“Aku akan menikahi salah satu dari putri Ibu,” ucap Bara kepada pembantunya. Bara baru saja kembali dari kantor, masih mengenakan setelan jasnya.
Selama seminggu ini Bara berpikir keras, sampai akhirnya ia memutuskan akan menjadikan pembantu yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri selama delapan tahun tinggal di Surabaya sebagai ibu mertuanya. Ia tidak punya jalan lain. Bisa saja ia tetap membiayai kebutuhan Ibu Rosma dan putri-putrinya, tetapi suatu saat hubungan itu akan terputus. Selain itu, ia khawatir Bu Rosma akan menolak bantuannya.
Akan tetapi dengan menikahi salah satu putri Bu Rosma, dengan sendirinya ia menjadi anak menantu. Selamanya, ia bisa menjaga Ibu Rosma.
Bu Rosma terkejut, tidak bisa berkata apa-apa mendengar kata-kata majikannya. Baru saja Bara mengabarinya akan segera kembali ke Jakarta. Rasa sedih itu belum hilang sepenuhnya, tetapi ia sudah dikejutkan lagi dengan berita kedua.
“Tuan ... tidak perlu seperti ini,” tolak Bu Rosma. Ia tidak bisa menerima permintaan sang majikan yang terlalu berlebihan. Apalagi pernikahan itu bukan main-main, menyangkut masalah hati dan ikatan seumur hidup. Selain itu, Bu Rosma juga tidak tahu bagaimana tanggapan putri-putrinya.
“Bu, aku akan menjaga Ibu dan putri-putrimu,” ucap Bara meyakinkan.
“Selama delapan tahun ini, Ibu sudah banyak membantuku. Aku tidak tahu kalau tidak ada Ibu, bagaimana hidupku saat ini,” lanjut Bara lagi.
“Selama ini, saya ikhlas bekerja dengan Tuan. Lagipula, Tuan sudah banyak membantu saya dan kedua putri saya,” ucap Bu Rosma pelan dengan wajah menunduk.
Selama bekerja dengan Bara, majikannya itu sudah berbuat banyak pada Bu Rosma. Selain putrinya diizinkan tinggal di kediaman Bara. Pendidikannya pun dibiayai langsung oleh Bara termasuk uang saku dan keperluan lainnya.
Di tengah perbincangan antara Bara dan Bu Rosma, Bella putri bungsu Bu Rosma masuk. Gadis itu baru saja pulang dari sekolah, masih mengenakan seragam putih abu-abunya lengkap dengan tas ransel di punggungnya. Peluh masih membasahi punggung seragam putihnya. Belum lagi aroma debu dan jalanan yang masih menempel di tubuhnya. Ia harus berlari mengejar bus sekaligus berdesak-desak dengan penumpang di dalamnya.
“Tuan,” sapa Bella menunduk saat sudah berhadapan dengan majikan ibunya. Merapikan rambutnya yang dikepang dua. Ia tidak mendengar pembicaraan ibunya dengan sang majikan.
“Aku akan menikahinya dalam minggu ini. Setelahnya ... aku harus kembali ke Jakarta.” Bara mengatakan langsung di depan ibu dan anak itu dengan tegas dan yakin. Tangannya mengarah kepada Bella.
Sontak Bella langsung mengangkat kepalanya terkejut. Menatap sekilas ke arah majikan ibunya itu, kemudian menundukkan kepalanya lagi.
“Apa aku tidak salah dengar? Menikah dengan Tuan Bara,” ucapnya dalam hati.
Tangan Bella meremas ujung seragam sekolahnya. Berharap ia salah dengar atau Bara salah bicara, tetapi tidak, kembali Bara menegaskan.
“Aku akan menikahi Bella, Bu,” ucap Bara sekali lagi, diperjelas dengan nama calon perempuan yang akan dinikahinya.
Ini bukan pertanyaan, lebih ke pernyataan. Tidak ada kesempatan untuk setuju ataupun menolak. Bara sudah menyatakan pendapatnya. Ia hanya sedang menunggu kata setuju saja dari mulut Bu Rosma atau cukup persetujuan dari Bella.
