NovelToon NovelToon

Ancient Slayer

Bab 1 Turun Gunung

(Sedikit Illustrasi.)

Di tengah hamparan pegunungan yang menjulang tinggi, pepohonan rimbun berdiri kokoh, menciptakan sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk peradaban. Daun-daun saling berbisik ditiup angin, sementara gemericik air sungai yang mengalir dari puncak menambah kesan damai.

Di antara keheningan itu, seorang pria melangkah perlahan. Pakaiannya kusut, penuh noda tanah dan bekas jahitan yang kasar. Rambutnya panjang, tergerai berantakan hingga ke bahu, sementara wajahnya dipenuhi janggut yang tak terawat. Mata sayunya tampak kosong, seperti memendam sesuatu yang dalam.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah tenda tua berdiri sendirian. Warna aslinya hampir tak terlihat lagi, tertutup debu dan lumut yang merayap di sepanjang kainnya. Tali-tali penyangganya kendur, menandakan bahwa waktu telah lama berlalu sejak seseorang terakhir kali merapikannya.

Pria itu mendekat, tangannya menggenggam beberapa buah liar dan seekor ikan yang masih sedikit basah. Butiran air masih menetes dari sisiknya yang keperakan. Mungkin hasil tangkapannya di sungai tadi.

Sesampainya di tenda, ia mulai melakukan rutinitasnya. Dengan gerakan mekanis, ia membersihkan ikan, menyalakan api kecil, dan memanggangnya di atas bara yang nyaris padam. Asap tipis mengepul, menguar di udara segar dalam semilir angin gunung.

Namun, pikirannya melayang entah ke mana. Ia menatap langit yang kini membentang luas, biru dan tanpa cela, dihiasi gumpalan awan putih yang mengalir pelan, bebas, tanpa beban.

Sementara itu, dirinya masih di sini. Diam. Sendiri. Terperangkap di antara masa lalu dan keputusan yang tak kunjung diambil.

Sebuah gumaman lemah akhirnya keluar dari bibirnya.

"Apa aku harus turun sekarang?"

Suaranya bergema, merobek kesunyian yang telah lama bertahan. Ia terdiam sejenak, menyadari bahwa ia baru saja berbicara sendiri. Siapa sebenarnya pria ini? Untuk menemukan jawabannya, kita harus melihat ke masa lalunya.

Namanya Iramura Tenzo. Bukan sekadar pengembara biasa, tetapi seorang pendekar yang berasal dari dunia lain—terhempas dari dunianya oleh nasib yang kejam.

Dunianya adalah negeri para pendekar samurai. Sebuah tempat di mana pedang menentukan kehidupan dan kematian, di mana kehormatan lebih berharga dari segalanya. Dalam usia yang masih muda, ia telah menjadi jenderal—seorang pemimpin perang yang disegani, baik oleh sekutu maupun musuh.

Namun, segalanya berubah dalam satu malam.

Sebuah kesalahan dalam informasi membuat pasukannya masuk ke dalam perangkap. Ribuan musuh mengepung dari segala arah. Tidak ada tempat untuk lari, tidak ada harapan untuk bertahan. Perang yang seharusnya dimenangkannya berubah menjadi pembantaian.

Satu per satu, prajuritnya jatuh. Udara dipenuhi jeritan kesakitan, darah mengalir membasahi tanah. Tenzo, meski dianugerahi tubuh yang kuat dan bakat luar biasa, tak bisa menghindari nasib yang sama. Pedangnya menebas musuh demi musuh, namun jumlah mereka tak berkurang sedikit pun.

Luka menutupi tubuhnya, darah mengalir dari banyak sayatan. Napasnya berat, tapi tangannya masih erat menggenggam pedangnya. Dia tahu, ini adalah akhir.

Namun, kematian baginya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Seorang samurai sejati mati dengan pedang di tangannya. Ia bersiap menerima nasibnya.

Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tepat saat pedang musuh hampir menembus dadanya, cahaya keemasan menyelubungi tubuhnya. Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya lenyap. Ia tidak lagi berada di medan perang.

Ketika matanya terbuka, ia mendapati dirinya berdiri di dalam sebuah aula megah. Pilar-pilar menjulang tinggi, dan di hadapannya, berdiri sosok-sosok berpenampilan asing, menatapnya dengan mata penuh harapan.

