NovelToon NovelToon

Karmina Dan Ketua OSIS

Perundungan

"Heh, Jadul! Cepet bersihin sepatu gue!" perintah Gracia pada Karmina. Gadis berkulit putih dengan rambut panjang terurai sepunggung itu tampak angkuh, duduk di sebuah bangku sambil mengayun-ayunkan kakinya.

Karmina, gadis miskin berambut pendek yang kerap memakai seragam bekas nan lusuh, terpaksa menuruti Gracia. Ia berjongkok, lalu membersihkan sepatu mahal perempuan di hadapannya menggunakan tangan kosong.

"Eh, yang bener dong bersihinnya! Masa cuma gitu doang?" bentak Fransisca, perempuan berwajah oriental dan bermata sipit itu menoyor kepala Karmina hingga mengenai kaki Gracia.

Merasa yang dilakukannya sudah benar, Karmina menoleh pada Fransisca. "Gue udah bersihin pake tangan. Kalau pengin bersih, sediain air sama lap dong biar kinclong," sanggahnya.

Gracia menendang wajah Karmina hingga terjengkang, kemudian berjongkok dan memegang kedua pipi gadis berambut pendek itu. Matanya menatap nyalang pada wajah malang Karmina yang begitu memelas.

"Apa maksudnya lo nyuruh-nyuruh temen gue sediain air sama lap? Inget, ya! Lo itu cuma anak babu! Sampai kapan pun lo nggak pantes nyuruh-nyuruh kita buat ngelakuin kemauan lo," cerocos Gracia memelototi Karmina, lalu melepaskan wajah temannya itu dengan kasar.

"Kayaknya kita harus ngasih pelajaran yang lebih berat buat si jadul biar nggak seenaknya nyuruh-nyuruh," usul Evelyn, gadis berparas cantik dengan hidung bangir dan bola mata berwarna hazel. Rambutnya yang berwarna kemerahan sering diikat kuncir kuda.

"Ide bagus!" timpal Fransisca, lalu menarik kerah baju Karmina sambil berdiri sejajar dengannya.

Karmina yang bertubuh lebih mungil dari ketiga siswi usil itu, pasrah saja diperlakukan secara semena-mena oleh Gracia dan kawan-kawannya. Ketidakberdayaan Karmina tentu saja, membuat Gracia merasa leluasa memanipulasi pandangan siswa lain. Setiap kali berpapasan dengan guru ataupun murid, Gracia sering merangkul Karmina layaknya sahabat karib.

Setibanya di sebuah kelas kosong, Karmina didorong oleh Gracia sampai tersungkur. Putri bungsu dari seorang pengusaha batu bara itu kemudian menepuk-nepuk lengan, seolah merasa jijik telah merangkul anak dari pembantunya.

Fransisca mengeluarkan ponselnya, sambil melirik pada Evelyn. Keduanya saling pandang dan tersenyum, mengisyaratkan sesuatu yang menyenangkan hati mereka akan segera dilakukan oleh Gracia.

"Cepet minta maaf sambil menggonggong!" ujar Gracia melipat kedua tangannya, sambil menatap sisnis pada Karmina.

Karmina yang sedang berusaha untuk berdiri, mengernyitkan kening. "Apa?!"

"Nggak usah banyak tanya! Cepet lakuin aja!" perintah Fransisca yang cengengesan, menyalakan menu perekam video di ponselnya.

"Cepat lakuin atau lo kita kurung di gudang belakang sekolah sampai nggak pulang-pulang," desak Evelyn memelototi Karmina.

Tentu saja, Karmina enggan mempertaruhkan harga dirinya. Alih-alih menuruti kemauan ketiga gadis menyebalkan itu, Karmina berusaha menerabas keluar dari kelas. Namun, sayangnya, langkahnya dijegal oleh Gracia yang mulai berang.

"Lo nggak boleh pergi sebelum ngelakuin perintah dari kita!" sergah Gracia, menarik tangan Karmina, lalu menampar pipi gadis berambut pendek itu tanpa segan-segan.

Mata Karmina berkaca-kaca, merasakan perih akibat tamparan Gracia di pipinya. Ia diseret masuk ke kelas oleh anak dari majikan ibunya dengan kasar. Adapun Evelyn, menutup pintu sambil memastikan tak ada seorang pun yang menyaksikan aksi keji mereka terhadap siswi paling lemah di sekolah itu.

