NovelToon NovelToon

SWEET COVENANT

Sweet Covenant - 1. Surat Cinta

KELAS 10-2

SMA DHARMA BHAKTI, KOTA X.

“SRAAKK...!"

Sebuah surat cinta lagi-lagi diserahkan kepadanya, ini sudah yang kesekian kalinya dia menerima surat cinta sejak sebulan memulai kehidupan baru sebagai siswi SMA kelas 10.

Yaa, murid perempuan yang saat ini sedang menerima surat adalah Irina Domino, seorang siswi dengan penampilan yang biasa saja dan terkesan polos. Rambut panjang lurusnya yang berwarna hitam kecokelatan dibiarkan tergerai tanpa hiasan apapun dikepalanya namun kesederhanaan tampilannya itu memberi kesan manis pada wajahnya. Irina memiliki kesan sebagai seorang gadis yang kalem, tidak begitu berminat dengan kehidupan dunia cinta remaja yang berwarna-warni, hanya selalu fokus dengan pelajaran dan tugas jabatan kelasnya sebagai bendahara kelas. Hanya saja, baru-baru ini dirinya disibukkan dengan berbagai surat cinta yang diserahkan kepadanya setiap hari.

Yaa benar, SETIAP HARI!!!

TAPI...!!!

Ini bukan surat cinta yang diserahkan oleh para murid pria untuk dirinya, melainkan surat-surat ini datang dari para murid perempuan yang dititipkan kepadanya untuk seorang siswa idola di sekolah mereka. Siswa idola hampir seluruh siswi SMA Dharma Bakti yang kebetulan adalah “kakak”-nya. Entah harus bangga atau tidak? Irina benar-benar hanya merasa sangat direpotkan dengan keadaan ini.

“Irina! Tolong yaa, kamu sampaikan surat ini kepada Adrian. Jangan sampai kamu tidak memberikannya, atau kamu akan tahu akibatnya!” celetuk siswi cantik dihadapan Irina dengan nada bicara ketus dan sikap yang arogan. Sungguh angkuh namun tetap memberikan pesona yang elegan dan dinamis.

Siswi cantik itu bernama Senna Zain, siswi kelas 12 IPS 1 SMA Dharma Bhakti. Salah satu siswi idola dengan paras yang cantik dan merupakan ketua cheersleader yang terkenal di sekolah mereka bahkan kecantikan dan kemampuannya terkenal hingga di lingkungan sekolah-sekolah SMA lainnya di Kota X. Tentu saja popularitasnya didapatkan karena beberapa faktor menunjang mulai dari kecantikannya, kemampuannya, status sosialnya, serta karena dia adalah salah satu murid dari sekolah elit nomor 1 di Kota X, SMA DHARMA BHAKTI.

Yupp, benar sekali!

SMA DHARMA BHAKTI merupakan sekolah elit dan memiliki kualitas terbaik di Kota X. Tidak heran murid-murid yang terdaftar di sekolah ini bukanlah murid-murid sembarangan. Rata-rata mereka memiliki latar belakang status sosial yang berpengaruh di Kota X, minimal mereka adalah anak-anak dari karyawan perusahaan dengan jenjang kehidupan yang mumpuni.

Sebagai seorang gadis blasteran Indonesia-Perancis, Senna pantas diperhitungkan paras cantiknya. Bibir tipis memerah, mata yang tegas dan indah dengan pupil berwarna kebiruan, warna kulit yang terlihat bercahaya serta rambut lurus pendek diatas bahunya berwarna cokelat terang yang berkilau, dan jangan lupa dengan tubuhnya yang tinggi semampai dan langsing. Tubuhnya memberikan kesan seksi di usianya yang menginjak remaja dewasa tingkat akhir. Meskipun lagaknya sangat angkuh, Ia terkesan pantas untuk angkuh akan kecantikannya yang diatas rata-rata. Sikapnya yang arogan seperti dapat dimaklumi oleh semua orang karena kecantikannya. Sungguh penampilan memang mudah sekali membutakan penilaian manusia dan keindahan yang begitu banyak dapat menutupi keburukan lainnya.

“Memangnya begini yaa caranya minta tolong sama orang lain?” batin Irina.

"Dasar, nggak punya sopan santun!" Irina hanya memaki wanita tersebut di dalam hatinya.

