NovelToon NovelToon

Istri Tengil Jenderal Impoten

Bab 1 : Pesta Pernikahan Berujung Fatal

...****************...

Momen sakral yang katanya penuh cinta dan kebahagiaan. Tapi buat gue? Momen yang bikin hati cenat-cenut nggak jelas.

"Gila sih, lo akhirnya nikah juga," gumam gue sambil ngeliatin sahabat gue yang duduk di pelaminan dengan senyum sumringah. Cantik banget, kaya putri dari negeri dongeng.

Gue ngelirik gelas di tangan, isinya tinggal setengah.

Gue teguk habis.

Bukan, bukan karena gue gak bahagia buat dia. Gue iri. Gue 20 tahun, masih metik cabai di ladang orang, sementara temen gue udah halal sama suaminya. Itu bedanya langit dan bumi, bos.

Jadi? Minum lagi.

"Tambah satu lagi," Ucap gue ke pelayan sambil nyodorin gelas kosong.

Dia ragu sejenak, tapi akhirnya menuang juga. Dan gue? Minum lagi. Satu teguk. Dua teguk. Tiga teguk. Sampai akhirnya dunia mulai goyang.

"Hahaha… sial, kepala gue muter," balas gue ke angin.

Gue berdiri, nyari udara segar, tapi langkah gue udah kayak bebek abis mabuk. Gue nyelonong keluar ballroom, masuk ke lorong hotel, terus asal buka pintu kamar pertama yang gue lihat.

Begitu masuk, gue langsung rebahan di kasur empuk.

"Ah… ini dia, kamar terenak sedunia," gumam gue puas.

Tapi pas buka mata, ada bayangan hitam berdiri di depan kasur, mandangin gue dengan ekspresi datar.

Gue nyipit-nyipitin mata, berusaha fokus.

Pria. Tinggi. Dingin. Wajah kaku. Mata tajam kaya elang.

"Siapa lo?" tanya gue santai.

Seharusnya gue takut, kan? Tapi otak gue udah terlalu ngambang buat merasa takut.

"Seharusnya gue yang bertanya," balasnya datar.

Gue ngibasin tangan, malas debat. Pas mau tidur lagi, otak gue tiba-tiba nyala.

"Gue mau nikah!" seru gue tiba-tiba.

Dia diem.

Gue bangun duduk, ngeliat meja di samping ranjang, ada kertas dan pena. Otak brilian gue langsung jalan.

Dengan gerakan cepat, gue ambil kertas itu, mulai corat-coret.

"PERJANJIAN PERNIKAHAN," tulis gue besar-besar di atasnya.

Gue adalah istri sah lo mulai sekarang.

Lo nggak boleh cerai kecuali gue yang mau.

Lo harus kasih gue uang jajan.

Tertanda, Aira Samantha.

Gue teken di bawahnya, lalu sodorin ke pria itu.

"Tanda tangan sini," perintah gue.

Dia melirik kertas itu sebentar, lalu menatap gue datar. "Tidak."

Gue manyun, lalu tiba-tiba dapet ide brilian lagi.

Dengan gerakan cepat, gue narik tangannya, nyuruh dia duduk di tepi ranjang, lalu dengan lihai gue duduk di pangkuannya.

Gue goyang-goyangin pinggul sambil ketawa keras kaya orang gila.

"HAHAHA!"

"Ayo kita menikah, suamikuuu~" seru gue dramatis.

Pria itu diem. Kaku. Mata tajamnya keliatan bingung.

Gue makin ketawa sambil nyodorin pena ke tangannya.

"Ayo, tanda tangan atau gue goyang-goyang di sini sampai pagi!"

Dia masih diem beberapa detik.

Lalu, dengan ekspresi datar, dia ambil pena itu—dan tanda tangan.

Gue ngeliatin tanda tangannya di kertas dengan mata berbinar.

"Heh, beneran lo tanda tangan?!" tanya gue kaget sambil ketawa ngakak.

Pria itu diem aja, mukanya datar banget. Tapi justru itu yang bikin gue makin gemes.

Tanpa pikir panjang, gue mendekat, lalu miringkan kepala dan nyium lehernya. Sedikit. Pelan. Lalu… gue jilat dikit.

"Hahaha!" Gue langsung ketawa lagi, puas ngeliat otot di lehernya sedikit tegang.

Pria itu masih diem. Tapi gue bisa lihat dia ngehela napas panjang, seolah lagi nahan diri dari sesuatu.

