"Mas, besok aku minta uang buat beli beras, ya?" Utari yang sedang melipat baju menunduk tak berani menatap suaminya.
"Uang! Uang! Uang! itu terus yang kamu sebut. Ga bisa apa sekali-kali biarin aku istirahat dengan damai? Aku ini baru pulang kerja, Tari. Aku capek," ujar Akmal, menatap nyalang ke arah istrinya.
"Tapi, Mas .... "
"Kamu bisa diam ga? Dasar istri ga guna. Bisanya cuma minta!" Akmal dengan sembarangan bangun dari duduknya. Dia menyambar tasnya, menyalakan motornya dan lalu pergi begitu saja.
Tetes air mata mulai berjatuhan tak terkendali menimpa punggung tangan Utari. Utari menepuk dadanya yang terasa sesak. Sehina inikah dia.
"Bu, ibu, Nisa minta uang. Nisa mau jajan baso di depan, Bu."
Utari mengusap air matanya. Dia merapikan wajahnya. Dia tatap putri semata wayangnya dengan sendu.
"Kalau beli basonya besok gimana, Dek?" tanya Utari sembari menatap Nisa. Nisa berusia enam tahun, dia anak yang begitu peka.
"Bapak masih belum gajian, ya, Bu?" tanya Nisa, duduk di pangkuan Utari. Utari mengangguk dengan cepat. Dia segera memalingkan wajahnya karena tak kuasa menahan air matanya.
Utari dan Akmal menikah tujuh tahun yang lalu. Mereka adalah teman kerja di pabrik. Namun, karena aturan perusahaan, salah satu dari mereka harus keluar setelah menikah dan mereka memutuskan jika Utari yang harus berhenti dari pekerjaannya. Akmal juga berpendapat, istri yang baik adalah istri yang fokus mengurus rumah tangga.
Di awal pernikahan semuanya baik-baik saja. Sampai tiba saat Utari hamil, Akmal perlahan mulai berubah. Entah apa yang terjadi, Akmal mulai sedikit demi sedikit mengurangi jatah belanja Utari. Dia beralasan memiliki banyak angsuran yang harus dibayarkan.
Awalnya Utari tidak terlalu keberatan, toh selama ini dia memiliki tabungan dari hasil kerjanya dulu, tapi semua tabungan Utari habis untuk biaya bersalin, saat melahirkan Nisa. Sedangkan Akmal tidak sepeser pun mengeluarkan uang, dengan alasan yang masih sama.
Dari sana Utari bergantung hidup dari pemberian Akmal. Setiap seminggu sekali Akmal memberi Utari uang belanja 150 ribu. Uang itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan makan, kebutuhan pokok lainnya dan juga membeli token listrik.
Dengan uang pas-pasan itu, Utari harus memutar otak agar semua kebutuhan tercukupi. Namun, sepintar apapun Utari membagi uang itu untuk biaya hidup, tetap saja dia merasa kurang. Terlebih biaya hidup di kota apa-apa serba mahal.
Jika tak salah mengingat gaji suaminya pasti diatas tiga juta, tapi entah mengapa untuk melebihkan uang belanja untuk Utari, Akmal seakan tidak mau.
"Bu, ibu nangis?" Nisa mendongak, Utari buru-buru mengusap air matanya lg.
"E-engga, ibu cuma kelilipan." Utari tersenyum agar dapat meyakinkan putrinya.
"Bu, emang bapak gajiannya lama ya? Kok ga kaya ayahnya Jihan. ayahnya Jihan sering gajian, Tiap habis gajian, ayahnya Jihan selalu beliin Jihan es krim, Kue, boneka. Kok Bapak Nisa ga?"
Utari tersenyum, dengan suara bergetar dia menjelaskan pada Nisa, "Kerja ayah Jihan di kantor besar, Dek. Kalau bapak Nisa kerjanya di pabrik, jadi gajiannya lama."
"Oh, gitu ya, Buk. Kalau besar, Nisa juga mau kerja di kantor besar, Buk, biar nanti Nisa bisa sering gajian. Terus Nisa bisa bawa ibu beli baso banyak banyak."
