NovelToon NovelToon

Rumah Iblis Bersemayam

Part 1

"Pa, Mama di mana?" tanya Sisi saat melihat mamanya tidak ada di kamar.

"Mama di bawah, mungkin masih bersih-bersih di dapur." Pak Bachtiar masih terpaku dengan laptopnya.

Sisi terus melirik ke arah gorden jendela kamar yang bergerak ditiup angin malam.

"Pa, kenapa Papa enggak pindah ka---"

"Sisi!"

Panggilan sang mama membuat ucapan Sisi terpotong.

"Tuh, dipanggil mama, sana gih!" ucap pak Bachtiar.

Sisi menghela napas kecewa, ada saja orang yang memanggilnya saat dia hendak mengatakan sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya.

Sisi buru-buru turun dari lantai dua untuk segera menemui sang mama di lantai bawah.

"Sisi!" panggilan itu terdengar lagi.

"Iya, sebentar, Ma!" seru Sisi.

"Kakak mau ke mana?" tanya Bella, adiknya yang baru saja keluar dari kamar.

"Mau ke dapur, dipanggil sama mama tadi," jawab Sisi.

"Ke dapur." Bella mengernyitkan dahinya.

"Kenapa?" tanya Sisi, dia menghentikan langkahnya dan menunggu jawaban selanjutnya dari Bella.

"Mama dari tadi di kamar aku, Kak. Mama enggak ada di dapur, mama lagi nemenin aku belajar," ucap Bella.

Deg!

Perasaan Sisi kian tidak enak, bulu di tengkuknya mulai berdiri. Dia jadi merinding setelah mendengar jawaban dari adiknya.

"Bell, tadi aku dengar sendiri loh mama manggil aku, enggak cuma aku, tapi papa juga."

"Ih, Kak Sisi enggak usah nakut-nakutin aku." Bella pergi dari hadapan kakaknya, dia pergi ke dapur untuk mengambil air minum.

"Duh, padahal malam ini angin di luar kencang banget, tapi kok aku ngerasa kepanasan ya," monolog Bella, dia berjalan menuju kulkas.

"Kamu ngapain di sini, Bell?" tanya Sisi.

Bella terkejut mendapati kakaknya sudah berada di depannya saat dia menutup pintu kulkas.

"Kak, bukannya tadi kamu di depan?" Bella bertanya sambil melangkah mundur.

"Kamu enggak lihat aku di sini?" tanya Sisi. Gadis itu menyibakkan rambutnya yang panjang, dan ternyata dia...

"Aaaaa...."

Bella menjerit, saat melihat sosok Sisi yang berubah menjadi makhluk mengerikan, dengan wajah dipenuhi ulat, dan mulut penuh darah.

"Hufh!" Sisi terbangun dari tidur panjangnya, ternyata hanya mimpi.

Mimpi yang sudah tiga malam berturut-turut menghantuinya.

"Kenapa mimpi ini datang lagi? Kenapa juga aku yang menjadi Setan dalam mimpiku sendiri?" tanya Sisi bermonolog, dia tidak mengerti arti dari mimpi tersebut.

---- 

"Pa, mama sama Bella di mana?" tanya Sisi pada papanya yang saat itu sedang sibuk menekuni beberapa dokumen penting perusahaannya.

"Ada di luar, mama sama Bella lagi bersihin kebun di belakang." Pak Bachtiar melepaskan kacamatanya dan mulai memfokuskan perhatian pada sang anak.

"Pa, sebenarnya ada yang ingin Sisi tanya sama Papa," ucap Sisi.

"Papa juga pengen nanyain sesuatu sama kamu," balas sang papa.

"Soal?"

"Semalam ngapain kamu keluar malem-malem? Papa panggil-panggil juga enggak kamu jawab, kamu pergi ke mana?"

"Aku...?" tunjuk Sisi pada dirinya sendiri, dia tidak paham dengan pertanyaan pak Bachtiar, sejak kapan dia keluar rumah malam-malam. Semalam dia juga tidur lebih awal dari biasanya.