Tenzo telah berpindah dunia.

Dunia yang kini ditempati Tenzo disebut Inavosta, sebuah kerajaan megah yang berdiri di tengah tanah yang subur. Namun, bukan hanya dia yang dipanggil ke dunia ini. Ada lima orang lainnya—semuanya berasal dari dunia yang berbeda. Mereka disebut sebagai ‘Pahlawan’ yang ditakdirkan untuk melawan Raja Iblis dan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.

Namun, bagi Tenzo, semua ini terdengar tidak masuk akal.

Dunia barunya dipenuhi hal-hal yang tidak pernah bisa ia bayangkan sebelumnya. Ada kekuatan aneh yang disebut sihir—sesuatu yang bisa mengubah realitas tanpa pedang atau tenaga fisik. Tanpa alat bantu, manusia bisa menciptakan api, membekukan air, atau bahkan menyembuhkan luka hanya dengan mantra. Semua ini bertentangan dengan segala hal yang ia yakini.

Setelah menerima penjelasan dari orang-orang yang telah memanggil mereka, Tenzo dan keenam "pahlawan" lainnya diarahkan ke sebuah ruangan luas yang dikelilingi oleh kristal bercahaya. Tujuan mereka? Menguji kekuatan masing-masing.

Hasilnya mengejutkan. Keempat orang lainnya menunjukkan kekuatan yang luar biasa—salah satunya mampu mengendalikan api hingga membentuk naga raksasa, sementara yang lain bisa menciptakan pusaran air yang menghancurkan dinding batu. Bahkan sang raja pun bertepuk tangan, matanya berbinar kagum melihat kehebatan mereka.

Lalu, giliran Tenzo.Ia melangkah ke tengah ruangan, menarik napas dalam-dalam, lalu menghunus Katana-nya. Ia hanya memiliki satu kemampuan sihir—elemen angin dengan tingkat yang tidak terlalu tinggi. Tidak ada semburan api, tidak ada pusaran air. Hanya sebuah getaran udara yang mengalir lembut saat ia mengayunkan pedangnya.

Keheningan menyelimuti ruangan. Sang raja, yang tadinya penuh semangat, kini hanya menghela napas dan mengangguk singkat. Ekspresi antusiasnya meredup, seakan ekspektasinya terhadap Tenzo runtuh begitu saja.

Namun, meski tanpa kekuatan unik, Tenzo tetap diterima. Mungkin hanya sebagai pahlawan cadangan.

Selama lebih dari tiga tahun Tenzo berada dinaungan kerajaan dan ikut bersama dengan party pahlawan guna memberantas para Demon dan mencari Artefak peninggalan kuno yang terdapat di dalam. Dungeon.

Selama itu juga, Tenzo tidak hanya berlatih. Ia telah berkembang. Ia telah menemukan cara untuk menyesuaikan ilmu pedangnya dengan dunia baru ini. Ia menciptakan teknik baru yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tubuh, tetapi juga memanfaatkan angin dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.

Namun tiba-tiba pada hari itu, mereka terkena sebuah insiden yang menyebabkan salah seorang dari party pahlawan gugur. Itu ialah Tenzo. Karena suatu penyebab dia dinyatakan gugur oleh pihak kerajaan. Tetapi tidak ada yang tahu kalau dia ternyata masih hidup dan telah mengalami perubahan yang drastis.

**

Lima tahun telah berlalu.

Tenzo kini berada di Gunung Seldat—tempat sunyi yang jauh dari wilayah kerajaannya dulu. Tenzo menatap langit biru yang terbentang luas di atasnya.

Angin berembus lembut, membawa aroma dedaunan dan tanah basah. Dengan tenang, ia menyuapkan potongan ikan panggang ke mulutnya, membiarkan rasanya mengisi keheningan di sekelilingnya.

Lalu, ia bergumam, suaranya pelan namun penuh tekad. "Baiklah, aku akan turun. Mungkin saja mereka sudah melupakan keberadaanku."

Tenzo akhirnya telah memutuskan untuk turun dari gunung ini.

Dari perkataannya, mungkin saja ada suatu hal yang terjadi antara dia dan 'mereka' yang masih tidak diketahui sehingga mengharuskannya tinggal di gunung yang jauh dari penduduk. Dirasa jika sudah cukup aman, dia pun memutuskan untuk mulai bergerak.

