BYUURR..
Nando tersentak saat Betari sekonyong-konyong menuangkan iced matcha latte ke wajahnya. Sensasi dingin terasa lebih pekat karena terpaan udara dari air conditioner diatas kepalanya. Sore ini kafe relatif ramai sehingga tatapan orang-orang juga mulai tertuju ke meja yang dia tempati.
Selingkuh?
Mokondo?
Ketahuan main judol?
Kejerat pinjol?
Kasak-kusuk terdengar dari meja sebelah. Nando masih cukup terkejut untuk meminta konfirmasi langsung kepada Betari tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia ingin bertanya kenapa kekasihnya itu mendadak berbuat sesuatu yang di luar prediksi padahal tiga detik sebelumnya mereka masih mengobrol panjang lebar dalam suasana yang asyik. Namun, Nando tidak bisa. Bibirnya tidak bergerak sama sekali.
Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Betari. Mereka berjanji bertemu di sini untuk merayakan anniversary. Hari ini hubungan mereka tepat berusia tiga tahun. Kafe ini dipilih karena di sinilah mereka pertama kali bertemu. Nando juga tidak keberatan untuk merayakan anniversary ini bertiga dengan Andara, sahabat baik Betari, karena mereka memang sering merayakan banyak hal bersama.
"Nando, ya ampun." Alih-alih Betari, seseorang yang mengambil tisu dan membantu membersihkan bekas matcha latte di wajah Nando adalah Andara.
Nando sendiri tidak menghiraukan gadis yang duduk di sebelahnya itu. Dia masih terus menatap Betari, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tidak mampu keluar dari mulutnya.
"Kalian memang cocok jadi pasangan. Kamu suka, kan, diperlakukan sebaik itu selayaknya seorang raja?"
Melihat Betari tersenyum miring setelah mendecih, Nando sepertinya tahu akar masalahnya. Dengan refleks tak terduga, Nando menyentak tangan Andara dan membuat gadis itu berhenti menyentuh wajahnya.
"Be…" lirihnya. "Be, aku nggak tahu apa masalahnya, tapi aku yakin kita bisa omongin ini baik-baik."
Lagi-lagi yang Nando temukan adalah senyum muak di wajah cantik Betari. Hati Nando mencelos. Dia tidak pernah melihat sisi Betari yang seperti ini sebelumnya.
"Oke," ucap Betari. Dia mengambil jeda untuk mengotak-atik ponselnya. Dua detik setelahnya, terdengar denting ponsel Nando dari saku celana. Betari menunjuk ke arah ponsel itu disimpan menggunakan dagunya, "Coba kita dengar penjelasan macam apa yang bisa kamu kasih untuk hal itu."
Firasat Nando sudah tidak enak ketika tangannya bergerak merogoh saku celana. Satu pesan telah dikirim oleh Betari, berisi sebuah video. Jantung Nando berdegup begitu kencang. Menerka-nerka isi videonya, tetapi terlalu takut untuk membukanya.
"Be, kamu apa-apan sih? Ini ada apa sebenernya?" Andara menyela.
Betari menatap tajam gadis berambut hitam legam itu, "Can you shut your fucking mouth up?I’m talking to Nando right now."
Andara kicep. Tapi keheningan tidak sempat berlangsung lama karena Nando akhirnya memiliki keberanian untuk membuka video yang Betari kirimkan.
Suara -suara aneh seketika menyebar ke seluruh area kafe, membuat orang-orang serempak menoleh ke arah meja mereka dengan tatapan menghakimi.
Nando sendiri tidak berkutik di posisinya. Matanya terpaku pada layar ponsel yang sedang memutar video berisi dirinya dan Andara sedang melakukan sex. Saking terkejutnya, Nando sampai tidak memiliki gerak refleks untuk menurunkan volume video atau sekadar memencet layar sekali agar video itu berhenti terputar.
"Penjelasan apa yang kamu punya, Nando?" tanya Betari.
"Ini nggak kayak yang kamu pikirin, Be," kata Nando akhirnya. Hanya jawaban refleks tersebut yang mampu keluar dari mulut Nando setelah berhasil keluar dari keterkejutannya.
"Nggak kayak apa yang aku pikirin? Emang kamu rasa, aku mikir apa setelah lihat semua ini? Masih ada celah juga buat kamu ngeles?" tandas Betari. Setelah mengatakannya, mata Betari langsung menyorot tajam pada sosok Andara yang diam tak berkutik.