"Cepet lakuin yang gue suruh tadi!" bentak Gracia dengan suara tinggi.

"Nggak!" bantah Karmina memandang tajam pada Gracia.

Gracia yang semakin geram, mendorong Karmina hingga tersungkur. Fransisca tertawa-tawa melihat gadis berambut pendek itu kepayahan untuk berdiri lagi.

"Turutin kemauan gue atau nyokap lo dipecat secara nggak hormat dari rumah gue," ancam Gracia dengan kedua alis saling bertaut.

Dengan gemetar, Karmina berjongkok. Kepalanya tertunduk malu. Kedua tangannya bertumpu ke lantai seperti seekor hewan jalanan yang meminta makan. Ia meminta maaf dan menggonggong dengan suara yang sangat pelan, sampai-sampai membuat mereka semakin kesal.

"Oh, ayolah! Yang lebih seru lagi dong!" seru Fransisca, merasa tidak puas.

"Lo bisa nggak, sih, lebih becus lagi turutin kemauan kita?" bentak Evelyn dengan bersungut-sungut.

"Gue masih punya harga diri," gertak Karmina menatap sinis pada ketiga gadis menyebalkan itu satu per satu.

"Berisik lo! Orang miskin kayak lo nggak pantes ngomongin harga diri!" Evelyn bergegas menghampiri Karmina, kemudian mendorong perempuan bertubuh mungil itu. Saat tangannya hendak menampar Karmina, aksinya mendadak terhenti oleh suara dobrakan pintu.

Gracia, Evelyn, dan Fransisca terkesiap mendapati sang ketua OSIS yang terkenal berhati dingin, sudah berdiri di ambang pintu. Lelaki bernama Dewa itu, menatap tajam ketiga gadis menyebalkan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

"Lagi ngapain kalian? Bukannya cepet pulang, malah kumpul-kumpul di sini," ucap Dewa memandangi ketiga perundung itu satu per satu, sambil melangkah memasuki ruangan kelas.

Gracia tergugu-gugu. Matanya beralih ke segala arah, berusaha menghindari tatapan tajam sang ketua OSIS.

Di sisi lain, Evelyn berlari mendekati Fransisca dan bersembunyi di balik tubuh temannya, seolah meminta perlindungan. Ketiga murid menyebalkan itu hanya tertunduk malu, menyadari telah dipergoki oleh Dewa yang sangat membenci perundungan antar siswa.

"K-Kita ... kita cuma bercanda doang kok," kata Fransisca, sambil sesekali menatap canggung pada Dewa.

"Bercanda, ya?" tanya Dewa menatap Fransisca yang masih gugup, lalu merebut ponsel dari tangan gadis berwajah oriental itu. Dilihatnya video yang baru direkam oleh Fransisca, lalu menunjukkannya pada ketiga gadis menyebalkan. "Terus, ini apa? Apa ini yang kalian sebut bercanda? Jawab!"

"Ng ... itu ... itu ...." Evelyn kebingungan menjelaskan perihal video di ponsel Fransisca.

Dewa segera menghapus video busuk itu, kemudian melemparkan ponsel pada Fransisca. "Kalian ini beneran udah hilang akal. Besok pagi, gue jadwalin kalian masuk ruang BK."

Terperangah Gracia mendengar keputusan Dewa. Dihampirinya lelaki berbadan tinggi tegap itu, kemudian memegangi lengannya. "Aduh, jangan dong, Ketos. Kita di sini beneran bercanda kok, suer!" pintanya dengan wajah memelas.

"Nggak ada kompromi lagi buat kalian. Gue udah lihat semuanya dari tadi. Pokoknya, besok kalian harus ketemu sama Bu Ratna," ujar Dewa menunjuk ketiga siswi itu satu per satu.

Merasa tak bisa membantah ucapan siswa paling kuat di sekolah itu, Gracia, Fransisca, dan Evelyn, bergegas meninggalkan kelas. Mereka benar-benar sudah ciut nyali jika berhadapan langsung dengan seseorang berintegritas tinggi seperti Dewa.

