NovelToon NovelToon

Sugar Baby Om Sagara

Bab 1

"Awwhsss.." tubuh mungil seorang gadis terjerembab saat tak sengaja seorang pria bertubuh tinggi dan gagah itu menabraknya. 

"Sorry.."

"Aisshh, lain kali jalan pake mata dong. Sakit ini.." Gerutunya sambil mengusap-usap sikunya yang terluka karena terjatuh mencium trotoar jalan. 

"Aku benar-benar tidak sengaja, Nona."

"Ya, baiklah." Jawabnya sambil menepuk-nepuk rok span hitamnya. 

"Kau terluka?"

"No problem, hanya luka kecil." Gadis itu tersenyum kecil. 

"Baiklah, aku buru-buru. Sekali lagi, maaf."

"Ya." Balasnya singkat. Setelahnya, pria itu pergi meninggalkan sosok gadis yang baru saja ditabraknya secara tak sengaja. Dari arah berlawanan, ada beberapa orang berseragam hitam yang terlihat mencari seseorang. 

"Apa dia buronan yaa?" Gumam Laura sambil mengernyitkan keningnya. Tapi, dia heran sendiri, kalau memang dia buronan kenapa pakaiannya terlihat sangat rapi? Lengkap dengan setelan jas, bahkan dasi terlihat menggantung tapi di lehernya. 

"Aisshh, ayo kita pergi Laura. Jangan sia-siakan waktumu!" Gadis itu beranjak pergi dengan langkah cepat menuju sebuah butik yang tak jauh dari posisinya berdiri. Laura memang bekerja di salah satu butik ternama di kota ini.

Laura Alynt Prameswari, gadis cantik berusia 23 tahun yang memiliki kepribadian yang ramah dan baik hati. Laura adalah seorang gadis yang cerdas, namun meskipun begitu, dia tak bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih layak dibanding menjadi seorang karyawan di butik. 

Kehidupan Laura bisa dibilang jauh dari kata enak dan nyaman, sejak kepergian sang ibu beberapa tahun silam karena sebuah penyakit yang diidapnya, sang ayah pun memutuskan untuk membina keluarga baru. Awalnya, Laura enggan untuk ikut bersama keluarga baru sang ayah dan memilih untuk menetap di rumah lama mereka. 

Tapi, sang ayah malah menjual satu-satunya tempat perlindungan dan tempat pulang bagi Laura, tempat yang memiliki banyak cerita dan kenangan semasa hidupnya itu. Akhirnya, mau tak mau Laura pun mengikuti sang ayah. 

Namun, Laura malah diperlakukan secara tak layak oleh keluarga baru sang ayah. Dia diperlakukan layaknya pembantu, membuatnya merasa begitu menderita karena hidup disana. Pria yang dipanggil Laura ayah pun tak bisa memberikan perlindungan untuknya karena terlalu takut dengan istri barunya. 

Seringkali, Laura merasa tertekan tapi mau bagaimana lagi? Bukan tidak terpikirkan olehnya untuk pergi dan keluar dari rumah yang bagai penjara itu, tapi Laura harus kemana? Sedangkan dia hanya sendirian, tak memiliki siapapun kecuali sang ayah. Sangat disayangkan sekali, Laura terpaksa untuk tetap tinggal di rumah itu. 

"Hey, kenapa bengong?" Tanya seseorang sambil menepuk bahu Laura. 

"Aaaaa, bikin kaget aja."

"Sorry, tapi gue perhatiin dari tadi lu bengong terus. Kenapa coba?" Lily, dia merupakan teman satu profesi Laura di butik ini. 

"Gapapa, lagi banyak pikiran aja." Jawab Laura sambil tersenyum. Senyuman palsu yang selalu ditunjukkan Laura untuk membuktikan bahwa dia baik-baik saja, padahal aslinya dia sangat butuh bantuan. Bantuan untuk bisa keluar dari rumah itu dan membalaskan dendamnya terhadap ibu tiri dan kakak tirinya. 

Sebagai informasi, ibu tirinya itu memiliki satu anak perempuan yang usianya lebih tua dua tahun dari Laura. Kelakuannya benar-benar menyebalkan, selain suka berfoya-foya, dia juga bertingkah seenaknya pada Laura. 

"Daripada banyak pikiran, mending nanti sore otw cari gadun yuk?" Ajak Lily sambil tersenyum nakal.

"Bukannya lu dah punya daddy-daddy an?" Tanya Laura sambil merapikan etalase pakaian.