"Pa, semalam Sisi enggak ke mana-mana loh. Papa salah liat mungkin," ucap Sisi mulai was-was.

"Mama juga lihat, Si. Bukan cuma papa kamu aja," sambung mamanya yang baru selesai membersihkan kebun belakang.

"Ma, Mama beneran?"

Sisi masih tidak percaya hingga akhirnya Bella datang dan membenarkan semua perkataan kedua orangtuanya.

"Mama dan Papa benar, Kak. Aku juga ngelihat Kak Sisi keluar semalam," tambah Bella. Seketika raut wajah Sisi berubah pucat, keringat dingin mulai membasahi keningnya.

Dia merinding, tidak mungkin yang dikatakan oleh adik dan kedua orangtuanya itu bohong.

Sisi mulai berpikir kalau keanehan-keanehan itu mungkin cuma dia yang merasakan seorang diri.

"Tapi... Benarkah semalam aku yang keluar?" tanya Sisi dalam hatinya.

"Si, jangan bengong gitu. Nanti kesambet Setan loh," ucap sang mama.

"Ma, masa iya aku yang keluar. Kalau memang aku yang keluar seharusnya pas kalian panggil aku, ya aku jawab dong. Kalau aku enggak jawab dan langsung pergi gitu aja, itu artinya bukan aku," bantah Sisi.

Mereka semua saling pandang, apa yang dikatakan Sisi benar.

"Terus, kalau bukan Kakak, siapa dong?" tanya Bella, gadis itu mulai merasa ada yang tidak beres juga di rumah baru mereka.

"Sudah ah, jangan pikir yang bukan-bukan! Kalian berdua cepat ganti baju, kita pergi ke kebun teh sebentar lagi." Pak Bachtiar menatap istrinya dengan tatapan sengit.

"Kamu mau ngapain lagi ke sana, Ma?"

"Pa, ada sesuatu yang perlu aku tanyakan sama mereka." Anggun bangkit sambil membawa kulit jeruk yang bertumpuk di atas meja.

"Ma, mau ke mana?" tanya Sisi.

"Mau buang kulit-kulit jeruk ini," ucap mamanya dan berlalu pergi.

"Pa, kita sudah sebulan tinggal di sini. Masa iya Papa tidak pernah ngerasain ada hal aneh," ucap Sisi kembali ke topik awal setelah mamanya pergi.

"Kak, kamu jangan bahas masalah gituan terus dong. Hari ini hari kamis, nanti malam Jumat. Kamu tahu kan maksud aku," ucap Bella sembari menaikkan sebelah alisnya.

__ 

Tiba di kebun teh, Anggun segera menemui bi Iren, sedangkan Sisi dan Bella memilih berkeliling perkebunan bersama Rendra, cucunya bi Iren. Pak Bachtiar sendiri sibuk dengan kegiatannya yang saat itu sedang memberikan gaji para pekerjanya.

"Maaf, Bu. Ada apa ya Ibu manggil saya untuk bicara di sini? Kenapa enggak di sana aja, di sini kan tempatnya jauh dari keramaian." Bi Iren melemparkan pandangannya ke seluruh area perkebunan, tempat mereka berada sekarang terbilang sepi. Bi Iren terlihat takut, tapi kenapa? Sebenarnya apa yang disembunyikan wanita tua itu.

"Bi, saya mau tanya soal keluarga suami saya. Tentang perkebunan ini---"

"Iren, ngapain kamu di sana?"

"Eh, Bapak sudah kembali? Bukannya tadi masih sama pak Bachtiar?" tanya bi Iren pada sang suami.

Melihat wajah sangarnya suami bi Iren, Anggun hanya bisa diam tanpa berani bicara apa-apa lagi. Entah kenapa dia juga takut sama suaminya bi Iren. Lelaki tua itu punya aura yang berbeda, tatapan matanya begitu dingin.

"Ayo pulang! Jangan lupa ajak Rendra sekalian, jangan sampai dia pulang sendiri."

"Maaf, saya harus pulang dulu, Bu. Lain kali aja kita bicara lagi," ucap bi Iren sedikit menunduk.

