Bell istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu, biasanya, di jam seperti ini, Nana dan juga sahabat-sahabatnya akan berkumpul di kantin. Namun kali ini Nana tidak ikut bergabung dan lebih memilih berdiam diri dikursi depan kelas sambil membaca novel yang baru kemari ia beli.
Ditengah asiknya membaca, sebuah tepukan di pundaknya membuat ia mau tak mau menoleh untuk melihat siapa yang mengganggunya, hanya sekilas sebelum kemudian kembali memfokuskan diri pada novel di tangannya.
“Bukannya Aldo masih pacaran sama lo, ya, Na?” tanya Sisil, teman sekelas dan sebangkunya. Nana hanya membalasnya dengan deheman kecil tanpa menoleh.
“Barusan gue di kantin sama yang lain, terus Aldo lagi sama cewek kelas sebelah lagi makan berdua sambil suap-suapan," kata Sesil memberi tahu.
“Maksud lo sama Sandra anak IPS 2?” tebak Nana, tanpa mengalihkan pandangannya dari Novel yang ia baca.
“Bukan, anak IPA 3 yang gue liat di kantin barusan. Gak tau juga gue namanya siapa, tapi gue sering liat cewek itu di kelas IPA 3,” jelas Sisil.
“Oh, mungkin yang baru lagi itu." Nana menjawab dengan santai.
“Kok, lo bisa sesantai itu, sih, tahu pacar lo sama cewek lain? Emangnya lo gak cemburu gitu, Na?” tanya Sisil bingung melihat reaksi sahabatnya itu.
Nana menghela napas pelan, lalu menatap sahabatnya. “Lo pasti tau jawaban gue Sil, udah biarin aja dia ngelakuin apa yang dia suka, gue gak mau ngebatasin gerak dia."
Bukan hanya sekali dua kali Nana mendengar bahkan melihat pacarnya itu bermesraan dengan perempuan lain. Mungkin orang mengira bahwa Nana terlalu bodoh karena mau-mau saja mempertahankan laki-laki seperti itu, tapi Nana tidak menghiraukan apa kata orang, toh dia yang merasakan. Orang lain hanya bisa menilai tanpa tahu apa yang sebenarnya.
Narana Agatha Titania. Namun lebih akrab di panggil Nana oleh teman dan keluarganya, ia adalah Murid kelas XII IPS 1 di SMA MAWAR. Nana bukan lah salah satu golongan gadis cantik yang popular disekolahnya, tapi gadis berwajah manis itu termasuk golongan murid pintar. Meskipun bukan penyandang peringakat pertama, setidaknya ia selalu berada diperingkat ketiga berturut-turut sedari kelas X dulu.
Nana bukanlah perempuan pendiam dan kutu buku yang suka menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Ia memang menggunakan kaca mata, tapi bukan pemakai permanen, ia hanya menggunakannya sesekali, saat membaca atau belajar saja.
Nana juga bukan lah perempuan yang lemah lembut dan menerima begitu saja saat ada orang yang mengusiknya. Jangan pernah memandang wanita yang tidak banyak bicara ini lemah, karena jika dirinya sudah merasa terusik maka siap-siap saja untuk merasakan kemurkaannya.
“Na, itu cewek yang tadi sama Aldo dikantin," tunjuk Sisil pada perempuan di depan sana yang tengah berjalan anggun menuju kelasnya.
Wajah cantik dengan kulit putih dan rambut hitam agak bergelombang, serta polesan make up natural membuat perempuan itu terlihat semakin cantik dan menarik.
“Cantik," puji Nana saat melihat perempun itu.
“Selera Aldo memang tinggi, dia selalu mengencani perempuan-perempuan cantik” lanjut Nana dengan santai. Sisil menatap tak percaya pada sahabatnya itu.
“Lo juga gak kalah cantik, Na dari perempuan itu,”
"Gue gak secantik mereka Sil," bantah Nana.
"Ya, emang sih, tapi ..."
“Udah ah, yuk, masuk kelas, bentar lagi bel,” ucap Nana lagi sambil menarik sahabatnya itu masuk ke dalam kelas.
Dan benar saja baru beberapa menit mereka duduk di bangku masing-masing bell berbunyi dengan nyaring dan sekarang semua murid di kelas IPS 1 ini tinggal menunggu guru yang bertugas mengisi pelajaran hari ini datang.