"Bukan buat gue, buat elu."

"Gak aahh, gak minat."

"Heleh, biar lu gak banyak pikiran terus. Yang ada dipikiran elu gak jauh-jauh pasti duit sama keluarga lu itu kan?"

"Ketebak banget yaa?" Tanya Laura sambil menghela nafasnya. 

"Kita temenan bukan sehari dua hari, Lau." Jawab Lily sambil tersenyum. 

"Udah, gak usah dipikirin. Bawa happy aja, jadi simpanan om-om juga gak buruk-buruk amat kok. Seenggaknya, kehidupan Lo terjamin."

"Kalo om-om nya kaya, kalo dia miskin gimana?" Tanya Laura yang membuat Lily tertawa. 

"Otak Lo berfungsi kagak sih? Gini yaa, lu bisa nyari Daddy yang sesuai sama tipe yang lu mau, Laura. Kalo miskin, ya jangan di lanjutin kali."

"Gue jadi penasaran, Daddy gula Lo kek mana mukanya? Kayak om-om pedo yang perutnya buncit gak?" Tanya Laura yang membuat Lily tertawa. 

"Nggak dong, begini-begini gue juga punya tipe idaman dan Daddy gula gue itu udah idaman banget. Ganteng, kaya, mainnya juga full power."

"Parah. Punya bini tapi?"

"Gak kok, single katanya. Kalo pun punya bini, ini kan konsepnya simpenan, Lau." Jawab Lily yang membuat Laura menghembuskan nafasnya. Dia tidak berniat untuk menjadi simpanan pria beristri, ribet kalau harus jambak-jambakan dengan istri sah. 

"Gue gak siap secara mental sih kalo Daddy gulanya ternyata pria beristri."

"Ya gue udah bilang tadi, Lo bisa pilih Daddy gula yang sesuai sama tipe Lo." 

"Hmm, gue pikir-pikir lagi deh."

"Elah, ayo. Gue temenin.."

"Kok Lo yang ngebet sih? Sesat banget Lo jadi temen."

"Hehe, justru karena kita temenan jadi harus ada yang nemenin."

"Dih, parah banget."

"Nanti balik kerja yuk? Kita otw cari Daddy gula. Oke?" Bujuk Lily yang membuat Laura akhirnya mengiyakan. Jujur saja, melihat kehidupan Lily yang nyaman, dia tak pernah kebingungan mencari uang karena semua kebutuhannya sudah dipenuhi oleh daddy-nya. 

Setahu Laura, sugar Daddy Lily ini seorang pengusaha, tapi entahlah pengusaha apa yang jelas dia kaya karena mampu memberikan uang bulanan puluhan juta pada Lily. Selain itu, dia juga royal dan sering memberi hadiah pada Lily. Bohong saja kalau Laura tidak tergiur, tapi masalahnya dia tidak ingin salah memilih Daddy gula. 

"Yaudah, gue ikut."

"Nah gitu dong, sekalian cuci mata liat barang-barang di mall."

"Elu enak punya duit, lah gue gimana kalo kepengen jajan?"

"Gue traktir, tenang aja."

"Wih, oke deh." 

"Jangan banyak pikiran, apalagi mikirin hal gak penting. Ayo kerja, biar cepet gajian." Lily tersenyum kecil, begitu juga dengan Laura.

Otak Lily memang terlalu liar jika dibandingkan dengan Laura yang jauh lebih kalem dari Lily, tapi anehnya mereka bisa berteman baik, bahkan sangat baik. Lily dan Laura sama-sama bekerja dua tahunan di butik ini dan selama itu, keduanya berteman dekat dan akrab sampai saat ini. 

Laura bertekad, jika misal dia mendapatkan sugar Daddy yang kaya dan berkuasa, dia ingin membalaskan dendamnya pada keluarga baru sang ayah, dia juga ingin membeli kembali rumah peninggalan sang ibu dan keluar dari rumah yang telah membuatnya menderita itu. 

"Baiklah. Jika tidak bisa menggunakan cara yang baik, maka lakukan dengan cara yang kotor agar semuanya adil." Laura tersenyum, tekadnya sudah bulat hanya saja terhalang gengsi. Namun kali ini, dia sudah yakin dengan semuanya. Jalan yang akan dia tempuh mungkin berkerikil, tapi setidaknya dia akan sampai pada tujuan tepat waktu.