"Kamu juga. Dari sekian banyak manusia di muka bumi ini, emangnya nggak ada pilihan yang lebih masuk akal? Dari sekian banyak laki-laki, kenapa harus pacar sahabatmu sendiri?"
"Be," sela Nando. Betari kembali menatapnya penuh emosi. "Bukan salah Andara. Ini semua salah aku. Aku yang nggak bisa kendaliin diri aku."
Betari tertawa sumbang mendengar ucapan Nando. Sempurna. Setelah sebuah pengkhianatan, kini dia juga harus menerima kenyataan bahwa laki-laki yang dia percaya malah membela perempuan lain di depannya. Sungguh sial hidupnya.
Tak ingin berlama-lama berhadapan dengan dua manusia tidak punya hati itu, Betari pun bangkit dari kursinya. Dia menatap Nando dan Andara secara bergantian sekali lagi. Seakan ingin menegaskan kalau setelah dia keluar dari kafe ini, hubungan mereka bertiga benar-benar sudah selesai.
"Ya, ya, lakuin aja apa yang kalian mau. Selamat menempuh kehidupan baru kalian, yang demi Tuhan aku doakan bakal selamanya terasa kayak neraka."
Betari pernah dengar ibunya memberi nasihat untuk tidak mendoakan keburukan kepada orang lain. Sebab do'a adalah serupa bola kasti yang dipantulkan ke tembok. Makin kencang dilempar, makin dahsyat pula dia menghantam balik. Namun, di situasi seperti ini, Betari tidak lagi punya sedikit ruang untuk memberikan doa baik kepada Nando ataupun Andara. Dia akan hidup lebih lama untuk melihat dua orang itu menderita. Itu adalah sumpahnya.
Tanpa jawaban, Betari pergi meninggalkan kafe dengan dada yang terasa seperti ditekan.
Sementara di tempatnya ditinggalkan, Nando hanya bisa merutuki segala kebodohan yang dia perbuat. Hanya karena sedikit kesepian, dia membiarkan hati Betari remuk redam.
Sedangkan Andara, alih-alih merasa frustrasi, tidak akan ada yang menyadari bahwa dia diam-diam justru mengulum senyum.
Bagus.
...****...
Betari kembali ke rumah dengan dada yang terasa penuh. Dia menutup pintu cukup keras untuk meluapkan emosi yang tersisa. Tak ada air mata yang keluar. Bagus. Karena menurut Betari, air matanya terlalu berharga kalau harus ditumpahkan hanya untuk menangisi sebuah pengkhianatan.
Meskipun demikian, Betari tidak bisa memungkiri bahwa dirinya kecewa. Tiga tahun yang dia jalani bersama Nando berakhir sia-sia. Tapi yang lebih parah, dia juga harus menerima kenyataan bahwa satu-satunya sahabat yang dia kasihi juga ikut andil dalam hancurnya hubungan mereka.
Betari bukan tipikal manusia yang gemar meratap. Jadi, daripada menyiksa diri sendiri untuk dua orang yang tidak pantas ditangisi, dia lebih memilih berbenah dari segala sesuatu yang menyangkut Nando.
Dalam gerakan cepat Betari membuka ponselnya. Di sana, sudah terdapat puluhan panggilan tak terjawab dan beberapa pesan singkat. Dia tidak memeriksanya. Jarinya justru melipir lincah membuka galeri, lalu tanpa pikir panjang menghapus semua folder berisi foto Nando dan Andara.
Barang-barang pemberian--atau lebih tepatnya barang kenangan dengan Nando juga satu per satu mulai dia masukkan ke dalam kardus. Betari belum tahu mau diapakan barang-barang tersebut. Yang penting, kenangan tentang mereka sudah terbungkus rapat dan berada jauh dari jangkauan pandangnya. Ini adalah salah satu upaya yang Betari punya untuk memulai hidup tanpa bayang-bayang Nando dan Andara lagi.
Tetapi kemudian, Betari menyadari satu hal. Entah seberapa keras usahanya untuk mengenyahkan Nando, dia tetap akan bertemu dengan lelaki itu di kantor.
