Dunia ini bernama Loka Pralaya, sebuah tempat penuh misteri. Di tempat ini, desiran anginnya adalah nafas yang memberi kehidupan bagi penghuninya. Energinya berasal dari beragam emosi dan perasaan segenap makhluk yang ada di dalamnya. Keharmonisan yang mengikat alam ini, mengabadikan keberadaanya di antara banyak dunia lain di alam semesta. Senyum ramah adalah energi yang membangun, menumbuhkan benih-benih yang di tanam di tanahnya, kebaikan kecil yang dilakukan akan memberi dampak besar bagi kelangsungan dunia ini. Pepohonannya adalah mata dan telinga bagi segala peristiwa yang berlangsung di dalamnya. Batu-batu yang berserakan di pantai, menjadi penyimpan memori abadi bagi kejadian-kejadian penting yang terjadi.
Dan senja itu, saat matahari mulai berangsur menepi di horizon langit barat, saat sinarnya yang kuning kemerahan mewarnai hamparan lautnya yang tenang. Di sela bebatuan yang menutupi sebagian besar pantainya, sesosok tubuh nampak terdampar tak berdaya, sesekali deburan ombak menerpa tubuhnya yang tak bergerak, nampaknya ia tak sadarkan diri. Rambutnya tergerai disapu ombak yang datang silih berganti, seperti mencoba membangunkannya dari keadaan itu, namun sebanyak apapun deburan ombak itu mengenainya, tak ada tanda-tanda bahwa sosok itu akan bangun dari ketidak sadarannya.
Jika ditilik dari penampilannya – rambut panjang yang tergerai, gaun putih yang melekat di tubuhnya, jelas sekali bahwa sosok itu adalah seorang gadis. Namun, mengapa ia ada di situ? Atau pertanyaan konyolnya adalah sedang apa ia di situ, sendirian, di sebuah pantai yang nampaknya tak berpenghuni, setidaknya jika dilihat disekeliling pantai itu, sepi dan jauh dari pemukiman.
Tapi pertanyaan ini tak penting, sebab.... kita baru saja akan menuliskan kisahnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sesosok gadis yang tak sadarkan diri di tepi pantai itu.
Lama sekali gadis itu tergeletak tak berdaya di pantai itu, hingga matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat. Dan malampun perlahan mulai merayapi langit, dan memberikan warna hitam gelap sebagai pertanda kehadirannya. Gadis itu masih terdiam di situ, tak ada tanda-tanda pergerakan, ada sih ... kadang ombak juga menggerakkan tubuhnya, sedikit.
Tapi, ini adalah Loka Pralaya, ingat ya... keajaiban adalah hal yang normal di dunia ini, sebab jika pada akhirnya kita melihat bahwa perlahan-lahan tubuh gadis itu terangkat ke atas, kira-kira satu meter di atas permukaan batu-batu itu, sedikit terangkat lagi dan lagi, perlahan-lahan bergerak menepi, menjauhi bibir pantai itu dan akhirnya kembali turun, mendarat di bawah pohon-pohon kelapa yang ada di sekitar pantai, kita tak perlu heran. Tak perlu nyinyir mengatakan: “pasti itu adalah efek CGI atau karena kamera jahat”, tak ada kamera di sini. Ingat itu!
Di atas pohon kelapa yang tinggi menjulang itu, bertengger seekor burung Caladryus putih, menatap gadis itu dengan tatapan tajam, dan dialah yang menyebabkan fenomena “normal” itu terjadi, dan pastinya burung itu bukanlah seekor burung biasa.
Setelah burung itu benar-benar mendarat di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi itu, dengan gerakan anggun penuh perhitungan, burung itu menukik turun ke bawah, mendarat tepat di sisi gadis itu. Warnanya yang putih berkilauan itu saja sudah dapat membuat bulu kuduk berdiri jika melihatnya, maklum di sini - di negara Konoha - penampakan sosok putih saat malam hari di tepi pantai yang sunyi pastinya akan menimbulkan ketakutan, setidaknya bagi sebagian besar penggemar film horor lokal.
Pesisir pantai itu dipenuhi dengan pepohonan kelapa yang menjulang tinggi, seperti pantai pada umumnya, namun di pantai ini, di samping pohon-pohon kelapa itu, tak kalah tingginya berjajar pula pohon-pohon Sambutara, pepohonan khas pantai ini, batangnya yang besar menjulang ke angkasa, lebih tinggi dari pohon kelapa, daun-daunnya mirip dengan daun pohon akasia, yang membedakannya adalah pohon ini mempunyai bunga, warnanya kuning keemasan. Bunga-bunga pohon sambutara itu kini sedang mekar, warnanya bekilauan indah di balik rimbunya dedauan yang menyelimutinya, menimbulkan kesan sakral. Nampaknya pohon itu tahu bahwa di hadapannya tengah hadir sesosok makhluk baru, gadis yang pingsan itu. Dan ia tengah menyambutnya.
Dengan gerakan yang anggun, perlahan tubuh burung caladrys putih itu berubah, perlahan ia melebarkan sayapnya, seolah sedang mengumpulkan kekuatannya yang luar biasa.
Sayap-sayapnya yang putih itu perlahan memanjang dan berubah menjadi sepasang lengan manusia, tubuhnya juga memanjang, menciptakan bayangan samar-samar yang lama-kelamaan menjadi jelas, dan selanjutnya burung itu kini menjelma menjadi sesosok wanita.
Rambutnya putih panjang berkilau, ia mengenakan jubah keemasan. Di tangan kanannya tercipta sebuah tongkat kecil, mirip tongkat sihir Harry Potter, hanya mirip. Karena tongkat itu lebih lurus dan berkilauan seperti terbuat dari logam, ujungnya berbentuk seperti tombak, warnanya biru bersinar.
Dengan gerakan anggun, wanita itu lebih mendekat lagi ke tubuh gadis itu, menatapnya dengan tatapan tajam, penuh perhatian dan - seperti ingin memastikan bahwa gadis itu masih hidup – ia menunduk, memegang dada gadis itu, memastikan ada denyut nafas yang bergerak.
Ia membersihkan butiran-butiran pasir yang mengotori gaun gadis itu, dengan mengibaskan tongkat saktinya, seketika gaun gadis itu kembali bersih seperti semula, dan kering seperti tak pernah tersentuh air laut sebelumnya.
Masih dalam posisinya yang membungkuk, wanita itu meniupkan energi yang berwarna biru ke mulut gadis itu, pancaran energi biru itu serta merta melingkupi seluruh tubuh gadis itu, pancaran energi itu semakin banyak dan hampir menutupi pandangan.