Langit mulai membara saat matahari merangkak ke puncaknya. Tenzo yang telah siap, mengencangkan ikatan tasnya, memastikan segala perlengkapan sudah terbungkus rapi di dalamnya. Pedang Katana di pinggangnya bergoyang ringan setiap kali ia melangkah. Sebelum turun, ia menyempatkan diri mencuci wajah di sungai, membiarkan air dingin menyapu sisa kelelahan di wajahnya.

**

Dua hari perjalanan berlalu tanpa gangguan. Tidak ada tanda kehidupan yang terlintas di hutan yang ia lewati. Ia tidak merasa aman justru itulah yang membuatnya waspada. Ada sesuatu yang telah menguasai hutan ini.

"Hening sekali..."

Tidak ada suara burung, tidak ada jejak hewan liar. Rasanya seperti alam pun menahan napas. Baru kali ini ia merasa lebih hidup di gunung daripada di jalur menuju tempat pemukiman. Dan ketika ia akhirnya melihat sebuah desa ....

Ia berhenti.

"Tidak mungkin..."

(Sedikit Illustrasi.)

Bangunan-bangunan kayu pemukiman penduduk kini rata dengan tanah. Asap tipis masih mengepul dari puing-puing hangus. Tanah menghitam, bau darah samar-samar masih tertinggal di udara. Tak ada mayat. Hanya kehancuran.

Desa tersebut telah rata dengan tanah. Padahal ini adalah desa pertama yang ia jumpai selama dua hari perjalanan ini.

Tenzo melangkah ke dalam desa yang sunyi itu, membiarkan matanya menelusuri sisa-sisa kehidupan yang pernah ada. Sepuluh menit berlalu. Ia berlutut dan meraba tanah yang berserakan abu. Jarinya meremas serpihan kayu yang hangus.

"Kayaknya kejadian ini sudah terjadi sekitar dua sampai tiga hari terakhir..." ucapnya yang memperkirakan kejadian.

"Ini bukan ulah bandit. Mereka tidak akan menghancurkan desa segininya hanya untuk menjarah."

Lalu, firasat buruknya menjadi kenyataan. Sebuah aura muncul dari atas. Cepat. Gelap. Tenzo langsung mendongak. Sosok bersayap hitam mengepak di langit, matanya bersinar merah seperti bara api.

"Demon."

Makhluk itu mendarat di sebuah reruntuhan, menatapnya dengan penuh kejengkelan.

"Hah!? Masih ada manusia di sini?" ia mendengus, ekspresinya kesal. "Apa mereka benar-benar bekerja dengan baik atau tidak?! Tch. Untung saja aku memeriksa tempat ini."

Tatapannya beralih pada Tenzo, matanya menyipit.

"Oi, manusia. Kau tahu, kami sudah membantai seluruh penduduk di sini. Aku akan mengirimmu menyusul mereka. Jadi, pasrah saja."

Ia menarik pedangnya dari sarungnya.

Tenzo hanya diam. Tak ada respons. Tak ada ketakutan. Hanya tatapan datar yang menembus jiwa iblis itu.

"Heh, diam? Bagus. Itu pilihan yang tepat." Demon itu menyiapkan posisinya. "Aku akan membunuhmu tanpa rasa sakit!"

Lalu, ia melesat.

Secepat kilat.

Pedangnya siap menebas kepala Tenzo—

—namun sebelum ia bisa menyentuhnya, sesuatu yang tak terlihat langsung menyerang dirinya.

"SLASHHH!!"

Tubuhnya terbang tak terkendali seakan tidak sadarkan diri. Ia melayang beberapa meter sebelum jatuh menghantam tanah, tubuhnya terseret, menabrak reruntuhan. Debu mengepul di udara.

Keheningan.

Beberapa detik kemudian, Demon itu bangkit dengan wajah pucat pasi. Tangannya gemetar saat meraba tubuhnya. Ada sesuatu yang hilang, tapi ia tak tahu apa.

"E-eh...? Apa yang terjadi...!?"

Bab 2 Mengintrogasi

Wajah Demon itu tetap pucat, meski ia menyadari tubuhnya baik-baik saja. Napasnya masih tersengal, matanya menyapu seluruh tubuhnya, mencari luka yang seharusnya ada. Tapi tidak ada.