Sementara ketiga gadis menyebalkan itu pergi, Dewa membantu Karmina berdiri. "Lain kali, lo harus bisa ngelawan orang-orang kayak mereka, bukan iya iya aja," ujarnya.

Karmina yang merasa sudah membela diri, seketika merajuk, "Gue udah berusaha, kok. Apa lo nggak lihat cewek-cewek tadi badannya lebih gede dari gue? Mana mungkin gue bisa menang ngelawan mereka."

"Alah, alesan doang. Nabi Daud aja bisa ngalahin Raja Jalut yang badannya lebih gede, masa lo nggak bisa?" ketus Dewa mendelik pada Karmina. "Asal lo tau, ya. Gue jadi ketos tuh bukan buat membasmi kejatahan kayak pahlawan kesiangan, tapi ngasih kesempatan buat orang-orang lemah kayak lo biar bisa bangkit. Ngerti?"

Karmina mengangguk pelan. Meski merasa sedikit kesal dengan ucapan pedas Dewa, Karmina tetap bersikap rendah hati pada ketua OSIS yang lebih senang menyendiri itu.

"Makasih, ya, udah nolongin gue," lirih Karmina tertunduk, merasa sungkan.

"Nggak usah bilang makasih. Udah kewajiban gue buat nolongin siswa yang kesusahan," ucap Dewa, sambil mendelik pada Karmina.

Sejenak, Karmina menatap Dewa sambil termenung. Diperhatikannya wajah tegas dengan sorot mata tajam itu, hingga sekilas bayangan sebuah tragedi mengerikan muncul mengganggu benaknya. Saat Dewa hendak berbalik badan, Karmina memegang tangan lelaki itu.

Seketika, bayangan seorang pria bersimbah darah yang terkapar di jalanan, tiba-tiba muncul tatkala ia menutup mata. Dewa berlari menghampiri pria itu sambil menangis tersedu-sedu. Sorot matanya menyiratkan sebuah dendam yang begitu dalam.

Kilasan peristiwa di pelupuk mata Karmina berputar begitu cepat. Suara tembakan terdengar samar di telinganya, hingga memunculkan sosok Dewa yang lebih gagah dan berwibawa mengenakan setelan jas berwarna hitam.

Karmina segera membuka mata, menatap Dewa yang masih bergeming memperhatikannya. Belum sempat melepaskan genggamannya dari tangan Dewa, gadis itu tiba-tiba merasakan pening yang begitu dahsyat, sampai akhirnya tak sadarkan diri di pelukan sang ketua OSIS.

Arwah Pria Lusuh

Setelah sekian lama tak melihat kilasan peristiwa hidup seseorang, baru kali ini Karmina merasakan ada hal ganjil pada ketua OSIS. Sejak pulang sekolah, gadis berambut pendek itu kelihatan lebih sering melamun dan linglung.

Biasanya ia berusaha berpura-pura ceria demi menutupi tekanan dari tiga gadis perundung. Namun, kali ini Karmina benar-benar tak bisa menyembunyikan kegelisahannya dari hal aneh yang mengganjal dadanya.

Sikap aneh Karmina tentu saja tak luput dari perhatian Bu Lela. Melihat si sulung melamun di depan TV, Bu Lela yang baru saja pulang setelah seharian bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah Gracia, merasa heran dibuatnya.

"Mina, Mina!" panggil Bu Lela.

Karmina masih bergeming memandang kosong ke arah TV. Panggilan sang ibu tak ubahnya angin lalu.

"Mina!" tegur Bu Lela, sambil mencolek bahu putrinya.

Seketika, Karmina terperanjat seakan mendengar gelegar petir. Diliriknya Bu Lela yang sudah berdiri di sebelahnya dengan kedua mata melebar.

"Eh, Nyak? Kapan pulang?" tanya Karmina, tatapannya yang linglung tampak begitu kentara.

"Ya elah. Dari tadi juga Nyak udah di sini. Lu ini sebenernya ngapain, sih? Nonton TV ape ngelamun, Neng?" tanya Bu Lela dengan tempo bicaranya yang cepat.

"Ah, Nyak ada-ada aja. Mina lagi nonton TV dong, masa ngelamun?" jawab Karmina  menatap ibunya.