Utari tercekat. Dia mengusap kepala putrinya dengan lembut. Perempuan berusia 27 tahun itu mengangkat wajahnya agar air matanya tak kembali turun. Dadanya semakin terasa sakit. Seperti ditusuk tapi tak berdarah.
Maafin ibu, Dek. ibu terpaksa harus berbohong.
"Nisa ga main sama Jihan?" tanya Utari. Nisa menggeleng lemah.
"Ga, Buk. Nisa di rumah aja sama ibu. Kata Jihan dia ga mau temenan sama aku, karena aku ga sekolah."
"Ya, ampun, Dek. Sabar, ya. Nanti kalau ibu ada uang, ibu akan masukin adek sekolah."
"Iya, ga apa-apa, Buk. Nisa bantuin ibu aja di rumah."
Utari menghela napas panjang. Dia pamit pada Nisa ke kamar mandi. Setelah masuk ke kamar mandi, Utari kembali menangis.
Kenapa semuanya jadi seperti ini? Rasanya sakit sekali, Tuhan.
Utari menepuk nepuk dadanya. Setelah lega, dia membasuh wajahnya dan keluar lagi untuk menemani putri semata wayangnya. Nisa memang belum sekolah, bukan karena Utari sengaja menundanya, tapi Akmal memang sepertinya tidak mau membiayai pendidikan Nisa.
Utari mengambil ponsel android miliknya. Ini adalah satu-satunya benda berharga yang dia miliki. Dia menatap benda itu dengan sendu, pikirannya sudah bulat. Dia akan menjual HP itu, toh punya HP kalau tidak ada kuota apalah artinya.
"Nisa, ikut ibu, yuk. Nisa mau makan baso, kan? Ibu akan belikan Nisa baso nanti."
Nisa yang sedang membolak balik gantungan baju seketika memandang Utari dengan wajah berbinar. "Bener, Buk? Beneran kita makan baso?"
Utari mengangguk. Dia memasukkan box HP berikut dengan kelengkapannya. Utari mengambil tas usangnya. Dia merapikan penampilannya. Meski tidak memakai bedak, setidaknya jangan sampai tetangga melihat wajahnya yang berantakan.
Utari berjalan sambil menggandeng tangan Nisa. Jarak konter HP lumayan agak jauh, tapi bocah berusia enam tahun itu tidak pernah mengeluh. Utari sangat bersyukur memiliki Nisa dalam kehidupannya.
Tiba di konter, Utari langsung mengatakan niatnya untuk menjual HP. Pegawai konter memeriksa ponsel Utari dan mengangguk puas.
"Mbak, ini hpnya cuma laku 600 ribu. Gimana?"
"Yah, masa cuma 600 ribu, Mas. Itu masih ori semua, saya dulu beli 2 juta setengah."
"Ini soalnya HP keluaran lama, Mbak," kata mas penjaga konter.
"Naikin lagi, lah, Mas. Saya perlu banget uangnya."
Penjaga konter menatap Utari dan Nisa bergantian. "Ada apa ini, Tyo?" Tiba-tiba suara seorang pria mengejutkan penjaga konter.
"Ah, ini, Bos. Mbak ini mau jual HP, tapi ini HP keluaran jadul. Minta harga dilebihkan."
Utari agak malu, tapi sudah kepalang, dia ingin bernegosiasi lagi, tapi saat dia mengangkat wajahnya dia terkejut.
"Loh, Bian!"
"Utari, kamu Utari, kan?" Utari mengangguk. Pria bernama Bian itu tersenyum.
"Udah, Tyo, biar aku urus ini, kamu layani pembeli lainnya aja."
"Siap, Bos."
Bian duduk di depan Utari. Keduanya merupakan teman SMA. Mereka sudah hilang kontak sejak lulus.
"Ini kenapa hpnya dijual?" tanya Bian sembari mengotak atik ponsel Utari. Di ponsel itu tidak ada foto apapun, sepertinya Utari sudah mereset ponselnya.
"Aku perlu biaya buat sekolahin anakku, Bi. Kamu gimana kabarnya? Udah nikah?"
Bian tersenyum dan menggeleng. "Belum, jodohnya masih dipinjam orang," kata Bian sembari menatap Utari dalam. Utari segera menunduk. Dia tidak tahan mendapat tatapan begitu dalam dari pria lain. Rasanya sangat tidak nyaman.