Bella melirik ke ibunya yang saat ini sama terkejut dengan dirinya.
“Tuan," panggil Bu Rosma.
“Kita bicarakan lagi nanti!” potong Bara. Ia segera melepaskan jasnya, menyerahkan pada Bella yang berdiri kaku.
Terlihat Bella buru-buru menerima jas yang disodorkan padanya. Ia masih bingung dan bertanya-tanya. Apa maksud dari semua pernyataan majikan ibunya itu. Ia bahkan belum menamatkan bangku SMA-nya, masih banyak cita-cita dan impian yang dirangkai di otaknya, tetapi kata-kata majikannya, menghancurkan semua mimpi-mimpinya.
“Ini serius? Ini nyata?” tanya Bella dalam hati.
“Bell, tolong siapkan air mandiku!” pintanya pada Bella yang masih saja berdiri mematung.
“Ya, Tuan,” sahut Bella. Melepas tas ranselnya, kemudian menyerahkannya pada sang Ibu. Berlari mengekor Bara yang masuk ke dalam kamar.
Bella sudah terbiasa masuk ke dalam kamar megah milik Bara itu, tetapi entah kenapa hari ini langkahnya terasa berat setelah mendengar pernyataan sang majikan. Ada rasa waswas dan khawatir.
Bella langsung menuju kamar mandi, menyiapkan air mandi sang majikan. Setelahnya melangkah menuju walk in closet, meraih pakaian kotor Bara yang baru dilepaskannya. Teronggok di lantai berlapis karpet bulu tebal.
Baru saja ia akan melangkah keluar dari kamar, suara berat majikan ibunya itu menghentikannya.
“Bell, bisa kita bicara?” tanya Bara.
“Ya, Tuan,” sahut Bella mengangguk. Berjalan menghampiri Bara kemudian menunduk.
Terlihat Bara menghela napasnya, sebelum membuka suara lagi.
“Aku harus segera kembali ke Jakarta, tetapi aku tidak bisa meninggalkan kalian begitu saja. Kalian sudah seperti keluarga untukku.” Bara menghentikan kata-katanya, memperhatikan gadis cantik dengan dandanan sederhana itu dengan saksama.
“Aku akan menikahimu. Aku harap kamu menyetujuinya. Aku ingin kita benar-benar menjadi keluarga,” jelas Bara.
Bella diam dan menunduk. Tidak berani mengangkat kepalanya sama sekali. Dari delapan tahun yang lalu, saat ia masuk dan tinggal di rumah mewah ini, ia memang sudah ditakdirkan untuk menunduk setiap berhadapan dengan majikan ibunya ini. Bella hanya anak seorang pembantu di sini. Kalaupun ia bebas keluar masuk kamar Bara, itu karena membantu ibunya mengurus segala keperluan majikannya.
Namun, tiba-tiba sang majikan memintanya menikah. Tidak ada cinta, tidak ada sayang, hanya ada sebuah alasan. Untuk mengikat hubungan dengan keluarga mereka yang miskin, yang statusnya hanya seorang pembantu di kediaman mewah Barata.
“Aku bisa saja memilih Rissa ... kakakmu, tetapi ... kata hati memintaku untuk memilihmu.” Bara berkata lagi.
“Mungkin aku tidak begitu mengenal Rissa, dia tidak lama tinggal di sini. Hanya beberapa bulan ... dia sudah melanjutkan kuliahnya ke Jakarta,” jelas Bara.
Bella tetap diam. Tidak bisa menjawab apa pun.
“Coba bicarakan dengan Ibu, aku menunggu kabar baik darimu. Nanti kita bicarakan lagi. Aku harus mandi sekarang,” ucap Bara, melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Bella yang masih saja berdiri mematung.
***
Pengenalan Tokoh :
Barata Wirayudha atau dipanggil Bara, duda cerai tanpa anak berumur 35 tahun. Pemilik BW Group, salah satu perusahaan property ternama di Jakarta. Perceraiannya 8 tahun yang lalu dengan seorang dokter kecantikan, begitu mengguncang hidupnya. Dia memilih pergi meninggalkan Jakarta, meninggalkan semua luka akibat perceraiannya.