Meskipun Irina begitu muak dengan sikap Senna yang memaksa namun Irina berusaha tersenyum manis dan masih sadar diri siapa perempuan menyebalkan yang ada dihadapannya. Mana mungkin Irina mau mencari masalah dengan senior, baginya lebih baik mengurusi perkembangan belajarnya dan hal-hal lainnya yang mendukung kebutuhan sekolahnya.

Bukankah sekolah memang tempat untuk belajar?

Bukankah sekolah memang tempat untuk menjadi lebih berkualitas?

Yaa, Irina benar-benar menganggap remeh hal-hal percintaan dan kompetisi murahan lainnya dalam kehidupan remaja. Dia hanya ingin menjadi murid yang lebih baik, murid yang berkualitas, murid yang diakui di sekolahnya karena prestasi.

Senna Zain adalah seorang senior yang tak bisa diremehkan siapapun. Hanya saja, ini baru pertama kalinya Irina dititipi surat dengan cara yang menyebalkan seperti ini. Memuakkan!

Irina sudah hampir mencapai puncak kebosanannya bila harus terus-terusan dititipin surat cinta untuk kakaknya. Dengan sikap Senna yang begitu arogan kepadanya, hampir saja rasanya Irina ingin meledak. Namun dirinya berhasil menahan emosinya mengingat siapa orang di hadapannya ini.

“Baiklah Kak Senna, aku akan sampaikan surat ini sesampainya di rumah. Kak Senna tidak perlu khawatir yaa.... ” jawab Irina dengan sopan dan tak lupa memberikan senyuman manis.

Tanpa bicara apapun Senna segera beranjak pergi setelah puas dengan jawaban Irina, meninggalkan Irina yang masih menyimpan rasa kesal atas sikap angkuh Senna. Irina melengos kembali duduk ke bangkunya dengan membawa surat cinta dari Senna secara asal-asalan.

"MEMANGNYA ETIKA MENGUCAPKAN TERIMA KASIH ITU SUDAH PUNAH YAA???"

Irina merutuk peristiwa yang baru saja terjadi di depan matanya dengan murka ketika dirinya sudah duduk manis di bangku kursinya.

Irina meletakkan surat itu di atas mejanya, ditatapnya dengan kesal dan dirinya merasa ingin sekali merobek surat tersebut. Ini bukan yang pertama kalinya Irina ingin sekali merobek surat-surat cinta yang diserahkan kepadanya, baginya ini adalah tugas yang berat dan memuakkan.

Toh, sebenarnya pada akhirnya semua surat-surat itu hanya akan berakhir di tempat sampah dan dirinya bukan mendapatkan ucapan terimakasih melainkan nyinyiran tajam dari pria dingin yang namanya tertera pada alamat tujuan surat, Adrian Domino.

Tapi, kenyataannya Irina tidak tega untuk mengabaikan semua amanah hati dari para murid perempuan yang dibutakan oleh kekagumannya atas idola mereka. Apalagi bila mereka terlihat begitu polos dan gugup ketika memberikannya kepada Irina. Meskipun sebenarnya setiap hari dititipin surat cinta itu sangat mengganggu, tetap saja Irina tidak berdaya. Tidak tega dengan harapan-harapan para murid perempuan yang diberikan kepadanya. PAYAH!

Irina menghela nafas berat dan membuang pandangannya ke luar jendela, melamun kosong sambil menikmati pemandangan di luar kelas. Di luar kelas nampak lapangan basket telah penuh dengan barisan murid kelas 12 IPA 3 yang sedang melakukan peregangan otot sebagai persiapan kegiatan pelajaran olahraga.

Tiba-tiba bola mata Irina menangkap sosok yang sangat dia kenal di barisan paling depan sebelah kanan. Yaa, dia menemukan sosok dingin milik Adrian, siswa idola yang menyebabkan Irina harus menanggung beban menyampaikan surat-surat cinta setiap hari kepadanya.

“Itu adalah... kakak....” gumam Irina.

“Kakak!!! Ini semua gara-gara kamu!!! Memangnya kamu pikir ini zaman apa?! zaman batu?! zaman kapur?! zaman purba?! Dengan seenaknya membuat aturan kepada semua fans-mu hanya boleh berkomunikasi denganmu melalui surat?! SMS nggak boleh! Berani whatsapp pun langsung di blokir! Dasar ngerepotin!!!” gerutu Irina yang hanya menggema di dalam kepalanya sendiri.

***

Yaa, begitulah...

