Senja menyinari ruang museum dengan cahaya keemasan saat gadis itu menutup novel di tangannya. Dia mendesah pelan, menatap halaman terakhir yang terasa begitu cepat datangnya.
“Seru… keren banget… tapi, kenapa harus berakhir begini?” gumamnya, masih enggan melepaskan buku itu dari genggamannya. "Seandainya ada ekstranya… Aku ingin tahu bagaimana nasib keluarga mereka… Apa mereka akhirnya menikah… Oh, sial. Kalau mereka tidak menikah bagaimana?”
Dia menggaruk rambutnya dengan kesal. "Penasaran sekali...."
Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, mencerminkan keputusasaan kecil yang hanya bisa dirasakan oleh seseorang yang baru saja kehilangan dunia di dalam buku. Tapi kenyataan menunggunya.
Museum ini memang tidak pernah ramai. Bahkan saat akhir pekan, hanya segelintir orang yang datang berkunjung. Kadang-kadang ada tur sekolah atau mahasiswa yang melakukan penelitian, tapi kebanyakan waktu, ruangan-ruangan ini hanya diisi oleh keheningan dan langkah-langkah kakinya sendiri.
Dia tahu tempat ini tidak menghasilkan banyak keuntungan. Jika bukan karena beberapa anggaran yang masih tersisa, mungkin museum ini sudah lama ditutup dan dia kehilangan pekerjaannya. Untung saja, hingga sekarang, gajinya masih mengalir. Lagipula, di mana lagi dia bisa menemukan pekerjaan semudah ini?
Dengan enggan, dia berdiri dari kursinya, merapikan seragamnya yang sederhana, kemeja krem dengan logo museum di lengan dan celana panjang gelap yang sudah mulai terasa kusut setelah seharian bekerja. Sesekali, dia merasa pekerjaannya ini hampir seperti menjadi penjaga waktu, mengawasi sejarah yang tetap diam di tempatnya sementara dunia di luar terus bergerak maju.
Dia melirik jam dinding tua di ruangan staf. Jarum pendek sudah hampir mencapai angka tujuh.
"Hampir selesai," gumamnya, sebelum mengambil senter kecil dari meja.
"Baiklah, waktunya patroli terakhir," katanya pada diri sendiri, memasukkan novel ke dalam tas kecilnya sebelum melangkah keluar dari ruang istirahat staf.
Lorong-lorong museum terasa sepi. Pengunjung terakhir sudah pergi, menyisakan keheningan yang dipenuhi suara langkah kakinya yang menggema di antara dinding tinggi yang dipenuhi lukisan dan artefak bersejarah. Lampu-lampu redup di langit-langit menerangi patung-patung marmer, menciptakan bayangan panjang yang menari di lantai.
Dia berjalan melewati ruang pamer utama, memastikan semua benda berharga tetap berada di tempatnya. Suasana museum di malam hari selalu membuatnya sedikit merinding—bukan karena takut, tapi karena ada kesan seolah sejarah itu sendiri tengah mengawasinya.
Saat melewati salah satu pajangan kaca besar, matanya menangkap pantulan dirinya sendiri. “Terkadang aku merasa seperti karakter di dalam novel juga… terjebak dalam rutinitas yang sama setiap hari.”
Senyumnya muncul tipis, samar, sebelum dia kembali melangkah. Dia hanya perlu menyelesaikan tugasnya dan pulang—lalu mungkin, mencari novel baru untuk mengisi rasa kosong yang ditinggalkan cerita sebelumnya.
[Ding!]
Langkahnya terhenti.
Sebuah suara aneh bergema di dalam kepalanya. Seperti notifikasi… tapi bukan dari ponselnya.
[Selamat datang di Legend Weaving System!]
Dahi gadis itu berkerut. "Apa?"
[Anda telah dipilih sebagai kandidat Weaver, individu yang mampu mengubah dan menyelamatkan tokoh dalam legenda!]
Jantungnya berdebar. Dia melirik sekeliling, memastikan bahwa ini bukan sekadar halusinasi akibat kelelahan. Tapi suara itu… terlalu nyata.
Tunggu, system?
Seperti dalam novel?
[Misi Awal: Pilih satu legenda yang ingin Anda selamatkan!]