Surabaya kota yang dipilih untuk melarikan diri dari masa lalunya sekaligus merintis kantor cabang BW Group di sana. Selama 8 tahun ini, dia sama sekali tidak mau menginjakan kakinya ke kota metropolitan itu. Sampai sang asisten Kevin, mengabarkan padanya kalau perusahaan mengalami masalah dan memintanya kembali.
Bara, tampan dan mapan. Blasteran dari Ibu London, Bapak Jawa. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
***
Terima kasih. Mohon dukungannya like dan komen ya. Love you all
Kalau berkenan, bisa mampir di judulku yang lain.
“Istri Kecil Sang Presdir”
Bisa juga follow ig untuk tahu karya-karya ku yang lain. casanova_wetyhartanto
Bella keluar dari kamar Bara seperti orang linglung. Ia masih terlampau kaget dengan pernyataan sang majikan. Dengan langkah gontai masih mendekap pakaian kotor Bara, ia melangkah mencari Bu Rosma di dapur. Tempat sang Ibu menghabiskan sepertiga harinya.
“Bu, apa maksud dari kata-kata Tuan Bara tadi?” tanya Bella, saat sudah berada di dapur.
“Nanti kita bicarakan lagi. Ibu harus menyelesaikan cucian piring Ibu dulu,” ucap Bu Rosma.
Ia tidak mau bicara dalam kondisi seperti sekarang. Mereka perlu mencari waktu dan tempat yang tenang membicarakannya. Selain itu, ia juga harus mendiskusikan dengan putri sulungnya, Rissa. Kakak Bella yang sekarang tinggal dan bekerja di Jakarta, di kantor pusat BW Group milik Bara.
Bella yang mendengar penolakan Ibu, langsung melangkah ke laundry room, meletakkan pakaian kotor majikannya di sana.
“Aduh! Bagaimana kalau aku benar-benar harus menikah dengan Tuan Bara,” batinnya.
Sepanjang hari ini pikiran Bella tidak tenang. Perkataan majikannya itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Berkali-kali, ia mengintip sang Ibu. Apakah sudah menyelesaikan pekerjaannya apa belum. Ia harus segera membicarakannya dengan Ibu Rosma.
Setelah Bara menyelesaikan makan malamnya, Bella langsung menyusul ibunya ke dapur. Membantu mencuci piring, supaya pekerjaan rumah cepat selesai. Ia sudah tidak sabar, otaknya kacau seharian ini.
***
“Bu, bagaimana ini?” tanya Bella, saat melihat ibunya masuk ke dalam kamar.
“Sebentar, Nak. Ibu mengganti pakaian dulu.” Bu Rosma membuka lemari pakaian dan mencari daster tidurnya.
“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Bu Rosma, memastikan kesiapan putrinya. Ia tahu jelas, tidak mungkin dan tidak bisa menolak majikannya yang sudah begitu baik padanya.
“Aku tidak mau, Bu!” tolak Bella tegas. Ia belum mau menikah. Bella masih mau melanjutkan kuliah, bekerja dan mengejar impiannya. Ia juga mau membahagiakan ibunya yang selama ini sudah bekerja keras membesarkannya dan sang kakak sejak ayahnya meninggal dunia.
“Kalau seandainya Ibu tidak bisa menolak Tuan Bara, kamu bagaimana, Nak?” tanya Bu Rosma memastikan. Ia sendiri tidak yakin, tetapi kalau memang Bella tidak mau, ia juga tidak bisa memaksa. Kebahagiaan putrinya adalah yang paling utama.
“Aku tetap tidak mau, Bu!” ucap Bella. Ia tidak bisa membayangkan, harus menikah dengan laki-laki yang usianya hampir dua kali lipat dari usianya. Saat ini, ia baru menginjak tujuh belas tahun. Bara sendiri sudah berusia tiga puluh lima tahun. Bagaimana ia bisa menikah dengan laki-laki itu? Apalagi saat ini ia masih duduk di bangku SMA. Apa jadinya kalau ia harus menikah. Bagaimana kalau teman-teman di sekolahnya mengetahui.