Setelah sekian menit berlalu, tubuh gadis itu mulai menunjukkan tanda-tanda pergerakan, ia mengerang pelan, tangannya mulai bergerak, namun tenaganya masih lemah sehingga hanya gerakan itu saja yang dapat ia lakukan.
Wanita jelmaan burung caladryus itu kembali mengibaskan tongkatnya, kali ini dengan gerakan agak cepat, ia mengibaskan tongkat itu beberapa kali ke arah gadis itu, sehingga menciptakan kilatan cahaya biru yang menyilaukan.
Kilatan cahaya itu terus berputar mengelilingi tubuh gadis itu, hingga membuat tubuhnya tersentak terangkat – seperti orang yang baru tenggelam – ia menyemburkan air dari mulutnya, terbatuk beberapa kali.
Dan ketika wanita itu merasa yakin bawa energi yang ia berikan sudah cukup untuk membuat gadis itu sadar, dengan cepat ia berubah kembali ke wujudnya semula dan dengan gerakan yang cepat dan anggun ia kembali terbang ke puncak pohon kelapa di mana tadi ia bertengger di sana. Diam dan kembali mengamati gadis itu - memastikan semua yang dilakukannya benar-benar sesuai dengan apa yang diinginkanya - sebelum benar-benar pergi dari tempat itu.
Gadis itu perlahan mulai tersadar, ia bergerak. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya yang terasa begitu lemah, membuka matanya. Hal pertaman yang dilihatnya adalah kegelapan malam, ia menengok ke kanan dan kirinya, kemudian mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Diperhatikannya pakaiannya yang bersih dan kering, ia merabanya dan memastikan bahwa itu adalah hal nyata yang dirasakannya pertama kali.
Setelah ia merasa benar-benar menguasai kesadarannya kembali, pandangannya menyapu ke sekelilingnya, udara dingin yang ia rasakan memberikan aura yang menakutkan. Gelapnya malam semakin membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Kesunyian ini seperti tatapan raksasa hitam yang tak kasat mata, seperti melotot ke arahnya dan itu membuatnya semakin merasa ketakutan. Ia bangkit dari tempat itu, ia bercara pada dirinya sendiri, suaranya serak dan pelan.
“Ini di mana?” gumannya, matanya masih menyisir seluruh area pantai itu, mencoba menangkap gerakan atau bayangan apa saja yang bisa dijadikan petunjuk. Ia mencoba menghela nafas panjang, terasa berat olehnya, dadanya naik turun dengan cepat saat ia mencoba mengingat sesuatu – apa saja – yang bisa membantunya mengingat kenapa ia berada di tempat itu sekarang. Namun pikirannya kosong, ia benar-benar tak bisa mengingat apapun.
“Kenapa aku tidak mengingat apa-apa?” ia memegang kepalanya yang terasa pusing, dan sesaat kemudian ia kembali terduduk di atas pasir pantai itu. Terduduk diam.
Seperti teringat sesautu, ia mencubit lengannya dan, “Auh ... “ ia merasakan sakit, dan itu pertanda bahwa dia tidak sedang bermimpi.
“Kenapa aku tak ingat apa-apa?” gumannya, ia mencoba kembali mengingat sesuatu – apa saja - dan ternyata pikirannya benar-benar kosong. Tak ada bersitan ingatan apapun di dalam kepalanya, bahkan untuk mengingat siapa dirinya, siapa namanya, itupun tak juga mampu ia lakukan. Ia benar-benar kehilangan ingatan.
Gadis itu masih mematung dalam kebingungannya, tanpa disadarinya, sepasang mata dengan sorot yang begitu tajam terus mengamatinya. Sepasang mata itu milik burung caladrys yang tadi memberikan energi dan menyadarkannya dari pingsan. Nampaknya burung itu ingin memastikan kondisi gadis itu baik-baik saja dan barangkali juga ia ingin melindunginya dari bahaya yang mungkin saja dihadapi.
Setelah sekitar satu jam ia berada di situ, ia memutuskan untuk pergi dari situ. Ia berjalan melangkah menjauhi tepi pantai, dan berharap menemukan pemukiman atau seseorang yang dapat membantunya.
Walaupun tak ada pencahayaan apapun di tempat itu, ia beruntung karena bunga-bunga yang mekar dari pohon sambutara itu memancarkan cahaya yang cukup untuk menerangi jalan yang dilewatinya. Sehingga membantunya menyusuri jalan setapak yang ada di situ, ia terus berjalan ke arah selatan dan berharap menemukan sesuatu di sana.
Setelah dilihatnya gadis itu benar-benar pergi meninggalkan pantai, burung caladryus putih itu kemudian terbang, meninggalkan tempat itu, hilang ditelan gelapnya malam.
Sekitar tiga kilometer dari bibir pantai tempat gadis itu terbaring pingsan, nampak sebuah bangunan mirip pos jaga. Bangunan itu diterangi oleh lentera-lenteran antik yang memancarkan cahaya kuning keemasan, cahaya cukup untuk menerangi pondok itu, dan tidak begitu menyilaukan. Di sana, tampak tiga orang yang sedang bercakap-cakap, satu pria dan dua wanita. Di sisi bangunan itu nampak tertambat sebuah benda yang nampak seperti kendaraan, sekilas bentuknya seperti sampan, namun bagian bawahnya memiliki landasan seperti landing gear pada helikopter.
Ketiganya nampak sedang serius memperhatikan pohon-pohon sambutara yang tumbuh mendominasi daerah itu hingga ke bibir pantai, bunga-bunga yang bermekaran dan memancarkan cahaya kuning keemasan itu terlihat berkilauan menerangi daerah sekitar mereka. Sebagai penduduk asli daerah itu, mereka segera mengetahui bahwa fenomena itu adalah pertanda kehadiran makhluk baru di dunia mereka, Loka Pralaya.
Salah satu gadis yang ada di situ berkata, “Arka, kayaknya kita harus memeriksa pantai.” Katanya kepada pemuda yang berada di depannya yang ternyata bernama Arka.
“Kamu benar Carla,” jawab Arka. “Pohon sambutara tidak akan mekar seperti ini, jika tidak ada sesuatu”. Nadanya menunjukkan keseriusan. “Ayo kita periksa” lanjutnya.
Mereka bertiga bersiap meninggalkan pondok itu menuju pantai, namun tiba-tiba dari kejauhan mereka melihat bayangang hitam yang semakin dekat bergerak ke arah mereka. Semakin dekat bayangan itu dapat dilihat semakin jelas, bayangan itu adalah sosok gadis yang tadi terdampar di pantai, langkahnya agak terseok dan kelelahan. Mereka bertiga memperhatikan gadis itu tanpa berkedip, seakan takut melewatkan momen penting.
“Siapa dia?” guman salah satu gadis yang satunya.