"Ehm, jadi gimana? Hpku ini bisa dijual berapa? Terus kalau ada aku juga butuh HP, apa aja yang harganya murah, yang penting masih bisa buat telepon," ucap Utari sambil menunduk. Dia benar-benar malu pada Bian. Meski dulunya mereka berteman, tapi lama tidak bertemu rasanya asing bagi Utari.
Bian menatap Utari dan Nisa. Nisa sejak tadi sibuk melihat casing HP lucu. Jadi tidak terlalu memperhatikan Bian.
"Gini aja, aku bayar ponselnya harga penuh, kaya kamu beli. Terus kamu mau HP yang model apa?"
"Eh, engga, jangan, Bi. Maksudku aku jual, tapi jangan dikit banget. Aku soalnya lagi beneran butuh."
Bian menunduk melihat deretan HP second. Dia mengambil satu yang harganya masih standar.
"Kamu HP gini mau? Nanti aku tinggal kurangin dari uang penjualan HP kamu gimana?"
"Itu pasti mahal, ga usah, cariin yang biasa aja."
"Udah, Tari. anggap aja ini rejeki buat anak kamu, ya?"
Utari bimbang. Namun, saat melihat Nisa dia tidak bisa tidak memikirkan nasib putrinya. Utari akhirnya mengangguk. "Tapi aku ga enak sama kamu, Bian."
"Ga masalah."
Bian segera memanggil Tyo untuk memindahkan nomor Utari. Sebagai ganti, Bian meminta nomor Utari. Karena merasa dibantu Utari akhirnya memberikan nomornya pada Bian.
"Buk, kita jadi makan baso, kan?" tanya Nisa sambil menarik ujung kemeja Utari.
"Ya, Dek, jadi. Ibu kan udah janji sama adek."
"Eh, siapa ini? Om boleh kenalan ga?"
"Aku Nisa, Om. Anaknya ibu Utari," kata Nisa dengan suara khas anak kecil yang lucu. Bian tersenyum. Dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
"Ini buat Nisa beli bakso, ya."
"Makasih, Om."
Utari yang sesekali sedang melihat kinerja pegawai konter seketika menoleh.
"Bi, jangan kasih uang ke anakku."
"Kenapa, Tari? Biarin aja. Ga setiap hari, kok."
Bian mengambil nota dan mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lama ponsel Tyo bergetar. Namun, Utari tidak terlalu memperhatikan, karena dia sibuk memperhatikan Nisa yang membawa uang seratus ribu.
"Mbak, ini uangnya saya amplop aja ya. Sesuai perjanjian dengan bos."
"Ya, Mas. Terima kasih." Utari mengambil amplop uang itu. Namun, dia langsung meletakkannya kembali.
"Mas, ini kok banyak banget?"
Tyo melirik Bian. Bian tersenyum, "Udah, bawa aja, Tari. Buruan bawa Nisa makan baso. Nanti keburu malam. Tadi kamu naik apa?"
"Aku jalan."
Utari mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Bian. Dia lantas memasukkan amplop itu ke dalam tas dan berpamitan pada Bian. Lalu Utari mengandeng tangan Nisa dan membawanya pergi ke warung bakso. Bian tidak melepaskan pandangannya dari Utari hingga siluetnya menghilang.
Utari dan Nisa tiba di dekat warung bakso, dulu tempat langganannya dan Akmal.
"Buk, itu bapak sama siapa?" Nisa tiba-tiba menunjuk ke sudut tempat makan. Jantung Utari tiba-tiba berdebar kencang.
Nisa ingin memanggil Akmal, tetapi Utari buru-buru membekap mulut putrinya itu. Utari menarik Nisa ke belakang, ia menatap ke arah Akmal. Utari
melihat Akmal sedang makan bersama seorang perempuan dan seorang bocah laki-laki, kira-kira usianya mungkin empat atau lima tahun. Saat melihat wajah perempuan itu, kaki Utari tiba-tiba lemas.
"Mbak Hana."
Hana adalah supervisor Utari sewaktu dia bekerja di pabrik dulu. Dulu Utari dan Hana cukup dekat. Dia tahu jika Hana belum menikah, tapi kenapa sekarang tiba-tiba.