Sudah lima belas menit berlalu guru yang mereka tunggu tidak juga datang, hingga suara ketukan pada pintu membuat kelas yang awalnya gaduh menjadi hening seketika.
Dua orang laki-laki berseragam putih abu masuk ke dalam kelas dengan tampannya, serta senyum manis menghiasi wajah keduanya, kemudian berdiri di depan, membelakangi papan tulis.
“Assalamuallaikum wr. wb.” Salam keduanya yang dibalas oleh seluruh siswa kelas IPS 1 ini.
Nana yang awalnya tengah fokus membaca teralihkan saat mendengar suara yang sangat ia kenal. Nana menatap kearah suara tersebut dan melihat bahwa di depan sana ada Aldo, kekasihnya dan juga Rizki, sahabat kekasihnya itu. Nana mengerutkan kening, bingung dan bertanya-tanya apa yang sedang kekasihnya itu lakukan di kelasnya.
“Perkenalkan nama gue Aldo, cowok paling ganteng di sekolah ini,” ucapnya dengan percaya diri. Dan mendapat sorakan dari seluruh murid kelas IPS 1.
“Dan gue Rizki, cowok terganteng kedua disekolah ini,” ucap satu lagi laki-laki yang berdiri di depan sana. Dan sorakan kembali terdengar.
“Kalian mau ngapain sih kesini, bikin rusuh kelas gue aja lo pada,” ucap sang ketua kelas.
“Oke, berhubung bapak ketua kayaknya sudah tidak sabar, maka saya akan langsung menyampaikan apa maksud dan tujuan saya dan rekan saya datang kemari,” ucap laki-laki berseragam acak-acakan itu sok berwibawa.
“Saya mendapat amanat dari bapak Gino si gigi nonghol bahwa hari ini beliau tidak bisa mengajar dikarenakan ada keperluan yang mendadak. Maka dari itu saya selaku yang diberi amanat menyatakan bahwa hari ini kalian free!” lanjutnya lagi.
Seluruh murid kelas IPS 1 bersorak gembira mendapatkan kabar itu. Namun tidak dengan Nana, kini gadis itu masih fokus menatap kearah Aldo yang sedari tadi juga menatapnya.
“Udah kali tatap-tatapannya, nanti loncat tuh mata," kata Rizki menyindir Aldo dan Nana, membuat seluruh murid yang ada dikelas itu berhenti bersorak dan menatap Rizki lalu mengikuti pandangan mata Aldo yang terarah pada Nana.
Mereka menatap keduanya secara bergantian, hampir semua murid SMA MAWAR mengetahui bahwa keduanya adalah sepasang kekasih, apa lagi kelas IPS 1 ini tahu bagaimana hubungan keduanya. Kelas menjadi sunyi, semua yang ada di sana menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi kepada sepasang kekasih yang kini sedang saling menatap itu.
“Woy, udah kali, gak pegel apa tuh mata!” teriak Rizki yang sudah pegal melihat pemandangan ini. Namun keduanya masih tetap tidak menghiraukan, keduanya masih saling menatap , entah apa arti tatapannya itu, yang jelas hanya kedua orang itu lah yang tahu. Aldo berjalan menghampiri Nana yang duduk dibangku paling belakang dengan masih menatap kekasihnya itu, tatapan semua murid kelas IPS 1 mengikuti langkah Aldo yang kini sudah berhenti di depan Nana yang kini mendongak menatap Aldo.
“Yang, nanti pulang sekolah gue nganterin Shasa dulu, ya?" ucap Aldo tanpa memutuskan tatapannya.
“Shasa? Yang tadi lo ajak mesra-mesraan di kantin?” tanya Nana menebak, lalu di balas anggukan oleh laki-laki itu. “Nganterin kemana? Salon, mall, toko buku, atau kerumahnya?”
“Mall dulu baru nganterin dia pulang kerumahnya,” jawab Aldo jujur. Nana mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
“Lo gak apa-apa kan pulang sendiri?” Aldo bertanya untuk memastikan.
“Gue bukan cewek manja yang kemana-mana harus dianterin,” jawab Nana sarkatis. Aldo terkekeh mendengar jawaban kekasihnya itu lalu mengacak gemas rambutnya.