“Ah, kelihatanya bukan penduduk sini, gaun yang dipakainya bukan ciri penduduk sini”. Kata Carla menjawab pertanyaan temannya itu.
Setengah menyelidik, Carla megernyitkan dahinya, “Hmmm, barangkali ini dia yang menyebabkan reaksi bungan pohon sambutara bermekaran seperti itu” guman Carla pelan.
Arka kemudian berkata kepada gadis yang berada di sebelah Carla, “Vyn, coba kau dekati gadis itu. Sepertinya dia membutuhkan bantuan” kata Arka kepada gadis itu yang ternyata bernama Vyn.
Sepertinya Vyn keberatan dengan permintaan Arka, ia menukas “Tapi bagaimana jika ternyata dia adalah musuh yang menyusup?, pura-pura butuh pertolongan tapi ternyata .... “ Vyn tidak meneruskan ucapannya.
“Tidak mungkin” bantah Arka. “Seandainya ia berbahaya, tentunya bunga sambutara tidak akan mekar seperti sekarang ini, “ jawab Arka meyakinkan Vyn.
“Jika gadis itu berbahaya, maka bunga sambutara tidak akan mekar, justru pohon-pohon sambutara akan berguncang sebagai tanda peringatan” Arka memberi penjelasan.
“Iya, aku tahu, tapi rasanya kita juga perlu waspada” jawabb Vyn membela diri.
Gadis itu semakin mendekat ke arah mereka, namun ia menghentikan langkahnya sesaat, nampaknya ia ragu untuk meneruskan langkahnya. Sorot matanya menunjukkan perasaan asing dan penuh kewaspadaan.
Melihat sorot mata penuh selidik dan ada rasa ketakutan itu, Arka berinisiatif untuk mendekati gadis itu. Ia melangkah hati-hati, agar tidak menakutinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Arka, kali ini dengan nada lebih lembut. Ia melangkah maju satu langkah, namun segera berhenti ketika gadis itu refleks mundur selangkah, matanya waspada seperti seekor hewan liar yang terjebak. "Jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu."
Carla, yang berdiri di belakang Arka, memperhatikan gadis itu dengan tatapan curiga. Matanya yang tajam menyipit, mencoba membaca bahasa tubuh gadis itu. "Siapa kau? Dan bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanyanya langsung.
Gadis itu terdiam sejenak, ragu untuk menjawab. Bibirnya bergerak pelan, namun suaranya nyaris tak terdengar. "Aku... aku tidak tahu," katanya akhirnya, suaranya serak dan bergetar.
Melihat gadis itu ketakutan, Arka memberikan isyarat kepada Carla untuk berhenti bertanya. Dengan lembut ia kembali bertanya kepada gadis itu.
“Bagaimana kamu bisa sampai ke tempat ini?, kamu mau ke mana?” tanya Arka.
“A...Aku tidak tahu,” kata gadis itu, seperti menahan tangis. Vyn yang sedari tadi memperhatikan gadis itu nampak iba dan mendekati gadis itu.
“Ayo, kita masuk dulu ke pondok, udara di sini dingin.” Katanya.
Mereka bertiga akhirnya menuntun gadis itu memasuki pondok. Gadis itu menuruti ajakan itu tanpa mengucapkan kata apa-apa. Di dalam pondok udara terasa sedikit hangat, membuat gadis itu nampak lega.
Carla masih tetap menaruh tatapan curiga terhadap gadis itu. Matanya menyipit memandang gadis itu dengan perasaan kurang suka. Ia nampak menjaga jarak dari gadis itu, diperhatikannya gadis itu dalam-dalam, terlihat beberapa luka yang ada di kakinya yang tak memakai alas kaki itu. Arka nampak kasihan dengan kondisi gadis itu, rasanya dia ingin menolong gadis itu, namun ketika melihat sorot mata Carla yang seperti itu, ia mengurungkan niatnya.
Vyn, memecah ketegangan itu dengan celotehannya yang ringan, “Nama kamu siapa?” tanya Vyn berusahan bersikap ramah kepada gadis itu. Namun lagi-lagi gadis itu menggeleng pelan, “Aku tidak tahu,” hanya kata itu yang mampu ia ucapkan - dan memang ia sudah benar-benar kehilangan ingatannya.
Suasana kembali hening, mereka bertiga saling bertukar pandang, seakan mengerti bahwa gadis itu tidak memang tidak tahu apa-apa, bahkan tidak ingat apapun.
Ditengah kebingungannya, gadis itu mengarahkan pandanganya ke seluruh ruangan yang ada di pondok itu, ia nampak tertegun memperhatikan lentera-lentera yang tergantung di langit-langit pondok. Lentera itu menyala tanpa minyak, dan setelah diperhatikannya dengan teliti ternyata cahaya lentera itu berasal dari anyaman daun-daun yang membentuknya, cahayanya cukup untuk menerangi ruangan itu namun tidak menyilaukan mata.
“Kamu pasti haus,” kata Arka dengan nada simpati.
Gadis itu mengangguk pelan. Kelihatannya gadis itu masih canggung dan belum bisa beradaptasi terhadap lingkungan barunya itu. Menyadari hal itu, Arka meminta Vyn untuk mengambilkan minuman yang ada dalam sampan yang ditambatkan di samping pondok.
“Vyn, tolong ambilkan minum untuk gadis ini, aku menaruhnya di dalam Lesung Orembai, ada di bangku depan ya,” pinta Arka.
“Iya,” jawab Vyn singkat, ia segera keluar dari pondok menuju sampan itu, yang disebut Lesung Orembai oleh Arka. Gadis itu kembali terkesima dengan apa yang disaksikannya. Ia memperhatikan kendaraan itu, sebuah sampan yang mempunyai kaki-kaki dan terdapat dua pintu di kedua sisinya.
Tak beberapa lama Vyn kembali dengan membawa wadah minuman yang terbuat dari kulit, lalu menyerahkannya kepada gadis itu.
“Terimakasih,” kata gadis itu ketika Vynn menyodorkan minuman itu kepadanya, lalu gadis itu membuka tutup wadah dan meminumnya, ia nampak sangat kehausan. Setelah selesai meminum beberapa teguk ia menyerahkan wadah itu kembali kepada Vyn.
Gadis itu masih nampak kebingugan, pandangannya sayu dan lelah. Sesekali dirapikannya rambut panjangnya yang terurai tak beraturan, ada sebersit pertanyaan yang ingin dia sampaikan, namun nampak ragu-ragu.