“Apa yang sebenarnya terjadi!?” serunya panik.

Kepalanya terasa berputar, pikirannya berusaha merangkai kembali kejadian beberapa saat lalu.

Lalu ia mengingatnya.

[Saat aku melesat dengan kecepatan tinggi… tiba-tiba tubuhku terbelah menjadi tiga bagian. Aku bisa merasakan itu dengan jelas—sisi kiri, sisi kanan, dan bagian tengahku tercerai-berai. Rasa sakitnya begitu nyata. Lalu semuanya menghilang. Kesadaranku pun ikut lenyap selama beberapa detik... Tapi sekarang? Aku baik-baik saja? Ini tidak masuk akal!]

Perlahan, ia menoleh ke belakang. Tenzo masih berdiri di sana, diam, tak menunjukkan ekspresi apa pun.

[Apakah dia menggunakan sihir halusinasi?] pikirnya, mencoba mencari penjelasan.

Demon itu kembali mengingat. Sensasi tajam yang menembus tubuhnya, tubuhnya yang terbelah, kesadarannya yang menghilang. Lalu… kosong. Dan kini ia di sini, tanpa luka sedikit pun.

Ia menggertakkan giginya. Ada sesuatu yang tidak beres. Dengan gerakan cepat, ia berdiri tegak dan menatap Tenzo tajam.

“Hei, manusia!” bentaknya, suaranya menggema. “Apa yang kau lakukan padaku!? Apakah ini trik sihir halusinasi!?”

Tak ada jawaban. Tenzo hanya melangkah perlahan, tangan kanannya menggenggam gagang Katana-nya dengan santai, seolah tak peduli pada amarah Demon di depannya.

Saat jarak mereka semakin dekat, Tenzo akhirnya berbicara, suaranya tenang namun menusuk.

“Apakah kalian benar-benar membantai semua orang di desa ini?”

Demon itu menyipitkan mata.

“Hah!? Untuk apa kau ingin tahu soal itu!? Jawab dulu pertanyaanku!” serunya, jelas tak terima pertanyaannya diabaikan.

Tenzo tetap tak menunjukkan emosi apa pun. Seolah-olah pertanyaan Demon itu tak berarti.

Setelah beberapa detik hening, akhirnya ia menghela napas ringan. “Baiklah,” katanya pelan. “Aku akan menjawabnya.”

Dan saat itu juga, rasa sakit kembali menghantam tubuh Demon.

Mata Demon membelalak. Dadanya terasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat. Sebelum ia bisa memahami apa yang terjadi, tubuhnya merasakan sensasi itu lagi—sebuah tebasan tajam, membelahnya dari kepala hingga ke bawah dengan begitu halus, begitu rapi. Ia jatuh. Tubuhnya seakan tercerai-berai, dan rasa sakit menjalar di seluruh sarafnya. Namun, sama seperti sebelumnya, hanya dalam hitungan detik, semuanya lenyap.

Ia terkejut. Tubuhnya kembali utuh. Tidak ada darah. Tidak ada luka. Tangannya gemetar. Matanya penuh emosi—campuran antara ketakutan dan kemarahan.

Ia berdiri lagi, lebih cepat dari sebelumnya, wajahnya memerah oleh amarah yang meledak-ledak.

Di saat itu, suara Tenzo terdengar lagi, datar namun dingin.

“Jadi bagaimana?” katanya. “Aku sudah memberikan jawabanku. Sekarang, giliranmu."

Ucapan Tenzo hanya semakin menyulut amarah Demon itu. “Sialan kau, manusia! Jangan bermain-main denganku lagi!” Demon itu menggeram, membuka mulutnya lebar-lebar. Energi sihir berkumpul, membentuk bola bercahaya di dalamnya, bergetar hebat, siap dilepaskan.

Namun—

Slahhh!

Tebasan itu datang begitu cepat.

Kepala Demon terbelah dua secara horizontal, tepat di tengah mulutnya. Bagian atas kepalanya terpisah dari rahang bawah, jatuh ke tanah dengan suara basah. Di saat bersamaan, bola energi yang ia kumpulkan meledak, menghantam tubuhnya dan melemparkannya jauh ke belakang.

Tenzo melangkah mendekat dengan tenang.