Semua bermula ketika masa orientasi siswa. Sebagai ketua OSIS terlebih lagi dirinya sangat tampan, otomatis Adrian menjadi pusat perhatian para murid baru. Salah satu aturan selama mengikuti masa orientasi siswa adalah mengumpulkan tanda tangan para anggota OSIS. Ketika beberapa murid perempuan mengelilingi Adrian untuk minta tanda tangan, mereka semua sibuk menanyakan nomor kontak Adrian yang membuat Adrian kerepotan meladeni mereka.

Adrian tiba-tiba saja menuju ke tengah lapangan, mengambil pengeras suara dan mengucapkan beberapa kalimat dengan lantang dan tegas, nampak berwibawa dan mempesona.

"PERHATIAN SEMUANYA!"

"SAYA ADRIAN DOMINO, SEHUBUNGAN DENGAN KESIBUKAN SAYA MAKA MOHON KERJA SAMANYA UNTUK TIDAK MENCOBA MENCARI TAHU NOMOR KONTAK SAYA."

"HARAP DI MAKLUMI."

"SEKIAN DAN TERIMAKASIH"

Tentu saja, murid-murid perempuan kelas 10 yang sudah buta oleh pesonanya tidak peduli. Mereka tetap mencari kontak Adrian dan di zaman yang serba modern seperti saat ini menemukan kontak seseorang bukanlah hal yang sulit.

Irina dengar, usaha mereka semua sia-sia. Adrian benar-benar melakukan perbuatan kejam, memblokir semua kontak dan akun yang mengganggunya. Pesan singkat maupun menelpon secara langsung-pun tidak berguna, hanya diabaikan tanpa sungkan. Kejam!!!

Sebenarnya hal ini sudah diketahui oleh murid-murid perempuan dari kelas 11 dan 12, mereka pada akhirnya hanya mentertawakan kebodohan para murid perempuan kelas 10 yang terlihat kecewa atas cara Adrian dalam menanggapi mereka.

Hingga pada akhirnya mereka semua tahu kalau Irina adalah adik dari Adrian karena sering melihat Irina selalu pulang bersama Adrian. Yaa, Irina memang harus pulang dengan Adrian. Itu sudah aturan yang diberikan oleh Ayah dan Ibunya.

Entah siapa yang memulai ide memberi surat cinta melalui Irina, tiba-tiba saja setiap hari Irina mendapati para murid perempuan baik dari kelas 10, kelas 11, bahkan kelas 12, mendatanginya dan menitipkan surat-surat cinta milik mereka.

Padahal, kenyataannya surat-surat tersebut juga tidak dibaca oleh Adrian, malahan tepat di depan mata kepala Irina surat-surat itu dibuang di tempat sampah. Ibu bahkan dengan baiknya menyediakan kotak besar berwarna merah muda yang katanya khusus untuk surat-surat cinta itu. Astaga! Ibu benar-benar aneh. Terlebih aneh lagi Irina mendapati Ibu dan Ayah mengisi waktunya di malam hari dengan membaca surat-surat tersebut sambil tertawa terbahak-bahak. Adrian biasanya hanya asik menonton TV tanpa memberikan reaksi menarik atau pergi mengurung diri di kamarnya. Sedangkan Irina seringkali hanya bisa speechless dan sweatdrop melihat pemandangan tingkah laku kocak Ayah dan Ibunya.

Andai semua murid perempuan itu tahu?

Bukankah sangat memalukan?!

***

Irina terus menatap kesal sosok Adrian yang masih fokus melakukan kegiatan peregangan otot di luar sana. Aura gelap begitu nyata terpancar dari dalam tubuh Irina yang seolah membentuk panah-panah kebencian tak kasat mata dan siap melesat berhamburan menusuk sosok Adrian.

Sosok pria yang sedang sibuk melakukan peregangan otot itu bernama Adrian Domino, siswa kelas 12 IPA 3, SMA Dharma Bhakti. Kakak laki-laki dari Irina Domino, seorang idola yang mempesona hampir seluruh kalangan murid perempuan SMA Dharma Bhakti. Memiliki paras yang tampan, tubuh tinggi yang atletis, sosok yang dingin dengan mata yang tajam, namun auranya begitu elegan, begitu rapi, begitu menunjukkan bahwa dirinya bukan laki-laki sembarangan. Mengagumkan bukan hanya karena ketampanannya dan penampilannya melainkan juga karena kemampuannya baik dari hal olahraga dan pelajaran.