Mata gadis itu membelalak. Legenda? Seperti kisah-kisah yang sering dia baca dan teliti di museum ini?
Tunggu, tunggu, tidak bisakah dia menolak?
Tiba-tiba, di depan matanya, muncul daftar berisi nama-nama tokoh dari legenda Nusantara. Ada Sangkuriang, yang berakhir tragis. Ada Dayang Sumbi, yang hidup dalam kesepian. Ada Roro Jonggrang, yang menjadi batu. Ada Lutung Kasarung…
Tubuhnya gemetar, dia... dia tidak tau apa yang harus dilakukan.
Sebuah pilihan muncul di hadapannya.
[Konfirmasi pilihan: Ande-ande Lumut?]
▶ Ya
❌ Tidak
Dia menelan ludah. Ini… ini tidak nyata, bukan?
Dia menggelengkan kepalanya dan mundur. Dia tidak ingin berurusan dengan hal ini.
Namun suara tikus di langit-langit yang seperti terjatuh mengejutkan tubuhnya, dia melompat dan tanpa sengaja menyentuh tanda 'Ya'.
Denara : .....
Begitu jari-jarinya menyentuhnya—
[Misi Dimulai.]
Dunia di sekitarnya berubah menjadi gelap.
Denara tidak sempat bereaksi. Begitu jarinya menyentuh pilihan itu, seluruh dunia di sekitarnya seakan tersedot ke dalam kehampaan.
Dia bisa melihat museum didepannya terdistorsi.
Lampu museum yang redup lenyap. Dinding-dinding batu yang dingin menghilang. Bahkan suara dengungan lampu neon dan langkah kakinya sendiri tidak lagi terdengar.
Gelap. Sunyi. Hanya ada denyut jantungnya yang berpacu.
[Inisialisasi sistem...]
Sebuah suara bergema di kepalanya, lebih jernih dan kuat daripada sebelumnya.
[Mencocokkan data dengan legenda Ande-Ande Lumut...]
Denara ingin berbicara, ingin bertanya apa yang sedang terjadi. Namun sebelum dia sempat mengeluarkan suara...
[Sinkronisasi selesai. Memulai transmigrasi.]
Sebuah cahaya terang meledak dari kegelapan, menyelimuti tubuhnya dalam pusaran warna keemasan dan hijau zamrud. Seakan dirinya ditarik ke dalam pusaran waktu, tubuhnya terasa ringan, seperti terangkat dari dunia nyata.
Lalu—
Dia mendengar suara air mengalir. Angin yang sejuk. Aroma tanah basah.
Kelopak matanya berkedut, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menembus kelopak matanya. Perlahan, dia membuka mata.
Bukan lagi museum sepi yang menyambutnya.
Sebagai gantinya, dia melihat langit biru yang jernih, pepohonan rindang yang bergoyang ditiup angin, dan sungai jernih yang mengalir di dekatnya.
Denara tersentak dan langsung duduk, napasnya terengah-engah.
"Apa... di mana aku?"
Dia melihat ke bawah, ke pakaiannya. Itu bukan lagi seragam penjaga museum. Sebagai gantinya, dia mengenakan kain batik sederhana dengan selendang tipis di bahunya. Rambutnya yang biasanya diikat kini terurai, terasa lebih panjang dan lembut.
Sebuah suara ding kembali bergema.
[Selamat datang di dunia legenda Ande-Ande Lumut.]
Denara membelalak. Tidak. Tidak mungkin. Ini tidak nyata.
Namun saat angin kembali menerpa wajahnya, membawa aroma tanah dan bunga liar yang terlalu hidup untuk sekadar mimpi, dia tahu satu hal yang pasti—
Dia benar-benar masuk ke dalam legenda.
[Menginstal Kisah]
Sebuah cerita dimasukkan dalam kepalanya. Kisah ini tidak berbeda dengan apa yang dia tau.
Awal kisah ini sama seperti kisah Ande-ande Lumut yang dia tau.
Di sebuah kerajaan, hiduplah seorang janda dengan tiga anak perempuannya. Dua di antaranya adalah anak kandungnya yang bernama Klenting Merah dan Klenting Biru, sementara yang bungsu, Klenting Kuning, adalah anak angkat yang sering diperlakukan seperti pembantu oleh ibu dan saudara-saudaranya.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa seorang pemuda tampan bernama Ande-Ande Lumut sedang mencari istri. Banyak gadis ingin melamarnya, termasuk Klenting Merah dan Klenting Biru. Mereka pun berangkat menuju tempat Ande-Ande Lumut, meninggalkan Klenting Kuning di rumah.