Bab 2

"Lau, jadi kan?" Tanya Lily sepulang keduanya bekerja. Laura menganggukan kepalanya mengiyakan. Hitung-hitung healing sejenak sambil cuci mata, biar gak sumpek-sumpek amat. Kalau boleh jujur, Laura sangat malas pulang ke rumah apalagi bertemu ibu tiri dan kakak tirinya itu. 

"Oke, kita naik taksi online aja. Gue yang pesenin."

"Iya, gue gak punya kuota." Jawab Laura sambil cengengesan. 

"Kalo gajian, maksain kali beli kuota bulanan, Lau. Penting lho.."

"Ya gimana lagi, kalo gajian duit gue di rampas kakak tiri gue." Jawab Laura sambil mengemasi beberapa barangnya ke dalam tas. Sebenarnya, Laura tidak membawa banyak barang, tapi jika keadaan butik sedang sepi, Laura memiliki kebiasaan untuk menulis sesuatu di buku catatannya. 

"Lawan, jangan mau kalah."

"Udah jelas gue bakalan kalah, Lily. Tiga lawan satu, gimana mau menang coba?"

"Bokap Lo?"

"Udah jelas dia belain bininya." Jawab Laura sambil terkekeh pelan. Lucu memang kalau dipikir-pikir, wanita itu berhasil mencuci otak sang ayah sampai-sampai dia melupakan kalau dirinya adalah anak kandungnya. 

"Ckk, ada gila-gilanya keluarga baru Lo, Lau."

"Udahlah, gak ada habisnya kalo mau bahas mereka."

"Nah, taksinya dateng. Yuk kita happy-happy, pokoknya Lo harus seneng sekarang. Gue yang bayarin apapun."

"Duit halal gak?"

"Halal kok, yang gue kasih buat Lo bukan hasil gue ngelontee kok." Jawab Lily sambil tertawa. 

"Parah.." Laura dan Bella pun menaiki taksi yang dipesan secara online oleh Lily, keduanya pun pergi ke mall untuk bersenang-senang sejenak. 

Laura dan Lily bersenang-senang, Lily mengajak Laura untuk bermain di area timezone, ke bioskop untuk menonton film terbaru, makan dan membelikannya beberapa pakaian. 

"Ini kebanyakan, Ly."

"Gapapa, buat Lo. Kalo misal nanti dirampas kakak tiri Lo, gue saranin umpetin dulu aja."

"Hehe.."

"Enak aja, gue beliin buat Lo bukan buat kakak tiri Lo yang kek set*an berwujud manusia itu, Lau."

"Iya-iya, nanti gue umpetin." Jawab Laura sambil tersenyum. Jangan tanyakan seberapa bersyukurnya dia memiliki teman seperti Lily, otaknya memang sesat kadang, tapi dibalik itu semua dia adalah teman yang baik, selain itu Lily juga good listener alias pendengar yang baik.

"Yaudah, yuk balik. Ini udah malam, gue gak mau Lo dimarahin geng nenek lampir."

"Iya, yuk." Laura menggandeng tangan Lily dan keduanya pun berjalan keluar dari mall setelah puas membeli dan bermain. Tapi..

"Baby.." Seorang pria berperawakan tinggi dan gagah memanggil Lily dengan panggilan mesra. 

"Lho, Daddy.."

"Ngapain disini?"

"Ngajak temen introvert main, Dad. Daddy sendiri lagi ngapain?" Tanya Lily. 

"Baru selesai meeting dengan klien. Mau pulang?"

"Iya."

"Sudah selesai mainnya?" Tanyanya dengan lembut. 

"Iya, udah kok. Aku juga belanja." Jawab Lily sambil menunjukkan beberapa paper bag di tangannya.

"Ya sudah, ayo pulang bersama."

"Hmm, kalian duluan aja." Ucap Laura. Dia tak mau mengganggu Lily dan papa gulanya. Dia tak mau menjadi nyamuk apalagi kambing conge nanti. Sebelumnya, Laura pernah bertemu dengan papa gulanya Lily beberapa kali. Jadi, wajahnya tak asing lagi.

"Lagian gak searah juga." Lanjutnya lagi.

"Yaudah, gue pesenin taksi online buat Lo ya.."

"Gak usah, Ly."

"Ckk, gue bertanggung jawab yaa. Gue yang ngajakin Lo kesini, jadi gue harus mastiin Lo balik dengan aman dan selamat. Lagian, Lo mau balik naik apa coba? Punya hape, gak ada paket data." Cerocos Lily yang membuat Laura tertawa. Sahabatnya ini bawelnya minta ampun.