Adrian seperti sosok murid yang sangat sempurna dan tak ada celah yang ternoda. Mungkin karena dirinya memang telah terdidik untuk kemudian hari menjadi seorang penerus perusahaan besar atau mungkin memang begitulah takdir Tuhan membentuk pesona dirinya.

Meskipun Adrian selalu terkesan sebagai laki-laki yang dingin namun ketika dia tersenyum, itu cukup menghangatkan hati para murid perempuan yang melihatnya, sungguh memang Adrian adalah sosok yang pantas untuk diidolakan.

***

Di sisi Adrian...

Adrian tiba-tiba menghentikan gerakan stretching-nya. Memegang tengkuk lehernya dengan perasaan bingung namun tetap terkesan menawan ketika melakukannya. Revano yang berdiri tepat di samping Adrian pun ikut menghentikan kegiatannya, menatap heran kepada Adrian.

“Kamu nggak apa-apa, Adrian?” tanya Revano yang merupakan teman sekelas sekaligus teman baik Adrian. Revano mendekati Adrian dan memegang bahu Adrian untuk menanti jawaban atas pertanyaannya.

“Oh, Aku nggak apa-apa kok, hanya tiba-tiba merasa seperti ada yang emmm... aneh, mungkin?” jawab Adrian dengan nada ragu atas jawabannya sendiri dan masih tetap mengusap perlahan tengkuk lehernya.

Revano bengong sesaat, namun kemudian dirinya tersentak kaget seolah-olah menyadari sesuatu hal. Dengan kedua tangannya, Ia buru-buru meraih kedua bahu Adrian dan mengguncang tubuh Adrian dengan cemas.

“Apa kamu merasa panas?”

“Apa kamu merasa tertusuk-tusuk pisau?”

“Apa kamu mau pingsan, mual, lemas, ingin mati?”

Revano mencerca Adrian dengan tumpukan pertanyaan, Adrian segera menepis kedua tangan temannya yang konyol itu dan memperbaiki posisi tubuhnya yang tak seimbang akibat guncangan yang diberikan oleh Revano.

“KAMU ITU NGAPAIN SIH?!” bentak Adrian tepat di telinga Revano.

“Aduh...Aduh... Maaf Adrian, aku hanya khawatir kamu dipelet sama murid perempuan di sekolah kita, barangkali ada yang nekat menginginkanmu, hehehe...”

Revano cengengesan sambil mengorek-ngorek telinganya yang terasa mendengung akibat suara keras dari Adrian.

“Imajinasimu itu terlalu berlebihan! ” ucap Adrian tegas dan dingin.

Baru saja mereka berdua akan memulai melakukan stretching kembali, muncul Senna berjalan melewati mereka berdua dengan tatapan penuh pesona dan senyum yang menawan ditujukan kepada Adrian. Adrian berpura-pura tidak menyadari senyuman Senna dan membuang pandangan matanya ke arah lain dengan dingin. Senna tidak begitu peduli dengan reaksi Adrian, dia berlalu dengan angkuh namun elegan dan merasa sudah cukup mendapatkan sedikit tatapan dari Adrian.

Baginya semua harus bertahap, dia sangat percaya diri dengan kemampuannya dalam menarik perhatian Adrian.

***

Di sisi Irina...

"Irina, ayo kita pulang bersama. Hari ini kita mampir dulu yuuk di toko buku, majalah favoritmu sudah terbit lhoo...."

Seorang murid perempuan berwajah cantik, berambut panjang dan bergelombang menarik lengan Irina dengan riang. Dia adalah Veronica, teman sekelas juga teman baik Irina sejak kecil.

"Tunggu dulu Vero, aku harus mengabarkan kakakku dulu kalau aku tidak pulang dengannya. Nanti dia akan marah dan mengadukanku yang tidak-tidak kepada Ayah dan Ibuku." Irina merasa ragu untuk menerima ajakan Veronica.

"Irina... Kalau kamu mendatangi Adrian sekarang, aku yakin Adrian akan melarangmu dan memaksamu segera pulang. Masa kamu tidak hafal dengan kebiasaan reaksi Adrian." celetuk Veronica sambil mengha nafas panjang.

"Ah.. Iya, betul juga," batin Irina dengan lesu.

Irina tak menampik apa yang dikatakan Veronica. Dirinya tahu apa yang dikatakan Veronica itu benar, sebab sahabatnya itu juga mengenal Adrian dengan baik sejak kecil.

"Veronica... Sekarang aku harus bagaimana?" Irina merengek manja.