“Besok, Ibu coba bicarakan dengan Tuan Bara lagi ya, Nak. Mudah-mudahan dia mau mengerti,” ucap Bu Rosma menenangkan putrinya. Tepukan lembut menyemangati, Bu Rosma tahu kalau putrinya terpaksa tersenyum.
“Ya, Bu.” Bella mengangguk. Merebahkan tubuhnya membelakangi sang ibu, ia hanya bisa berdoa dan berharap supaya Ibu bisa membujuk sang majikan dan membatalkan rencana untuk menikahinya.
****
Saat sarapan pagi, Bu Rosma memberanikan diri berbicara dengan Bara yang sedang menyantap sarapannya. Sebenarnya ia agak ragu menyampaikannya di saat sarapan seperti ini. Rasanya tidak sopan, tetapi ia tidak bisa menunggu dan membiarkan putri dalam terombang-ambing dan tidak tenang. Apalagi, Bara sering kali pulang malam, akan susah bisa berbicara di saat pria itu pulang dari kantor.
“Maaf, Tuan. Apa saya bisa bicara sebentar?” tanya Bu Rosma membuka pembicaraan.
“Ada apa, Bu?” tanya Bara mempersilakan. Tangannya sedang menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Maaf, Tuan. Sepertinya putriku Bella keberatan. Semalam, saya sudah menanyakan langsung kepada anaknya,” ucap Bu Rosma ragu-ragu menjelaskan. Ia berdiri menunduk di hadapan Bara. Ada rasa tidak enak di hati Bu Rosma, takut membuat sang majikan kecewa.
“Apa aku bisa bicara langsung dengan Bella?” tanya Bara.
“Sebentar, saya panggilkan anaknya, Tuan.” Tampak Bu Rosma memanggil Bella yang sedang menyantap sarapannya di dapur belakang.
“Bell, dipanggil Tuan Bara,” ucap Bu Rosma ragu.
“Ada apa, Bu?” tanya Bella bingung.
“Ibu baru membicarakannya dengan Tuan Bara, tetapi dia ingin bicara langsung denganmu, Bell,” jelas Bu Rosma.
“Aku harus bagaimana, Bu. Aku ... takut kalau bicara dengan Tuan Bara,” ucap Bella terbata-bata.
“Tidak apa-apa, Nak. Lebih baik berterus terang dari pada nanti menjadi beban dan masalah,” ucap Bu Rosma menenangkan putrinya.
Terlihat Bella berjalan masuk ke ruang makan dan menghampiri sang majikan.
“Ya, Tuan," sapa Bella ragu sambil menunduk. Kedua tangannya saling meremas menahan gugup.
“Duduk, Bell! Mau sarapan bersamaku?” tanya Bara setelah melihat Bella hanya berdiri menunduk.
“Tidak, Tuan. Saya berdiri saja.” Bella menatap Bara sekilas, kemudian menunduk kembali. Tidak berani beradu pandang dengan majikannya.
“Duduk, Bell,” pinta Bara lagi. Tiba-tiba, Bara berdiri dan menggeser keluar kursi di sampingnya, meminta Bella duduk di sebelahnya.
Bella terlihat ragu, tetapi senyuman di bibir Bara sedikit memberi keberanian padanya untuk duduk. Ragu-ragu, akhirnya menjatuhkan bokongnya dengan pelan sambil mencuri tatap.
Selama delapan tahun, ia belum pernah sekalipun melakukan hal seakrab ini dengan Bara. Walaupun sering berdua di dalam kamar, tetapi itu tidak lebih karena kewajibannya mengurus semua keperluan Bara, menggantikan tugas Bu Rosma.
“Kenapa menolakku?” tanya Bara dengan terus terang, memecahkan keheningan di meja makan.
“Aku ... aku belum mau menikah, Tuan. Aku masih ingin melanjutkan sekolah,” jawab Bella ragu. Kedua tangannya saling menjalin di atas rok abu-abunya.