Gue mundur, ngerasa menang. Terus, tanpa babibu, gue bangkit dan langsung rebahan di ranjang, selonjoran dengan santai.

"Akhirnya punya suami," gumam gue dramatis, nyengir lebar sambil mandangin langit-langit kamar.

Gue lalu menoleh ke arah pria itu yang masih duduk kaku di tepi ranjang.

"Suamiku, ayo sini tidur bareng istrimu yang cantik jelita ini," Ucap gue sambil menepuk-nepuk kasur di sebelah gue.

Pria itu nggak langsung bereaksi. Dia cuma ngeliatin gue lama, ekspresinya tetep datar, tapi matanya entah kenapa… terasa lebih dalam.

Gue nyengir jahil. "Ayo dong, masa suami tidur di lantai? Atau lo malu tidur sama gue?"

Dia masih diem.

Lalu, perlahan… dia berdiri.

Dan tanpa bilang apa-apa, dia jalan mendekat.

...****************...

Cahaya matahari pagi masuk lewat celah tirai, nyorot langsung ke muka gue. Gue meringis, ngerasa kepala berat banget.

"Ugh…"

Gue menggeliat, tapi ada yang aneh. Perut gue… berat?

Gue ngerasa ada sesuatu yang nempel di pinggang gue.

Gue buru-buru buka mata, ngelirik ke bawah selimut. Begitu gue angkat kainnya, mata gue langsung membesar.

Sebuah tangan.

Tangan besar. Kekar.

MELINGKAR DI PINGGANG GUE.

"ANJIR!" Gue hampir serangan jantung, langsung melompat dari ranjang secepat kilat.

Gue berdiri dengan napas ngos-ngosan, ngeliatin pria yang masih rebahan di kasur.

Gue tunjuk dia dengan panik. "LO SIAPA?!"

Pria itu—yang entah siapa—akhirnya buka mata. Dengan tenang, dia duduk, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, lalu melirik gue santai.

"Suamimu."

Gue ngerasa dunia berhenti sebentar.

"A—Apa?"

Dia bangkit, berdiri dengan postur tinggi menjulang. Gue yang cuma seupil langsung merasa kecil banget di depannya.

Dia nyodorin selembar kertas ke gue. "Bukti."

Gue ambil kertas itu dengan tangan gemetaran. Begitu gue baca tulisan di atasnya, gue langsung ngerasa pengen pingsan.

"PERJANJIAN PERNIKAHAN."

Nama gue ada di situ. Tanda tangan gue juga ada.

Gue ngeliat pria di depan gue. "Ini…"

Dia mengangguk pelan.

Gue nelen ludah, otak masih lemot. Tapi terus, gue sadar sesuatu.

Gue mendongak. "INI NGGAK SAH! GUE LAGI MABUK KEMARIN! INI EFEK ALKOHOL! NGGAK SOPAN BANGET LO NGANGGAP SERIUS!"

Dia diem sebentar.

Lalu… bahunya naik turun sedikit, kaya lagi mikir.

Tapi terus, dengan wajah super datarnya, dia buka mulut.

"Sayangnya, gue tipe pria yang serius."

Gue masih ngerasa dunia berputar. Ini nggak nyata. Ini pasti mimpi buruk akibat kebanyakan minum wine semalam.

Gue menggeleng cepat. "Nggak! Gue nggak terima! Ini semua salah! Gue mabuk! Ini nggak bisa dihitung sah!"

Pria di depan gue masih diem, mukanya tetep datar. Tapi terus, dia buka jaketnya, ngeluarin ponsel dari sakunya, dan dengan gerakan santai, dia ngeklik sesuatu di layar.

"Duduk," katanya pendek.

Gue ngeliat dia curiga. "Buat apa?"

Dia nggak jawab. Dia cuma ngangkat ponselnya, terus muterin sesuatu.

Dan… begitu gue liat layarnya, darah gue langsung beku.

Di video itu, ada gue.

Gue yang duduk di pangkuan pria ini. Gue yang narik-narik kerah bajunya sambil ketawa ngakak kayak orang gila.

Gue yang menggoyangkan pinggul di atas pahanya.

Gue yang menciumi lehernya.

Gue yang—

"ANJIR!" Gue buru-buru nutup mulut sendiri, ngerasa pengen mati.

Gue melotot ke dia. "INI—INI NGGAK BISA DIANGGAP SERIUS! LO KENAPA NGE-REKAM GUE?!"

Dia masih tetep tenang. "Untuk bukti."

"Bukti apaan?!"

"Bukti bahwa minggu depan kita menikah."