"Iya iya, pesenin deh."

"Nah, gitu dong dari tadi. Sok-sokan nolak, untung gue peka yaa. Kalo enggak, Lo juga yang bingung mau balik naik apa." Celotehnya sambil mengotak-atik ponselnya dan memesankan taksi online untuk Laura. Setelah beberapa waktu, akhirnya taksi yang dipesan Lily pun datang dan Laura berpamitan untuk pulang duluan. 

"Dad.."

"Yes, baby."

"Ada temen Daddy yang spek sugar Daddy gak?" Tanya Lily saat keduanya berjalan di lobi menuju parkiran mobil.

"Ada, banyak sih. Kenapa memangnya?"

"Buat Laura, Dad."

"Temanmu mau jadi baby juga hmm?" Tanya pria itu sambil menatap Lily. Gadis itu menganggukan kepalanya mengiyakan. 

"Berapa usia temanmu itu?"

"23 tahun. Lebih muda satu tahun dariku, Dad."

"Hmm, nanti Daddy bantu carikan."

"Oke, terima kasih Daddy."

"Bukannya dia tak mau jadi sugar baby, sayang?" 

"Ya, sebenarnya sih iya. Tapi aku komporin sampai akhirnya dia mau, kasihan dia Dad."

"Kenapa?"

"Keluarganya red flag banget, Laura dijadiin pembantu, terus tenaganya dikuras, kasian banget pokoknya." Jawab Lily yang membuat pria itu mengangguk-anggukan kepalanya.

"Nanti Daddy carikan yang sesuai. Rata-rata, sudah punya istri sih."

"Kalau ada, yang single aja Dad. Laura malas gelut sama istri sah katanya."

"Kalau kamu?" Tanya pria itu dengan senyuman manisnya. 

"Jangan tanya."

"Ya, baiklah. Ayo pulang, baby." Ajaknya lalu keduanya pun pulang dengan sang pria yang mengendarai mobilnya. 

Disisi lain, Laura baru saja sampai di rumahnya. Rumah sederhana yang menjadi tempatnya pulang, namun bukan tempat yang nyaman dan aman untuk tubuh ringkihnya. 

Seperti saran Lily tadi, Laura menyimpan paperbag berisi pakaian yang diberikan oleh Lily di bawah jendela di bagian samping kamarnya, nanti dia akan mengambilnya lewat jendela. 

"Bagus, dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Sentak seorang wanita paruh baya sambil menyedekapkan kedua tangannya di dada.

"Kerja."

"Jangan bohong kamu! Biasanya gak jam segini ya."

"Ada lemburan tadi, Bu."

"Ckk, tuh cucian piring sama baju untuk numpuk. Kenapa gak kamu cuci hah?" Tanyanya dengan nada tinggi. Laura menghela nafasnya pelan, disana ada sang ayah tapi dia hanya diam saja sambil menonton televisi. Tak ada sedikitpun usahanya untuk membela Laura dari istri barunya itu. It's okay, Laura tak mengharapkannya lagi sekarang. 

"Iya, besok pagi-pagi Laura cuci ya, Bu. Laura capek kalau sekarang."

"Terserah, pokoknya besok pagi harus sudah selesai. Paham kamu?"

"Iya, Bu." Jawab Laura pelan. Setelah itu, dia pun pergi ke kamar. Jangan berharap kamarnya ada di bagian depan, kamarnya ada di belakang, seperti kamar pembantu. Ruangan yang terasa sempit dan pengap itu menjadi tempat Laura beristirahat selama ini. Tak ada kipas angin di kamar ini, hanya ada kasur busa tipis yang terlihat usang dan satu selimut. 

Kehidupan Laura benar-benar kacau, dia bahkan tak memiliki lemari untuk meletakkan pakaiannya, hanya ada rak kecil untuknya menyimpan pakaian. Laura membuka jendela dan mengambil paper bag yang tadi disimpannya lalu menyembunyikannya di balik bantal.

"Hufftt, capek banget. Harusnya aku iyakan saja tawaran Lily sejak lama, semoga saja aku bisa terbebas dari tempat ini secepatnya." Gumam Laura sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur busa tipis itu. Laura memejamkan matanya, jujur dia sangat lelah dengan kehidupannya yang seperti ini. Rasanya sudah sangat muak, untuk mengeluh pun rasanya sudah terlalu bosan saking seringnya dia mengeluh. 