Mengingatnya membuat energi Betari seakan disedot habis. Dia berjongkok di sisi ranjang. Pandangannya melayang hampir seperti melamun. Lalu dengan suara yang teramat kecil, dia berbisik, "Ah, berengsek.... apa aku cuti saja untuk beberapa hari ke depan?"
Namun setelahnya, Betari mengenyahkan pikiran pengecut itu bersamaan dengan bunyi kardus yang digeser kasar olehnya. Dia akan menghadapinya dengan tenang.
.
.
Bersambung
Novel by manusia yang bernama Rain dan Zenun.
Betari kira berpisah dengan Nando tidak akan membuatnya terlalu sedih. Toh sebelum bertemu dengan Nando, dia menjalani harinya dengan baik-baik saja. Tetapi kenyataannya, yang sulit dari sebuah hubungan yang berakhir bukanlah perpisahannya, melainkan kenangan yang tertinggal selamanya di memori kepala.
Gedung kantor, halte busway, mal, kafe, toko roti, kedai kopi, hingga warung tenda pinggiran yang sering Betari kunjungi bersama Nando membawa begitu banyak kenangan. Tidak peduli seberapa keras Betari berusaha mengalihkan perhatian pun, kepalanya akan otomatis memutar adegan di setiap tempat yang dikunjungi
Seperti hari ini misalnya. Di Minggu pagi yang cerah dan penuh nuansa gembira, dia menyempatkan diri mampir ke toko roti langganannya. Satu pak roti tawar tanpa kulit pinggiran yang keras dan butter croissant dipilih tanpa banyak pertimbangan. Namun, saat matanya bertemu dengan satu slice red velvet merah menyala, otaknya langsung secara otomatis teringat pada Nando.
"Kamu kok suka banget sama red velvet? Cowok kan biasanya nggak terlalu suka cake."
"Karena warnanya yang menarik dan rasanya yang unik. Atau mungkin ... karena makannya di sini sama kamu."
Bullshit.
Betari yakin tidak memiliki word of affirmation sebagai love language, jadi sewaktu Nando mengatakannya, dia hanya menggeplak pelan bahu lelaki itu sambil merotasi bola matanya dan tertawa kecil.
Mana Betari tahu kalau sekarang ucapan itu justru terngiang di telinganya dan berhasil membuat perasaannya campur aduk.
Ketika Betari terpaku memandang red velvet yang seolah sedang melambaikan tangan kepadanya, lonceng di depan pintu toko roti berbunyi. Kepalanya refleks menoleh hanya untuk mendapati tenggorokannya terasa tercekat sebab Nando ada di sana. Lelaki itu berdiri menjulang dalam setelan kasual yang di hari-hari kemarin berhasil membuatnya mabuk kepayang.
Masalahnya, Nando tidak datang sendirian. Andara muncul sepersekian detik kemudian, menggandeng mesra lengannya, lalu mulai berjalan beriringan.
Saat dulu sering melihat adegan pelabrakan pelakor di portal berita, Betari pikir dia akan sama gilanya. Ternyata orang-orang yang berani mengamuk itu memiliki mental baja. Kendati Betari sendiri cukup kokoh dan tangguh, dia nyatanya tidak bisa menahan sesak ketika Nando melewati dirinya begitu saja seolah mereka tidak pernah saling kenal.
Padahal pekan lalu di kafe, lelaki itu masih berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Padahal sampai tiga hari yang lalu, Nando masih berusaha menghubunginya sebelum semua akses kontak dia blokir.
Lebih dari itu, Betari tidak menyangka bahwa Andara memiliki hati yang begitu dingin. Nando mungkin bersikap acuh karena memang sudah tidak menginginkan dirinya, tetapi Andara? Bagaimana bisa gadis itu bersikap begini setelah belasan tahun mereka habiskan bersama?
"Awwhh.." Andara merintih sembari memegangi kepalanya. Nando sigap mengulurkan perhatian.
"Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?"
"Nggak kenapa-kenapa kok, cuma tiba-tiba sedikit pusing aja. Ayo kita lanjut pesan red velvet kesukaan kamu." Namun perkataannya tak selaras dengan raut wajah yang masih terlihat meringis.
"Kamu yakin? Mending kita batalin aja, terus pulang biar kamu istirahat. Atau mau ke dokter?"