Gue membeku. "HAH?"

Dia ngeklik sesuatu di layar ponselnya, lalu dengan tatapan tajam tapi tetap datar, dia berkata pelan tapi jelas.

"Kalau lo nolak, video ini akan menyebar."

.

.

.

Next 👉🏻

Bab 2 : Rencana Terburuk

...****************...

Gue ngerasa tenggorokan gue kering. Kepala gue masih cenat-cenut efek mabuk, tapi sekarang ditambah kepanikan luar biasa.

"Lo… Lo nggak bakal beneran nyebarin video itu, kan?" tanya gue, suara gue sedikit gemetar.

Dia masih santai, muter-muterin ponselnya di tangannya. "Tergantung."

"Tergantung apaan?" tanya gue lagi, mengernyit.

"Tergantung jawaban lo," jawabnya santai.

"Anjir, lo ngancem gue?" seru gue, langsung melotot.

Dia hanya angkat bahu. "Gue cuma ngasih pilihan," jawabnya tanpa peduli.

Gue mencengkeram rambut sendiri, frustrasi. "Gila… Ini gila! Gue cuma pemetik cabai di ladang orang, bro! Gaji gue aja nggak cukup buat bayar kos-kosan, apalagi buat sogok polisi kalau lo beneran ngelaporin gue!"

Dia tetap tenang. "Bukan urusan gue," katanya tanpa ekspresi.

Gue menggigit bibir, ngerasa makin panik.

"Terus, kalau video itu nyebar…" Gue nelen ludah. "Gila! GUE BISA VIRAL!"

Gue udah bisa ngebayangin judul-judul berita di media sosial:

"WANITA TENGIL GONCANG PANGKUAN JENDERAL, PELECEHAN ATAU CINTA?"

"PEMETIK CABAI BERAKSI, VIDEO PEMERSATU BANGSA?"

"INI SUDAH PANGKU KE BERAPA?!"

GUE NGGAK MAU!

Gue langsung nengok ke dia. "Tunggu, lo seriusan jenderal?"

Dia mengangguk pelan.

Gue semakin lemas.

Bukan cuma sekadar pria biasa, ternyata gue udah ngelakuin hal nggak sopan ke pejabat negara?!

Gue nutup muka. "Ya Tuhan, hidup gue hancur."

"Jadi?"

Gue nengok ke dia, yang masih dengan wajah datarnya, tapi matanya tajam mengunci gue.

"Lo terima atau nggak?" tanyanya lagi.

Gue nelen ludah, berkecamuk dalam dilema terbesar sepanjang hidup gue.

Gue ngerasa semua energi di tubuh gue tersedot habis. Gue nyorot mata ke pria di depan gue, lalu ke layar ponselnya yang masih gelap, tapi tetap bikin gue paranoid.

Gue udah nggak punya pilihan.

Gue bukan orang kaya, bukan anak orang berpengaruh, apalagi punya kenalan yang bisa bantuin gue keluar dari masalah ini. Gue cuma pemetik cabai di ladang orang, gaji gue nggak cukup buat nyogok polisi, dan gue juga nggak mau video absurd gue masuk ke sosmed jadi bahan hiburan netizen.

Dengan napas berat, gue merosot duduk di ujung ranjang.

"Oke," gumam gue pelan.

Pria itu masih diem. "Apa?"

Gue mendongak, melotot ke arahnya. "GUE BILANG OKE! Gue setuju nikah!"

Dia nggak bereaksi. Mukanya tetap datar, seolah ini bukan masalah besar buat dia.

Gue menghela napas panjang, terus ngelirik ke sofa di ujung kamar. Di situ ada seragam militer yang rapi banget, lengkap sama tanda pangkat di dadanya. Baru sekarang otak gue bener-bener nyambung.

"Jadi… lo beneran jenderal?" tanya gue sekali lagi.

Dia mengangguk pelan.

Gue menyipitkan mata, memerhatikan wajahnya yang… kalau dilihat-lihat, lumayan juga. Tegas, bersih, rapi. Umurnya mungkin 30-an, tapi masih keliatan muda.

Gue melipat tangan di dada. "Nama lo siapa?"

"Teddy Wilson."

Gue mengerjap. "Wilson? Kok kayak nama merk sepatu?"

Akhirnya, ada sedikit perubahan di wajahnya. Dia mengernyit, lalu menghela napas seolah baru sadar kalau gue ini bakal jadi beban hidupnya.

"Nama lo?" tanyanya gantian.