Anggun hanya mengangguk pelan, lalu dia memalingkan wajahnya ke arah lain karena tidak berani menatap tajamnya tatapan ki Seto.

"Pak, lain kali jangan bersikap dingin seperti itu di depan istrinya pak Bachtiar," ucap bi Iren menegur suaminya. Meski jarak mereka sudah sedikit jauh, namun Anggun masih bisa mendengar kata-kata bi iren itu.

"Peduli apa aku, Bu? Mereka manusia, kita juga manusia. Aku tidak mau kejadian puluhan---"

"Kejadian apa?" Anggun mencoba menajamkan pendengarannya, tapi sia-sia. Wanita itu tidak bisa mendengar lagi pembicaraan bi Iren dan suaminya.

"Mama, ayo kita pulang!"

"Ya ampun, Bell. Kamu bikin mama kaget aja deh." Anggun memegang dadanya karena kaget, dia bisa merasakan sendiri jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Ya maaf, Mama sih sore-sore gini malah ngelamun, mana tempatnya sepi lagi."

Part 2

"Ma, tadi kamu bicara apa sama bi Iren?" tanya pak Bachtiar.

"Enggak ngomong apa-apa kok, Pa," jawab Anggun cepat.

"Kalau enggak ngomong apa-apa kenapa harus ke tempat sepi pula?" kembali suaminya bertanya.

"Ma, Pa, apa cuma aku yang ngerasa aneh dengan ki Seto?" pertanyaan Bella mengalihkan topik pembicaraan kedua orangtuanya.

"Ki Seto memang sifatnya gitu, Bell. Dari dulu juga begitu, enggak ada yang aneh menurut papa," jawab papanya.

"Kalau menurut Mama gimana?" tanya Bella, dia ingin mendengar jawaban berbeda dari Anggun.

"Kalau mama sih ki Seto memang agak beda, dia tampak lebih menakutkan dari papa kamu," ucap Anggun bergurau, lalu dia dan pak Bachtiar tertawa beriringan.

"Ih, Mama sama Papa malah becanda, aku kan serius, Ma."

Mereka mulai larut dalam obrolan, dan mereka lupa kalau saat ini Sisi masih duduk sendirian di halaman depan.

"Pohon bambu di belakang rumah itu nampak angker ya," ucap Sisi berbicara sama Rendra. Cowok itu adalah cucunya bi Iren.

"Iya, Non."

"Rendra, kamu jangan panggil aku non terus dong. Aku ini teman kamu, bukan majikan kamu. Ingat ya! Panggil aku Sisi, umur kita sama lo," ucap Sisi. Sudah berkali-kali dia mengingatkan Rendra untuk memanggil namanya saja tanpa ada embel-embel Non.

"I---ya Ma---maaf, Non."

"Nah, kan jadi non lagi," geram Sisi.

Rendra kembali menudunduk karena salah ngomong lagi.

"Duh, Rendra... Kamu itu bikin gemes tahu," ucap Sisi.

"Sisi, Sisi jangan main-main ke sana ya!" tunjuk Rendra ke arah belakang rumahnya.

"Kenapa emangnya?" tanya Sisi, dia masih tidak merasa aneh dengan omongan dan tatapan gelisah Rendra.

"Tempat itu---"

"Kak Sisi!" panggil Bella sambil berlari menghampiri kakaknya.

Sisi yang mendengar panggilan adiknya langsung berpaling ke arah asal suara.

"Kamu ngapain lari-larian gitu? Nanti jatuh tahu rasa," ucap Sisi.

"Ngapain di sini sendiri?"

"Sendiri? Kamu enggak lihat aku sama Rendra?" bantah Sisi, dia melihat lagi ke depan, tapi Rendra benar-benar tidak ada.

"Mana? Mana kak Rendra? Ah, Kak Sisi kebanyakan halu, nah... Kan jadinya kek gini," ledek Bella.

"Bell, kakak beneran bicara sama kak Rendra tadi," ucap Sisi mencoba meyakinkan sang adik.