"Nggak usah Nando, aku udah nggak apa-apa. Tadi cuma sekilas aja pusingnya. Nggak percaya? Nih pegang dahi aku, nggak panas kan? Aku tuh paling semangat temenin kamu makan red velvet, makanya sewaktu pusing melanda, langsung terhempas begitu aja." Begitu katanya. Tentu saja Andara tidak apa-apa karena hanya berpura-pura sakit. Tangan Nando diraih Andara, kemudian ditempelkan di dahinya. Nando hanya mengangguk, lalu manut untuk melanjutkan pembelian.
Senyum tipis Andara terbit, yang mana sebenarnya ia melihat keberadaan Betari namun ia pura-pura tak tahu. Di dalam hati kecilnya, Andara berharap Betari mendengar percakapannya dengan Nando.
"Mba Be,"
Betari mengalihkan perhatian pada kasir di belakang punggungnya. Meninggalkan Nando dan Andara yang mulai menjauh, berkeliling melihat satu persatu etalase.
"Itu pacarnya, kan? Kok sama cewek lain?" bisik si kasir perempuan. Betari cukup akrab dengannya.
"Udah putus," sahut Betari sekenanya, lalu menyambar belanjaannya yang sudah selesai dibayar.
Ketika berbalik menuju pintu dan sebelum mengayunkan kaki, Betari sudah bertekad. Dia tidak akan tinggal diam. Harga dirinya tidak bisa diinjak-injak. Mata bayar mata, gigi bayar gigi, sakit hatinya pun harus dibayar dengan harga yang setimpal.
Betari bersumpah, dia akan membuat Nando merasakan betapa pedih sebuah pengkhianatan.
...*****...
Tak sulit bagi Betari untuk mencari informasi mendalam soal Nando. Jangankan hanya untuk tahu di SMA mana dulu dia bersekolah, sampai nama ayah, nama ibu, nama kakek buyutnya pun Betari berhasil kantongi. Terima kasih kepada otaknya yang jenius dan relasinya yang diam-diam seluas jagad raya. Berkat itu semua, dia tidak mendapatkan kesulitan untuk menyusun rencana balas dendam yang matang.
Konon katanya, jika ingin seseorang merasakan sakit yang berkali-kali lipat menyiksa, kita bisa lakukan sesuatu pada orang-orang terdekatnya. Nando sudah berhasil membuktikannya. Dengan memilih Andara sebagai selingkuhan, Nando sudah berhasil mencabik-cabik hati Betari sampai hancur tidak keruan.
Sebagai gantinya, Betari akan melakukan hal serupa.
Tidak seperti dirinya, Nando memiliki lebih banyak orang di sisinya. Memang memakan lebih banyak waktu, tetapi akhirnya Betari berhasil juga memilah dan mengelompokkan mereka menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan circle pertama otomatis akan menjadi target utama untuk Betari melancarkan balas dendamnya.
“Semua yang lo minta ada di situ.”
Betari mengambil amplop cokelat yang diberikan oleh lelaki di depannya. Lelaki itu adalah Ardhan, sepupu Nando yang Betari tahu tidak memiliki hubungan cukup baik. Semasa SMA dulu, Nando pernah merebut kekasih Ardhan dan luka itu masih membekas sampai sekarang. Akan sulit bagi Betari berjalan sendirian, jadi dia akan memanfaatkan Ardhan diam-diam.
“Gue harap isinya sesuai sama apa yang lo butuhkan,” ucap Ardhan lagi.
Sambil memeriksa data-data yang Ardhan bantu kumpulkan, Betari mengangguk pelan. Sudut bibirnya terangkat sedikit demi sedikit seiring dengan makin banyaknya informasi yang dia terima.
“Thanks, next time gue traktir kopi.” Betari menyimpan amplop cokelat itu di dalam tasnya, beralih menatap Ardhan dengan kedua mata berbinar.
Ardhan mengibaskan tangan di udara. “Nggak usah repot. Gue bersedia bantu karena pengin lihat Nando kena batunya. Jadi viral di medsos gara-gara kena siram es matcha latte aja nggak akan cukup buat bikin hidup dia sengsara.”
Ah, benar. Betari tidak menceritakan apa pun kepada Ardhan. Lelaki itu tahu soal perselingkuhan Nando dari rekaman video yang beredar di sosial media. Terima kasih kepada si perekam. Kalau nanti Betari bertemu muka dengannya, akan Betari pastikan memberi reward yang sepadan.
