Elysia tengah menatap pantulan dirinya pada cermin di kamar mandi dengan tatapannya yang kosong. Cahaya lampu yang redup membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasa. Lingkaran hitam menghiasi bawah matanya, bukti bahwa ia belum beristirahat dan tidur dengan nyenyak sejak 2 Minggu yang lalu. Sejak dimana hidupnya telah berubah selamanya.
Didalam nya air dari keran terus mengalir dengan deras nya dan memenuhi wastafel putih dengan percikan kecil yang berantakan. Dengan tangan gemetar Elysia menadahi air dan terus membasuh wajahnya. Terasa dingin dan segar. Tapi tetap saja, perasaan hampa di dalam dadanya tak ikut luruh bersama air yang telah menetes dari dagunya.
Ia terus mengangkat kan kepalanya kembali pada cermin. Namun apa yang telah dilihatnya membuat matanya terbelalak seolah tak percaya akan apa yang terjadi.
Yaa.. Bayangannya terlambat 1 detik sejak ia mengangkat kepalanya.
Merasa tak percaya akan apa yang telah terjadi Elysia membeku. Jantungnya berdegup lebih kencang. Itu tidak mungkin. Ia berkedip cepat, berharap hanya salah lihat. Namun kali ini, ia lebih memperhatikan nya dengan seksama. Saat ia menggerakkan tangan ke kiri bayangannya tetap diam sejenak sebelum akhirnya mengikuti gerakan nya.
Elysia melangkah mundur seolah tak percaya. Pantulannya pun ikut mundur, tapi ada yang tidak beres. Ekspresi nya tidak sepenuhnya sama. Ada sesuatu dalam matanya, yang membuat tubuh Elysia merinding.
Lalu, setelah beberapa saat pantulan itu tersenyum.
Bukan senyum biasa, melainkan senyuman tipis, samar seakan akan menyembunyikan sesuatu.
Elysia terkesiap, dadanya naik turun tak karuan. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada orang lain dalam kamar mandi itu. Kosong. Hanya dirinya sendiri dan suara keran yang terus mengalir.
"Aku mungkin kurang tidur..," bisiknya dalam hati, mencoba menenangkan dirinya.
Ia lalu menarik napas dalam dalam dan membiarkan tubuhnya menjadi lebih rileks. Ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal aneh sejak Edric pergi. Ya Edric, suaminya. Ia sering merasa diawasi, mendengar suara suara kecil pada malam hari, bahkan mencium aroma parfum Edric dikamar mereka meski sudah berminggu-minggu sejak kepergian suaminya.
Dengan langkah ragu, Elysia memberanikan dirinya untuk keluar dari dalam kamar mandi, membiarkan lampunya terus menyala.
Saat pintu menutup dibelakang nya, hal yang aneh kembali terjadi.
Di dalam cermin, bayangan Elysia tidak langsung ikut menghilang. Ia tetap berdiri disana selama beberapa detik lebih lama, menatap lurus ke arah pintu yang kini telah tertutup rapat.
Dan saat itu pula, pantulan itu masih tersenyum.
Lalu ia bergerak perlahan .
Pantulan Elysia mengangkat tangannya dan menyentuh permukaan cermin dari dalam. Senyuman nya menghilang, bergantian dengan ekspresi kosong. Matanya menatap tajam ke arah pintu, seakan sedang menunggu sesuatu.
Dan kemudian, ia berbisik.
"Aku adalah Kamu."
BRAKK!!!
Elysia tersentak ketika mendengar suara keras terdengar dari dalam kamar. Lalu ia bergegas kembali dengan cepat, matanya terus menyapu seluruh ruangan, tapi nihil tidak ada siapapun didalamnya.
Dengan penuh kehati hatian ia bergerak menuju meja kerja disudut kamar. Sebuah buku telah tergeletak dilantai. Buku Jurnal Edric.