"Syukur deh kalo gitu. Lagian, lu kalo ngelamun mikirin apaan, sih? Kalo lu kepengen kawin, entar Nyak cariin duda kaya buat lu. Biar nanti abis lulus sekolah, lu langsung nikah aje, kagak usah kerja-kerja segala," tutur Bu Lela disertai tawa kecil.

Karmina terbelalak mendengar ucapan ibunya. "Buset Nyaaak! Kalau nyariin jodoh buat Mina tuh kira-kira dikit nape? Masa Mina yang masih seger gini dikasih duda?"

"Zaman sekarang harus realistis, Mina. Nyari duit tuh kagak gampang. Daripada dapetin bujang kere, mending lu nikahin duren sawit," kata Bu Lela, sambil melenggang ke dapur.

"Duren sawit? Apaan tuh Nyak?" Mina mengerutkan dahi, seakan tak mengerti maksud sang ibu.

"Duda keren sarang duit. Lu kagak mau kawin sama orang kaya tajir melintir?" jawab Bu Lela dari dapur.

Karmina memutar bola matanya. Ia sudah hafal betul motivasi kedua orang tuanya sejak lama. Duit, duit, duit. Bagi orang miskin yang tinggal di kontrakan petak, mencari uang bagaikan sebuah ambisi mutlak.

"Mina! Lu kagak masak, ape?" teriak Bu Lela dari dapur.

"Masak kok, Nyak," sahut Karmina menghampiri ibunya yang berada di dapur.

"Ini, kenapa kagak ada lauknye? Cuma ada nasi doang nih," kata Bu Lela sembari menunjuk ke arah lemari tempat biasa menyimpan makanan.

Karmina mengedikkan bahu seraya menjawab, "Kagak taulah, Nyak. Paling juga dihabisin sama si Yadi."

"Adek lu itu bener-bener, ya," sungut Bu Lela berkacak pinggang, "udah tau nyari duit tuh susah, harusnya pinter-pinter ngirit makanan. Lagian, adek lu makan banyak juga kagak ada gunanye. Badannya tetep aja ceking kayak bocah cacingan."

"Nggak usah diambil pusing nape? Entar Mina beliin telor dah ke warung," ujar Karmina.

"Ya udah, beliin telor dulu sono! Nih, duitnye," kata Bu Lela, menyerahkan selembar uang pada Karmina.

Karmina berbalik badan, lalu berhenti sejenak. Ia menoleh pada Bu Lela yang hendak pergi ke WC untuk membersihkan diri.

"Eh, Nyak," ujar Karmina.

"Ape?" tanya Bu Lela dari ambang pintu WC.

"Nyak jangan kerja lagi di rumahnya Gracia, ya," pinta Karmina dengan wajah memelas.

Bu Lela yang tadinya baru masuk ke kamar mandi, bergegas keluar lagi menghampiri putri sulungnya dengan alis saling bertaut. "Maksud lu ape bilang kayak gitu? Lu kepengen Nyak berhenti kerja?"

"Kagak, Nyak. Maksud Mina, Nyak nyari kerjaan lain aja. Mina kagak enak disebut anak babu mulu sama Gracia," ungkap Mina, tak tahan lagi memendam kekesalan terhadap gadis yang sering merundungnya.

Bu Lela mendengkus sebal dan memandang Karmina dengan sinis. "Emangnya lu kagak bisa sabar bentar, apa, ngadepin anak majikan Nyak di sekolah? Palingan tinggal satu setengah tahun lagi lu sekolah, nggak bakal selamanya ketemu sama si Gracia," katanya sambil berkacak pinggang.

"Ya ... Mina bisa sabar-sabar aja, Nyak. Masalahnya, si Gracia itu suka usil sama Mina," keluh Karmina dengan wajah tertunduk lesu.

"Kalau gitu, kagak usah lu ladenin. Udah tau nyari kerjaan tuh susah, lu malah seenak jidat nyuruh Nyak berhenti gitu aje. Emangnya lu mau gantiin Nyak buat nyari duit? Inget, ye! Lu sama si Yadi bisa sekolah sampe sekarang tuh berkat Nyak kerja di rumah Pak Gunawan. Kalau ngandelin duit dari babe lu doang, kalian berdua cuma bisa makan. Lagian, apa lu kagak kasihan sama babe lu? Udah mah kagak bisa ngelihat, masih aja kerja jadi tukang pijat," cerocos Bu Lela.