“Kamu tetap bisa melanjutkan sekolahmu. Setelah menikah, aku akan ke Jakarta dan kamu tetap bisa melanjutkan sekolahmu di sini. Setelah kamu menyelesaikan SMA, kamu bisa menyusulku ke Jakarta dan kuliah di sana.” Bara berkata dengan mantap. Netra tajam itu menatap Bella, menunggu jawaban.
“Kamu bisa mengajak Ibu tinggal bersama kita di Jakarta nanti,” lanjut Bara berusaha membujuk dengan memberi gambaran ke depannya akan seperti apa.
Bella menatap Bara sekilas, sebelum menurunkan kembali pandangannya. Ia terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. Ia berharap setelah mendengarnya, sang majikan akan mundur dan membatalkan semua rencana gila dan terdengar tidak masuk akal itu.
“Aku ... aku ... tidak mencintaimu, Tuan," ucap Bella ragu, tetapi pada akhirnya kata-kata itu keluar juga dari bibirnya.
Mendengar kata-kata cinta keluar dari bibir gadis kecil itu, Bara tersenyum. Bahkan hampir tergelak.
“Tahu apa gadis kecil ini tentang cinta,” batin Bara.
“Aku juga menikahimu bukan karena cinta, tetapi karena aku menyayangi ibumu seperti ibuku sendiri,” jelas Bara. Terdiam sejenak, Bara menunggu reaksi Bella.
****
Pengenalan Tokoh :
Bella Cantika, gadis cantik dan sederhana berusia 17 tahun. Ayahnya meninggal saat dia berumur 9 tahun. Sejak kematian ayahnya, Ibunya harus bekerja keras menghidupi dan membiayai sekolahnya dan sang kakak, Rissa. Beruntung, ibunya bertemu dengan majikan yang baik. Mereka diizinkan tinggal di kediaman majikan. Bahkan biaya sekolahnya dan sang kakak ditanggung oleh sang majikan.
Setiap pulang sekolah, Bella membantu ibunya, bekerja di rumah sang majikan.
****
Terima kasih. Mohon dukungan like dan komen.
Kalau sempat, bisa mampir di novel ku yang lain “istri kecil sang presdir”
Love You All.
“Aku juga menikahimu bukan karena cinta, tetapi karena aku menyayangi ibumu seperti ibuku sendiri,” jelas Bara. Terdiam sejenak melihat reaksi Bella.
“Kenapa tidak memilih menikahi Kak Rissa saja, Tuan?” tanya Bella, memberanikan diri menatap majikannya itu.
“Aku yang memilih aku akan menikah dengan siapa, bukan kamu, Nona,” sahut Bara tersenyum kecut.
Ternyata di balik keluguan dan kesederhanaannya, dia bukan gadis kecil yang mudah ditaklukkan.
“Aku tetap tidak bisa menikahimu, Tuan,” tolak Bella lagi. Ia harus mencari alasan yang tepat supaya bisa menolak pernikahan ini. Ia tidak bisa membayangkan harus menikah di usianya sekarang, dengan laki-laki yang berumur 35 tahun, seorang duda. Apalagi laki-laki itu majikan tempat ibunya bekerja.
“Katakan saja, keberatanmu di mana? Mungkin aku bisa menyelesaikan masalahmu, Bell,” tanya Bara.
Bella menggeleng.
“Aku tidak keberatan, aku hanya belum mau menikah sekarang. Aku masih ingin melanjutkan sekolah dan menggapai impianku,” jelas Bella.
“Katakan apa cita-citamu? Apa impianmu? Kalau aku bisa, aku akan membantumu mewujudkannya,” tanya Bara dengan penuh keyakinan.
“Aku ingin sekolah, kuliah dan bekerja. Selanjutnya ingin membahagiakan Ibu” jawab Bella dengan penuh keyakinan.
Bara tersenyum. “Baiklah, aku bisa mengabulkan semuanya untukmu," jawab Bara langsung tanpa berpikir ulang.