"Hmmm... Menurutku kita tetap pergi, kamu WA aja kakakmu itu. Kita tidak perlu menunggu izinnya." Veronica memberikan ide dengan sedikit senyuman menyeringai.

Tanpa pikir panjang Irina segera melayangkan pesan whatsapp kepada Adrian kemudian segera memasukkan gawai-nya ke dalam tas. Ia tak mau tahu balasan apa yang akan diberikan Adrian. Dia segera pergi bersama Veronica dengan perasaan riang.

"Terimakasih yaa Veronica, kamu mau mengajakku membeli majalah favoritku,"

"Jangan salah, aku juga akan membelikanmu es krim karena hari ini kamu mau jalan denganku."

Irina dan Veronica berjalan keluar dari halaman sekolah dengan begitu riang. Irina tidak menyadari bahwa dari kejauhan sosok Adrian memperhatikannya, menggenggam erat gawai-nya setelah selesai membaca pesan singkat dari Irina.

"Ah, sudahlah! Karena hari ini kamu terlihat begitu bahagia dan lagipula ada Veronica bersamamu, aku membiarkanmu kali ini," batin Adrian yang kemudian pergi kembali ke kelas untuk mengambil tas.

"Beraninya kamu minta izin dengan lancang seperti ini, mau mengakali aku yaa? Lihat saja nanti." Adrian kemudian mengendarai motor besarnya dan pulang ke rumah.

***

BERSAMBUNG...!

Sweet Covenant - 2. Kebersamaan

Sore itu angin berhembus sepoi-sepoi, ranting dan dahan pohon-pohon bergoyang dengan sangat dinamis, menciptakan nuansa yang sejuk dan hangat.

Dua siswi SMA yang masih asik menikmati es krim di salah satu kafe kecil yang kebetulan berada bersebelahan dengan toko buku saling bercerita dengan riang. Begitu banyak hal yang dirasa perlu untuk dibagi bersama, mereka benar-benar tenggelam dalam dunia mereka sendiri, canda tawa riang selalu mengiringi setiap kali mereka selesai menceritakan hal-hal yang bagi mereka menarik untuk didengar.

"Tadi, aku lihat lho kalau Kak Senna ngasih kamu surat," Veronica memandang Irina dengan tatapan menyelidik.

"Oh, Iyaa?! Aku hampir saja lupa!" Irina segera membuka tas nya untuk memastikan bahwa surat yang dititipkan kepadanya masih ada di dalam sana.

"Huffh~" Irina menarik nafas lega.

"Aku kira ketinggalan di kelas, aku benar-benar lupa dengan surat ini." gumam Irina sambil mengelus dada.

"Hmm, kita buka yuuk suratnya?" Veronica kembali cengar-cengir dengan mimik wajah menggoda nan usil.

"Vero....!"

Irina segera buru-buru memasukkan suratnya ke dalam tas. Dia tak mau bermasalah dengan Kak Senna bila mengusik surat cintanya. Lagipula, Kak Adrian nantinya akan punya bahan untuk mencaci makinya karena telah lancang membuka surat yang bukan untuknya.

Irina tertegun dan sibuk membayangkan wajah kakaknya yang menatap tajam kepadanya sembari mengatakan,

"Nggak punya etika!"

"Nggak punya adab!"

"Nggak punya sopan santun!"

"Penasaran banget kah sama urusan orang?"

"Dasar lancang!"

"Dasar kepo!"

Aaargh...!

Semua kata-kata itu seolah berubah menjadi belati yang menusuk seluruh tubuhnya. Irina menggeleng-gelengkan kepalanya, memukul-mukul kecil kedua pipinya, mencoba untuk menghilangkan seluruh lamunan imajinasinya.

Veronica yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Irina hanya bisa shock dan speechless namun bisa mengerti kira-kira apa yang ada dalam pikiran teman baiknya itu.

"Baiklah... Baiklah... Kalau begitu, kita tidak akan membuka suratnya, lagian palingan isinya hanya kata-kata cinta omong kosong." Veronica mencoba menenangkan Irina.

Irina kemudian menjadi tenang, lagi-lagi dia melamun. Veronica kembali menikmati es krim di hadapannya dengan wajah riang. Begitupun Irina, melihat Veronica begitu menikmati es krimnya, Irina pun kembali melahap es krim miliknya yang sudah tinggal sedikit.

Tiba-Tiba, gawai milik Veronica berdering. Veronica menatap layar hapenya dan ketika melihat nama yang tertera di sana, Ia segera mengangkat hapenya dengan malas.

