akan lagi serba dilakukan bersama dirinya. Namun, yang terjadi justru di luar dugaannya.

Dari dulu hingga saat ini, jika ada kesempatan maka Cherry selalu merengek mandi bersama ataupun sekedar tidur bareng.

Mungkin juga bukan Cherry yang bermasalah, tapi dirinya sendiri. Ia sadar kok bukan ayah yang baik untuk Cherry. Jika dirinya seorang ayah yang baik mungkin tidak akan pernah terangsang karena melihat tubuh anaknya sendiri.

Dan semua perasaan yang ada dalam benaknya saat ini terjadi karena dalam pikirannya tertanam pemikiran bahwa Cherry bukanlah darah dagingnya sendiri. Baik dirinya maupun Cherry hanyalah dua orang asing yang tinggal di satu atap.

"Janji ini yang terakhir?" Morgan mengulurkan jari kelingkingnya tapi Cherry hanya menatapnya.

"Tidak mau," tolaknya tegas, menyilangkan tangan di dada, dan tak mau bersitatap bersama Morgan.

"Memang apa salahnya kita mandi bersama? Kamu kan ayahku. Semua anak pasti senang bisa mandi bareng bersama orang tuanya," jelas Cherry masih dengan ekspresi cemberut nya.

Morgan kembali menyandarkan tubuhnya. "Di saat seperti ini saja kamu menganggap ku ayahmu," gumamnya membuat Cherry langsung tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi.

"Ack!" ringis Cherry, memegang ujung dagunya yang tiba-tiba terasa perih seakan tertarik saat dirinya senyum.

"Ada apa?" Morgan spontan condong melihat kondisi wajah Cherry yang tampak kesakitan.

"Tadi aku jatuh di tangga. Daguku terbentur ke lantai dan kakiku juga sakit," aku Cherry seraya memajukan dagunya supaya Morgan bisa melihat lukanya.

Morgan semakin mendekat, memegang ujung dagu Cherry yang memerah, dan ada sedikit kulit yang terkelupas juga. Ia meniupnya. "Setelah mandi nanti kita obati."

"Sekarang mana lihat kakimu yang sakit?"

Cherry langsung mengangkat kakinya, membuat air berjatuhan dari kaki tersebut, kini telapak kakinya menyentuh dada bidang Morgan. Untuk sesaat pria itu terkesiap dengan tindakan tak terduga Cherry. Cherry yang melakukannya tersenyum lebar penuh kepuasan.

Morgan mengambil kaki Cherry dari dadanya.

"Huft," rintih Cherry merasa sakit ketika kakinya di sentuh.

"Suaramu, Cherry!" peringat Morgan. Lebih baik menjerit keras daripada mendengar Cherry mendesah.

"Kamu memegangnya tidak hati-hati. Kakiku masih sakit," gerutu Cherry tak menerima ditegur. Dirinya juga tidak mengeluarkan suara secara disengaja, itu spontan keluar karena Morgan menyentuh kakinya tidak hati-hati.

"Sorry!" Pun Morgan memegang betisnya daripada telapak kaki gadis itu. "Apa bagian ini yang sakit?" Ia menunjuk bagian dua mata kakinya dan Cherry mengangguk membenarkan.

Dengan jari-jarinya yang tak lembut Morgan mencoba untuk memijat kaki Cherry yang terkilir, jari-jarinya berusaha untuk lembut menyusuri betis hingga pergelangan kaki gadis itu.

Cherry menggigit bibir bawahnya kuat, menahan rintihan kesakitan. Takut jika tiba-tiba mengeluarkan suara desahan lagi ia pun membekap mulutnya, matanya terus tertutup dan terbuka karena rasa sakit yang justru rasanya semakin menjadi-jadi.

Tatapan Morgan terpaku pada kaki Cherry yang memerah. Kulitnya lembut nan halus di bawah sentuhannya.

Terkadang pikirannya membayangkan suatu hari nanti kaki ini akan disentuh oleh pria lain yang akan menjadi kekasih Cherry di masa depan, tapi entah kenapa hatinya selalu sulit untuk menerima hal itu, rasanya ia tidak rela kalau suatu hari nanti Cherry yang dirawatnya sejak kecil ketika dia dewasa justru disentuh pria lain.

Perlahan, pandangan Morgan teralihkan pada wajah Cherry yang terlihat jelas sedang menahan rasa sakit.