"Bella enggak percaya." Bella menggelengkan kepalanya.

"Bell, kakak enggak bohong!"

"Ya udah, kalau emang benar sekarang di mana kak Rendra?" tanya Bella.

Sisi mencoba mencari keberadaan Rendra, tapi Rendra tidak ada di mana pun. Ke mana sebenarnya Rendra pergi? Mungkinkah yang tadi bicara bersamanya adalah Rendra?

"Aku enggak tahu, Bell. Duh, Rendra ke mana sih? Tadi itu beneran aku bicara sama dia," ucap Sisi. Berulang kali dia menjelaskan sama Bella, namun tetap saja Bella mengatakan kalau kakaknya suka ngayal.

"Kak, ngehalunya di dalem aja, ayo kita masuk! Malam jumat enggak baik loh lama-lama di luar, kan kita juga baru sebulan di kampung ini. Terus, rumah kita juga agak jauh dari warga lain," ucap Bella mulai menakut-nakuti.

"Ya udah, yuk masuk!" Sisi menurut, tapi bukan berarti dia tidak lagi kepikiran soal Rendra.

Sisi sudah bertekad kalau besok dia akan menemui Rendra di kebun teh, dia akan menanyakan soal kejadian malam ini.

----

----

Drap

Drap

Drap...

Anggun yang saat itu hendak menuju kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua, langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar suara langkah seseorang.

"Kok sepatunya terdengar jelas begini ya?" Anggun menatap kedua kakinya.

Di dalam rumah siapa yang memakai sepatu? Dia sendiri berjalan dengan kaki telanjang.

Suara itu semakin lama semakin besar. Anggun mencoba untuk tetap fokus pada pendengarannya, mungkin dia salah dengar.

"Anggun..." tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya.

"Siapa kamu?" tanya Anggun setengah berteriak.

Dia juga mulai merasakan keanehan di rumah peninggalan orangtua suaminya.

"Mama kena---"

"Aaa..." teriak Anggun karena terkejut begitu seseorang menyentuh pundaknya.

"Ma, ini Bella." Bella mengernyitkan dahinya melihat ketakutan sang mama.

"Kamu malam-malam gini bikin mama jantungan aja," kesal mamanya.

"Lah, malah Bella yang disalahin. Kan Mama sendiri yang ngelamun di sini," ucap Bella tidak terima dengan omongan mamanya.

"Tadi ada yang manggil nama mama," adu Anggun.

"Salah dengar kali."

"Enggak mungkin, Bell."

"Tidur aja, Ma. Ini udah tengah malam loh," ucap Bella, dia tidak mau mamanya bicara hal-hal mistis seperti kakaknya.

Ketika hendak kembali masuk ke kamarnya, Bella dan mamanya malah dikejutkan dengan kemunculan Sisi. Gadis itu berjalan lurus menuju pintu keluar.

"Kak Sisi, Kakak mau ke mana?" tanya Bella menegur.

"Si, kamu mau keluar lagi? Ini udah malam loh, enggak baik. Ayo tidur!" suruh mamanya tegas.

"Panas, Ma. Aku pengen cari angin aja," ucap Sisi beralasan.

"Kak, di dalam kamarmu kan ada Ac, masa iya sih bisa kepanasan, lagian kan ini udah tengah malam. Suasana di sini dingin banget, kita di pedesaan bukan di kota. Alasanmu enggak masuk akal banget," ucap Bella, dia heran dengan sikap Sisi yang menurutnya aneh.

"Kakakmu kenapa ya?" tanya Anggun pada anaknya, setelah Sisi pergi dari hadapan mereka.

Di dalam kamar Sisi malah sedang asik dengan ponselnya. Berarti yang tadi bicara sama Bella bukanlah Sisi yang sesungguhnya.

"Kak, buka pintunya!"

"Loh, itu kan Bella." Sisi menoleh ke arah kirinya, melihat sekilas jam di dinding. Tidak mungkin Bella belum tidur, sudah larut malam juga

"Kak..."