Bulir air mata Utari jatuh untuk kesekian kalinya. Wajah Utari memucat dengan pikiran yang berkecamuk. Tak lama Akmal keluar dari warung bakso sembari menggendong bocah laki-laki tadi.
"Ayah, terima kasih, ya, sudah jajanin Iqbal bakso."
"Apa, sih, yang engga buat anak ayah." Akmal tertawa sembari mencium Iqbal, sementara Mbak Hana melingkarkan tangannya di lengan Akmal. Sekarang tak hanya Utari yang meneteskan air mata. Nisa pun ikut menangis di sudut gelap dekat warung bakso.
"Bu, jadi bapak punya anak lain?" tanya Nisa dengan suara bergetar.
Kenapa, Mas? Kenapa kamu sakiti aku sampai sedalam ini? Bahkan Nisa juga harus jadi korban kekejamanmu.
"Mungkin itu anak teman bapak. Nanti kalau bapak pulang, ibu tanya bapak. Sekarang ayo makan bakso, Nisa kan katanya mau makan bakso."
Nisa menggeleng, "Aku ga mau makan bakso, Bu. Aku ga mau makan bakso," ujar Nisa sambil menangis keras. Beruntung Akmal dan Hana sudah pergi. Utari buru-buru memeluk Hana.
"Ya sudah, kita cari makan lainnya, apa Nisa mau?" tanya Utari. Meski hatinya sekarang hancur berkeping-keping, tapi dia tetap harus menjadi tegar demi putrinya.
Utari membawa Nisa pulang. Sejak dari warung bakso, Nisa tidak bicara sama sekali, hanya terdengar isakkan dari bibir mungilnya.
Utari cukup kesusahan menggendong Nisa karena seharian dia juga belum mengisi perutnya. Malam itu, langit gelap gulita seolah bisa merasakan kesedihan Utari dan Nisa. Tak lama hujan turun dengan deras seperti air yang dituang begitu saja dari langit. Utari setengah berlari menggendong Nisa dan berteduh di halte yang tak jauh dari konter HP Bian.
Nisa sepertinya tertidur. Dia bersandar lemas di bahu Utari. Utari merogoh hpnya di tas. Dia mencari nomor suaminya dan menghubunginya. Namun, sebanyak apapun Utari menghubungi Akmal nomornya selalu ditolak.
"Aku ga nyangka kamu bisa sejahat ini sama aku dan Nisa, Mas."
Dari konter, Bian yang hendak pulang melihat Utari dan Nisa. Alisnya berkerut. Bukankah tadi mereka pergi untuk makan bakso? Lalu kenapa mereka ada di sana sekarang? Bian mengambil payung dari mobilnya dan segera menghampiri Utari dan Nisa.
"Utari, kok di sini?" Utari yang sejak tadi menunduk kini mengangkat kepalanya. Karena kedua tangannya tidak ada yang menganggur, dia tidak sempat mengusap air matanya.
"Kamu kenapa?" tanya Bian khawatir. Utari menggeleng lemah, air matanya semakin menganak sungai.
"Kita ke sana dulu. Itu kasihan Nisa tidur. Kamu pegang payungnya, biar aku yang gendong Nisa."
Tanpa menunggu jawaban Utari Bian meletakkan payungnya dan mengambil Nisa dari gendongan Utari. Namun, saat Bian mengambil alih Nisa, alisnya tiba-tiba berkerut dalam.
"Utari, ini Nisa kayaknya demam. Apa kamu ga rasain tadi?"
Utari terlihat linglung. Bian merasa Utari sedang dalam masalah. Dia menggendong Nisa di lengang kiri dan membawa payung dengan tangan kanannya.
"Ayo." Utari tidak banyak bicara, dia hanya mengikuti Bian dengan wajah cemas.
Utari bahkan tidak sadar jika Bian masukkan Nisa ke mobilnya. "Kamu duduk di situ temani Nisa. Kita bawa Nisa ke rumah sakit."
Bian segera masuk ke dalam mobil dan mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit. Meski hujan begitu deras, tapi Bian mengemudi dengan stabil. Sesekali dia melirik ke spion. Dia memandang Utari sekilas dan merasa ada sesuatu.