"Aira Samantha. Lo bisa panggil gue Aira."

Dia mengangguk, tetap tanpa ekspresi.

Gue menghela napas panjang, lalu menatap dia dengan wajah lelah. "Jadi… kita bakal nikah minggu depan?"

Dia mengangguk.

Gue menelan ludah. Hidup gue bener-bener berubah dalam semalam.

"Seriusan, lo nggak punya cara lain buat ngomong selain ngancem?" tanya gue, nyorot mata ke dia.

Teddy cuma angkat bahu, muka tetap datar. "Cara ini lebih efektif," jawabnya santai.

Gue menghela napas panjang, ngerasa harga diri gue diinjak-injak. Mau nggak mau, gue akhirnya ngeluarin ponsel dari saku dan nyodorin ke dia. "Udah, sini tukeran nomor."

Teddy ngambil ponsel gue, masukin nomornya, lalu ngetes dengan nelepon ponselnya sendiri. Setelah itu, dia balikin ke gue.

"Besok gue jemput. Kita ketemu keluarga gue," katanya, seolah itu hal biasa.

"Buat apa?" gue langsung melotot.

"Ngomong soal pernikahan kita," jawabnya singkat.

Gue masih kaget, tapi terus ketawa sinis. "Gue aja nggak punya keluarga. Gue hidup sendirian."

Teddy berhenti sebentar, tapi reaksinya cuma satu: anggukan kecil. Seolah dia nggak kaget atau peduli. "Kalau gitu, minta izin ke keluarga gue aja. Mereka harus percaya kita ini pasangan beneran."

"HAH?!"

"Dan lo harus berperan sebagai cewek yang beneran cinta sama gue." sambungnya.

Gue refleks mundur satu langkah. "Geli banget! Ogah!"

Teddy akhirnya nyengir tipis, tapi malah bikin gue makin takut. "Terserah kalau nggak mau. Ya, terpaksa video—"

"FUCK! IYA! GUE BAKAL AKTING!" Gue langsung teriak, frustasi. "Alay banget lo, dikit-dikit ngancem orang!"

Teddy akhirnya mengambil kunci mobilnya dan berjalan ke arah pintu. "Bagus. Sekarang gue anter lo pulang."

Gue cuma bisa mendengus kesal, tapi akhirnya ngikut juga. Hidup gue bener-bener berubah dalam semalam, dan gue nggak yakin ini bakal berakhir baik.

Mobil berhenti tepat di depan kosan gue yang kecil dan sederhana. Gue buru-buru ngelepas seatbelt, siap-siap kabur sebelum laki-laki ini makin nyebelin.

"Jangan macem-macem blokir nomor gue," kata Teddy santai, tapi ada nada peringatan di situ.

"Iya, iya, jelek," dengus gue malas.

Teddy tiba-tiba menoleh, bibirnya melengkung licik. "Lucu ya, lo manggil gue jelek sekarang. Padahal semalam lo teriak-teriak suamiku, suamiku," ucapnya dengan nada menggoda.

Gue langsung ngerasa urat di leher gue ketarik. "GUE MABUK KEMARIN! GILA LO! Gak usah dibahas!" seru gue dengan emosi.

Teddy masih kalem, tapi matanya ada kilatan jahil. "Mabuk, tapi sempet-sempetnya nulis perjanjian, tanda tangan, sampe goyang pangkuan?" katanya sambil menyeringai puas.

Gue hampir nepuk jidat sendiri saking stresnya.

"GUE KAN GAK SADAR!" teriak gue frustasi.

Teddy mengangkat alis, pura-pura berpikir. "Berarti kalau nggak sadar, lo bisa ngulang hal yang sama kalau mabuk lagi?" tanyanya dengan santai.

Muka gue merah padam. "Sumpah, kalo gue sekaya lo, yang gue beli pertama kali adalah otak biar bisa ngerti situasi!" omelku kesal.

Teddy akhirnya ngakak kecil, pertama kalinya dia bereaksi normal sejak ketemu gue. "Lusa gue jemput. Jangan macem-macem," ujarnya masih menahan tawa.

Gue ngelotot sekali lagi sebelum turun dari mobil dan membanting pintu keras-keras. Dari kaca mobil, gue bisa lihat dia masih senyum kecil, seolah ngeledek gue.

Sial. Gue baru sadar, jenderal ini nggak cuma posesif, tapi juga nyebelin.

.

.

.

Next 👉🏻

Bab 3 : What??!!

...****************...

Hari ini bener-bener sial.