Elysia menelan ludah. Ia berbisik dalam hatinya ia yakin bahwa buku itu tertata rapi di dalam laci.
Jari jemarinya gemetar saat membungkuk dan mengambil buku itu. Sampulnya sudah lusuh dengan tulisan suaminya dibagian depan. Buku ini adalah jurnal yang sering suaminya bawa kemanapun ia pergi, tempatnya mencatat segala sesuatu tentang pekerjaannya sebagai jurnalis investigasi.
Saat Elysia membuka halaman pertama, sesuatu membuat nafasnya tercekat.
terdapat tulisan yang sebelumnya ia tidak pernah lihat. Tulisan yang bukan milik Edric.
"Jangan percaya Bayangan mu."
Elysia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Ia memandang sekeliling, seolah berharap menemukan jawaban. Tapi tak ada yang berubah. Hanya dirinya, kamar yang sunyi dan perasaan bahwa sesuatu sedang mengawasinya.
Kemudian ia terus membalik halaman halaman berikutnya. Tulisan Edric memenuhi sebagian besar jurnal, berisi catatan catatan investigasi yang ia lakukan sebelum kecelakaannya. Namun, disela sela tulisan ada beberapa catatan yang membuat Elysia kebingungan.
"Aku melihatnya. Dia meniru gerakan ku, tapi bukan aku."
"Semakin lama dia semakin berbeda."
"Jika aku menghilang carilah dibalik cermin."
Jari jari Elysia semakin erat menggenggam buku tersebut. Kepalanya berputar. Apa maksud dari semua ini ??
Sampailah pada halaman terakhir.
Sebuah tulisan yang tampak ditulis dengan tergesa gesa pada halaman tersebut, seperti ditulis dalam keadaan panik.
"Bayanganku bukan aku. Dia ingin menggantikan ku."
Elysia merasakan dadanya berdegup hebat.
Dan saat itu juga udara disekelilingnya berubah.
Suhu dalam kamar turun drastis. Angin sepoi sepoi berhembus entah darimana, mengibarkan tirai jendela meskipun jendela dalam keadaan tertutup.
Lampu kamar berkedip 2 kali.
Suara pelan terdengar dari sudut ruangan.
Ketuk...ketuk...ketuk...
Elysia membeku mendengar suara ketukan itu.
Bukan dari pintu.
Bukan dari jendela.
Suara itu datang dari cermin.
Dengan tubuh yang telah kaku, ia perlahan menoleh ke arah cermin besar yang berada disudut kamar.
Dan saat melihatnya darahnya seakan membeku.
Bayangannya berdiri disana akan tetapi dengan ekspresi berbeda.
Mata pantulan itu tetap tampak gelap, seperti lubang tanpa dasar. Bibirnya tersenyum dengan lebar, jauh lebih lebar dari seharusnya.
Elysia merasakan nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia ingin lari, tapi tubuhnya seakan terpaku di tempat.
Lalu, pantulan tersebut mengangkat tangannya dan mengetuk permukaan cermin sekali lagi.
Ketuk.
Suaranya menggema di ruangan yang sunyi.
Pantulan itu membuka mulutnya dan berkata sesuatu.
Tapi tidak ada yang ia katakan.
Hanya gerakan bibir yang membentuk satu kalimat.
Elysia mencoba memahami gerakan itu.
Dan ketika ia menyadari apa yang dikatakan pantulan itu, tubuhnya langsung bergetar hebat.
"Saatnya bertukar tempat."
Lampu kamar tiba tiba mati total.
Dan semuanya berubah menjadi gelap.
---BERSAMBUNG---
Elysia terbangun dengan nafas memburu. Dadanya naik turun dan keringat tipis membasahi dahinya. Mimpi yang ia alami terasa lebih nyata, sebuah bayangan menyerupai dirinya tengah berdiri dibalik cermin, tersenyum dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.