"Apa sangat sakit? Mungkin sebaiknya kita pergi ke rumah sakit saja," tanya Morgan untuk sesaat berhenti memijat kaki Cherry.

"Rasa sakitnya berkurang semenjak kamu memijatnya. Tolong lanjutkan saja," pinta Cherry. Karena kakinya yang terangkat sebelah rasanya air dingin di dalam bathtub masuk ke dalam bagian sensitifnya.

Morgan menghela napas. Ia tahu pijatannya belum tentu efektif, mengingat dirinya tidak punya riwayat tukang pijat, tapi setidaknya ia sudah berusaha. Kembali, ia melanjutkan pijatannya dengan lembut, berharap bisa meredakan rasa sakit kakinya Cherry.

"Lain kali tolong hati-hati! Bukan sekali dua kali kamu jatuh di tangga karena kecerobohan mu," tegur Morgan dengan lembut dan perhatian.

"Haruskah kita memasang lift di rumah supaya kamu tidak sering jatuh di tangga?" tawar Morgan.

"Tapi terkunci di dalam lift lebih menakutkan daripada terjatuh di tangga. Kalau kamu gak mau melihat aku sering jatuh, kamu bisa menggendongku setiap kali aku mau turun."

Cherry bertepuk tangan sekali tapi sangat antusias. "Kenapa kita tidak sekamar saja, iya, kan? Itu lebih mudah." Cherry tersenyum lebar. Akhirnya, ia punya alasan kuat untuk bisa sekamar bersama Morgan.

"Ide buruk. Tidur mu tidak ramah lingkungan, Cherry. Kamu bergerak seperti baling-baling helikopter. Mungkin aku akan selalu ditendang oleh mu," celoteh pria itu sambil terkekeh.

Tentu saja itu hanya alasan bodoh, alasan sebenarnya tidak mungkin ia beritahukan pada Cherry kenapa dirinya tidak mau sekamar dengannya.

Karena dia sudah menjelma menjadi gadis dewasa tentu itu juga menjadi salah satu alasannya, tapi alasan utamanya tidak ingin sekamar dengan Cherry itu karena jika sekamar mungkin dirinya tidak bisa lagi membawa wanita ke kamarnya.

Secara membawa wanita bayaran adalah rutinitasnya yang tak mungkin ia absen dalam seminggu sekali.

Adapun jika ia memilih kamar atas dan Cherry berada di kamar bawah, kemungkinan Cherry memergoki dirinya yang sedang bercinta akan lebih besar peluangnya.

Bibirnya Cherry di tarik ke sebelah kanan, ia menatap kesal pada pria di hadapannya saat ini. Pun ia menarik kakinya dari tangan Morgan.

"Sudah cukup, rasanya semua air masuk ke dalam sini." Dengan entengnya Cherry menunjuk bagian tengah tubuhnya.

Morgan tidak sadar mengikuti ke mana arah jari Cherry menunjuk, setelah melihatnya barulah ia sadar, dan segera berpaling. Lagi-lagi si pink itu berulah.

Morgan mengambil spons dan mulai menggosok seluruh bagian tubuhnya tanpa terkecuali. Cherry memerhatikan tanpa berkomentar sedikit pun, tapi saat melihat Morgan kesulitan untuk menggosok punggungnya, tangannya segera terulur ke arah pria itu.

Morgan menatap tangan Cherry, bingung dengan maksud Cherry yang tiba-tiba mengulurkan tangannya.

"Mau aku bantu?" tawar Cherry, suara lembutnya memecah keheningan di dalam kamar mandi ini.

"Oh?" Sepersekian detik Morgan menghabiskannya dengan hanya menatap Cherry. "Tentu, terima kasih." Ia menyerahkan spons nya pada Cherry kemudian menghadapkan punggungnya ke gadis itu.

Cherry menerima spons itu dan mulai menggosok punggung Morgan dengan lembut dan ditambahkan sedikit pijatan.

Morgan memejamkan matanya, menikmati sentuhan tangan Cherry yang menenangkan. Rasanya ia lebih rileks dari sebelumnya. Ia menikmati sensasi dari sentuhan tangan halus Cherry.

Kalau tidak malu dirinya ingin meminta supaya Cherry juga memijat kepalanya.

Cherry merubah posisi duduknya, dia menekuk lututnya agar lebih tinggi sehingga bisa meraih leher Morgan serta menggosok dadanya juga. Tubuhnya sedikit membungkuk untuk bisa menggosok dada Morgan.