"Iya, Nyak, Mina ngerti," lirih Karmina tergugu.

"Udah. Sekarang lu beliin telor. Nyak lapar nih," ujar Bu Lela, sambil melengos ke kamar mandi.

"Emangnya Nyak kagak makan di rumahnya Pak Gunawan?" tanya Karmina.

"Lu kayak kagak tau aja sama keluarga itu. Nyak cuma dikasih jatah makan siang doang! Cepetan sono, beliin telor ke warung!" sahut Bu Lela dari kamar mandi.

Karmina berbalik badan, bergegas menuju ke luar. Ketika hendak meninggalkan rumah, ia tak sengaja berpapasan dengan sang adik yang menghampirinya sambil cengengesan.

"Mau ke mana, Empok?" tanya Jayadi.

"Ke warung. Ngapain lu cengar-cengir gitu?" jawab Karmina dengan ketus.

"Empok punya duit kagak? Kuota Yadi habis, nih," rajuk sang adik sambil menadahkan tangan pada Karmina.

"Lah ... kan lu bisa ngehasilin duit dari tukang judi bola. Ngapain minta duit sama gue?" sungut Karmina mengernyitkan kening.

"Sekarang belum musim maen bola lagi, Empok. Gue kagak ada pemasukan nih," keluh Jayadi, memasang raut paling menyedihkan di wajahnya.

Karmina mendengkus sebal, lalu melengos dari hadapan Jayadi, sang adik yang terpaut empat tahun lebih muda darinya. Gadis itu sungguh muak, melihat si bungsu yang begitu dielu-elukan oleh kedua orang tua, sekonyong-konyong datang meminta uang padanya.

***

Gelapnya malam kian pekat menyelimuti langit Jakarta. Gerimis masih saja belum reda membasahi setiap sudut kota. Suhu udara yang biasanya begitu panas menyengat, perlahan menjadi sejuk tatkala musim penghujan tiba.

Waktu perlahan merangkak menuju tengah malam. Derasnya air hujan yang jatuh di atap rumah, seakan memberi ketenangan bagi penghuninya agar tertidur lelap nan tenang.

Kendati demikian, dinginnya udara malam dan suara rintik-rintik air tak sepenuhnya menenangkan bagi Karmina. Alih-alih tertidur nyenyak, gadis itu gelisah setiap kali menutup mata. Bayangan seorang pria bersimbah darah yang terkapar di jalanan terus saja muncul mengganggu benaknya.

Di tengah-tengah lamunannya, Karmina mencium bau amis darah. Sontak, gadis itu bangkit, menghidu aroma aneh yang menguar di dalam kontrakannya. Ditelusurinya setiap ruangan sempit itu, tapi Karmina tak menemukan apa pun.

Ketika hendak beranjak dari dapur, terdengar suara ketukan di pintu depan sebanyak tiga kali. Berdebar jantung Karmina tatkala berjalan ke ruang depan, tempatnya semula tidur bersama sang adik. Mengendap-endap ia melangkah ke depan, memastikan ayah dan ibunya tak terganggu oleh dirinya yang masih terjaga.

Setibanya di ruang depan, Karmina memberanikan diri membuka celah gorden sedikit demi sedikit. Ia mengintip ke sekitar teras kontrakan. Tak ada siapa pun di sana. Akan tetapi, saat hendak berbaring di sebelah adiknya, suara ketukan di pintu kembali terdengar.

Dengan napas tercekat, Karmina berdiri lagi mendekati jendela dan mengintip. Jantungnya masih saja berdebar keras, meski tau bahwa tak ada seorang pun di luar sana. Alih-alih tertidur kembali, Karmina berusaha memberanikan diri demi menuntaskan rasa penasarannya.

Karmina membuka pintu perlahan-lahan, hingga akhirnya terperangah mendapati seorang pria berbadan ringkih, yang basah kuyup oleh air hujan bercampur darah di sekujur tubuh. Gadis itu hanya bisa ternganga tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Matanya membelalak lebar-lebar, seakan tak percaya bahwa sosok pria dalam bayangannya tiba-tiba muncul di ambang pintu.