“Percuma,” katanya dingin. “Sekarang yang bisa kau lakukan hanyalah menjawab pertanyaanku. Itu jauh lebih berguna daripada melawan.”

Demon itu menggeram, menolak menyerah. Dengan sisa tenaga, ia mencoba bangkit—

Tapi sia-sia.

Tiba-tiba, kedua kaki dan tangannya terpotong. Seperti sebelumnya, tubuhnya kembali lumpuh, tak berdaya. Ia hanya bisa menatap Tenzo yang kini sudah berdiri di hadapannya.

Tenzo berjongkok, menatap langsung ke dalam mata Demon itu.

“Aku akan memberikanmu keringanan,” katanya. “Asal kau mau menjawab beberapa pertanyaanku.”

Nada suaranya terdengar meyakinkan. Demon itu tahu ia tidak punya pilihan. Daripada terus merasakan siksaan ini, lebih baik ia menurut.

“B-Baiklah… aku akan menjawabnya…”

Tenzo mengangguk. “Bagus. Pertama, jawab pertanyaanku tadi. Kedua, apakah ada kamp markas kalian di sekitar sini? Jika ada, di mana letaknya?”

Demon itu menghela napas berat sebelum akhirnya berbicara.

“Sebenarnya… kami hanya membunuh para pria,” katanya. “Anak-anak dan wanita kami bawa ke kamp untuk dijadikan… pelampiasan kami.”

Mata Tenzo menyipit, tapi ia membiarkan Demon itu melanjutkan.

“Kamp kami ada di utara… tak jauh dari Hutan Urjan. Ada sebuah gua di sana… tempat kami bersembunyi bersama warga desa itu…”

Tenzo terdiam sesaat.

Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia berdiri dan berbalik. Langkahnya perlahan menjauh.

Demon itu menatap punggungnya, merasa ragu. Tapi saat Tenzo terus melangkah, ia mulai menyadari sesuatu.

Tenzo benar-benar menepati ucapannya.

Ia diberi kesempatan untuk hidup.

Ini kesempatannya!

[Aku harus segera memberitahu pemimpin! Orang ini terlalu berbahaya!]

Demon itu mengepakkan sayapnya, bersiap terbang. Namun, tepat saat ia mulai melesat ke udara—

“Untuk keringanan yang tadi ku katakan… aku akan memberikannya sekarang,” suara Tenzo terdengar dari kejauhan.

Demon itu terhenti. “Hah? Apa maksudmu—”

Sesuatu menyentuh tubuhnya.

Lembut. Halus. Menembusnya.

Ia ingin bereaksi, tapi tubuhnya tidak merasakan apa pun. Tidak ada rasa sakit. Hanya sensasi aneh, seperti sesuatu yang mengalir melewatinya. Pandangannya mulai memudar, tubuhnya terasa ringan. Sebelum ia bisa memahami apa yang terjadi, Ia sudah tergeletak di tanah.

Tenzo menatap mayat Demon itu dengan ekspresi datar.

“Keringanan itu adalah kematian tanpa rasa sakit,” katanya pelan.

Tanpa melihat ke belakang lagi, ia melanjutkan perjalanannya. Langkahnya membawa dirinya keluar dari desa yang terbengkalai, menuju satu tujuan baru—Hutan Urjan.

Sambil berjalan, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Sebelum perjalanan dimulai, aku harus melakukan peregangan… dan menguji teknik-teknik baruku.”

***

Di tengah lebatnya hutan Urjan bagian utara, sekelompok petualang bergerak perlahan. Puluhan orang berbaris dengan langkah mantap, senjata mereka berkilat samar di bawah sinar matahari yang menembus celah dedaunan. Di bagian depan, beberapa penunggang kuda memimpin dengan penuh wibawa—jelas bahwa mereka adalah pemimpin kelompok ini.

Di antara mereka, seorang pria berbaju zirah lengkap tampak mencolok. Pelat bajanya berkilauan meski ternoda debu perjalanan. Dengan postur tegap dan tatapan tajam, ia jelas seorang knight berpengalaman—William, komandan pasukan ini. Di sampingnya, seorang warrior bertubuh kekar dengan rambut kecokelatan berjalan dengan santai, tangan kirinya bertumpu pada gagang pedang besar yang tersampir di punggungnya. Namanya Ares.