Bab 3

"Laura.." Panggil Ratih. Wanita paruh baya itu bernama Ratih, dia adalah ibu tiri Laura. Gadis itu tengah mencuci pakaian mereka semua, ibu tiri, ayah dan saudara tirinya. 

"Iya, Bu."

"Nih.." wanita itu melempar pakaian bekas dipakai semalam dan pakaian itu mendarat tepat di wajahnya. 

"Cuci sekalian." Ucapnya sinis, lalu pergi dengan langkah terburu-buru. Laura tak memiliki banyak waktu untuk mengeluh, dia harus cepat-cepat menyelesaikan cuciannya karena dia harus pergi bekerja. Waktunya akan banyak terbuang jika dia meratapi hidupnya. 

Butuh waktu untuk menyelesaikan cuciannya dan menjemurnya, gadis itu pun bersiap untuk pergi bekerja. Tanpa berpamitan karena percuma, tak ada juga yang akan peduli. Laura berlari ke jalan raya dan menghentikan angkot untuk berangkat kerja. 

Laura mengusap keringat di wajahnya, hampir saja dia terlambat untuk berangkat kerja. Angkot ini adalah salah satu dari beberapa angkutan umum yang melewati tempat kerjanya, tapi yang lainnya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Jadi, hanya ini satu-satunya harapan Laura. 

"Hufftt, syukurlah.." Gumamnya sambil menghela nafasnya. Dia pun duduk dengan tenang sambil menikmati perjalanan, sebenarnya ada pemandangan yang aneh, hanya mobil-mobil melaju cepat. 

Setelah beberapa waktu, akhirnya Laura sampai di tempat kerja, dia harus berjalan kaki kurang lebih lima menit untuk sampai di tempat kerjanya. Laura membenarkan pakaiannya lalu turun dari angkotnya. 

"Bang, ini ongkosnya. Terima kasih.."

"Ya, sama-sama." Jawabnya. Laura pun segera berjalan kaki untuk segera sampai ke butik tempatnya bekerja. 

"Hadeuh, kebiasaan. Bagian piket lho ini.." ucap Lily saat melihat Laura baru saja datang. 

"Hehe, sorry banget. Biasa, jadi buruh cuci dulu."

"Ya, gapapa." Jawab Lily, dia langsung menggandeng tangan Laura masuk ke dalam butik dan keduanya bekerja bersama. Menata kembali pakaian-pakaian yang dipajang, membersihkan tempat itu bersama-sama. 

"Hello, Miss.." Sapa Laura saat melihat wanita paruh baya yang merupakan pemilik butik terkenal ini. Dia seorang designer kenamaan yang namanya sering wara-wiri di layar televisi karena menangani pakaian-pakaian untuk orang penting. 

"Kesiangan lagi hmm?"

"Maaf, Miss.."

"Ya, tidak apa. Hanya terlambat lima menit, Miss masih bisa memaklumi. Tapi, jangan keseringan ya."

"Baik, Miss."

"Lanjutkan pekerjaan kalian." Wanita itu pergi meninggalkan Laura dan Lily. Gadis itu menghela nafasnya, namun Lily malah menepuk pundaknya dengan perlahan. 

"Besok, Lo sibuk?"

"Sibuk tiap hari gue, kenapa emang?" Tanya Laura sambil membereskan etalase pakaian yang sedikit berantakan setelah dikunjungi banyak sekali pelanggan kemarin. 

"Daddy gue udah dapet kandidat calon papa gila buat Lo."

"Hah?"

"Heleh, jangan pura-pura gak denger. Gue jamin lu klepek-klepek sih, ganteng banget!" 

"Ly, gue kan.."

"Ketemu aja dulu, dicoba dulu. Jangan langsung nolak. Kata Daddy, dia tajir melintir, tujuh turunan Lo bakalan terjamin kalo hidup sama dia." Jawab Lily yang membuat Laura terkekeh. 

"Lo serius?"

"Iya, coba aja ketemu dulu. Oke? Gue anter."

"Hmm, yaudahlah." Jawab Laura sambil tersenyum. Lily pun membalas senyuman itu dan keduanya pun melanjutkan pekerjaannya. 

Disisi lain, di sebuah tempat yang berdiri megah, seorang pria tengah menatap pemandangan gedung-gedung tinggi dari jendela besarnya. Pria itu menatap jauh dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Hingga, suara pintu terbuka membuat atensinya teralihkan. 

"Sam.."

"Tuan, saya sudah menemukan kandidat yang sepertinya cocok dengan kriteria anda."