Tanpa disadari dua bukit lembut nan kenyal di dadanya bersentuhan dengan punggung Morgan. Sentuhan itu berubah menjadi sebuah gesekan berulang saat Cherry semakin menggosok ke bawah dadanya.

Sebagai pria normal tentu saja saat ini tubuh Morgan langsung menegang. Sensasi panas menjalar ke seluruh tubuhnya, tak terkecuali dua daun telinganya.

Ia membuka matanya. Ingin menghentikannya tapi ia terlalu menikmati ini sehingga rasanya mulutnya terkunci. Detak jantung Morgan tak terkendali, begitu juga dengan hembusan napasnya yang semakin terdengar jelas.

Sentuhan benda kenyal itu membangkitkan sesuatu yang terpendam dalam dirinya.

"Morgan, kenapa daun telinga mu merah?" tanya Cherry menyentuh dua daun telinga Morgan yang merah matang. Ia tidak menyadari ulahnya sendiri.

"Jangan disentuh. Biarkan saja!" Perlahan Morgan menarik tangan Cherry supaya tangan itu terlepas dari daun telinganya.

Setelah Cherry selesai menggosok punggungnya, pun Morgan kembali membalikkan badannya. Kini mereka saling berhadapan dengan jarak lebih dekat.

"Boleh aku bertanya?" tanya Morgan dengan suara deepnya yang khas.

Cherry terdiam seakan terhipnotis tatapan Morgan, meski begitu kepalanya mengangguk memberi izin untuk Morgan bertanya padanya.

"Kenapa dua bukit mu besar? Aku pikir di seusia mu itu akan memiliki ukuran kecil. Melihat dari tubuh mu juga seharusnya ini tak begitu besar. Apa kamu menyuntikkan sesuatu ke dalamnya?!" Dua tangan Morgan yang tadi menunjuk dua bukit Cherry kini di simpan di atas pahanya sendiri.

"Ini alami, Morgan." Dengan polosnya Cherry justru memegang keduanya dan dipamerkan pada pria di depannya.

"Guru ku pernah bilang anaknya terkena kanker payudara dan dokternya memberikan nasihat agar setiap mandi harus memijatnya untuk menghindari kanker tersebut dan guruku memberi peringatan juga pada murid-muridnya, termasuk aku."

"Selain itu juga aku sering memakai bra yang membuatnya lebih padat, aku menjaga pola makan ku, dan tidak lupa selalu memberinya pijatan dengan minyak zaitun, dan hasilnya seperti ini. Indah, bukan?"

"Aku melakukannya untuk mu."

"What?" pekik Morgan. Siapa yang tidak tercengang dengan ucapan terakhir Cherry? Tiba-tiba saja dia mengaku melakukan semua itu untuk dirinya.

Cherry mengangguk yakin. "Kamu kan pernah bilang kalau kamu suka dua bukit besar yang mulus, berisi, dan alami, makanya aku melakukan semua ini agar kamu menyukainya."

Tangan Cherry masuk ke dalam air. Mata Morgan perlahan terbuka lebar tatkala merasakan sentuhan lembut di tangannya.

Morgan melihat wajah Cherry dan mendapati bibir gadis itu tengah tersenyum lebar.

"Kalau kamu mau, kamu boleh kok menyentuhnya," ujar Cherry dengan suara yang tertahan.

Lagi lagi Morgan dibuat tertegun dan jantungnya kembali berdebar tak karuan. Ia menatap dua tangannya yang semakin digenggam erat Cherry. Dengan perasaan pasrah, tatapan ragunya mengikuti gerakan Cherry yang mengangkat dua tangannya perlahan-lahan keluar dari air.

"Kebetulan hari ini aku belum memijatnya, jadi kamu bisa sekalian membantu ku," lajut Cherry diakhiri dengan menggigit bibir bawahnya saat tangan kekar Morgan ia letakkan di atas dua bukit nya.

Morgan menelan ludahnya. Ia masih belum percaya dengan yang sedang terjadi. Dengan hati-hati ia meremasnya. Jari-jarinya menyentuh permukaan yang begitu lembut nan kenyal yang tadi dirasakan punggungnya.

Morgan menatap wajah Cherry, mendapati dia sedang memejamkan mata sambil menggigit kuat bibirnya.

"Hhh!" Tanpa sengaja suara itu lolos dari bibir ranum Cherry

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!