Suara itu kembali terdengar, Sisi hanya bisa berpura-pura tidak mendengar apa pun.

"Kak, ini aku. Buka pintunya!"

"Kalau memang itu Bella, kenapa suaranya bisa sehalus ini? Dan kenapa juga suaranya bikin aku merinding?"

Buru-buru Sisi mengirim pesan untuk Bella. Dia ingin memastikan kalau yang di luar kamar bukanlah adiknya, satu pesan berhasil terkirim.

Dua menit kemudian Sisi mendapat balasan dari Bella.

[ "Aku di kamar, Kak. Ini masih ngerjain tugas sekolah." ]

Deg...

Tak bisa dipungkiri kalau Sisi memang sangat syok begitu membaca balasan chatt dari Bella.

"Ya Allah, rumah ini benar-benar ada penghuni lainnya."

"Kak, kamu tidak mau membuka pintunya?"

Suara makhluk itu sangat menggangu, Sisi berusaha memejamkan mata dan berpura-pura tidak mendengarnya.

Waktu berlalu, dentingan jam juga terdengar begitu mengusik ketenangannya. Malam ini menjadi malam Jum'at menyeramkan untuknya.

----

----

"Si, Ac di kamar kamu beneran rusak? tanya Anggun pada anak sulungnya.

"Enggak kok, Ma." Sisi mengerutkan keningnya. Dia heran kenapa pertanyaan mamanya seperti itu.

"Kan semalam Kakak sendiri yang bilang kalau Ac di kamar rusak, makanya Kakak keluar karena kepanasan," ucap Bella menerangkan.

"Aku enggak bilang apa-apa, aku di kamar aja," bantah Sisi.

"Tengah malam kamu mau keluar, Si. Syukur ada mama sama Bella yang cegah kamu buat keluar," tambah Anggun.

Bachtiar yang sejak tadi diam, ia mulai merasa tidak nyaman dengan obrolan istri dan kedua anaknya itu.

"Ma, kamu kan tahu peraturan di keluarga kita. Enggak ada yang boleh bicara kalau sedang berada di meja makan. Kalau mau ngobrol nanti aja setelah selesai makan, bisa kan!" tegas Bachtiar, mereka semua kembali diam dan mulai menikmati kembali hidangan di atas meja makan.

Part 3

Sisi berjalan mengitari kebun teh, dia berniat mencari Rendra. Biasanya Rendra pagi-pagi begini pasti ada di kebun sama neneknya, yang tak lain adalah bi Iren.

"Satu keluarga ini membuat aku merasa curiga, sebenarnya apa yang disembunyikan dari  kami sama bi Iren dan ki Seto?" pikir Sisi.

"Non Sisi, Non ngapain di sisi?" tanya bi Iren yang kebetulan lewat di sekitar tempat Sisi berada.

Sisi bangun dari duduknya, dia menepiskan abu yang melekat di bagian belakang bajunya. Bi Iren ikut membantu sambil sesekali memperhatikan keadaan sekeliling, tatapannya menimbulkan kecurigaan di hati Sisi.

"Sudah bersih, Non. Ngapain Non di sini?" tanya bi Iren lagi.

"Bi, Sisi mau nanyain sesuatu sama Bibi."

Wajah bi Iren langsung berubah tegang, padahal Sisi belum menanyakan apa-apa.

"Bi, kok jadi tegang gitu?"

"Enggak kok, emang Non mau nanya apa?"

"Tolong Bibi jawab yang jujur pertanyaan aku ini, ada apa sama rumah kakek?"

Deg...

Wajah bi Iren semakin terlihat tegang dan matanya membulat sempurna.

"Bi, Bibi kenapa?"

"Non, apa ada hal yang aneh di sana?"

"Bi, tolong jangan tanya balik ke aku. Bibi pasti sudah tahu hal ini kan? Bibi sama ki Seto adalah orang yang menjaga rumah kakek selama ini, mana mungkin kalian tidak tahu," ucap Sisi mulai geram.

"Bibi enggak tahu, memang ada apa, Non?"