Dalam perjalanan, mereka harus menyeberangi sungai yang dijaga oleh Yuyu Kangkang, seekor kepiting raksasa berkekuatan magis. Yuyu Kangkang bersedia menyeberangkan mereka dengan syarat mereka mau mencium atau menyerahkan diri kepadanya. Klenting Merah dan Klenting Biru setuju, lalu Yuyu Kangkang membantu mereka menyeberang.
Setelah mereka pergi, Klenting Kuning juga ingin mencoba. Dengan bantuan ibu angkatnya yang diam-diam masih menyayanginya, dia mendapatkan pakaian yang lebih layak dan berangkat. Ketika bertemu Yuyu Kangkang, dia menolak syarat yang diajukan. Yuyu Kangkang mencoba memaksa, tapi Klenting Kuning ternyata memiliki kesaktian tersembunyi dan berhasil mengalahkannya, lalu menyeberang sendiri.
Saat sampai di rumah Ande-Ande Lumut, Klenting Merah dan Klenting Biru berusaha menarik perhatiannya. Namun, Ande-Ande Lumut menolak mereka karena tahu bahwa mereka telah menyerahkan diri kepada Yuyu Kangkang. Ketika Klenting Kuning datang, dia langsung mengenali bahwa gadis itu adalah wanita suci dan berhati tulus.
Akhirnya, Ande-Ande Lumut memilih Klenting Kuning sebagai istrinya. Ternyata, dia bukan pemuda biasa, melainkan seorang pangeran yang sedang menyamar untuk mencari wanita berhati murni. Mereka pun menikah dan hidup bahagia, sementara Klenting Merah, Klenting Biru, dan ibu mereka menyesali perbuatannya.
Seharusnya begitu, tapi dunia ini bekerja dengan cara lain.
Entah bagaimana, Ande-ande Lumut tidak mengetahui bagaimana menilai seseorang. Dia akhirnya dimanfaatkan dan menikahi Klenting Merah. Akhirnya kerajaannya hancur dan dia disalahkan.
Tidak diketahui apakah dia hidup atau mati.
Menurut cerita, Klenting kuning akhirnya berteman dengan Yuyu Kangkang dan mengembara di setiap sungai setelah ditolak.
"Aku... Siapa karakterku?" Tanya Denara pelan.
[Ding!]
[Memuat data...]
[Identitas Host terkonfirmasi...]
[Anda telah menjadi Klenting Kuning.]
Denara membeku.
"Itu, haha... maaf, system. Aku sepertinya salah dengar. Siapa aku tadi?"
[Menjawab Host. Anda telah menjadi Klenting Kuning]
Suara itu menggema dalam kepalanya, sementara pikirannya berputar dengan kecepatan tinggi. Dia mencoba mencerna informasi yang baru saja ditanamkan dalam otaknya.
"Hehe..." Ada tawa kering yang menyelinap keluar dari mulut Denara.
Legenda Ande-ande Lumut yang dia tahu seharusnya memiliki akhir bahagia. Klenting Kuning menikahi Ande-ande Lumut, yang ternyata seorang pangeran dan mereka hidup bahagia selamanya. Namun, di dunia ini, cerita itu tidak berjalan seperti yang seharusnya.
Ande-ande Lumut gagal mengenali Klenting Kuning sebagai wanita yang tulus dan malah memilih Klenting Merah, yang kemudian menghancurkan kerajaannya.
Dan Klenting Kuning... ditolak? Berteman dengan Yuyu Kangkang dan mengembara di sungai?
Denara merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya.
"Tunggu, tunggu. Aku benar-benar telah menjadi Klenting Kuning? Bisakah aku menolak sekarang." suaranya terdengar panik.
Seketika, dia merasakan tubuhnya lebih ringan, lebih kecil dari yang dia tau. Dia menunduk dan melihat tangannya. Lebih halus, lebih lentik. Kain batik yang membalut tubuhnya terasa sederhana, dan saat dia menyentuh rambutnya, dia bisa merasakan panjangnya yang terurai.