“Kenapa lo gak marah gue nganterin cewek lain, sedangkan lo sendiri adalah pacar gue?”
“Terus lo pengen gue marah-marah gitu?”
“Ya, seenggaknya lo cemburu gue nganterin cewek lain, gue kan pacar lo, Na,”
“Pengen banget lo, gue cemburuin? Sorry, gue bukan lagi cewek lemah yang bisanya cuma nangis ngeliat cowoknya jalan sama cewek lain, waktu gue terlalu berharga hanya untuk melakukan hal bodoh kayak gitu,” ucap Nana tajam. Aldo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu pamit kepada kekasihnya itu untuk kembali kekelasnya dan menjawil hidung mancung kekasihnya itu sebelum benar-benar meninggalkan kelas IPS 1.
Semua murid kelas IPS 1 beserta Rizki menyaksikan semuanya. Mereka melongo mendengar obrolan sepasang Kekasih itu. Beberapa orang membenarkan ucapan Nana. Ya, untuk apa membuang-buang waktu menangisi semua itu, toh suatu saat juga pasangan akan menyadari mana yang pantas di pertahankan dan mana yang pantas ditinggalkan.
Jangan mau menjadi lemah hanya karena cinta. Sebenarnya cinta itu adalah sesuatu yang sederhana, hanya diri kita sendiri lah yang membuat semuanya menjadi rumit.
Namun tidak semua yang berpikir seperti ini, banyak juga orang yang menganggap Nana tidak benar-benar mencintai Aldo, tapi Nana tidak pernah peduli komentar-komentar orang seperti itu, ia hanya menanggapinya dengan santai, toh, dia juga tidak merepotkan mereka.
Bel pulang sekolah telah berbunyi, Nana dan Sisil segera memasukan buku-bukunya kedalam tas, lalu berjalan beriringan keluar kelas menuju gerbang sekolah, menunggu angkutan umum yang akan mengantarkan mereka pulang kerumah.
“Na, liat tuh cewek yang dibonceng cowok lo, erat banget itu meluknya,” tunjuk Sisil saat melihat motor kekasih sahabatnya itu melintas melewati mereka.
“Biarin aja Sil, gue gak mau ambil pusing soal mereka,” jawab Nana cuek.
Sisil menghela napas kasar, tidak tahu bagaimana pemikiran sahabatnya itu, dia terlalu santai menghadapi semuanya. Mungkin jika dirinya yang berada diposisi Nana, ia sudah pasti akan melabrak cewek itu dan menampar wajah tampan Aldo.
Sisil salut kepada sahabatnya itu, ia begitu tegar meski tahu bahwa kekasihnya itu berselingkuh bahkan secara terang-terangan. Namun meskipun begitu Sisil tahu, pasti ada sisi rapuh dari sahabatnya itu, hanya saja Nana pandai untuk menyembunyikannya.
Hari minggu ini Nana menghabiskan waktu liburnya dirumah, bermalas-malasan di dalam kamar sambil membaca novel. Nana hanya akan keluar jika dirinya sudah lapar. Lagi pula di rumah tidak ada siapa-siapa, bundanya pergi kerumah sodaranya dan Abangnya pergi untuk mengurusi cafenya.
Di tengah asiknya membaca buku fiksi itu Ponsel Nana berdering, menandakan ada pesan yang masuk, dengan malas, Nana mengambil ponsel tersebut dan membukanya.
From: Kesayangan gue❤
Yang, lo ada dirumah gak?
To: Kesayangan gue ❤
Ada.
From: Kesayangan gue ❤
Oke, satu jam lagi gue nyampe, lo mau dibawain apa?
To: Kesayangan gue ❤
pizza
Nana tersenyum mendapat pesan singkat itu, meskipun Nana terlihat cuek dan masa bodo, tapi ia tetap mencintai dan menyayangi kekasihnya, perasaannya tidak pernah berubah dari dua tahun yang lalu.
Nana sebenarnya bukan tidak peduli dengan kekasihnya itu, ia hanya tidak mau terlalu mengekang Aldo, Nana membiarkan kekasihnya itu bebas, dan menjalani masa-masa remajanya sesuai dengan kemauannya sendiri. Selama itu tidak melewati batas, maka Nana akan membiarkannya.