“By the way, lo nggak mau bikin sesuatu juga ke ceweknya? Biar mereka berdua sama-sama menderita, lah.”
Betari terdiam sejenak. Ada benarnya juga. Tetapi untuk saat ini, dia ingin fokus pada Nando dulu.
“Nanti,” ucapnya kemudian, kembali tersenyum tipis. “Satu-satu. Sekarang Nando dulu.”
Ardhan mengangguk bersemangat. Ini seperti dia akhirnya mendapatkan kesempatan membalas dendam tanpa mengotori tangannya sendiri terlalu banyak.
“Kalau lo butuh bantuan, kasih tahu gue aja, gue bakal lakukan yang terbaik.” Ardhan mengembangkan senyum.
Betari mengangguk dan tersenyum simpul. Di kepala sekarang ini sudah bukan nama Nando lagi yang ada, melainkan Melvis. Aldrian Melvis Soehardja. Duda kaya raya yang akan membantu melaksanakan balas dendamnya.
.
.
Bersambung.
Langit Jakarta sudah menggelap dari berjam-jam yang lalu. Akan tetapi, kondisi jalan masih saja padat. Suara klakson menggema di mana-mana, pengendara saling senggol adu bacot, para pengamen dan pedagang asongan berseliweran di sela-sela padatnya kendaraan.
Aldrian Melvis Soehardja ada di sana, menjadi salah satu manusia yang terjebak dalam sibuknya jalanan kota Jakarta. Dia duduk di kursi penumpang belakang, sibuk dengan tab di tangan. Kedua telinganya tersumpal earphone sehingga keributan di luar sama sekali tidak mengusik kegiatannya. Sebagai seorang pemilik perusahaan penyedia jasa konsultan keuangan, dia memang selalu sibuk. Apa pun yang menyangkut pekerjaan akan dia lakukan dengan serius--terkadang cenderung kaku dan terlalu perfeksionis.
Kendati begitu, sebagai manusia biasa di luar pekerjaannya, Melvis hanyalah seorang duda anak satu yang juga ingin sesekali menikmati hidup. Nongkrong di kafe dengan live music, pergi ke bar intimate untuk minum segelas dua gelas wine, pergi ke toko pakaian high end untuk memilih beberapa pakaian kasual, dan kegiatan-kegiatan lain umumnya dilakukan oleh manusia kebanyakan.
Melvis telah menghabiskan masa mudanya menjadi orang tua tunggal setelah istrinya meninggal sewaktu melahirkan, jadi di usia 45 tahun ini, dia ingin sedikit lebih bersantai menikmati hidup. Toh putranya sudah hampir kepala tiga, sudah cukup dewasa untuk menangani banyak hal sendirian. Meskipun terkadang, dia masih kerap menyesali beberapa hal.
“Pak.” Sopir yang mengemudi di depan, memanggil pelan. Melvis geming. Suara lembut sang sopir tidak masuk ke telinganya yang tersumbat. Si sopir pun sedikit menengok ke belakang. Melihat bosnya sedang serius, dia bergerak pelan mengetuk sandaran jok pengemudi untuk menarik perhatian.
“Pak Melvis,” ulangnya. Kali ini berhasil. Melvis mengangkat kepala, menatap sebentar, lalu melepaskan earphone di telinga kiri.
“Macetnya parah nih Pak, mau saya cari jalan alternatif aja?” tanya si sopir.
Melvis mengedarkan pandangan ke luar. Benar saja, semakin banyak kendaraan berjubel dan kesulitan berjalan maju. Dia lalu melirik jam di pergelangan tangan kiri, berpikir sebentar sebelum mengambil keputusan.
“Bisa?” tanyanya balik.
Si sopir mengangguk yakin. “Bisa, Pak. Di depan sana ada jalan tembus yang bisa bawa kita ke jalan utama. Jaraknya memang lebih jauh, tapi kayaknya lebih oke daripada kejebak macet begini.”
Melvis tidak sedang terburu-buru. Besok weekend dan dia tidak harus melakukan sesuatu yang urgent. Tapi tidak bisa dipungkiri, dia sudah lelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Berendam di air hangat sepertinya akan menyenangkan.
Jadi,
“Oke, kita lewat sana aja.” Dia memutuskan.