“Ares, kita hampir sampai di tempat persembunyian mereka,” ujar William dengan nada tenang namun tegas. “Lima menit lagi, kirim beberapa orang untuk menyusup ke depan dan memastikan keadaannya.”

Ares mengangguk santai. “Baiklah, serahkan saja kepadaku.”

William menghela napas sejenak sebelum kembali berbicara. “Ini sudah kali keempat kita menghancurkan kamp Demon, tapi tidak sekalipun kita bertemu iblis tingkat tinggi,” gumamnya, alisnya mengernyit. “Aku mulai curiga... bisa saja mereka sedang berkumpul di suatu tempat, menyusun rencana yang lebih besar.”

Ares tertawa kecil. “Hah, kau dan teori konspirasimu lagi,” katanya seraya terkekeh. “Bukankah ini justru kabar baik? Korban jiwa di pihak kita semakin berkurang. Kita seharusnya merayakan keberhasilan ini, bukan terus mencemaskan hal-hal yang belum pasti.”

“Kau memang benar… tapi tetap saja, kita harus berjaga-jaga. Situasi bisa berubah sewaktu-waktu.” William tetap berpegang pada nalurinya.

Ares menepuk bahu William dengan senyum lebar. “Sudahlah, kau selalu tegang seperti itu. Kita fokus dulu ke pertempuran ini—dan setelahnya, kita berpesta seperti biasa. Aku bahkan sudah membayangkan minuman pertama yang akan kuteguk!”

William hanya menggelengkan kepala, meski senyum tipis tersungging di wajahnya. Namun, jauh di dalam pikirannya, firasat buruk masih menyelimuti dirinya. Perjalanan mereka menuju kamp Demon terus berlanjut, tanpa mereka sadari bahwa sesuatu yang jauh lebih besar tengah menunggu di depan mereka.

Bab 3 Memasuki Gua

Di bawah langit yang cerah, rombongan petualang bergerak melewati hutan yang dipenuhi pepohonan rimbun. Cahaya matahari tersaring oleh dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan bergerak di tanah. Suara burung hutan yang sesekali bersahutan berpadu dengan derap langkah kaki dan deru napas kuda.

Sesuai aba-aba dari William, setelah lima menit perjalanan berlalu, Ares segera mengirim beberapa petualang pilihan. Mereka adalah orang-orang yang cekatan dan ahli dalam pengintaian. Dengan langkah ringan dan gerakan nyaris tanpa suara, mereka menyelinap di antara pepohonan, menghilang ke dalam bayang-bayang hutan untuk memeriksa keberadaan kamp yang diduga sebagai markas Demon.

Sementara itu, rombongan utama berhenti di sebuah tanah lapang yang tersembunyi di balik pepohonan besar. Menunggu bisa menjadi hal yang membosankan, terutama bagi mereka yang haus akan aksi. Para petualang pun mulai berbincang satu sama lain, suara mereka terdengar lirih di tengah gemerisik angin. Beberapa berdiskusi strategi, sementara yang lain berbicara santai, mengusir kegugupan dengan tawa kecil.

Waktu berlalu perlahan. Lima belas menit kemudian, petualang yang dikirim kembali dengan napas sedikit memburu. Salah satu dari mereka melangkah maju, wajahnya serius saat menyampaikan laporan kepada William.

"Lapor! Sekitar 150 meter dari sini, kami menemukan sebuah gua yang tampaknya menjadi sarang para Demon. Kami melihat mereka berkeliaran di sekitar, tampaknya sedang berpatroli."

Sejenak, keheningan menyelimuti rombongan. Lalu, sebuah senyum penuh semangat muncul di wajah William. Matanya berbinar saat ia menatap semua petualang yang berdiri tegap di hadapannya.

"Kalian dengar itu!?" serunya lantang, suaranya menggema di tengah hutan. "Kamp para Demon sudah dekat. Bersiaplah! Kita akan segera bertempur!"

Teriakan itu langsung disambut sorak-sorai. Para petualang mengangkat senjata mereka tinggi-tinggi, semangat mereka membara.

"Yeaaahhh!! Hancurkan mereka!!"

Dengan satu gerakan tegas, William mengangkat pedangnya ke udara, lalu memberi aba-aba. "Baiklah! Ayo kita berangkat!"