Melihat hal itu, dengan suara yang tidak terlalu keras dan ramah, Arka menjelaskan bahwa mereka bertiga adalah petugas jaga untuk Kampung Londata, sebutan untuk negeri bagi Klan Lontara. Kampung Londata sendiri terletak sekitar dua kilometer dari pondok tempat mereka berjaga saat ini. Gadis itu hanya mengangguk pelan mendengarkan penjelasan singkat dari Arka, walaupun sebenarnya ia tidak begitu memahami maksud dari kata-kata itu.
“Arka,” Carla memanggil Arka sambil memberi isyarat untuk mendekat padanya. Arka bergerak maju mendekati Carla, sementara Vyn juga ikut merapat, ketiganya nampak ingin berbicara serius.
“Aku pikir,” kata Carla dengan nada serius, “kita harus memberitahukan kedatangan gadis itu kepada Nyi Lirah.” Lanjutnya.
“Kita tidak bisa terus menerus menjaganya di pondok ini,” Carla mencoba memberikan alasan sambil melirik ke arah gadis itu. Arka dan Vyn juga melakukan hal yang sama, mereka berdua menoleh ke arah gadis itu dengan pandangan yang tidak bisa dipahami.
“Iya, aku setuju.” Jawab Vyn, Arka hanya mengeryitkan dahinya saat mendengar jawaban spontan dari temannya itu.
“Kalau begitu,” Arka berhenti sejenak, sepertinya ia sedang memilih kata-kata yang tepat untuk melanjutkan kalimatnya, “tunggu apalagi?” kata Arka akhirnya sambil tersenyum.
Diskusi itu berlangsung singkat, dan mereka nampaknya sudah menemukan kata sepakat untuk membawa gadis itu kepada seseorang yang mereka panggil dengan nama Nyi Lirah.
Melihat hal itu, gadis itu merasa kurang nyaman, ia nampak ketakutan kemudian beringsut menjauh dari mereka bertiga. Ia merasa terancam dan mulai ketakutan, ada rasa tidak percaya dan curiga meliputi hati gadis itu. Ia merasa bahwa apa yang dibicarakan mereka bertiga akan berdampak buruk baginya. Emosinya menjadi labil, keringat dingin nampak membasahi dahinya. Namun ia tetap berusaha untuk menutupi perasaannya dan bersikap tenang.
Arka kemudian berjalan mendekati gadis itu, ia mengatakan bahwa mereka telah sepakat untuk membawa gadis itu kepada tetua kampung mereka, Nyi Lirah.
“Nyi ... Lirah?” tanya gadis itu.
“Iya,“ jawab Arka, “beliau adalah tetua kampung kami, dan kami harap beliau bisa membantumu untuk sementara waktu, sebelum kamu memutuskan hendak pergi kemana.” Kemudian ia melanjutkan, “hmm, setidaknya untuk saat ini, hanya itu yang bisa kami lakukan untuk membantumu.”
Ada perasaan lega terpancar dari sorot mata gadis itu mendengar penjelasan Arka, dalam hati ia berharap mudah-mudahan Nyi Lirah bisa membantunya mengingat kembali siapa dirinya dan apa sebenarnya yang terjadi padanya. Ia mengangguk setuju dengan apa yang dijelaskan Arka.
“Tapi,” Vyn tiba-tiba menyeletuk memecah suasana. “ Siapa yang akan mengantar gadis ini ke Nyi Lirah?” katanya.
“Arka dong, bareng kamu Vyn” jawab Carla dengan ketus. “Aku saja yang berjaga di sini.” Lanjutnya.
“Eeh, tidak bisa begitu,” sangkal Arka. “Justru harusnya kamu dan Vyn yang pergi ke sana, biar aku yang berjaga, kalian kan sama-sama wanita, itu lebih pantas kelihatannya.” Jawab Arka membela diri.
Pertikaian kecil itu membuat gadis itu merasa risih dan serba salah, ia nampak gugup dan tidak tahu harus bicara apa. Tapi belum sempat terucap sepatah kata dari mulut gadis itu, tiba-tiba saja dengan gerakan terburu-buru, Carla menghampiri Arka.
“Arka ... ,” suara Carla pelan seperti berbisik, sambil memberi isyarat kepada Arka untuk mendongakkan kepalanya ke atas, “coba kamu perhatikan!” Arka mendongakkan kepalanya seperti yang ditunjukkan oleh Carla, dan alangkah terkejutnya ia ketika menyadari bahwa di atas mereka, di atas pondok jaga itu gumpalan awan hitam nampak semakin pekat dan seolah hampir mengenai pondok itu karena saking dekatnya. Mereka bertiga segera keluar dari pondok meninggalkan gadis itu di sana.
Dan benar saja, gumpalan awan hitam itu semakin lama semakin tebal dan pekat, angin bertiup kencang dan membuat lentera di dalam pondok jaga berguncang.
“Sepertinya akan ada badai,” kata Vyn kemudian. Mereka bertiga terus saja memperhatikan keadaan itu dengan waspada.
Gumpalan awan hitam itu terus membesar, menggulung dan berputar menderu di atas mereka, tak berselang lama, angin bertiup kencang ke arah pondok itu, mengguncangkan lentera-lentera yang tergantung di langit-langit pondok. Tidak hanya sampai di situ, dari balik gumpalan awan hitam itu, muncul kilatan petir dan suara gemuruh menggelegar memekakkan telinga. Mereka panik dan berhamburan keluar pondok, kilatan petir itu tidak hanya terdengar di atas pondok, namun mulai menyambar ke arah mereka, menyebabkan beberapa bagian atap pondok terbakar dan rusak.
“Awas Vyn!” teriak Arka mengingatkan Vyn yang berdiri di sudut pondok yang tersambar petir, Carla tak kalah paniknya, ia meloncat menghindari sambaran petir yang hampir mengenainya. Situasi jadi kacau dan membuat mereka berempat bergerak menghindar. Gadis itu semakin ketakutan dan tak dapat mengendalikan dirinya, ia tak tahu harus berbuat apa.
Dengan gerakan yang cekatan ketiga orang itu, Arka, Carla dan Vyn, menarik sabuk yang melingkar di pinggangnya, rupanya itu adalah sebuah cambuk. Cambuk itu mereka ayunkan untuk menangkis sambaran petir yang semakin ganas. Suara lecutan cambuk itu tak kalah kerasnya dengan suara petir yang berasal dari awan hitam itu, rupanya itu adalah senjata andalan mereka.
Gerakan-gerakan dari ketiga orang penjaga kampung Londata itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah terlatih dengan baik, dan ini diihat dengan baik oleh gadis itu. Namun sambaran petir yang berasal dari gumpalan awan hitam itu bukannya semakin reda, justru sebaliknya. Samarannya semakin masif dan mematikan, Carla terjungkal terkena salah satu sambaran itu.