Ia meraba ke sekeliling, memastikan bahwa dirinya masih di tempat tidur. Kamar itu gelap hanya diterangi cahaya redup dari lampu jalan yang masuk melalui jendela. Nafasnya mulai melambat, tapi kegelisahan nya masih mencengkram pikirannya.
Matanya beralih ke cermin besar disudut ruangan. Sejak tadi, selalu ada sesuatu yang menggangu pikirannya. Perasaan yang sangat aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ia menggigit bibirnya dan mencoba melawan rasa takutnya. Tapi semakin ia berusaha tidak melihat cermin itu, semakin ia merasakan tarikan yang aneh.
Akhirnya, dengan jantung yang kian berdebar, ia perlahan menoleh.
Bayangannya ada disana, seperti yang seharusnya. Tapi sesuatu terasa,,,salah
Elysia menggerakkan tangan kirinya. Bayangannya mengikuti. Ia mengedipkan mata, bayangannya juga mengikuti. Semua tampak normal, setidaknya pada awalnya saja.
Tapi di saat ia hendak memalingkan wajahnya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Bayangannya tidak langsung ikut berpaling.
Untuk sepersekian detik, pantulan pada cermin tetap menatap dirinya, meski ia sudah memutar kepalanya ke arah lain.
Jantung Elysia mencelos. Ia membalikkan wajahnya dengan cepat, berharap hanya salah lihat. Tapi saat ia kembali menatap cermin, bayangannya sudah kembali normal.
Ia berfikir mungkin ini efek dari kurang tidur. Mungkin pikirannya sedang mempermainkannya.
Elysia menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi kemudian--
Ketuk.
Sebuah suara pelan terdengar.
Elysia langsung membeku.
ketuk. Ketuk
Suaranya masih terdengar dari arah yang sama. Ya dari cermin.
Tangannya mencengkram selimut dengan erat. Ia tahu ia tidak seharusnya bergerak, tidak mendekat. Tapi tubuhnya terasa dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat darinya. Perlahan, ia mulai menyingkap selimutnya dan turun dari tempat tidur nya.
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Dengan penuh ke hati hatian ia berjalan mendekati cermin, menahan nafas saat jaraknya semakin dekat.
Lalu, suara itu terdengar lagi kali ini bukan ketukan.
Melainkan sebuah bisikan.
"Elysia,,,"
Matanya membesar. Itu bukan suara angin bukan pula dari imajinasi nya.
Seseorang atau sesuatu sedang memanggilnya dari balik cermin itu.
Tangannya sangat gemetar saat ia hendak menyentuh permukaan kaca tersebut, jantungnya semakin berdebar tak karuan hingga ia bisa mendengarkannya sendiri.
Tepat saat ujung jarinya menyentuh kaca--
BRAKKK !!!
Cermin itu bergetar sangat hebat, seolah ada yang ingin berusaha untuk menerobos keluar. Elysia melompat mundur dengan teriak yang tertahan.
Saat ia kembali menatapnya, cermin itu kembali diam. Tak ada retakan. tak ada gerakan aneh. Hanya bayangannya sendiri yang terpantul disana.
Tapi kini mata pantulan itu,,,, berbeda .
Matanya lebih gelap. Lebih dalam. Dan senyuman kecil mulai terbentuk di bibirnya.
seolah olah sesuatu didalam cermin sedang menunggu.
Menunggu saat yang tepat untuk keluar.
Elysia terjatuh kelantai, jantungnya berdebar dengan begitu keras hingga terasa menyakitkan. Ia tidak bisa mengalihkan pandangan nya dari cermin yang berada dihadapannya. Nafasnya memburu, otaknya berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
Pantulan dirinya masih ada disana, berdiri diam dengan ekspresi datar. Namun, ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Mata didalam cermin terlihat lebih gelap, lebih kosong... Seakan bukan lagi miliknya.