Si sopir mengangguk cepat dan langsung kembali fokus pada kemudi. Begitu mobil berhasil maju sedikit demi sedikit, dia akhirnya berhasil membawa kemudi berbelok ke kiri.
Jalan tembus yang dimaksud sang sopir berada di area perumahan elite yang masih dalam tahap pembangunan. Belum banyak bangunan yang berdiri di sisi kanan dan kiri. Sebagai gantinya, yang mereka temui adalah jalanan berkelok dengan pencahayaan minim, bidang tanah luas berundak dengan rerumputan dan pohon-pohon menjulang tinggi, serta polisi tidur gendut nan lebar setiap beberapa meter.
Melvis tidak protes. Dia percayakan saja urusan perjalanan ini kepada sang sopir yang sudah mengabdi pada keluarganya selama 30 tahun lebih. Dalam beberapa menit, mobil melaju lepas tanpa hambatan. Keputusan sang sopir untuk mencari jalan alternatif tampaknya sudah benar. Atau mungkin... Tidak.
Ketika Melvis hendak melanjutkan pekerjaannya, kaca mobil diketuk berkali-kali. Pelakunya adalah seorang pengendara motor yang berboncengan di sisi kiri mobil. Keduanya mengenakan helm full face sehingga di dalam pencahayaan yang minim, mereka makin sulit dikenali. Keduanya tampak menunjuk-nunjuk ban belakang, memberi isyarat seakan mengatakan, “Pak, bannya kempes!”
Karena ketukan di kaca dan isyarat tak kunjung berhenti, Melvis akhirnya meminta sang sopir untuk menepi. Sekadar memeriksa separah apa kondisi ban mobil mereka dan apakah masih memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan.
Namun, ketika mobil berhenti dan sang sopir baru membuka pintu untuk turun, salah seorang dari pengendara motor tadi tahu-tahu bergerak cepat menyergap sang sopir. Lehernya dipiting, tubuhnya diseret menjauh ke sisi jalan yang berlawanan. Sementara satu orang lainnya juga langsung membuka paksa pintu di sebelah Melvis, sekonyong-konyong menodongkan pisau lipat ke tenggorokannya.
“Turun!” teriak pria itu.
Melvis mengangkat tangannya di udara, menurut saja turun dari mobil daripada lehernya digorok. Posisinya tidak memungkinkan untuk melawan sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah berusaha tetap tenang sewaktu si pria menggiringnya menjauh dari mobil dengan pisau lipat tertodong di leher. Bergerak sedikit saja, lehernya sudah bisa dipastikan robek.
“Ambil aja apa pun yang kalian butuhkan, tapi jangan sakiti kami.” Melvis mencoba bernegosiasi.
Di seberang jalan, sopirnya sudah bersimpuh tak berdaya di rerumputan dengan tangan terikat ke belakang. Lalu pria yang meringkusnya tadi terlihat hendak berjalan mendekat.
Namun, baru setengah jalan, pria itu mendadak berhenti bertepatan dengan tumbangnya si teman yang sedang menyandera Melvis. Sebuah tas selempang baru saja mendarat di kepalanya, membuat tubuhnya oleng dan akhirnya jatuh ke aspal.
Gerakan yang spontan dari si pria yang menyanderanya membuat pisau lipat yang dipegang menggores kulit leher Melvis sedikit. Tetapi dia tidak punya waktu untuk merasakan perih di sana karena matanya justru dibuat fokus pada pemandangan yang luar biasa.
Di jalanan sepi antah-berantah, dua orang pria berbadan besar dihajar oleh seorang perempuan yang secara fisik kelihatan lebih lemah. Melvis tak habis pikir melihat sang gadis--yang entah muncul dari mana--menggebuk dua pria itu bergantian menggunakan helm. Sampai kemudian, keduanya berhasil meloloskan diri dan lari terbirit-birit. Motor digas pol, melaju meninggalkan TKP dengan terburu-buru.
“Woy, jangan kabur! Dasar pengecut, beraninya ngancam orang pakai senjata! Sini, kita duel lagi!” teriak si gadis berambut pendek sebahu itu penuh emosi.
Melvis, sambil memegangi lehernya yang tergores, menginterupsi. Katanya, “Mbak, udah, Mbak. Udah jauh itu orangnya.”