Gue baru pulang kerja, badan gue penuh tanah, keringetan, dan perut gue keroncongan. Gue udah ngebayangin mie instan pake cabai lima biji pas sampe kos, eh malah ada mobil hitam mewah berhenti di depan gang.

Jendelanya turun, dan muncul tuh muka ngeselin.

"Masuk," kata Teddy datar.

"Apaan sih? Gue baru pulang kerja. Laper, capek, lepek, ngantuk!" gerutu gue kesal, menyilatin dia dengan mata.

"Lo bau matahari," komentar Teddy santai, melirik gue dari ujung kepala sampai kaki.

"Namanya juga kerja di ladang! Emang lo pikir pemetik cabai wanginya kayak toko parfum?" tanya gue, melipat tangan di dada.

"Gue nggak mau tunggu lama. Masuk," perintahnya cuek, sama sekali nggak peduli.

"Sekalian lo beliin gue makan, gue laper," pinta gue tanpa malu-malu, sengaja nyodorin tangan ke arah AC mobilnya yang keluar dari jendela, biar hawa dinginnya kena dulu.

Teddy mendesah panjang. "Cepet, kita makan di luar," ucapnya akhirnya, membuka pintu mobil dari dalam.

Gue langsung cengar-cengir menang. Yaudah, mumpung ada yang bayarin makan, kan? Dengan langkah santai, gue masuk ke mobil, sementara Teddy masih natap gue kayak ngebatin, kenapa gue harus nikahin bocah tengil ini?

...****************...

Mobil berhenti di depan mall paling mewah di kota. Gue langsung melotot ke arah Teddy.

"Ngapain ke sini?" tanya gue curiga.

"Beli baju buat lo. Masa mau ketemu keluarga gue pake baju kebun?" ujar Teddy santai setelah mematikan mesin mobil.

"Lo gila ya? Logika dikit, deh. Gue lepek, dekil, bau matahari! Gimana mau masuk ke mall?! Ntar diusir satpam!" protes gue, langsung melipat tangan di dada.

Teddy diam sebentar, kayak mikirin sesuatu. Lalu dia ngelirik gue dari atas sampai bawah dan—SIALAN—muka dia kayak setuju sama omongan gue barusan.

"Tunggu di sini," ucapnya akhirnya, mendesah panjang lalu keluar dari mobil.

"Lah, lo mau ke mana?" tanya gue bingung, masih bengong.

"Beliin lo baju," jawabnya santai.

Gue langsung ketawa ngakak. "Seriusan? Jenderal Teddy Wilson belanja buat gue? Ini pasti kejadian langka," goda gue sambil nyengir.

"Lo pikir gue tahan berdebat sama bocah tengil kayak lo?" balasnya dingin, cuma melirik sekilas.

"Pinter. Jangan maksa gue lakuin hal gak masuk akal lagi," ujar gue puas, masih dengan senyum kemenangan.

Teddy nggak nanggepin, dia langsung jalan masuk ke mall. Gue bersandar di jok mobil, sambil ngakak sendiri. Gila, yang bener aja. Mau ketemu calon mertua malah kagak mandi, kayak gembel bau begini.

Lima belas menit kemudian, Teddy balik dengan beberapa kantong belanjaan. Dia masuk mobil, naruh kantongnya di pangkuan gue, lalu duduk dan nyetir lagi seolah nggak ada yang aneh.

Gue langsung bongkar kantongnya. Ada dress simpel warna navy, sepatu flat, dan—gue ngikik—tisu basah.

"Lo serius nyuruh gue mandi pake tisu basah?" tanya gue sambil cekikikan.

"Gue nggak mau calon istri gue bau matahari pas ketemu keluarga gue," ujar Teddy tanpa ekspresi, tetap fokus nyetir.

"CALON istri? Woy, perjanjian kita masih bisa gue batalin, tau!" seru gue, melirik dia tajam.

Teddy menoleh sedikit, lalu menyeringai licik. "Coba aja."

Gue langsung keinget ancamannya soal video dan mendengus kesal. "Sialan," gerutu gue, mengetukkan jari di paha dengan gondok.

Dengan berat hati, gue mulai ngelap tangan dan muka pake tisu basah, terus buru-buru ganti baju di dalam mobil. Teddy nggak protes, malah tetep fokus nyetir.

Pas gue udah selesai dan liat diri gue di kaca, lumayanlah. Walaupun rambut masih awut-awutan, setidaknya gue nggak keliatan kayak pekerja ladang cabai yang baru dicemplungin ke sawah.