"Tolong bantu Dewa menghukum pelaku sebenarnya. Saya mohon," pinta pria asing itu dengan suara parau, lalu menepuk pundak Karmina.

"B-Bapak ini siapa?" tanya Karmina, suaranya terdengar gemetaran.

"Saya mohon, saya mohon dengan sangat." Pria itu bersimpuh di hadapan Karmina dan memegangi lututnya seraya menangis tersedu-sedu.

Seketika, bulu kuduk Karmina meremang. Dilepaskannya tangan pria asing itu dari lututnya, kemudian bergegas masuk ke kontrakan dan mengunci pintu. Napasnya memburu, sekujur tubuhnya bergidik ngeri.

Menawarkan Bantuan

Karmina menyempatkan diri bertemu dengan Dewa saat jam istirahat tiba. Berada di kelas berbeda dengan lelaki yang dicarinya, membuat gadis itu harus menelusuri koridor lebih jauh.

Ketika tiba di depan kantin, tak sengaja Karmina mendapati Dewa sedang didekati oleh dua siswi centil penggemar beratnya. Adapun Dewa, tampak datar saja menerima sebatang cokelat dari salah satu penggemarnya. Ia hanya mengucapkan terima kasih, sambil mengulas senyum hambar tanpa arti.

Setelah kedua murid itu pergi, Karmina datang menghampirinya dengan canggung. Ia tampak ragu untuk duduk di sebelah Dewa yang sedang membolak-balik cokelat pemberian dua gadis tadi.

"Eh, lo yang kemarin diusilin sama tiga cewek itu, ya? Nih, buat lo," kata Dewa sambil menoleh dan memberikan cokelat pemberian penggemarnya pada Karmina.

"Lah? Ini, kan, buat lo. Kenapa dikasih ke gue?" tanya Karmina menyerahkan lagi cokelat yang diberikan Dewa.

"Gue nggak suka cokelat. Buat lo aja," kata Dewa sambil mendelik.

"Makasih, ya," kata Karmina tersenyum simpul, "gue boleh duduk di sebelah loh nggak? Ada hal penting yang mau gue omongin."

Dewa mengangguk, kemudian bergeser agak jauh dari posisi Karmina duduk. Sesekali ia memandang gadis di sebelahnya, lalu menyeruput es jeruk yang dibeli beberapa saat lalu.

"Nama lo Dewa, ya?" tanya Karmina menatap wajah dingin sang ketua OSIS.

Dewa melirik sekilas. "Nggak perlu gue jawab pun seisi sekolah tau nama gue. Masa lo nggak tau?"

"Maaf, cuma mau mastiin doang," kata Karmina tertunduk canggung.

"Mau ngobrolin apa? Kalau lo cuma pengin pansos doang, sori, gue nggak sudi kenal sama lo," ketus Dewa.

"Nggak, gue ke sini bukan mau pansos kok. Gue cuma mau nanyain hal penting tentang hidup lo," jelas Karmina sambil sesekali menatap Dewa.

Dewa mengernyitkan kening, menoleh pada Karmina yang sedang tertunduk canggung. "Apa maksud lo mau ngobok-obok kehidupan pribadi gue? Nggak sopan banget lo, ya, kepoin privasi orang. Pantes aja lo diusilin sama tiga murid lain."

"Bukan gitu maksud gue. Plis, jangan marah dulu dong. Lagian, gue nggak minat buat kepoin privasi lo," pinta Karmina dengan raut memelas.

"Terus, apa?" Dewa yang kesal melirik tajam pada Karmina.

"Gue semalem didatengin seseorang. Dia mohon-mohon sama gue buat bantuin lo ngehukum pelaku sebenarnya," ungkap Karmina.

Seketika, tertegunlah Dewa. Lelaki itu mulai menduga-duga seseorang yang dimaksud oleh Karmina. Ditatapnya gadis bertubuh mungil yang masih tertunduk canggung itu, sambil mengerutkan dahi.

"Siapa? Gimana ciri-ciri orang yang nemuin lo semalem?" tanya Dewa penasaran.

"Orangnya kira-kira seumuran sama bokap gue, dia pake baju kemeja, badannya penuh darah," jelas Karmina, sembari mengarahkan pandangan ke atas, seolah sedang mengingat-ingat lagi sosok pria yang mendatanginya semalam.