"Kami semua diganggu, semalam aku juga diganggu. Aku terus mimpiin hal-hal buruk, aku yakin Bibi tahu tentang rahasia di rumah kakek, tolong kasih tahu Sisi, Bi." Sisi menggoyang-goyangkan bahu bi Iren, wanita itu terpaku cukup lama hingga panggilan keras Sisi menyadarkannya lagi.

"Bibi!"

"Eh iya, Non, bibi enggak tahu soal itu. Selama ini rumah pak Purnomo baik-baik aja, selama bibi di sana juga tidak ada hal-hal aneh yang terjadi," terang bi Iren, wanita tua itu mencari ribuan alasan untuk menghindari mengatakan sesuatu yang begitu besar pada Sisi.

"Tapi, Bi..."

"Ssttt, jangan bahas ini lagi ya, bibi enggak mau Non Sisi kenapa-kenapa." Bi Iren berlalu pergi dengan tergesa-gesa dari sana.

"Ih, kok bibi langsung pergi sih?" Sisi nampak sanagat kecewa dengan sikap bi Iren, dia melampiaskan kekesalannya dengan mencabut pucuk teh di dekatnya dan membuangnya asal.

Dari kejauhan terlihat Rendra sedang berjalan mendekati Sisi, dia menenteng sebuah rantang di tangannya. "Non Sisi," panggil Rendra.

Sisi langsung berpaling arah, dan terlihatlah Rendra yang kini sudah berada di belakangnya.

"Rendra?"

"Jangan pergi sendiri, nanti Non terluka," ucapan Rendra tambah membuat Sisi bingung.

"Terluka? Maksudnya?"

"Non Sisi, ayo makan!" Rendra duduk, ia mulai membuka rantang yang tadi dibawanya.

"Tunggu dulu! Kamu enggak bisa bicara setengah-setengah gini sama aku, apa maksudnya terluka? Kenapa aku bisa terluka?"

"Di sini banyak yang jahat," ucap Rendra. Dia tidak menatap Sisi sama sekali, ki Seto pernah bilang kalau Rendra sedikit berbeda dengan anak yang lain.

"Ren, semalam kamu ke rumah aku kan?" Kini Sisi mulai mengganti topik pembicaraan.

"Tidak!" tegas Rendra menggeleng.

"Serius? Kamu enggak bohong, bohong dosa loh," ucap Sisi.

"Aku di rumah," jawabnya lagi.

"Rendra, aku itu sudah anggap kamu seperti saudara aku sendiri. Tentunya kamu tidak ingin terjadi apa-apa sama aku kan?" Sisi memutar tubuh Rendra, mereka kini saling bertatapan. Rendra, lelaki yang sebenarnya cukup tampan itu menatap Sisi begitu lekat. Baru kali ini dia bicara akrab dengan orang luar, dan baru kali ini dia dianggap sebagai orang normal. Selama ini warga di desa itu menganggapnya sebagai anak yang memiliki gangguan mental.

Mendengar omongan Sisi, membuat Rendra sadar, Sisi sangat baik padanya. Tidak mungkin dia membuat Sisi terluka, tapi... Kejadian beberapa tahun yang lalu tidak mungkin juga dia ceritakan sama Sisi untuk saat ini.

Di sisi lain, setelah obrolan singkatnya dengan Sisi berakhir, bi Iren berjalan tergopoh-gopoh menuju rumahnya. Langkah kakinya begitu terburu, beliau bahkan tidak sempat membalas sapaan para pekerja di kebun pak Bachtiar.

"Pak, Bapak!" seru bi Iren memanggil.

Ki Seto acuh tak acuh dengan panggilan istrinya, lelaki tua itu duduk santai di atas dipan bambu yang ada di depan rumahnya sambil menikmati secangkir kopi hitam.

"Pak, gawat ini, Pak." Bi Iren dengan nafas tersengal-sengal menghampiri suaminya.

"Ibu kenapa?" tanya ki Seto sambil meletakkan kembali cangkir di sebelahnya.

"Sepertinya mereka mulai muncul satu per satu," ucap bi Iren.