Si gadis berbalik menatapnya galak. “Bapak hampir mati, tapi bisa sesantai itu ngomongnya?” todongnya.
“Ya ... Mau gimana lagi? Emangnya kalau saya ikutan emosi, luka di leher saya bisa langsung sembuh?” jawabnya sembari menunjukkan luka gores di lehernya.
Melihat darah merembes dari sana, si gadis membungkam mulutnya. “Oh My God! Kita ke rumah sakit sekarang!” serunya heboh.
Entah mengapa melihat reaksi gadis itu malah membuat Melvis tertawa kecil. Sungguhan, luka di lehernya tidak separah itu. Telat ke rumah sakit tidak akan membuat darahnya habis dan seketika mati, kok.
“Kok malah ketawa?” Si gadis mendelik. “Bapak sikopat, ya? Makanya nggak ada takut-takutnya lewat jalanan gelap begini?” Pertanyaan itu semakin membuat Melvis merasa tergelitik. Kalau dirinya adalah psikopat, lalu gadis di depannya ini apa? Monster?
“Mbak sendiri berani amat lewat sini sendirian, naik motor pula.” Melvis menyerang balik. Matanya melirik sebentar pada motor matic sang gadis yang sekarang sedang rebahan di tengah jalan. Saking bersemangatnya untuk menolong, gadis itu sepertinya sampai membuang motornya begitu saja.
“Saya mah udah biasa lewat sini. Jalur reguler,” sahut si gadis sambil bersungut-sungut. “Jangankan preman, dedemit penunggu pohon besar itu aja takut sama saya.” Sambungnya seraya menunjuk pohon besar di seberang jalan.
“Eh, ya ampun!” serunya lagi heboh. Telunjuknya ribut menunjuk ke seberang jalan. “Itu sopirnya kasihan. Bapak nih bukannya cepetan ke sana buat nolongin!” omelnya.
Melvis cengo diomeli begitu. Ditambah lagi sang gadis juga langsung melesat ke seberang jalan untuk membantu sopirnya melepaskan diri dari ikatan. Tak berselang lama, gadis itu sudah kembali ke hadapannya bersama sang sopir.
“Lain kali kalau udah jam segini, mending jangan jalan lewat jalan sini, Pak, bahaya. Mending macet-macetan di depan daripada nyawa melayang.” Si gadis berucap. Sementara sopir Melvis tampak sedikit menunduk, merasa bersalah.
“Iya,” jawab Melvis. “Makasih udah nolongin saya.”
“Iya, sama-sama.”
Sang gadis hendak berbalik menghampiri motornya setelah memungut tas selempangnya yang tercampak, ketika Melvis menghentikan pergerakannya dengan suaranya yang serak.
“Ya?” tanya sang gadis.
“Kartu nama saya,” kata Melvis seraya menyodorkan kartu nama miliknya. Si gadis menyambut kartu nama itu, membacanya sebentar, lalu kembali menatap Melvis penasaran. “Buat apa?” tanyanya.
Melvis tersenyum lembut. “Kalau suatu saat kamu butuh bantuan, hubungi saya aja. Saya akan gantian bantuin kamu.”
“Saya ikhlas nolongin Bapak dari preman-preman cemen tadi.”
“Saya juga ikhlas kasih kartu nama saya buat kamu hubungi.”
Si gadis berdecak. “Bapak ini nggak mau kalah banget ya orangnya?”
“Dan kamu ini keras kepala, suka marah-marah, bar-bar, dan juga heboh ya?” Melvis menyerang balik. Ia terkikik geli dalam hati tatkala melihat gadis di depannya mendelik.
“Simpan kartu nama saya dan jangan ragu buat minta bantuan,” ucap Melvis lagi.
Si gadis akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk. Kartu nama milik Melvis dia masukkan ke dalam saku jaketnya.
“Ya udah, kalau gitu saya permisi.”
“Tunggu,” cegah Melvis lagi.
Si gadis yang mungkin sudah kesal, kembali berdecak. “Apa lagi?” tanyanya sewot.
“Nama kamu. Saya belum tahu nama kamu siapa.”
“Oh, kirain apa.” Gadis itu mengangguk-angguk kecil. Tanpa diduga menggosokkan kedua telapak tangannya ke jaket sebelum mengulurkan tangan kepada Melvis. “Saya Betari Amalia Pertiwi."
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!