"Oh ya? Siapa?" Tanyanya dengan wajah datar. Pria itu adalah Sagara Algyn Maheswara, seorang CEO yang terkenal akan sikap dinginnya. Saking dinginnya, Sagara mendapatkan julukan sebagai kulkas berjalan, kulkas seratus pintu, pria kutub dan beberapa julukan lain yang sudah akrab di telinganya. 

"Teman Lily, Tuan."

"Temannya?"

"Iya, Tuan."

"Siapa?"

"Namanya Laura, usianya 23 tahun. Dia cantik dan masih segel, seperti yang anda inginkan." Pria itu memperlihatkan foto gadis bernama Laura itu, jangan tanyakan dari mana dia mendapatkan foto-foto itu, tentunya dari Lily. 

"Menarik. Aku ingin bertemu dengannya." Sagara tersenyum smirk, membuat pria bernama Sam itu menghela nafasnya. Ini bukan pertama kalinya dia mencari kandidat sugar baby untuk tuannya, Sagara. Sudah beberapa kali, namun semuanya gagal, tak ada yang membuat pria itu tertarik karena kebanyakan sudah tidak virgin lagi. 

"Dia bekerja di butik yang sama dengan Lily, Tuan."

"Aturkan jadwalku hari ini, Sam."

"Baik, Tuan." Jawabnya. Sam adalah asisten plus kaki tangan Sagara, dia menjabat dua jabatan sekaligus. Selain sebagai asisten, Sam juga merupakan orang kepercayaan Sagara. Dia orang yang paling bisa diandalkan. 

Sam keluar dari ruangan Sagara, meninggalkan pria itu sendirian di ruangannya. Sagara menghembuskan nafasnya dengan kasar, lalu berjalan menuju kursi kebesarannya dan menyandarkan kepalanya disana. 

Sagara adalah pria tampan dan gagah, usianya terbilang dewasa saat ini, 31 tahun. Namun, di usianya yang sudah dewasa, Sagara seakan tak tertarik sama sekali untuk mencari pasangan. Dia betah menyendiri dengan kehidupan mewahnya. Sagara adalah CEO Algyn group, perusahaan besar yang bergerak di banyak bidang, termasuk memproduksi elektronik dan beberapa barang lainnya. 

"Tuan, anda memiliki waktu senggang saat makan siang nanti."

"Ya, aku akan pergi ke butik itu nanti. Sekarang, pergilah."

"Baik, Tuan." Jawab Sam. Pria itu kembali menutup pintu ruangan Sagara. Dia melirik pintu dengan ekor matanya, jemarinya mengetuk-ngetuk di atas meja kerjanya. Dia telah menyelesaikan pekerjaannya, otaknya cerdas dan dia mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. 

"Menyebalkan.." Gumamnya, dia pun beranjak dari duduknya dan kembali berdiri di depan jendela besar yang terbuat dari kaca. 

Saat makan siang, pria itu diantar oleh Sam ke butik tempat Lily dan Laura bekerja. Sagara turun sendirian lalu berjalan dengan tubuh tegapnya, begitu pintu terbuka dia langsung disambut oleh senyuman hangat seorang gadis.

"Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya. Itu Laura, gadis cantik yang ternyata pernah ditabraknya beberapa hari lalu. 

"Aku butuh jas."

"Baik, sebelah sini." Laura mempersilahkan Sagara berjalan lebih dulu, lalu mengikutinya. 

"Saya merekomendasikan jas ini, sepertinya akan sangat cocok dengan anda yang tinggi." Gadis itu menunjukkan satu stel jas berwarna navy, terlihat bagus sekali memang. Bisa ditebak harganya pasti mahal.

Pria itu tersenyum kecil, benar kata Sam, pertemuan kedua ini membuatnya semakin tertarik dengan sosok gadis ini. Wajahnya cantik dan manis, dia juga ramah dan baik. Dia juga profesional saat bekerja.

'Sepertinya, yang ini berhasil. Cocok dan sesuai tipe ku.' Batinnya. Tak mungkin dia terang-terangan memuji gadis yang pertama kali ditemuinya, kan? Memang bukan pertama kalinya, tapi yang kedua kalinya. Pertemuan pertama, tak sengaja tapi pertemuan ini, dia sengaja datang menemui gadis ini. 

"Kau bisa membantuku?"

"Ya, tentu. Membantu apa, Tuan?" Tanya Laura sambil tersenyum ramah. 

"Aku ingin mencoba jas ini, bisakah kau membantuku?"

"H-aahh?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!