Setibanya di rumah sakit, Nisa langsung ditangani dokter. Utari terduduk di depan pintu IGD dengan wajah berantakan. Jejak air mata masih tampak jelas di wajahnya.
"Tari, ada apa?" Utari mengangkat kepalanya dan menatap Bian. Tatapan matanya kosong.
Air mata segera mengalir lagi. Sungguh Bian amat sangat benci melihat Utari rapuh. Bian merogoh sakunya, dia menyerahkan sapu tangannya pada Utari. Jujur sebenarnya Bian ingin mengusap langsung air mata di wajah Utari, tapi dia masih harus menghargai wanita itu.
Utari mengusap air matanya. Namun, sialnya air matanya tidak bisa berhenti. Hatinya begitu sesak dan sakit. Bahkan dia sampai tidak sadar jika sejak tadi dia gemetaran.
"Tari, kamu ga kasih kabar ke suami kamu?" tanya Bian. Utari menggeleng lemah. Dia sudah berusaha menghubungi Akmal tadi, tapi pria itu bahkan menolak panggilannya sebanyak apapun dia mencoba.
Pintu ruang IGD terbuka, dokter yang menangani Nisa keluar. "Maaf, Pak, putri anda tadi sempat mengalami kejang, saya sarankan untuk rawat inap."
"Baiklah, lakukan yang terbaik. Saya akan segera mengurus administrasinya," kata Bian. Dia bahkan tidak repot mengoreksi ucapan dokter tadi.
"Ra_rawat inap?" Utari tiba-tiba limbung dan jatuh pingsan. Hari ini tubuhnya yang lemah tidak lagi mampu menahan guncangan psikis apapun, untungnya Bian bisa menangkap Utari tepat waktu.
"Tolong periksa dia juga, Dok." Bian mengangkat Utari ke dalam ruang IGD. Utari pun segera mendapatkan penanganan. Atas permintaan Bian, Utari dan Nisa ditempatkan di ruangan yang sama.
Sementara itu, Akmal yang baru saja selesai mandi, mendengus kesal, ponselnya ada di tangan Hana sekarang.
"Ada apa, Hana?"
"Istri pertamamu sejak tadi terus meneleponmu. Sepertinya dia udah gatel pengen disentuh kamu, Mas," kata Hana kesal. Akmal melemparkan handuk sembarangan dan duduk di belakang Hana. Dia memeluknya dari belakang dan menenggelamkan wajahnya diceruk leher wanita itu.
"Tadi seharusnya kamu ga tolak panggilannya. Lain kali abaikan saja. Toh, selama ini setiap malam kamu yang aku gauli. Jadi tidak perlu cemburu sama Utari."
"Kamu berani sebut dia di kamar kita, Mas?" Hana menoleh sambil melotot. Namun, Akmal buru-buru membungkam bibirnya dengan ciuman. Amarah Hana mereda. Setelah Akmal melepaskan ciumannya Hana bersandar di dada pria itu.
"Pokoknya aku ga mau tahu, Mas. Kamu harus ceraikan dia. Aku ga mau hubungan kita gini gini aja."
"Sabar, Sayang. Kalau kita nikah sah, nanti salah satu diantara kita harus keluar dari pekerjaan. Aku ga mau jauh jauh dari kamu," kata Akmal.
Tangannya bergerak liar sembari mengucapkan beberapa kata manis untuk meredakan amarah istri keduanya. Ya, diam-diam Akmal menikahi Hana yang notabene adalah teman Utari. Mereka melakukan hubungan terlarang setelah Akmal tahu jika Utari mengandung anak perempuan. Bagi Akmal yang keluarganya menganut patriarki dimana laki-laki yang lebih diutamakan, dia tidak terima jika istrinya melahirkan anak perempuan.
"Kamu beneran ga pulang, kan, malam ini, Mas?"
"Iya, engga. Aku mau peluk kamu aja," kata Akmal. Dia benar-benar mengabaikan Utari. Bahkan dia tidak mau tahu kenapa Utari menghubunginya berulang kali.
Utari membuka matanya, bau disinfektan begitu menyengat. Dia menatap sekeliling dan mendapati Nisa putrinya terbaring lemah di sampingnya, di brankar yang berbeda.