“Arka!, tolong aku!” teriak Carla tatkala salah satu petir itu tepat mengenai pundaknya, ia tersungkur jatuh terguling di atas tanah, cambuk petir di tangannya terlepas, dan sebagian kain baju di pundaknya robek terbakar. Ia mengerang kesakitan.
Mendengar jeritan Carla yang kesakitan terkena sambaran itu, Arka segera mendekati Carla untuk menolongnya, namun kali ini justru Arka yang terancam. Belum sempat ia bergerak ke arah Carla, sebuah sambaran yang dahsyat melemparkannya jauh ke belakang, ia terjerembab jatuh berguling di atas tanah, sama seperti Carla. Kondisi Vyn tidak kalah menyedihkan dari kedua temannya itu, tubuhnya terpelanting lebih jauh dari kedua temannya, ia terpental hingga beberapa meter dari pondok jaga itu.
Gadis tanpa nama itu semakin ketakutan dan berteriak minta tolong:
“Tolong aku... !” sambil menangis berteriak, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, di terduduk berlindug di sisi pondok jaga, memeluk erat kedua lututnya. Anehnya, meskipun petir itu menyambar-nyambar dengan liar ke segala arah, sejengkalpun tidak mengarah ke gadis itu. Seakan-akan sambaran petir itu sengaja menghindari dirinya, namun hal ini tidak disadari oleh gadis itu, karena situasi yang kacau dan mencekam.
Tepat saat kilatan dan sambaran petir itu semakin menggila, sehingga menyebabkan sebagian bangunan pondok jaga itu luluh lantak, sekelebat bayangan melesat cepat ke arah pondok. Gerakannya sigap dan tangkas menangkis semua serangan petir itu, dengan cepat bayangan itu menyambar tubuh ketiga penjaga pondok yang tengah tergeletak tak berdaya itu, membawanya menjauhi area pondok. Kemudian bayangan itu berdiri tegak sambil merapatkan kedua tangannya di depan dada, merapalkan sebuah mantra dan dengan segera kedua tangannya direntangkannya dengan penuh kekuatan. Seketika muncullah perisai cahaya yang berwarna kuning kemerahan yang membentuk semacam kubah melindugi area itu dari ganasnya sambaran petir yang berasal dari gumpalan awan hitam itu. Sesaat situasi nampak terkendali, ketiga penjaga pondok itu nampak berusaha bangun dan berdiri.
“Bei Tama!” panggil Arka kepada sosok lelaki tinggi besar yang baru saja menyelamatkannya itu. “Kau datang tepat waktu”, sambungnya. Sementara Carla dan Vyn mencoba bergerak merapat kepada Arka dan orang itu.
“Gadis itu,...” Carla mencoba menyisir tempat itu dengan kedua matanya, “di mana dia?” gumannya seakan berbicara kepada dirinya sendiri.
Gemuruh guntur yang berasal dari awan hitam itu tedengar semakin kencang, namun berkat perisai kubah yang diciptakan oleh orang itu – Bei Tama, sambarannya kembali terpantul ke angkasa, tak mampu menembus perisai kubah itu.
Bei Tama berusaha memapah Carla dan Vyn untuk berdiri, nafas mereka terengah-engah dan badannya goyah tak mampu berdiri sendiri. Sementara Arka berdiri merapat di dekat lelaki itu.
“Tenanglah, kalian aman sekarang.” Kata Bei Tama. “Apa yang terjadi?”
Carla kembali mengulangi ucapannya, “gadis itu, di mana gadis itu?”
“Gadis?” tanya Bei Tama heran. “Gadis yang mana?” ia nampak kebingungan dengan pertanyaan Carla.
“Dia di sana!” teriak Vyn sambil menunjuk ke arah sudut pondok jaga, dari kejauhan nampak gadis itu meringkuk ketakutan, kedua tangannya memeluk erat lututnya, kepalanya ditempelkan menyentuh lututnya itu, mencoba menyembunyikan wajahnya dari kemelut yang sedang terjadi.
Bei Tama segera menyuruh ketiga penjaga pendopo itu untuk berjalan ke arah gadis itu, sementara ia sendiri masing memasang kuda-kudanya mempertahankan perisai kubahnya agar ketiga orang itu tetap aman dari sambaran petir yang masih liar menggelegar. Ia menambah kekuatan perisai kubahnya hingga cungkupnya melindungi seluruh area itu, sehingga ketiga penjaga pondok itu aman ketika berjalan mendekati gadis itu di sudut pondok.
“Kau tak apa-apa?” tanya Vyn pada gadis itu.
Gadis itu mengangkat kepalanya dan memandang ketiga orang itu dengan tatapan penuh ketakutan, ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Vyn.
“Ayo, kita pergi dari sini, di sini tidak aman,” kata Arka kemudian. Dari jauh Bei Tama nampak masih mempertahankan posisinya menjaga perisai kubah yang melindungi mereka tidak runtuh.
“Cepat naik ke Lesung Orembai,” teriak Bei Tama dari kejauhan. “Bawa gadis itu pergi dari sini!” ujarnya lagi.
“Tapi...” Arka membalas perintah Bei Tama dengan nada ragu.
“Bagaimana denganmu,... sebaiknya engkau ikut kami Bei Tama!” teriak Arka, “di sini tidak aman,” lanjutnya.
“Tenang saja!” jawab Bei Tama mantap, “aku bisa mengatasi keadaan ini, kalian pergilah dulu, bawa gadis itu menjauh dari sini.” Perintah Bei Tama.
Akhirnya Arka dan kawan-kawannya menuntun gadis itu menaiki Lesung Orembai, setelah mereka naik, Carla yang duduk dibangku depan nampak menempelkan telapak tangan kirinya ke sebuah panel yang ada di dasboard Lesung Orembai. Seketika Lesung itu terangkat ke udara, dan kemudian melesat pergi melayang meninggalkan pondok jaga dan Bei Tama yang sedang berjibaku menaklukkan amukan badai itu.
“Hati-hati Bei Tama!” teriak Arka sebelum mereka benar-benar meninggalkan tempat itu. Nampaknya teriakan Arka tak terdengar oleh Bei Tama, karena mereka sudah terlanjur terbang tinggi dengan Lesung Orembainya. Kendaraan itu terus melesat menjauh dari pondok, Arka, Carla dan Vyn nampak khawatir meninggalkan Bei Tama sendirian di tempat itu, pandangan mereka berkali-kali menengok ke belakang, memastikan Bei Tama baik-baik saja.
Sementara Bei Tama masih berjibaku mengatasi amukan badai petir itu ..