Tepat satu jam seperti yang di ucapkannya, laki-laki itu sampai di depan rumah Nana. Saat mendengar bel berbunyi, Nana bergegas keluar dari kamarnya, membukakan pintu untuk Aldo dan menyuruhnya untuk masuk dan duduk disofa ruang tengah. Sementara Nana berjalan menuju dapur, mengambil minuman untuk kekasihnya itu.
“Bunda kemana, Yang?” tanya Aldo saat Nana ikut duduk disampingnya dan menyuapkan potongan pizza pertamanya.
“Kerumah Tante Yanti,” Jawab Nana seadanya. Aldo mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
“Abang lo?”
“Biasa ngurusin cafenya,” Jawab Nana lagi masih asik dengan pizza di pangkuannya.
Aldo memperhatikan kekasihnya yang lahap memakan pizza yang tadi ia bawa.
Aldo akui bahwa Nana tidaklah secantik perempuan-perempuan yang selalu mendekatinya, tapi entah kenapa Aldo sangat mencintai kekasihnya yang sederhana ini.
Nana selalu tampil natural dan apa adanya tanpa polesan make up, paling hanya memakai lipbalm untuk menjaga bibirnya agar tidak kering.
“Yang, kenapa lo gak pernah dandan?” tanya Aldo penasaran. Pasalnya selama dua tahun mereka berpacaran tidak sekalipun ia melihat kekasihnya itu memoles wajahnya dengan make up seperti kebanyakan perempuan lain.
“Gue gak pake make up aja udah cantik. Kalau gue pake make up, nanti lo makin kelepek-kelepek liat gue yang jadi lebih cantik, gue kasian sama selingkuhan-selingkuhan lo itu, nanti mereka minder karena kalah cantik dari gue," jawab Nana penuh percaya diri. Aldo melongo mendengar jawaban super PD kekasihnya itu.
"Lo abis dari mana tadi?” Nana bertanya saat sudah menghabiskan pizzanya.
“Biasa nongkrong sama Rizki, Dino, Ridho sama Dava juga.”
“Gak jalan-jalan sama cewek lo?”
“Ini cewek gue lagi duduk disamping gue,”
Nana memutar bola matanya, lalu menyandarkan kepalanya di bahu kiri Aldo. “Maksud gue, sama cewek lo yang lain,” ucap Nana.
“Cewek gue cuma satu, yaitu lo. Yang lain temen main doang,” ucap Aldo meluruskan.
“Jahat banget lo, mainin perasaan mereka. Cewek itu mahluk lemah yang harus dilindungi dan di sayangi bukan malah disakiti,” dengus Nana.
“Gue gak mainin perasaan mereka, tapi merekanya aja yang nempel-nempel terus sama gue. Dan gue sebagai laki-laki yang baik menghargai mereka yang ngedeketin gue. Toh, hampir seluruh murid di SMA MAWAR juga tahu kalau pacar gue dari dulu adalah lo. Merekanya aja yang gak tahu malu ngedeketin cowok yang jelas-jelas udah punya pasangan,” ucap Aldo panjang lebar sambil mengusap puncuk kepala kekasihnya yang bersandar dibahunya.
“Tamu gak akan masuk jika tuan rumah tidak mempersilahkannya.”
“Dan sebagai tuan rumah harus baik dan menghargai tamu yang datang, karena tidak sopan jika membiarkan tamu untuk diam diluar atau bahkan mengusirnya,” jawab Aldo enteng.
“Ya, ya, terserah lo,” ucap Nana malas.
“Lo cemburu, ya, Yang?” tanya Aldo menatap wajah kekasihnya itu dengan binar jahil.
“Cemburu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri,” ucap Nana menirukan ucapan di salah satu novel yang pernah ia baca.
“Awal-awal kita pacaran lo selalu cemburu kalau liat gue sama cewek lain?” Aldo mengingat hubungannya di awal-awal.
“Iya, dan waktu itu juga gue sering banget nangis gara-gara rasa cemburu gue saat lo jalan sama cewek lain,” tambah Nana.
“Terus kenapa sekarang gak gitu lagi?” tanya Aldo menikan sebelah alisnya, menatap Nana penasaran.