"Jadi, kita mau ke mana sekarang?" tanya gue.

"Rumah bokap nyokap gue," ujar Teddy, melirik sekilas.

"Gila lo. Gue belum siap mental," gerutu gue, langsung manyun.

"Masalah lo," balasnya santai, mengangkat bahu tanpa beban.

Gue meratap dalam hati. Ini bukan cuma pertemuan calon mantu dan mertua biasa. Ini lebih mirip gladi resik menuju eksekusi.

Mobil berhenti di depan rumah gede yang keliatan kayak istana. Gue langsung nelen ludah.

Gue tau si Teddy ini jenderal, tapi gue nggak nyangka rumah keluarganya bakal semewah ini. Pagar tinggi, halaman luas, ada air mancur segala di depan. Gue mendadak merasa kayak bocah kampung yang nyasar.

"Keluar," perintah Teddy, berdiri di depan pintu mobil yang sudah dibukanya.

"Gue gugup, anjir," gumamnya gue pelan, tetap duduk di dalam sambil menghela napas berat.

"Jangan gugup. Anggep aja kita udah lama kenal, udah saling mencintai, udah saling goyang—" ujarnya santai, nyender di pintu mobil.

"DIEM! Jangan bahas goyang-goyang, GUE MALU!" seru gue, langsung mendelik tajam dengan suara naik satu oktaf.

Teddy hanya nyengir kecil, lalu menarik tanganku agar keluar dari mobil. "Ayo, calon istri tengil," ucapnya, masih dengan nada menggoda.

Gue mau nggak mau ngikut, masih kesel sama omongannya tadi. Untungnya, gue punya satu hal buat dibanggain—wajah gue cakep dan kulit gue putih bersih, padahal tiap hari kerja di ladang cabai. Setidaknya gue keliatan pantes buat calon mantu mereka.

Begitu kita masuk, seorang wanita paruh baya yang keliatan elegan langsung berdiri dari sofa, disusul seorang pria tua dengan wajah tegas.

Gue langsung tegang. Ini pasti orang tua Teddy.

"Gini doang?" suara pria itu terdengar datar, tapi tajam.

Gue refleks ngecek diri sendiri. Apanya yang gini doang? Gue cakep, putih, langsing, masih muda! Harusnya mereka bangga punya calon mantu kayak gue!

Teddy malah nyodorin tangan ke punggung gue, nyuruh gue maju. "Ini Aira, calon istri Teddy."

Gue telan ludah, lalu maksa senyum. "Hai, Om, Tante."

Senyum gue bertahan dua detik sebelum si pria tua—alias bokapnya Teddy—ngeluarin satu kalimat yang bikin gue hampir kejang.

"Kamu hamil?"

Gue langsung ngerasa kayak ada petir nyamber di dalam kepala.

"H-hamil?" Gue nyaris keselek ludah sendiri. "Enggak! Saya sehat walafiat, Pak, Bu!"

Nyokapnya Teddy, yang dari tadi diem aja, akhirnya buka suara.

"Jadi kamu menikah dengan Teddy karena cinta?"

Gue nggak siap dapet pertanyaan interview ginian. Jujur, di dalam hati gue udah feling nggak enak. Tapi ya udahlah, hajar aja dulu.

"I-iya, Bu," jawab gue, maksa senyum sebaik mungkin.

Bokapnya Teddy nyipitkan mata. "Padahal kalian baru kenal, ya?"

Gue makin keringetan. Teddy ini kenapa, sih, nggak dari awal ngajarin gue skrip jawaban yang bener? Gue cuma bisa ketawa kecil, nyoba cari alasan, tapi sebelum gue sempet buka mulut, si bokap tiba-tiba ngejatuhin bom atom di ruangan ini.

"Kamu tau nggak kalau Teddy ini duda?"

Gue langsung membeku.

APA?!!!

Gue otomatis noleh ke arah Teddy yang cuman duduk santai, nyeruput teh kayak nggak ada yang salah.

"Dia baru cerai beberapa bulan lalu," ujar bokapnya, melanjutkan pembicaraan.

"Dan kamu tau kenapa pernikahannya gagal?" timpal nyokapnya, menatap gue tajam.

Jantung gue makin kencang. "K-kenapa, Bu?" tanya gue, nyaris berbisik.

Nyokapnya Teddy menarik napas panjang, lalu dengan wajah prihatin, dia ngeluarin kalimat yang bikin otak gue langsung nge-hang.

"Karena Teddy impoten."

.

Next 👉🏻

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!