Lesung Orembai yang dikendarai mereka berempat, melesat cepat di atas pepohonan, meninggalkan jejak cahaya redup dari energi magis menyelimuti sampan terbang itu. Gadis itu duduk di bangku belakang, bersebelahan dengan Vyn, sementara Arka dan Carla berada di bangku depan, mereka berdua nampak bertindak sebagai pengemudi yang mengendalikan laju Lesung Orembai.
Di atas sampan terbang itu, gadis itu merasakan dinginnya angin malam yang menerpa mereka, tubuhnya masih gemetar dan menggigil, ia mendekap tubuhnya dengan kedua tangannya, berharap dapat mengurangi terpaan angin yang semakin kencang akibat laju sampan terbang yang semakin cepat meninggalkan pondok jaga.
Dari atas sampanterbang itu, tak henti-hentinya gadis itu memandang ke bawah, hamparan pohon Meditrana masih berkilauan memancarkan cahaya yang menenangkan, seandainya saat itu bukan dalam situasi genting, tentu pemandangan itu akan lebih indah dipandang mata. Ia hanya menghela nafas panjang, entah apa yang ada di dalam benaknya.
“Sebentar lagi kita akan memasuki pusat kota negeri Londata, negeri tempat kami tinggal,”
kata Vyn membuyarkan lamunan gadis itu.
“Lihat!” tangan Vyn menunjuk arah depan mereka.
Tampak dari kejauhan sebuah pemukiman yang memancarkan cahaya terang, begitu terangnya sehingga dari kejauhan cahaya itu seolah dapat menembus langit dan nampak jelas dari kejauhan.
“Itu negeri kami,” kata Vyn sambil tersenyum.
Gadis itu membalas senyum Vyn sembari mengangguk pelan.
Dari ketinggian itu, pusat kota klan Lontara yang disebut negeri Londata terlihat mencarkan sinar terang yang menembus langit. Gadis itu merasakan getaran energi yang menenangkan dari aura yang dipancarkan pemukiman itu.
Semakin dekat gadis itu dapat melihat hamparan pohon-pohon Meditrana yang bersinar berkilauan.
“Itu pohon Meditrana, “
Vyn mencoba menjelaskan kepada gadis itu setelah menangkap kekaguman gadis itu.
Gadis itu hanya mengangguk pelan dan terus memandangi hamparan pohon-pohon yang bercahaya di bawahnya itu.
Mereka terus terbang menembus awan malam itu, melewati beberapa perumahan warga yang nampak berkilauan dilihat dari atas, jalan-jalan yang membentang di sepanjang perkampungan itu memikat siapa saja yang melihatnya, di sisi kiri dan kanan jalan itu berjalan beberapa pohon meditrana dan daunnya memancarkan cahaya yang berfungsi sebagai penerangan jalan.
Setelah sekian lama mereka terbang mengangkasa, perlahan Arka dan Carla tampak mengatur kecepatan Lesung Orembai agak sedikit melambat, mereka kemudian terbang merendah, menyusuri jalan-jalan di tengah perkampungan itu.
Beberapa orang nampak hilir mudik dengan kesibukan mereka masing-masing. Sesekali mereka juga berpapasan dengan beberapa Lesung Orembai yang dikendarai oleh penduduk perkampungan itu, kadang mereka saling menyapa atau sekedar melambaikan tangan sebagai tanda ucapan salam.
“Sebentar lagi kita akan sampai di Gubuk Manah”.
Kata Vyn membuyarkan lamunan gadis itu yang tertegun oleh keindahan kota (kampung) itu.
“Gubuk Manah?” tanya gadis itu, ia terlihat sudah mulai bisa beradaptasi dengan teman barunya, Vyn.
“Iya, kita akan ke sana, menemui Nyi Lirah.” Jawab Vyn singkat.
Barangkali gadis itu membayangkan bahwa Gubuk Manah yang disebutkan Vyn adalah sebuah bangunan kecil yang sederhana.
Namun bayangan itu segera berubah manakala Lesung Orembai yang mereka naiki, tiba-tiba turun merendah di sebuah halaman bangunan yang lebih pantas disebut istana daripada sebuah gubuk. Gadis itu bertambah heran dan menatap Vyn dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Kenapa kita ke sini?” tanya gadis itu.
“Iya, kita sudah sampai, itulah Gubuk Manah!”
Jawab Vyn tersenyum sembari menunjuk bangunan besar yang mirip istana itu. Gadis itu hanya bisa melongo, mengamati bangunan besar dan megah yang ada di hadapannya itu.
Setelah Lesung Orembai yang mereka naiki sudah benar-benar mendarat, mereka berempat segera turun berjalan menuju bangunan besar itu, beberapa orang penjaga nampak menghampiri mereka.
Arka memberikan laporan singkat kepada penjaga itu dan kemudian meminta ijin untuk bertemu dengan tetua mereka yaitu Nyi Lirah, tak lama kemudian mereka berempat diperbolehkan menghadap diiringi oleh beberapa penjaga yang berjalan di depannya.
Setelah memasuki halaman pendopo Guguk Manah, mereka dipersilakan duduk untuk menunggu kedatangan Nyi Lirah.
Dan setelah beberapa menit menunggu, dari dalam ruangan bangunan itu, muncullah seorang wanita yang kira-kira sudah berumur delapan puluh tahunan.
Tubuhnya nampak agak membungkuk saat berjalan dengan bertumpu pada sebuah tongkat. Rambutnya yang sudah putih itu tertutupi kerudung besar yang menjulur hingga ke punggungnya, jubahnya yang panjang dan sederhana memberikan kesan bahwa wanita itu adalah seorang yang bersahaja.
Ia melambaikan tangan memberikan isyarat kepada yang hadir untuk kembali duduk, saat mereka berdiri menyambut kehadirannya sebagai tanda pernghormatan.
Setelah semuanya kembali duduk ke kursinya masing-masing, nampak seorang penjaga memberikan laporan mengenai kedatangan Arka dan teman-temannya menghadap kepadanya.
Nyi Lirah menyapukan pandangan kepada mereka berempat, namun saat pandangannya beradu dengan gadis itu, nampak sedikit perubahan pada mimik wajahnya, seperti sedang mencoba untuk menebak atau merasakan sesuatu.
Dengan suara berat dan berwibawa, Nyi Lirah membuka pembicaraan:
“Ada hal penting apa yang membuat kalian menghadapku malam-malam begini, Arka?” tanya Nyi Lirah kepada Arka.
Dengan sikap hormat Arka memberikan penjelasan dan alasannya menghadap malam itu bersama tema-temannya - yang seharusnya saat itu berada di pos penjagaan bagian utara Kampung Londata.
Ia menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi, terutama mengenai kedatangan gadis tanpa nama itu. Nyi Lirah mendengarkan semua penjelasan Arka dengan seksama dan sesekali mengangguk tanda mengerti.