Tidak, dia jelas memiliki rambut pendek!
Tidak ada seragam museum. Tidak ada lingkungan modern.
Dia benar-benar telah pergi ke dunia legenda. Tidak, haruskah dia mengatakan ini sebagai dunia fantasi.
Sial!
[Target penyelesaian Misi: Perbaiki Takdir Ande-Ande Lumut!]
Denara mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.
"Apa?! Bagaimana caranya?!" serunya, suaranya bergetar antara marah dan panik. "Selain itu, apa untungnya untukku? Aku menjalani hidup yang damai selama ini! Kenapa kamu tiba-tiba mengikatku dan menyuruhku melakukan ini? Tidak bisakah kamu mencari orang lain."
Tidak ada jawaban.
Denara merasakan dadanya naik turun dengan cepat. Napasnya memburu, matanya liar mencari sesuatu yang bisa dia pegang untuk memastikan ini hanyalah mimpi buruk. Tapi tidak ada. Semuanya terlalu nyata. Tanah di bawah kakinya, udara yang lebih lembap, aroma kayu dan dedaunan di sekelilingnya.
"Sistem rusak, jawab aku!"
[...]
Denara mengertakkan gigi, bersiap untuk kembali berteriak, tetapi sebelum dia sempat melanjutkan protesnya, suara notifikasi kembali berbunyi.
[Sistem mendeteksi bahwa inang memiliki penyakit genetik tersembunyi.]
Denara tertegun. "Apa?" Kali ini suaranya menjadi sedikit halus dan pelan.
[Poin yang diperoleh selama misi dapat ditukar untuk obat. Sistem mengingatkan bahwa obat yang ditukarkan berasal dari masa depan dan memiliki harga yang mahal. Namun Host dapat tenang, Selama Host memperbaiki beberapa legenda, Host akan sembuh secara bertahap.]
[Selain itu, berdasarkan data sistem, Host merupakan lulusan ilmu sejarah dengan pengetahuan luas tentang legenda Nusantara. Oleh karena itu, sistem mendeteksi kecocokan sebesar 99% antara Host dan misi ini.]
Denara terdiam. Otaknya mencoba mencerna informasi itu dengan cepat.
"Aku... aku tidak sakit," katanya, mencoba menyangkal. "Aku sehat-sehat saja! Aku tidak pernah divonis dokter—"
Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, sistem menampilkan serangkaian ingatan yang terkunci dalam pikirannya sendiri.
Dia mengenali ingatan itu, karena semua ingatan itu merupakan ingatannya sendiri!
Tapi ingatan ini membuatnya sangat ketakutan.
Tangannya yang gemetar saat bangun tengah malam, darah yang merembes dari hidungnya ke bantal.
Tubuhnya yang selalu pucat, meski dia makan dengan baik.
Sesak napas yang datang tiba-tiba saat dia harus berlari atau berolahraga berat, memaksanya berhenti dan membungkuk dengan napas terengah-engah.
Seketika, dia merasakan hawa dingin menusuk tubuhnya.
Benaknya berusaha mencari alasan. Banyak gadis seusianya yang juga seperti itu, bukan? Beberapa memang lebih lemah atau manja... Dia hanya kurang olahraga, kurang tidur, atau mungkin anemia ringan. Tapi—
Penyakit genetik?!
Darahnya berdesir dingin.
"Jangan bercanda..." bisiknya. "Aku... apakah aku benar-benar sakit?"
Denara menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak oleh kecemasan yang tiba-tiba menghantam.
"Tapi... aku tidak pernah pergi ke dokter. Tidak pernah ada diagnosis resmi. Bagaimana aku bisa percaya begitu saja?!" Dia masih berusaha menolaknya.
Sistem tetap diam selama beberapa saat, lalu sebuah jendela baru muncul di hadapannya.
[Menampilkan data medis...]
Teks dan angka-angka memenuhi pandangannya. Beberapa istilah medis asing membuatnya semakin pusing, tetapi ada satu bagian yang menarik perhatiannya.
[Gejala utama: Epistaksis kronis (mimisan berulang), anemia sekunder, hipoksia ringan, kelemahan otot...]
Denara membaca dengan mata membelalak.
Mungkinkah dia benar-benar memiliki penyakit tersembunyi...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!