“Gue cape nangis terus. Dari sana gue mikir, buat apa gue menyia-nyiakan waktu gue cuma buat nangisin cowok. Hidup cuma sekali, dan gue pengen menikmati hidup gue. Gue gak mau larut dalam sakit hati dan tangis yang jelas-jelas itu buang-buang waktu berharga gue dan hanya akan membuat gue lemah dan terpuruk. Dan gue juga gak mau terlalu ngekang lo. Gue tahu lo pengen menikmati masa remaja lo ini, begitupun juga gue. Gue gak mau masa remaja gue dihabiskan hanya dengan sakit hati dan air mata. Masa remaja cuma datang satu kali, dan gue gak mau menyia-nyiakan itu.” Jelas Nana panjang lebar.
“Duh, bijak banget sih pemikiran lo, jadi makin sayang gue!” Aldo memeluk erat kekasihnya itu.
“Lo gak akan ninggalin gue kan, Yang?” tanya Aldo pada kekasihnya itu.
“Selama lo gak ngelakuin kesalahan yang fatal, gue gak akan ninggalin lo," jawab Nana yakin.
“Janji?” Tanya Aldo memastikan. Nana mengangguk yakin.
Disekolah mungkin keduanya jarang terlihat bersama bahkan sekilas terlihat seperti tidak saling mengenal, tapi jika sudah berdua seperti ini, semua orang akan berkata sangat serasi dan tentunya mereka adalah orang yang saling mencintai satu sama lain. Dua tahun mereka berpacaran, tepatnya adalah saat pertama kali masuk SMA, tepat saat upacara penutupan MOS dilaksanakan.
Aldo dan Nana berteman baik saat keduanya masih berada di bangku Sekolah Menengah Pertama meskipun keduanya tidak berada dalam satu kelas yang sama, dan beruntungnya pada saat naik kekelas IX keduanya akhirnya berada dikelas yang sama bahkan duduk dibangku yang sama pula. Keduanya pun semakin dekat, hingga sebuah perasaan lain hadir, kemudian saling jujur tentang perasaan masing-masing, tapi sepakat untuk tidak berpacaran terlebih dulu, Aldo dan Nana hanya ingin lebih memastikan dulu perasaan mereka yang sesungguhnya benar-benar cinta atau hanya perasaan sesaat.
Hingga saat masuk SMA, Aldo memutuskan untuk menyatakan cintanya terhadap Nana, tepat saat upacara penutupan MOS berakhir. Didepan semua siswa, Aldo dengan berani berlutut dihadapan Nana dan mengutarakan isi hatinya kepada gadis yang Selama satu tahun iti menjadi bidadari dihatinya.
Nana tidak menyangka bahwa Aldo akan seberani ini. Malu sekaligus bahagia Nana rasakan pada hari itu. Dengan setangkai mawar putih beserta boneka besar yang Aldo berikan menambah kebahagian Nana, dan sudah pasti membuat banyak perempuan iri kepadanya.
Nana maupun Aldo jelas tidak pernah sama sekali melupakan sejarah itu.
“Assalamualaikum,” salam seseorang yang baru saja memasuki rumah, Nana dan Aldo yang kini tengan bermain PS menengok kearah suara.
“Waalaikumsalam. Eh, Bunda, gimana kabarnya Bun?” tanya Aldo ramah. Tidak lupa menyalami punggung tangan Ibu dari kekasihnya itu.
“Ada Aldo ternyata, dari kapan Al?” Irma, Bundanya Nana bertanya tak kalah ramah.
“Dari satu jam yang lalu Bun, Bunda abis dari mana?” sebagai calom menantu yang baik, basa-basi tentu saja di perlukan.
“Dari rumah Tante Yanti, biasa arisan,” kata Irma, kemudian duduk di sofa single, dan menyandarkan punggungnya. “Abang kamu belum pulang, Na?” tanya Irma, kepada anak bungsunya itu.
“Belum Bun, katanya nanti abis Magrib,” jawab Nana lalu diangguki oleh sang Bunda.
“Ya udah, Bunda kekamar dulu, ya, mau istirahat," pamitnya yang kemudian diangguki Aldo dan Nana.
“Bunda buat makan malam mau Nana masakin apa?” teriak Nana sebelum sang bunda melangkah semakin jauh.