Setelah Arka selesai memberikan penjelasannya, Nyi Lirah melangkah mendekalti gadis itu.
“Namamu siapa nak?” tanya Nyi Lirah penuh kehangatan.
Gadis itu tergagap mendapat pertanyaan mendadak seperti itu, nampaknya ia belum siap dengan jawabannya. Ia mencooba menenangkan diri, dan kemudian setelah merasa sudah dapat menguasai dirinya gadis itu memberanikan memberikan jawaban.
“Saya, tidak tahu Nyi,... “ gadis itu menundukkan wajahnya, memandangi kakinya sendiri.
Nampaknya Nyi Lirah memahami kebingungan gadis itu dan tidak memaksanya dengan pertanyaan lain.
Ia merasa sudah cukup mengerti dengan jawaban singkat dari gadis itu, firasatnya yang tajam dapat menangkap kejujuran dari jawaban yang diberikan oleh gadis itu.
“Arka,” panggil Nyi Lirah kepada Arka.
“Aku sudah merasakan firasat yang mencurigakan malam ini, “ lanjut Nyi Lirah.
“Sore tadi, sebelum matahari tenggelam, aku merasakan ada getaran energi besar yang memasuki negeri Londata, aku tidak yakin getaran energi semacam apakah itu.”
Nyi Lirah berhenti sejenak, nampaknya ia belum selesai dan ingin melanjutkan pembicaraanya.
“Tapi menurutku, getaran energi itu tidak begitu asing, seingatku aku pernah merasakan getaran energi seperti itu sebelumnya, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti.” Lanjut Nyi Lirah.
Semua yang hadir di ruangan itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah menghela nafas beberapa kali, Nyi Lirah melanjutkan ucapannya:
“Aku merasa yakin bahwa getaran energi itu ada kaitannya dengan gadis ini,” Nyi Lirah menghentikan ucapannya sambil memandang gadis itu.
Mengetahui dirinya menjadi topik pembicaraan Nyi Lirah, gadis itu menjadi gugup dan tidak tenang, wajahnya seperti menunjukkan rasa bersalah dan tidak nyaman.
“Aku tidak menyalahkanmu Nak,” kata Nyi Lirah kepada gadis itu.
Nyi Lirah mencoba memberikan pengertian bahwa ucapannya bukanlah sebuah tuduhan yang menyudutkan dirinya.
“Iya Nyi, terima kasih.” Jawab gadis itu dengan penuh hormat.
“Dan malam ini, “ Nyi Lirah melanjutkan.
“Saat awan hitam itu muncul di pondok jaga kalian,” mata Nyi Lirah memandang kepada Arka dan teman-temannya, Carla dan Vyn.
“Kami semua yang ada di sini menyaksikan dengan jelas perubahan warna yang terjadi di pohon-pohon meditrana yang ada di sekitar Gubuk Manah,” kata Nyi Lirah.
“Aku yakin semua penduduk kampung ini juga menyaksikannya.” Kata Nyi Lirah
Ia berhenti dan kembali memandang jajaran pohon Meditrana yang ada di halaman bangunan itu. Arka dan teman-temannya nampak saling pandag, pandangan mereka menyiratkan ketidak tahuan akan hal itu.
“Oleh karena itu, aku segera memerintahkan Bei Tama, pimpinan kalian untuk menyusul kalian ke pondok jaga utara.” Kata Nyi Lirah.
“Karena aku khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan,” Nyi Lirah mengambil nafas sebentar sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.
“Untunglah Bei Tama datang tepat waktu, seperti apa yang sudah kau ceritakan padaku Arka.” Pungkas Nyi Lirah.
“Iya Nyi, untung saja Bei Tama datang tepat waktu, jika tidak, ...”
Carla menimpali ucapan Nyi lirah. Kemudian ia melanjutkan.
“Kami tak tahu apa yang akan menimpa kami selanjutnya.” Kata Carla menutup pembicaraanya.
“Benar Nyi, “ Vyn yang sedari tadi duduk tenang mendengarkan ikut menambahi ucapan temannya, Carla.
Nyi Lirah hanya tersenyum mendengar ucapan mereka bertiga, namun ia tidak menanggapi ucapan itu. Ia bangkit dari tempat duduknya, dengan bertelekan pada tongkatnya.
Sejurus kemudian nampak memejamkan mata untuk berkonsentrasi. Tangan kanannya diangkat di depan dadanya, dan sesaat kemudian dari telapak tangan itu muncul sebersit bayangan seperti hologram yang menghasilkan citra gambar.
Awalnya citra gambar yang dihasilkan dari telapak tangan itu samar-samar, tak berapa lama kemudian citra gambar itu dapat terlihat jelas, sehingga semua yang hadir di situ dapat menyaksikannya.
Citra gambar dari hologram itu adalah tempat di mana Arka dan teman-temannya berjaga, pondok utara. Dari citra itu nampak suasana sekitar pondok yang masih porak-poranda akibat terjangan petir, suara gemuruh petir juga dapat di dengar dari citra gambar itu, dan Bei Tama akhirnya terlihat sedang membentengi dirinya dari serangan badai petir itu.
“Bagaimana kondisimu Bei Tama, “ suara Nyi Lirah agak keras.
Nyi Lirah berbicara pada Bei Tama di dalam citra gambar itu. Rupanya Bei Tama dapat mendengar apa yang dikatakan Nyi Lirah kepadanya.
“Tidak perlu khawatir Nyi, aku dapat mengatasi hal ini!” seru Bei Tama di sana.
Posisiya masih dalam kuda-kuda penuh menangkis serangan badai di dalam Perisai Kubah yang dibuatknya.
“Tetap waspada Bei Tama, kami mengandalkan dirimu.” Kata Nyi Lirah.
“Siap Nyi, aku akan berusaha yang terbaik.” Jawab Bei Tama yang nampak berkeringat kelelahan.
“Segera kabari kami jika terjadi sesuatu,” Nyi Lirah berhenti sebentar.
Lalu katanya: “Apakah perlu aku panggilkan bantuan untukmu Bei Tama?” tanya Nyi Lirah.
“Tidak perlu Nyi, aku masih sanggup menahannya sendiri di sini!” jawab Bei Tama Singkat.
“Jaga dirimu baik-baik Bei Tama, aku yakin kepadamu.” Kata Nyi Lirah
“Baik, Nyi!” jawab Bei Tama
Setelah mengetahui keadan Bei Tama dan berbicara dengannya dalam citra gambar itu, Nyi Lirah kemudian menutup telapak tangan kanannya, seketika citra gambar itu lenyap.
“Itu namanya Mayaru!...” bisik Vyn yang duduk berdekatan dengan gadis itu.