Saat Utari masih memandangi Nisa, pintu ruang perawatannya terbuka. Bian masuk membawa kantong kresek dari minimarket.
"Kamu sudah sadar?" Bian meletakkan belanjaannya di meja dan menyentuh kening Utari. "Masih agak demam, kamu harus dirawat di sini sampai sembuh."
"Tapi aku ga punya uang, Bian."
"Aku sudah membayar semua tagihan rumah sakit ini. Jadi kamu tidak perlu memikirkan apapun, yang perlu kamu pikirkan sekarang adalah kesembuhan Nisa dan kesehatan kamu."
Utari tersenyum lemah, "Aku berhutang banyak sama kamu, Bi."
Bian tidak menjawab ucapan Utari, Dia justru berbalik dan melihat Nisa. Nisa juga membuka mata. Namun, ada yang berbeda dari gadis kecil itu. Dia hanya diam dengan mata berkedip.
"Nisa, Sayang." Utari menoleh ke arah Nisa. Namun, Nisa tidak merespon panggilan Utari. Merasa cemas, Utari berniat bangun dari brankarnya dengan tergesa-gesa, tetapi Bian menahan bahu Utari.
"Kamu tenang dulu, kamu jangan panik. Aku udah panggil dokter. Kamu tunggu. Jangan turun dari ranjang, kamu masih lemah."
"Tapi, Nisa ...."
"Dia akan baik-baik saja," kata Bian menenangkan.
Tak lama dokter datang diikuti oleh dua orang perawat. Bian segera menjelaskan pada Dokter tentang apa yang terjadi pada Nisa, Dokter pun segera memeriksa Nisa dengan seksama.
"Dokter, saya mohon, sembuhkan putri saya," kata Utari dengan lemah.
"Apakah sebelum sakit, pasien mengalami sesuatu hal yang membuat dia terkejut atau syok, seperti melihat kecelakaan atau sesuatu yang lainnya?"
Utari seketika tertegun. Mungkinkah karena melihat hal kemarin Nisa mengalami trauma. Utari sesaat tidak tahu harus berkata apa. Air matanya kembali mengalir tanpa diminta. Bian menghela napas. Dadanya seakan ikut sesak melihat air mata Utari yang berharga berjatuhan.
"Nyonya, kami perlu detail untuk memutuskan metode pengobatan pasien. Saya merasa putri anda mengalami syok, sehingga kondisinya ada di situasi sekarang."
"Ke_kemarin malam, saya membawa putri saya pergi untuk membeli bakso, tapi tanpa sengaja dia melihat suami saya ada di warung itu sedang bersama orang lain. Suami saya menggendong seorang anak laki-laki dan terlihat sangat bahagia. Selama ini Nisa selalu diabaikan oleh suami saya, Dok. Jangankan digendong, disapa atau ditanya kabar saja tidak pernah, tapi malam itu ...." Utari berhenti bicara, tiba-tiba pikirannya dipenuhi praduga buruk. "Apakah itu akan mempengaruhi psikologis-nya?"
Dokter mengangguk, meski pun apa yang diceritakan Utari merupakan aib rumah tangganya, tapi dokter perlu benar-benar mengetahui titik permasalahannya.
"Kita akan mengobservasi lagi. Yang terbaik coba untuk terus berkomunikasi dengannya. Siapa tahu itu bisa menarik kesadarannya secara perlahan."
Setelah dokter meninggalkan ruang perawatan Utari dan Nisa, Utari bergerak. Dia menarik jarum infusnya dengan kasar tanpa mempedulikan rasa sakit. Bian terkejut. Dia segera menahan Utari dengan memeluknya.
"Utari apa yang kamu lakukan?"
"Lepas, Bi. Aku mau peluk Nisa. Ini semua salahku. Aku ga becus merawat dia, sampai-sampai hal ini harus terjadi padanya. Aku seharusnya menceraikan suamiku sejak dulu sehingga Nisa tidak perlu menanggung hal seberat ini, ini salahku, Bi."
Pelukan Bian semakin erat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Situasi yang Utari alami cukup mengejutkan Bian secara keseluruhan.