Tiba tiba lampu kamar berkelip dua kali, lalu padam. Ruangan itu terhanyut dalam kegelapan, Hanya diterangi cahaya redup dari luar jendela. Elysia meraba raba dilantai, mencari ponselnya. Tangannya gemetar saat meraihnya dan menyalakan layar.
02.43 pagi.
Ia menggigit bibirnya perasaan aneh mulai menjalar ditubuhnya lagi. Kenapa selalu di jam jam seperti ini ??
Dalam kegelisahannya, ia mencoba menenangkan diri. Mungkin aku hanya kelelahan. Mungkin ini hanya efek dari kurang tidur.
Tapi saat ia kembali menoleh cermin, tubuhnya membeku.
Refleksinya suda berubah posisi.
Sekarang bayangan itu tidak lagi mengikuti gerakannya.
Elysia mengerjap, berharap ini hanyalah ilusi mata. Ia perlahan mengangkat tangannya. Bayangannya tetap diam. Ia menoleh ke kiri, ke kanan pantulan itu tidak bergerak.
Lalu sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Pantulan itu tersenyum.
Sebuah senyuman kecil yang dingin, terlalu halus jika dianggap suatu kebetulan. Mata hitam didalam cermin menatapnya dengan intens, seolah sedang menunggu reaksinya.
Elysia tersentak mundur. Punggungnya menghantam meja kecil yang tepat berada dibelakangnya, menyebabkan vas bunga jatuh dan pecah berkeping-keping. Ia tidak peduli. Nafasnya semakin berat, matanya tak berkedip menatap cermin yang masih diam.
Lalu... sesuatu bergerak.
Bukan bayangannya, tapi sesuatu dibalik bayangan itu. Sebuah siluet hitam samar muncul disudut pantulan. Bentuknya tidak jelas, tetapi kehadirannya terasa begitu nyatahingga membuat tengkuk Elysia meremang.
Bisikan lagi lagi terdengar. Kali ini lebih jelas.
"Elysia...."
Jantungnya mencelos. Itu bukan suara angin dan imajinasinya.
Ia ingin. Keluar dari kamar. Tapi tubuhnya terasa terkunci di tempat.
Tiba tiba sesuatu dari dalam cermin bergerak cepat- terlalu cepat. Bayangan itu berlari ke arahnya seolah akan menerobos keluar.
Elysia menjerit dan menutup mata.
Hening
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
Dengan tubuh yang gemetar, ia perlahan membuka matanya kembali.
Cermin itu masih utuh. tidak ada retakan , tidak ada tanda tanda sesuatu telah menerobos keluar. Pantulan dirinya tampak seperti biasa.
Tapi....ada sesuatu yang berubah.
Bayangan itu tidak lagi tersenyum. Tapi kini, dibalik refleksinya sendiri, samar samar ia melihat. . .
Bayangan Edric. Mendiang Suaminya. . .
---BERSAMBUNG---
Elysia masih berdiri kaku di tengah kamar, tatapannya tetap terpaku pada cermin yang sudah tertutupi oleh selimut. Pikirannya terus memutar ulang pesan suara yang baru saja ia dengar. Ya, suara Edric yang seharusnya tidak ia dengar kembali.
"elysia,,,jangan lihat cermin itu..."
Suara itu masih terngiang-ngiang di pikiran nya.
Ia melangkah mundur perlahan, ponselnya hampir jatuh dari genggamannya. Ruangan terasa semakin dingin, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik kaca yang tersembunyi.
Tapi ini adalah rumahnya sendiri. Tidak seharusnya ia merasa takut, bukan ?
namun, nalurinya berkata lain.
Elysia menelan ludah dan mengambil nafas panjang. Ia tetap harus berfikir jernih. Mungkin ada penjelasan logis untuk semua ini. Mungkin suara itu hanya rekaman lama yang tiba tiba terkirim karena kesalahan sistem.
Ya... Mungkin begitu.