“Apa aja, terserah kamu,” jawab Irma, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Nana mengangguk lalu menatap kearah kekasihnya itu yang kini tengah fokus pada gamenya.
“Lo mau makan malam disini gak, Al?” tanya Nana. Tanpa berpikir lagi, Aldo langsung mengangguk sebagai jawaban.
“Ya udah, nanti bantuin gue masak, ya. Sekarang kita Shalat dulu, setelah itu baru masak,” ucap Nana lalu bangkit dari duduknya menuju kamar untuk shalat, diikuti Aldo dari belakang.
Setelah Shalat, Aldo dan Nana kini berada di dapur, menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Ini bukan lah kali pertama Aldo makan malam dirumah ini, sudah sering bahkan hampir setiap Minggu. Keluarga Nana sudah Aldo anggap sebagai keluarganya sendiri begitupun juga keluarga Aldo untuk Nana, tapi Nana tidak terlalu sering berkunjung kerumah Aldo. Hanya sesekali jika Ibu Aldo memintanya untuk datang atau saat sang Bunda yang menyuruhnya mengantarkan bingkisan.
Ini juga bukan kalipertamanya, Aldo membantu Nana memasak. Jujur, dulu Aldo adalah salah satu laki-laki yang anti dengan dapur dan alat-alat memasak lainnya, tapi setelah ia bersama Nana, sedikit demi sedikit Aldo mulai terbiasa di dapur meski tidak bisa memasak selain memasak mie instan dan telur ceplok, tapi setidaknya Aldo lumayan bisa menggunakan alat-alat dapur.
Saat itu Aldo mengajak Nana kerumah untuk memperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Awalnya Nana menolak. Namun setelah dibujuk akhirnya Nana setuju, hingga sampai di depan rumah Aldo bertemu dengan satpam rumahnya yang mengatakan bahwa Mama dan Papa pergi kerumah sakit untuk menengok saudaranya yang sakit. Aldo menghela napas kasar, rencananya untuk mengenalkan sang kekasih harus gagal. Kecewa? Sedikit. Ini juga salahnya sendiri karena tidak memberi tahu terlebih dulu kepada kedua orang tuanya jika ia akan mengenalkan kekasihnya hari ini.
Aldo mengajak Nana masuk ke dalam rumahnya yang sepi itu, lalu menyuruhnya duduk disofa ruang tamu, sedangkan ia sendiri pergi menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Setelah beberapa menit, Aldo turun menghampiri kekasihnya itu dan bersandar dibahu Nana. Perut Aldo berbunyi nyaring, dan itu membuat Nana tertawa kencang.
“Gak usah ketawa lo!” ketus Aldo.
“Lo laper, Al?” tanya Nana masih dengan sisa-sisa tawanya.
“Menurut lo?!” ketus Aldo lagi. Melihat wajah kesal kekasihnya itu Nana menghentikan tawanya lalu menatap Aldo dengan lembut.
“Gue masakin, mau?” tawar Nana.
“Emang lo bisa masak?”
“Lo ngeremehin gue?” balas Nana menantang. Aldo mengedikan bahunya.
“Kalau lo gak percaya, ayo kedapur," ajak Nana.
“Mau ngapain? Ogah gue, ah, kalau lo mau masak, ke dapur aja sendiri,” ucap Aldo malas.
“Bantuin gue masak, Aldo!"
Mendengat itu Aldo membulatkan matanya, lalu mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu Nana dan menatap tajam kekasihnya itu. “Gak, gak mau gue!”
“Ya, udah kalau gak mau, gak jadi gue masakin. Biarin yang laper juga lo, bukan gue,” ucap Nana santai dn kembali memaikan ponselnya.
“Ya, gak bisa gitu dong, Yang, lo gak kasian apa sama gue? Pacar lo lagi kelaparan, loh, ini,” ucap Aldo memelas.
“Bodo amat, gak peduli gue," jawabnya masa bodo.
“Arrggh! Ya udah iya, gue bantuin.” Pasrah Aldo.
Sesampainya didapur, Nana membuka kulkas, mencari bahan yang bisa ia masak. Namun sayang kulkasnya kosong, yang ada hanya sawi putih, satu butir telur dan satu kaleng cornet. Ahirnya Nana memutuskan untuk membuat nasi goreng dengan bahan seadanya.