Dewa mengernyitkan kening. "Lo nggak lagi mimpi, kan, semalem?"

Karmina menggeleng cepat. "Enggak! Sumpah! Boro-boro mimpi, tidur aja kagak bisa. Bulu kuduk gue merinding pas nyium bau darah di rumah, terus denger ada yang ngetuk pintu. Pas gue bukain pintu, eh, ada bapak-bapak aneh di depan kontrakan gue," tuturnya sambil mengangkat kedua alis.

Dewa menatap sinis. "Alah, paling juga lo lagi ngehalu."

Pandangan Karmina beralih ke layar ponsel Dewa yang menyala. Potret seorang pria yang menemuinya semalam, terpampang jelas di gawai milik Dewa.

"Foto siapa itu?" tanya Karmina menunjuk ke ponsel Dewa.

Dewa melihat ponselnya sebentar dan menjawab, "Bokap gue. Kenapa emang?"

"Semalem orang itu yang datang ke rumah gue!" seru Karmina dengan mata membulat.

"Ah, yang bener? Bokap gue udah meninggal empat tahun lalu. Masa iya bokap gue bangkit dari kubur? Mustahil!" bantah Dewa menampik pernyataan Karmina.

"Beneran! Gue nggak bohong!" tegas Karmina meyakinkan. "Bokap lo datang ke rumah gue sambil mohon-mohon."

Merasa ucapan Karmina sangat serius, Dewa mulai mencoba memahami maksud dari gadis di sebelahnya itu. "Dia bilang apa aja sama lo?"

"Dia cuma mohon-mohon sama gue buat bantuin lo ngehukum pelaku yang sebenarnya," jawab Karmina, lalu memandang wajah Dewa dengan kedua mata melebar. "Emangnya keluarga lo pernah punya masalah serius?"

Dewa mengangguk. "Lo nggak perlu tau lebih jauh masalah keluarga gue. Mending urus diri lo sendiri, gue nggak butuh bantuan dari orang lemah kayak lo," katanya sambil beranjak dari bangku kantin.

***

Rasa penasaran Karmina belum tuntas. Saat mengikuti jam pelajaran terakhir, hatinya terus saja dirundung gelisah. Sekelebat bayangan pria seusia ayahnya sekonyong-konyong muncul setiap kali ia berusaha berkonsentrasi memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Tak terasa, jam pelajaran terakhir pun selesai. Murid-murid berhamburan keluar kelas. Karmina menunggu Dewa di depan gerbang sekolah, sambil berusaha bersembunyi dari anak majikan ibunya yang suka berbuat usil secara tiba-tiba.

Cukup lama Karmina menunggu, hingga suasana sekolah mulai sepi. Dengan kecewa, gadis itu berbalik badan dan melenggang menuju pinggir jalan. Sesekali, ia menoleh ke belakang, dan terkejut melihat Dewa sedang berjalan dengan santai meninggalkan area sekolah.

"Dewa!" seru Karmina sambil melambaikan tangan.

Dewa berhenti sejenak. "Ya elah, lo lagi."

Karmina berlari menghampiri Dewa dan berkata, "Dewa, lo seriusan nggak butuh bantuan? Gue janji, gue bakal berusaha sekeras mungkin sampai pelaku sebenarnya dihukum."

Dewa yang sangsi mendelik pada Karmina. "Emang lo bisa berantem?" ketusnya.

"Eh, apa?! Kok jadi--"

"Kalau mau bantuin gue, lo harus bisa berantem. Bisa nggak lo?"

Dengan gelagapan, Karmina mengangguk cepat. "B-Bisa kok. Ayo aja gue mah."

"Sekarang serang gue!" ujar Dewa menantang Karmina.

Tertegun Karmina memperhatikan badan Dewa yang jauh lebih tinggi darinya. Jika berdiri bersama ketos, ia lebih terlihat seperti kurcaci dibanding teman sebaya. Tinggi badannya yang hanya 150 cm itulah penyebab Dewa merasa ragu menerima bantuan dari siswi paling lemah di sekolah.

"Kenapa diem aja? Cepet serang gue!" tuntut Dewa dengan angkuh.