Tangannya gemetar saat ia perlahan menarik selimutnya yang menutupi cermin.
hanya sedikit.
Cukup untuk memastikan bahwa pantulannya masih di sana.
Saat kain itu tersingkap, ia langsung menyesal telah melakukannya.
Karena di dalam cermin, bayangannya tidak berdiri seperti seharusnya.
Tubuhnya kaku, tetapi bayangannya tersenyum.
Senyuman yang tampak tidak alami. Terlalu lebar. Terlalu... Salah.
Jantung Elysia berdegup dengan sangat cepat hingga terasa akan meledak. Ia ingin mundur, ingin berlari keluar dari kamar. Tapi kakinya terasa terpaku ke lantai.
Lalu, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Bayangan itu mengangkat tangannya, tetapi Elysia tetap diam.
Ia tidak bergerak. tidak bernafas.
Tetapi bayangannya bergerak sendiri.
Jemari pantulannya terangkat perlahan,kemudian mengetuk permukaan cermin.
Ketuk. Ketuk
Elysia tersentak dan mudur dengan sangat cepat, tubuhnya pun hampir terjatuh lemas. Ia mengalihkan pandangan dari cermin, berharap semua yang ia alami hanyalah halusinasi.
Tapi, saat ia menoleh kembali, bayangannya telah kembali normal.
Ia berdiri disana, mengikuti gerakannya seperti biasa.
seolah tidak terjadi apa apa.
Elysia terengah-engah, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Apakah ini efek dari kesedihan dan stres yang ia alami setelah kematian Edric ? Apakah pikirannya bermain trik dengannya ?
Tidak. Ia yakin melihat bayangan itu bergerak dengan sendirinya.
Tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya lagi. Ia harus menceritakan ini kepada seseorang.
Nadia.
Ya, Nadia pasti bisa membantunya memahami semua ini.
Ia segera mengetik pesan.
"Nad, aku butuh bicara. Ada sesuatu yang aneh di rumahku."
Pesannya terkirim, tetapi tidak ada balasan.
Elysia menunggu beberapa menit, tetapi ponselnya tetap hening.
Ia menghela nafas, lalu menatap kembali ke arah cermin. Kali ini pantulannya benar benar biasa. Ia mencari menggerakkan tangannya, dan bayangan itu meniru gerakannya dengan sempurna.
Mungkin ia hanya lelah.
Mungkin otaknya mulai menciptakan ilusi karena ia terlalu lama berada sendirian di rumah ini.
Ia harus tidur.
Ya, tidur adalah pilihan terbaik saat ini.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil selimutnya dan berbaring di tempat tidur. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tetapi jantungnya masih berdegup kencang.
Saat ia hampir terlelap, suara ketukan terdengar lagi.
Perlahan.
Berulang.
ketuk. Ketuk. Ketuk.
Elysia membuka matanya dengan sangat cepat.
Suara itu berasal dari dalam kamar.
Ia menoleh ke arah cermin dan darahnya langsung membeku.
Bayangannya masih disana, tetapi ada sesuatu yang berubah.
Ia tidak lagi mengikuti gerakannya.
Dan kali ini, bayangannya menatap lurus ke arahnya.
Elysia merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Ia berdiri terpaku didepan cermin, nafasnya memburu. Bayangannya baru saja tersenyum, tanpa ia lakukan.
Ia mengedipkan mata, berharap itu hanya permainan cahaya atau pikirannya yang lelah. Tapi tidak. Refleksi dirinya di cermin masih tersenyum tipis, dingin dan tidak wajar.
Tiba tiba bayangan itu bergerak sendiri.
Bibirnya bergetar, mencoba berkata sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar.
Ketika Elysia akhirnya mundur selangkah, bayangan itu tetap diam. Tidak mengikuti gerakannya seperti seharusnya.
Jantungnya hampir berhenti berdetak.