Bella terbelalak, menatap ke arah majikannya tidak percaya.
“Kamu bisa tetap sekolah, menyelesaikan kuliahmu. Katakan saja padaku, kamu mau kuliah di mana. Aku tidak keberatan,” ucap Bara meyakinkan.
“Kamu bisa bekerja di perusahaanku,” lanjut Bara lagi.
Bella menatap Bara yang sedang menunggu jawabannya. Ia penasaran, bagaimana majikannya ini bisa mengerti caranya membahagiakan sang Ibu. Bara yang mengerti arti tatapan Bella, langsung memanggil Bu Rosma.
“Bu, bisa ke sini sebentar,” panggil Bara dengan yakin dan percaya diri.
Tergesa-gesa, Bu Rosma bergegas menghampiri majikannya. Sempat terkejut saat melihat putrinya berani duduk berdampingan dengan Bara.
“Ada apa, Tuan?” tanya Bu Rosma, menunduk.
“Putrimu ini mengajukan tiga syarat agar aku bisa menikahinya ....”
“Aku tidak mengajukan syarat, Tuan. Aku hanya mengatakan alasan keberatanku menikah denganmu, Tuan,” sanggah Bella.
“Sama saja. Aku hanya tinggal memastikan syarat yang terakhir. Sepertinya putrimu bersedia menikah denganku, tetapi ibu yang hanya bisa menjawabnya. Memberi jawaban dan meyakinkan putri Ibu,” jelas Bara.
“Maksudnya, bagaimana, Tuan?” tanya Bu Rosma bingung.
“Kalau saya menikahi putri Ibu ... apakah Ibu akan bahagia?” tanya Bara tiba-tiba.
Bu Rosma mengerutkan dahi. Ia masih tidak mengerti maksud dari pertanyaan majikannya itu.
“Kalau putrimu bersedia menikah denganku tanpa paksaan dan ikhlas ... apakah Ibu akan bahagia?” tanya Bara tersenyum. Ia yakin kali ini pasti memenangi pertarungan dengan gadis kecil di sampingnya. Seorang Bara tidak akan mudah kalah dalam bernegosiasi.
“Kenapa Tuan majikan ini sekarang jadi banyak bicara dan tersenyum,” ucap Bella dalam hati.
Bu Rosma menatap Bella, mencari jawaban di mata putrinya. Ia tidak mau salah menjawab yang hanya akan membuat putrinya menderita. Setelah yakin dengan jawabannya, Bu Rosma tersenyum menatap Bella.
“Aku akan bahagia, kalau putriku ikhlas melakukannya,” ucap Bu Rosma dengan penuh keyakinan. “
“Tapi, kalau dia tidak ikhlas, aku juga tidak akan pernah bahagia,” lanjut Bu Rosma lagi.
Saat ini yang terpenting untuk Bu Rosma adalah kebahagiaan putri-putrinya. Harta dan lain-lain sudah tidak penting. Harta bisa dicari, bahkan bisa hilang dalam sekejap. Ia sudah pernah mengalaminya. Sebelum suaminya meninggal, mereka bukanlah keluarga susah. Suaminya memiliki perusahaan, mereka tinggal di rumah mewah yang tidak kalah jauh dengan rumah majikannya. Bu Rosma tidak pernah melakukan pekerjaan rumah dulu. Semua dikerjakan oleh pembantu. Dulu kegiatannya hanya kumpul dengan ibu-ibu sosialita, berbelanja dan arisan.
Namun, nasib berkata lain. Kalau memang bukan milik kita, akan diambil dengan cara yang tidak diduga. Hari itu, dia baru saja pulang arisan. Bahkan, belum sempat berganti pakaian, masih menenteng tas branded kesayangan. Saat ponsel di tasnya berdering, sedikitpun ia tidak membayangkan akan mendapat berita yang begitu memilukan.
Suaminya, ayah Bella dan Rissa mengalami kecelakaan, meninggal dunia di tempat, korban tabrak lari. Dunianya runtuh, hancur seketika. Ia terdiam beberapa saat, tidak bereaksi. Butuh waktu untuknya menerima semua kabar duka yang meruntuhkan semua kebahagiaannya. Tuhan memang Maha Kuasa, bisa membolak-balikkan semua dalam sekejap mata. Mengambil apa yang menjadi miliknya tanpa terduga.