“Oh ...,“ kata gadis itu hanya melongo melihat atraksi hebat yang baru saja ditampilkan oleh Nyi Lirah.
“Mari kita berharap agar Bei Tama dapat berhasil mengatasi situasi ini, dan kembali dengan selamat kepada kita.” Kata Nyi Lirah.
“Untuk sementara, malam ini biarlah gadis ini menginap di Gubuk Manah, nanti aku akan menyuruh seseorang untuk akan menunjukkan kamar untuknya.” Kata Nyi Lirah kemudian.
“Dan sekarang, “ Nyi Lirah menoleh kepada gadis itu.
“Lebih baik kalian temani gadis ini, aku yakin dia belum makan apa-apa dari tadi sore.” Kata Nyi Lirah kepada pada Carla.
“Baik Nyi.” Jawab Carla
Nyi Lirah bangkit dari tempar duduknya, berdiri dan kemudian pergi meninggalkan ruang pertemuan itu, diikuti seorang penjaga yang berjalan di belakangnya.
Sementara itu, Carla dan teman-temannya nampak saling pandang seperti berbicara dalam bahasa isyarat, Arka hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu, sedangkan Vyn hanya diam saja.
Selang tak berapa lama, seorang pelayan nampak menghampiri mereka. Namanya Wulan.
“Ayo, kita ke ruang makan dulu!.. “ senyum Wulan begitu ramah mengisyaratkan kepada gadis tanpa nama itu untuk bangkit dari tempat duduknya.
Arka, Carla dan Vyn ikut bangkit dari tempat duduk mereka masing-masing mengikuti wulan dan gadis itu menuju ruang makan yang ditunjukkan oleh pelayan tadi, Wulan.
Setelah makan malam itu, Arka, Carla dan Vyn berpamitan kepada gadis itu untuk meninggalkan Gubuk Manah, Wulan hanya tersenyum melihat keakraban mereka.
Nampaknya gadis itu sudah mulai bisa merasakan kehangatan dan keakraban yang ditunjukkan oleh Arka dan teman-temannya. Setelah mereka bertiga pergi, Wulan segera mengajak gadis itu untuk menuju kamar yang sudah disediakan.
Gadis itu mengikuti Wulan yang berjalan menyusuri setiap lorong dalam bangunan itu, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah kamar yang nampaknya memang disediakan bagi tamu yang menginap di situ. Setelah membuka pintu, Wulan masuk ke dalam kamar diikuti gadis itu, ia menuju sebuah lemari besar yang ada di dalam kamar itu.
“Hmm, kayaknya kamu perlu ganti pakaianmu itu, ayo pilih sendiri ya?” kata Wulan dengan senyum sumringah memambah kehangatan dan rasa nyaman pada gadis itu.
“Iya... iya, “ jawab gadis itu merasa tidak enak hati, “tapi, ....” gadis itu tak meneruskan ucapannya.
“Ah,.. jangan sungkan, pilih saja sendiri.” Ucap Wulan sambil menunjukkan koleksi pakaian yang tergantung di dalam lemari besar itu.
Gadis itu memandangi pakaian yang ada di situ, matanya nampak sedang memilih pakaian yang cocok untuknya.
Sambil sesekali memandangi dirinya sendiri, sepertinya sedang mengukur badannya dengan pakaian yang akan dipilihnya.
“Kamu tahu tidak?” tanya Wulan membuat gadis tanpa nama itu penasaran.
“Apa?” tanya gadis itu
“Pakaian yang kamu kenakan saat ini,” ucap Wulan
“Kenapa dengan pakaianku?” tanya gadis itu, namun saat ia mencermati kembali gaun yang dipakainya, ia baru sadar bahwa model gaun yang ia kenakan itu sangat berbeda dengan pakaian yang dipakai semua orang yang ada di tempat itu.
“Itu bukan jenis pakaian yang biasa kami kenakan, jika kamu terus terusan memakai gaun itu, pastinya akan menimbulkan perhatian, betul kan?” jawab Wulan sambil tersenyum ramah.
“Eh, iya.” Jawab gadis itu sambil tersipu malu.
Rona merah di wajahnya memberikan aura hangat yang bisa dirasakan oleh Wulan. Dalam hati Wulan merasa yakin bahwa gadis ini adalah orang baik dan jujur, dan ia merasa perlu untuk membuatnya nyaman.
Setelah memilih pakaian yang cocok, kemudian gadis tanpa nama itu memakainya.
Setelah pakaian itu selesai dikenakan, Wulan mempersilakannya untuk bercermin, guna memastikan bahwa pilihannya sudah tepat. Ia menunjukkan sebuah cermin besar yang ada di sudut ruangan itu.
Gadis itu berdiri lama di depan cermin, diperhatikan dalam-dalam bayangan dirinya di dalam cermin itu, sesekali ia menghela nafas dalam, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Wulan dengan seksama memperhatikan setiap gerak dan detil kecil yang ditunjukkan oleh gadis tanpa nama itu.
“Aku rasa pakaian itu cocok dengan ukuran tubuhmu,” kata Wulan membuyarkan lamunan gadis itu. Dengan tersipu malu gadis itu hanya mengangguk dan sesekali memandangi dirinya kembali di cermin.
“Baiklah, sekarang kamu harus istirahat dulu,” kata Wulan kemudian, seraya beranjak dari tempat itu menuju pintu.
“Terimakasih ya, .... “ kata gadis itu terhenti, seperti ada kalimat yang hilang dari ucapannya itu.
“Namaku Wulan.” Kata Wulan sambil tersenyum, seperti mengerti apa yang ingin ditanyakan oleh gadis itu.
“Eh,.. iya, terimakasih Wulan.” Kata gadis itu seperti merasa lega karena sudah menemukan lanjutan kalimatnya yang hilang tadi.
“Sama-sama, istirahat yang tenang ya... “. Kata Wulan sambil menutup pintu kamar itu, kemudian suara langkah kakinya terdengar menjauh dari kamar itu.
Setelah Wulan meninggalkannya sendiri di dalam kamar itu, suasana kembali hening.
Gadis itu merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur, namun matanya tetap tak bisa dipejamkan. Kejadian yang menimpanya hari itu, semakin membuat ingatannya kembali kepada sore hari di pantai itu.
Sampai saat ini ia belum mampu mengingat apapun mengenai dirinya, dan siapa sebenarnya dirinya. Ia mencoba mengingat setiap detik saat yang dilalui semenjak tersadar di pantai itu, pertemuannya dengan Arka dan teman-temannya di pondok jaga, awan hitam yang tiba-tiba muncul, Bei Tama hingga ahirnya semua hal mengesankan yang ia saksikan di Kampung londata, tempat sekarang ia berada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!