Ia mengulurkan tangannya ke arah cermin dengan ragu. Jemarinya bergetar saat mendekat ke permukaan kaca yang dingin. Saat hampir menyentuhnya, tiba tiba, , ,
Tok. Tok. Tok.
Ketukan datang dari cermin.
Elysia terlonjak mundur, tubuhnya membentur dinding yang berada di belakangnya. Nafasnya putus putus, dadanya naik turun dengan cepat.
Tidak. Ini tidak mungkin. Ini tidak masuk akal.
Cermin itu tidak seharusnya bisa mengetuk balik.
Dalam keheningan yang menyesakkan, bayangan di cermin perlahan mengangkat tangannya sendiri, mengetuk kaca dari dalam sekali lagi.
Tok. Tok. Tok.
Elysia ingin sekali menjerit, ingin berlari keluar dari kamar. Namun, sebelum ia sempat melangkah, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Bayangan di cermin membuat mulutnya, dan suara Serak berbisik di telinganya.
"aku akan keluar."
Elysia langsung berbalik, berlari keluar dari kamar dan membanting pintu di belakangnya. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat.
Apa yang baru saja terjadi ? Apa itu benar benar dirinya di cermin ? Atau. . . Sesuatu yang lain ?
Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan langsung menghubungi Satrio.
"Sat. . . Satrio, aku. . . Aku butuh bantuan. "
Suaranya nyaris tidak keluar, bergetar karena ketakutan.
"Elysia ? Hei, ada apa ?" suara Satrio terdengar cemas.
Elysia mencoba menarik nafas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Tapi suara itu, "Aku akan keluar " , terus berulang di kepalanya.
"Ada sesuatu di dalam cermin, sat,"bisiknya masih terengah-engah. "Bayanganku. . . Itu bukan aku."
Di seberang, Satrio terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada serius.
"Dengar, aku akan ke rumahmu sekarang. Jangan menyentuh apapun. Jangan lihat cermin. Aku segera ke sana."
Elysia mengangguk meski tahu Satrio tak bisa melihatnya. Ia merasa lega mendengar seseorang akan menemaninya. Tapi tetap saja, ketakutan itu tidak hilang.
Ia berjalan menjauh dari kamarnya, menuju ruang tamu. Pikirannya berputar putar, mencari jawaban atas apa yang baru saja ia alami.
Kemudian, matanya menangkap sesuatu di meja ruang tamu, sebuah buku jurnal Hitam.
Itu bukan miliknya.
Ia mendekat perlahan dan mengambil jurnal itu. saat membukanya, jantungnya semakin berdegup kencang.
Itu milik Edric.
Halaman pertama hanya berisi satu kalimat yang ditulis dengan tinta hitam tebal.
>"Jangan percaya bayanganmu sendiri."
Elysia menelan ludah. Tangan kirinya mencengkram sampul buku itu lebih berat.
Ia membalik beberapa halaman, menemukan catatan catatan yang semakin aneh.
Ada sketsa bayangan seseorang yang tidak terhubung dengan tubuhnya. Ada simbol simbol aneh yang menyerupai lingkaran dengan garis patah di tengahnya.
Kemudian, pada salah satu halaman terakhir, ia membaca sesuatu yang membuat tubuhnya menegang.
>"Mereka hidup di balik refleksi. Mereka menunggu saat yang tepat untuk menggantikan kita."
Seketika, lampu di ruang tamu berkedip kedip.
Dari sudut matanya, Elysia melihat sesuatu bergerak di dalam kaca lemari di ruang tamu.
Ia menoleh dan langsung menyesali nya.
Bayangan dirinya di kaca lemari menatapnya lurus, padahal ia sedang tidak menghadap ke sana.
Elysia melepaskan buku itu dan menjerit.
Ketika lampu akhirnya mati total, satu satunya yang tersisa hanyalah kegelapan, dan bisikan pelan dari dalam refleksi.
"Aku sudah hampir keluar."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!