Karmina menghela napas dalam-dalam, mengepalkan tinju di kedua tangannya. Ia mendekati Dewa, lalu memukul bagian badan lelaki itu sekenanya. Bagi sang ketua OSIS, pukulan amatiran yang diarahkan Karmina tidak ada apa-apanya. Alih-alih menghindar, Dewa merasa geli menerima serangan dari gadis itu.

Di luar dugaan, Dewa tiba-tiba menahan tangan Karmina. Keduanya saling tatap untuk sesaat, kemudian tubuh Karmina dibantingkan begitu ringan oleh Dewa. Sontak, gadis bertubuh mungil itu menjerit kesakitan, terkapar di tanah.

"Bisa nggak, sih, lo jangan kasar-kasar sama cewek?!" bentak Karmina, seraya berusaha untuk berdiri kembali.

"Gitu doang udah protes. Kalau gitu mah lo mana bisa bantuin gue," ledek Dewa, menyunggingkan senyum di sudut kanan bibirnya.

Karmina yang masih belum puas, ingin membuktikan bahwa dirinya mampu bertarung. Diserangnya lagi bagian badan Dewa secara beruntun. Kali ini, sang ketua OSIS menghindari pukulan demi pukulan yang dilayangkan Karmina, hingga membuat gadis itu kesal.

Saat mendapatkan kesempatan menyerang, Dewa memukul bagian bahu Karmina. Sontak, gadis itu berhenti memukul dan merengek kesakitan.

"Ih, kok kamu kasar banget, sih? Nggak bisa lebih pelan dikit, ape?" rajuk Karmina meringis, memegangi bahunya.

Merasa muak dengan rengekan Karmina, Dewa mendengkus sebal. "Kalau gitu, ya udah, jangan sok-sokan bantuin gue," sungutnya.

"Tapi, kan, lo bisa ajarin beladiri ke gue dikit-dikit dulu. Jangan langsung 'jreng' aja," sanggah Karmina memberengut.

"Lo pikir dunia ini harus sesuai sama kemauan lo, apa? Hidup ini keras, Sayang!" ketus Dewa mendelik tajam pada Karmina, lalu melengos menuju area parkir untuk mengambil sepeda motornya.

Sementara itu, Karmina terengah-engah memegangi bahunya. Ia tak menyangka, bahwa siswa yang sangat membenci perundungan itu, justru akan melakukan hal lebih buruk padanya. Memang, Dewa memiliki sifat yang tegas dan dingin, terlebih sejak ditinggal pergi oleh sang ayah untuk selamanya. Maka tak heran jika ia sangat ditakuti oleh banyak berandalan sekolah karena sifatnya.

Selain itu, isu mengenai Dewa yang pernah kepergok menembak pria dewasa oleh seorang siswa, membuat para perundung ketar-ketir. Kabar itu menyebar begitu cepat sehari setelah ia dilantik menjadi ketua OSIS, tapi para guru seakan tak peduli. Mereka butuh siswa tegas berkemimpinan tinggi seperti Dewa agar kasus perundungan di sekolah dapat berkurang.

Ketika Dewa pergi meninggalkan sekolah menggunakan motornya, Karmina berjalan menuju halte. Ia menunggu angkot sambil melihat-lihat pemandangan yang begitu ramai di sekitarnya.

Di seberang jalan, tampak seorang pria berpakaian rapi dengan setelan kemeja lengan panjang berwarna biru muda dan celana hitam, sedang menelepon seseorang. Pandangan Karmina tetap terfokus pada pria itu, sampai orang yang diperhatikannya masuk ke mobil sedan hitam.

Di luar dugaannya, sebuah kilasan peristiwa pria berpakaian necis itu sekelebat muncul tatkala menutup mata. Karmina menyaksikan langsung sebuah pergumulan sadis antara pria yang baru saja dilihatnya dengan tiga orang misterius. Mereka membawa senjata tajam, saling serang, hingga pria berkemeja itu akhirnya tumbang.

Di akhir pengeroyokan, sekelebat bayangan salah satu lelaki membuka topengnya. Karmina mendapati Dewa berjalan bersama dua orang asing yang membawa senjata tajam, meninggalkan korbannya terkapar tak berdaya. Seketika, Karmina terhenyak dan menggeleng pelan.

"Ngapain Dewa ngincar orang itu?" gumamnya sembari termenung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!