"Muncul, siapa yang muncul?"

"Makhluk itu, Pak. Makhluk itu mulai mengganggu keluarga pak Bachtiar!"

"Cukup, Bu! Jangan bahas masalah itu di sini!" tegur ki Seto tegas. Lelaki itu turun dari dipan, memakai sandalnya, dan kemudian masuk dengan cepat ke dalam rumah. Bi Iren setengah berlari mengejar suaminya.

"Pak, jangan begini dong, Pak. Kita harus ngomongin masalah ini," ucap bi Iren sambil menutup pintu.

Ki Seto merebahkan tubuhnya di atas kasur, bi Iren ikut masuk dalam kamar untuk membicarakan hal penting tersebut.

"Aku tidak ingin mendengar apa pun soal keluarga mereka, Bu. Cukup sudah Santi menjadi korban dari kejahatan Purnomo, aku tidak ingin hal itu terulang lagi," lirih ki Seto. Raut wajahnya yang sehari-hari terlihat dingin, keras, dan tegas, kini berubah sedih. Kehilangan anak perempuan satu-satunya membuat karakter ki Seto yang ramah dan lembut lembut berubah menjadi dingin. Beliau tidak akan peduli dengan keselamatan keluarga Bachtiar lagi. Cukup sudah penderitaan yang dilaluinya selama ini bersama sang istri dan juga cucunya, Rendra.

"Pak, kita sudah kehilangan Santi. Kita tahu bagaimana kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Bagaimana kalau kemunculan Iblis itu adalah untuk mengambil jiwa salah satu dari keturunan Purnomo?"

"Peduli apa aku, Bu? Itu urusan mereka bukan urusan kita, dan ingat ya! Kamu jangan sekali-kali membantu atau pun mengatakan hal ini sama Bachtiar, biar dia sendiri yang menyelesaikan urusan keluarganya. Tugas kita sudah selesai, Bu. Tugas kita hanya menjaga kediaman itu sampai ahli warisnya datang," ucap ki Seto, beliau memejamkan matanya. Tidak ingin membicarakan lagi tentang keluarga Purnomo.

"Tapi, Pak... Bachtiar tidak tahu kalau bapaknya dan ibunya itu pernah melakukan perjanjian dengan Iblis-Iblis---"

Prang...

Prang...

Mendengar keributan di dapur, bi Iren menjeda ucapannya. Sedangkan ki Seto kembali membuka matanya dan duduk di tepi ranjang dengan nafas memburu.

"Ini semua salah kamu, Bu. Sudah aku bilang untuk tidak mengungkit masalah itu di sini," ucap ki Seto.

"Pak, kenapa aku juga ngerasa aneh sama rumah kita sendiri? Kenapa Bapak melarang aku untuk membicarakan masalah ini? Dan kenapa setiap kali aku mengungkit masalah belasan tahun yang lalu, selalu aja ada keributan di sini. Suara-suara itu seolah menyuruh aku untuk berhenti bicara, berhenti---" kembali bi Iren menggantungkan ucapannya, melihat perubahan wajah suaminya membuat beliau merasa bahwa, ki Seto juga menyimpan rahasia sendiri.

"Kenapa tidak kau lanjutkan lagi?" tanya ki Seto begitu bi Iren diam.

"Apa mereka juga di sini?"

"Mereka? Mereka siapa? Jangan berpikir yang bukan-bukan, Bu. Yang pasti kamu tidak boleh mengatakan tentang Purnomo dan Bachtiar di sini, cukup untuk hari ini!" Ki Seto merebahkan lagi tubuhnya di atas kasur. Bi Iren memilih ke dapur, beliau ingin melihat kali ini benda apa lagi yang hancur.

Sesampainya di dapur, hal yang tak pernah terpikirkan terjadi hari ini.

Darah dan jejak kaki mengotori lantai rumah mereka yang terbuat dari semen itu.

"Darah... Pak, Bapak cepat ke sini!" seru bi Iren.

Darah siapa itu, dan kenapa siang-siang begini mereka diganggu?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!