Derap langkah kaki dan suara peralatan tempur mulai memenuhi udara. Mereka bergerak maju, menembus pepohonan dengan hati yang dipenuhi semangat akan pertarungan.

--

Di kejauhan, di atas sebuah tebing yang menghadap langsung ke gua, seorang pria berjongkok dalam diam. Bayangan tubuhnya menyatu dengan kegelapan, hanya siluet samar yang terlihat di balik bayang-bayang bebatuan. Matanya tajam, menelusuri setiap pergerakan yang terjadi di bawah sana.

Dialah Tenzo.

Angin gunung berhembus pelan, menggoyangkan ujung jubah hitamnya. Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya ia tiba di tempat ini. Pandangannya tak lepas dari gerombolan Demon yang tengah berpatroli di sekitar gua. Gerakan mereka disiplin, tatapan mereka penuh kewaspadaan.

[Hmm... Mari berpikir sejenak...] gumamnya dalam hati. [Sepuluh Demon yang berjaga di luar ini bukanlah ancaman serius. Aku bisa menghabisi mereka dalam hitungan detik... Tapi setelah itu?]

Ia menyandarkan punggungnya ke batu besar di belakangnya, menatap langit yang mulai berwarna jingga.

[Apakah aku harus langsung membantai semua Demon di dalam gua? Atau mencari letak penjara tempat para penduduk ditahan terlebih dahulu?]

Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, tiba-tiba dia merasakan sesuatu. Instingnya yang sudah tajam segera memberi peringatan. Ada sesuatu yang mendekat.

Dan benar saja—beberapa detik kemudian, segerombolan manusia muncul dari berbagai arah dengan kecepatan luar biasa. Tanpa memberi Demon kesempatan untuk bereaksi, mereka langsung menyergap dan membungkam sepuluh penjaga yang berjaga di sekitar gua.

Tenzo menghela napas pelan.

[Hah… Kurasa ini bukan hari keberuntunganku. Tak kusangka tempat ini juga menjadi target para petualang.]

Awalnya, ia berpikir untuk pergi. Toh, dengan jumlah mereka, para petualang itu seharusnya bisa menangani situasi ini dengan mudah. Namun, sesuatu membuatnya berhenti sejenak.

Ia melirik ke arah gua, lalu kembali menatap para petualang yang mulai merayap masuk ke dalamnya.

Senyuman tipis muncul di wajahnya.

[Sudah lama aku tidak melihat pertarungan... Mungkin mereka bisa menjadi tontonan yang menarik.]

Karena sudah begitu lama dia tidak melihat segerombolan manusia yang akan melakukan pertarungan sengit, membuat dirinya tertarik. Tenzo berniat mengikuti mereka dan menjadikan mereka sebagai tontonan yang menarik.

Angin kembali bertiup, menggoyangkan jubahnya saat ia melangkah mundur, lalu melompat turun dari tebing. Pada saat batang hidung dari para petualang tidak terlihat lagi, dia pun dengan cepat ikut memasuki gua.

**

Sementara itu, di dekat gua, pasukan petualang yang dipimpin oleh William telah tiba di posisi mereka.

"Alice, gunakan [Eye High] untuk memastikan jumlah dan posisi Demon yang berjaga," perintah William.

Seorang perempuan dengan jubah biru muda mengangguk, lalu matanya bersinar sejenak—sebuah tanda bahwa kemampuannya telah diaktifkan. Dengan tatapan tajam, ia mengamati area sekitar gua sebelum melaporkan temuannya.

"Sepuluh Demon berjaga, semuanya berpatroli di sekitar pintu masuk. Tidak ada yang menyadari keberadaan kita."

William mengangguk puas. "Baik. Kita akan menyerang secara mendadak. Gunakan sihir pengikat untuk melumpuhkan mereka, lalu eksekusi sebelum mereka sempat bereaksi!"

Tim petualang langsung bersiap. Para Mage di barisan belakang mulai merapal mantra.

"[Retaining Chain]!"

Dalam sekejap, rantai bercahaya muncul dari udara, melesat cepat ke arah para Demon. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, tubuh mereka sudah terjerat rantai sihir, menahan gerakan mereka.

Brakk!

Para Demon jatuh ke tanah, meronta dengan marah, tetapi sudah terlambat. Para petualang lainnya bergerak cepat, menghunus pedang dan tombak mereka, menghabisi Demon yang tak berdaya.