Penderitaannya dan anak-anak, tidak berakhir sampai di situ. Tepat setelah pemakaman suaminya, ia mendapat kabar. Perusahaan keluarga terancam bangkrut dan seluruh aset disita Bank. Tidak ada yang tertinggal, bahkan kenangan pun tidak bersisa.
Sejak saat itu, ia hidup untuk kebahagiaan putri-putrinya. Banting tulang dengan tenaganya yang tersisa untuk membesarkan kedua putrinya yang masih membutuhkan banyak biaya. Dan sejak saat itu pula, harta bukan lagi prioritas Bu Rosma, ia hidup untuk senyum kedua anaknya. Ia tidak akan memaksakan segala sesuatu yang akan membuat kedua anaknya bersedih.
Mendengar jawaban Bu Rosma, seketika membuat Bara tertawa. Tawa yang jarang dilihat Bella selama ini.
"Tampan!” ucap Bella dalam hati memandang kagum pada majikannya itu.
“Kalau kamu mau membuat ibumu bahagia, cukup menikah denganku secara ikhlas dan tanpa paksaan.” Bara berkata dengan yakin, menatap Bu Rosma dan Bella bergantian. Ia sudah bersiap menunggu jawaban Bella. Jawaban yang akan memenangkannya sekaligus memuluskan semua rencananya.
Entah bagaimana Bara bisa menjatuhkan pilihan pada gadis kecil sederhana seperti Bella. Gadis belia di hadapannya, belum mengerti apa-apa. Apalagi harus menikah dengannya yang seorang duda.
Dari segi usia, Bara seharusnya memilih Rissa, kakaknya Bella. Putri sulung Bu Rosma itu sudah menyelesaikan S1 dan bekerja di perusahaan Bara. Apalagi usianya sekarang menginjak 25 tahun. Lebih pantas untuk dijadikan seorang istri, tetapi ia jarang bertemu Rissa.
Sejak Bu Rosma dan kedua putrinya pindah ke kediamannya, Rissa hanya sempat tinggal beberapa bulan saja. Setelah itu, Rissa ke Jakarta dan melanjutkan kuliah. Kalaupun gadis itu menyempatkan pulang ke Surabaya, Bara hampir tidak pernah bertemu dengan Rissa. Rissa lebih sering keluar menemui teman-temannya. Kalau sedang di rumah, Rissa lebih memilih diam di dalam kamar. Berbeda dengan adiknya, yang mau membantu tugas sang Ibu. Sekarang Rissa bekerja di perusahaan BW Group milik Bara.
Lama Bara menunggu jawaban yang tak kunjung keluar dari bibir Bella. Ia melepaskan sendok dan garpu dari tangannya, beralih menatap Bella yang masih setia mengunci mulutnya.
“Bu, kalau Bella menikah ... apa ... Ibu akan bahagia?” tanya Bella terbata-bata, memecahkan keheningan di meja makan itu. Ia menatap wajah renta Bu Rosma. Wajah tua yang kelelahan karena harus mengurusnya dan sang kakak seorang diri, setelah ditinggal ayah.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut sang Ibu. Bibir kecokelatan itu mengatup rapat. Diamnya Bu Rosma adalah jawaban. Bella cukup mengerti apa yang dipikirkan ibunya.
“Baiklah, aku akan menikah denganmu, Tuan,” jawab Bella pelan. Menunduk, meremas ujung rok abu-abunya.
Bella berharap setelah menikah, ibunya tidak perlu lagi bekerja. Walaupun sekarang, sebenarnya tanpa bekerja pun, Bu Rosma bisa tetap tinggal di rumah mewah Bara. Namun, ibunya itu selalu menolak setiap Bara meminta tubuh renta itu beristirahat dan mencari pekerja baru untuk menggantikan.
***
Terima kasih.
Love You all.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!