***
Suara ketukan pintu yang keras berulang membuat tetangga di sekitar rumah Utari merasa terganggu. Seseorang keluar dari balik pintu, sementara yang lainnya memilih untuk mengintip dari balik pintu rumah mereka masing-masing.
"Hei, Akmal! Gila kau ya? Ketuk pintu rumah sendiri dah macam tukang kredit nagih angsuran."
"Bu Lilis ga usah berisik. Ini urusan saya."
"Bah! Kau yang lebih berisik, Akmal. Mau kau, ku panggilkan pak RT biar kena tegur kau?"
Akmal mendengus. Dia kembali menghadap pintu dan mengetuknya. Namun, sampai tangannya memerah, pintu itu tak kunjung terbuka. Tidak biasanya Utari mengabaikannya seperti ini.
Bu Lilis menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Akmal. Dasar paok.
Akmal hendak bertanya pada Bu Lilis tentang Utari, tapi dia urung karena pintu rumah bu Lilis sudah tertutup. Akmal menoleh di sekitar, tapi tidak ada satu pun tetangga yang keluar. Benar-benar menyebalkan.
Akmal akhirnya memutuskan untuk berangkat kerja terlebih dulu, dia pergi meninggalkan rumahnya. Tak lama kemudian, beberapa ibu-ibu keluar dari rumah dan menatap ujung gang dengan hati-hati.
"Udah pergi rupanya si Akmal itu. Kok, Utari mau sama laki mokondo kek dia, ga habis pikir aku."
"Bu Lilis kaya ga tahu Utari aja, hatinya udah kaya tahu sutra, lembut banget. Saya sebenarnya mau bilang ke Utari, kalau saya sering lihat suaminya boncengan sama perempuan lain. Mereka berdua kaya perangko, tapi saya takut kalau cerita, nanti bikin masalah buat Utari."
"Dah, kita ga usah ikut campur masalah keluarga Utari. Sebagai tetangga yang baik, kita do'akan saja, semoga Utari bisa menemukan kebahagiaannya."
"Halo, Mah. Mah, Bian kayaknya ga bisa pulang. Kemarin aku ga sengaja ketemu Utari, tapi kayaknya dia lagi ga baik-baik aja."
("Apa? Kamu ketemu Utari? Dimana?")
"Aku lagi ada di kota B, Mah."
("Mama susul kamu, ya, Bi?")
"Jangan dulu, Ma. Situasinya lagi ga bagus. Nanti kalau ada waktu, kapan-kapan aku akan pertemukan mama sama Utari.
Bian berbicara panjang lebar pada ibunya. Setelah Bian mematikan ponselnya, Dia menghela napas.
"Andai dulu keluargaku ga pindah, Tari. Mungkin kamu ga akan mengalami hal hal seperti ini. Aku pasti jaga kamu, seperti dulu kamu menjagaku," gumam Bian.
Saat ini Bian ada di luar ruangan. Dia sedikit tenang karena Utari diberi obat oleh dokter dan sekarang dia tertidur.
Bian keluar dari rumah sakit dan menyeberang ke toko mainan yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Bian membeli sebuah boneka Barbie. Tadi Bian sempat berdiskusi dengan dokter dan dokter menyarankan biar akan melakukan terapi bonding dengan Nisa secara perlahan.
Meski bukan ayah kandung Nisa, Bian merasa ingin dekat dengan Nisa dan bisa mencurahkan segala kasih sayang yang tidak pernah Nisa dapatkan dari ayahnya.
Bian dengan semangat membawa boneka Barbie masuk ke ruang perawatan Nisa dan Utari. Utari masih memejamkan matanya sedangkan Nisa terbaring dengan mata terbuka dan tatapannya kosong.
Bian duduk di dekat brankar Nisa. Dia memanggil Nisa dengan lembut. Namun, gadis yang ceria itu kini tidak memberikan respon apapun. Bian mengusap pipi Nisa dengan lembut. Bian mengatur Brankar Nisa agar posisi Nisa setengah duduk.
"Nisa, lihat ini, Om punya apa untuk Nisa." Bian menyodorkan kotak boneka Barbie di perut Nisa. Kelopak mata Nisa bergetar dan dia berkedip lambat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!