Hanya dalam waktu singkat, pertempuran itu berakhir.

William menatap anak buahnya dengan puas. "Bagus! Tapi ini baru awal. Di dalam gua, kita tidak tahu apa yang menunggu kita. Tetap waspada dan saling menjaga!"

"Baik, Kapten!"

Dengan formasi yang tertata, mereka mulai memasuki gua satu per satu. Namun, tak ada yang menyadari bahwa dari bayang-bayang tebing, seorang pria berambut hitam melompat turun tanpa suara dan menyelinap masuk bersama mereka.

Tenzo kini berada di dalam.

Gua yang Gelap & Cabang Jalan

Begitu memasuki gua, udara lembap dan aroma tanah yang khas langsung menyelimuti mereka. Jalur gua sedikit gelap, namun cukup terbantu oleh obor dan kristal sihir yang tertanam di dinding, memberikan cahaya redup yang cukup untuk melihat jalan.

Namun, sesuatu terasa aneh.

"Sejak tadi… kita belum melihat satu pun Demon," gumam seorang petualang dengan nada curiga.

William juga merasakan hal yang sama. Ia mengamati dinding gua yang licin dan lorong-lorong yang semakin menyempit.

Kemudian, mereka tiba di sebuah persimpangan. Dua jalur terbuka di hadapan mereka—keduanya gelap dan tidak memberikan petunjuk ke mana mereka akan bermuara.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ares, wakil William.

William berpikir sejenak, lalu membuat keputusan. "Kita bagi pasukan menjadi dua tim. Dengan begitu, kita bisa menjangkau lebih banyak area dalam waktu singkat."

Ares mengangguk. "Baik. Kita atur pembagian tim sekarang."

Setelah tim terbentuk, William menambahkan peringatan. "Jika kalian menemukan persimpangan lain, jangan bertindak gegabah. Segera kembali dan beri laporan!"

"Dimengerti!"

Tim pun berpisah, masing-masing memasuki jalur yang berbeda.

Dari kejauhan, Tenzo memperhatikan dengan mata tajam. Dia menoleh ke arah jalur kiri, lalu ke kanan.

[Energi di jalur yang ditempuh Ares terasa lebih berbahaya… Menarik.]

Senyuman samar muncul di wajahnya sebelum akhirnya ia melangkah masuk ke jalur yang sama dengan Ares.

Pertempuran di Jalur Kiri

Ketika tim Ares melangkah lebih dalam, suhu udara terasa sedikit berubah. Atmosfer gua menjadi lebih menekan, seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka.

Dan benar saja—hanya beberapa langkah ke depan, bayangan-bayangan hitam muncul dari kegelapan.

"Demon!!"

Dalam hitungan detik, pertempuran pun pecah. Para petualang dengan sigap mengangkat senjata, menghadapi serangan mendadak dari Demon yang muncul dari kegelapan.

"Fireball!"

"Wind Slash!"

"Water Shooter!"

"Healing Up!"

Sihir dan serangan fisik bertukar hantaman di dalam gua sempit itu. Demon-demon itu lebih banyak daripada yang mereka duga, mengepung pasukan Ares dari berbagai sisi.

Di kejauhan, Tenzo menyaksikan dengan tatapan tenang.

[Hmph… Jadi ini kekuatan mereka? Menarik.]

Saat melihat petualang bertarung mati-matian, sebuah kenangan lama muncul di benaknya. Sesuatu dari masa lalunya, sesuatu yang telah lama ia lupakan.

[Sudah lama sejak terakhir kali aku melihat pertempuran seperti ini… Ah, kenangan lama, ya?]

Setelah setengah jam pertempuran sengit, tim Ares akhirnya berhasil mengatasi serangan para Demon. Meskipun kelelahan, mereka tetap berdiri tegap. Ares mengangkat pedangnya dan berteriak, "Kita berhasil! Jangan biarkan semangat kalian pudar!"

Sorak-sorai kecil terdengar, membangkitkan kembali energi tim. Mereka kembali melanjutkan perjalanan lebih dalam ke dalam gua.

Tanpa mereka sadari, dalam bayang-bayang, Tenzo tetap mengikuti mereka.

Selalu waspada. Selalu mengamati.

Dan mungkin… menunggu sesuatu yang lebih menarik terjadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!