Aldo dengan enggan memotong-motong sawi putuh tersebut atas perintah Nana, sedangkan Nana mengulek bumbu untuk nasi gorengnya.
Nana memperhatikan Aldo yang tengah memotong sawi dengan kaku, ingin sekali ia tertawa melihat itu, tapi sebisa mungkin ia tahan, karena tidak mau semakin mengacaukan mood Aldo yang sedari tadi terlihat kesal.
Tanpa mereka sadari, dua orang paruh baya memperhatikan kegiatan keduanya dari balik tembok penghubung dapur dan ruang tengah. Orang tua Aldo saling menatap satu sama lain lalu tersenyum penuh arti. Karena tidak mau mengacaukannya, Mama dan Papa Aldo berlalu meninggalkan dapur dan lebih memilih untuk menunggu diruang tengah.
“Nih makan, jangan sampe gak diabisin,” ucap Nana sambil menyodorkan sepiring nasi goreng kehadapan Aldo.
“Enak gak nih?” Aldo bertanya dengan memastikan.
“Cobain aja, kalau gak enak lo boleh buang masakan gue,” ucap Nana jengah, karena kekasihnya itu banyak bertanya.
Dengan ragu, Aldo menyendokan nasi goreng itu kedalam melutnya, mengunyah perlahan menikmati rasa dari nasi goreng itu sendiri.
“Gimana enak?” tanya Nana.
Aldo tidak menjawab, dan malah mengajak Nana untuk makan diruang tengah sambil menonton televisi. Sesampainya diruang tengah, Aldo melihat orang tuanya sudah ada disana sedang duduk disofa sambil menonton acara berita.
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Aldo setelah duduk di karpet depan televisi di ikuti Nana dibelakangnya yang kini tengah menahan gugup.
“Tadi waktu kamu lagi motong-motong sawi," jawab sang Mama tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi, sedangkan sang Papa kini tengah menatap lekat Nana dari atas hingga bawah.
“Ini siapa, Do?” tanya sang Papa.
“Pacar Aldo," jawabnya tenang, lalu kembali menyuapkan nasi kedalam melutnya.
“Siapa nama kamu, Nak?” Papa Aldo bertanya dengan ramah. Nana tersenyum lalu menyalami tangan Papa dan Mamanya Aldo sambil memperkenalkan diri.
“Tumben kamu mau kedapur? Motong-motong sawi lagi,” tanya Masya sekaligus meledek anaknya itu. Aldo mendengus lalu menatap tajam Mamanya.
“Noh, dia yang maksa,” ucap Aldo menunjuk Nana dengan dagunya.
“Kamu kalau sama Mama dipaksa gak pernah nurut, kok, sama Nana bisa nurut?” tanya Mesya, Mama Aldo.
“Kalau bukan karena lapar juga aku gak akan mau di paksa bantuin di dapur. Ini mah karena kepaksa aja, Mama tahu sendiri aku gak bisa nahan laper?” alibinya pada sang Mama.
“Eh, gue gak maksa, ya! Kan tadi gue bilang kalau gak mau, ya, udah,” ucap Nana tak terima disalahkan.
“Iya, lo bilang, kalau gak mau, ya, udah lo gak jadi masak. Itu sama aja lo maksa jadi, dari pada gue mati karena kelaparan lebih baik gue nurut,” ucap Aldo tak mau kalah.
Orang tua Aldo saling tatap menyaksikan perdebatan dua remaja didepannya itu. Pacaran, tapi seperti orang yang musuhan. Mama dan Papa Aldo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja tanpa melerai.
“Lo kenapa geleng-geleng kepala gitu?” tanya Aldo heran melihat kekasihnya itu.
“Gue keinget dulu, waktu pertama kali kerumah lo,” jawab Nana terkekeh geli.
“Udah gak usah dibahas, lanjutin lagi aja ini, bentar lagi udah jam makan Malam, Bang
Nino sama Bunda pasti udah pada lapar,” ucap Aldo mengalihkan. Nana mengangguk lalu kembali menyelesaikan masakannya.
Beberapa masakan yang sudah matang disusun di meja makan oleh Aldo. Hingga masakan terakhir siap bertepatan dengan kedatangan Abang dan Bunda dimeja makan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!