"Halo, ada apa?"

"Heh, kamu dimana?! Kamu nggak ngabarin mama dan papa, nggak ngasih tahu aku juga, aku jadi disalahin nih..." suara laki-laki terdengar geram namun tetap penuh perhatian dari gawai Veronica.

"Ah, Iyaaa! Astagaaa... Maaf kakak, aku lupa ngabarin," Veronica menepuk jidatnya atas kelalaiannya.

"Ya sudah, kamu dimana sekarang? Biar aku kesana."

"Tapi kak, aku lagi sama Irina. Tadi kami jalan kaki kesini, kami cuma di dekat sekolah kok, di kafe kecil samping toko buku di ujung jalan dari area sekolah," Veronica mencoba menjelaskan dengan tergesa-gesa.

"Ya sudah, tunggu disitu. Aku kesana bawa mobil. Nanti sekalian antarin Irina pulang ke rumahnya."

Tuuut... Telepon terputus.

Veronica cengar-cengir menatap wajah Irina yang menunggu penjelasan mengenai obrolan di telpon barusan.

"Hehehe, saking terlalu fokus memikirkan bagaimana biar kamu nggak dilarang sama Adrian, aku malah lupa ngabarin kakakku sendiri." Veronica menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya ampun, Vero! Jadi sekarang bagaimana?" Irina panik.

"Kata kakak, kita tunggu saja disini. Sebentar lagi kakak akan menjemput kita, palingan hanya butuh waktu 5-10 menit." jawab Veronica dengan entengnya.

***

Sekitar 10 menit kemudian...

"TAKK!!"

Sebuah jitakan kecil mendarat di kepala Veronica.

"Aduuuh, kakak...! Sakit!!!"

Veronica mengusap-usap kepalanya yang sedikit sakit karena jitakan tadi.

"Biarin, kamu pantas dapat hukuman. Ngerepotin aja kamu itu, udah asik-asik santai di rumah, terpaksa harus keluar lagi demi nyariin kamu. Males banget tahu!"

Irina tertawa kecil sambil menutup mulutnya karena merasa lucu dengan tingkah kakak beradik di hadapannya.

"Kak Revano, apa kabar?" Irina menyapa kakak laki-laki dihadapannya dengan lembut.

"Oh, Irina. Hai... Apa kabar? Adikku bikin kamu sesat yaa? Jangan ditiru dia ini.." Revano menatap ke arah Veronica dengan tajam namun kembali tersenyum ramah kepada Irina.

"Woaaaa...! Muka sok malaikat kayak gitu buat apa Kak? Irina nggak mempan diramahin begitu." Veronica meledek Revano yang berubah kembali seperti harimau yang siap menerkam rusa kecil dihadapannya.

"DIAM KAMU!!!" gertak Revano di telinga Veronica.

Veronica adalah sosok gadis cantik yang terlihat dewasa. Veronica sendiri merupakan salah satu kandidat murid perempuan idola di sekolah. Tampilannya begitu elegan seperti seorang puteri raja. Hanya Irina yang bisa melihat sisi kekanak-kanakan Veronica seperti saat ini terutama ketika dia sedang bersama dengan kakaknya, Revano. Mereka berdua benar-benar mencapai sibling-goals. Lagi-lagi Irina tertawa kecil cekikikan memperhatikan tingkah laku mereka berdua.

Tidak ada yang menyangka bahwa mereka berdua bisa sekocak ini. Lagipula mereka berdua ini sangat kompak menjaga image di sekolah. Ketika mereka berdua sedang bersama di sekolah, mereka terlihat bagaikan dua orang bangsawan elit.

Revano Flores, bukan seorang laki-laki yang bisa diremehkan. Mungkin dia tidak lebih unggul dari Adrian Domino, tapi tetap saja dia termasuk seseorang yang menarik, sosoknya sangat tampan dan hangat. Dijuluki sebagai Pangeran Charming, seringkali membuat hati kelinci-kelinci kecil alias adik-adik kelas di sekolah menjadi terpesona dengan sikapnya yang seperti malaikat turun dari langit. Sosok penuh kehangatan yang dimiliki oleh Revano sangat cocok disandingkan dengan sosok Adrian yang dingin. Sebagai sahabat baik, mereka berdua sering terlihat bersama di sekolah. Yaa, Revano ini selain kakak dari Veronica, juga merupakan sahabat baik dari Adrian, kakaknya Irina.

Tiba-tiba Irina teringat sosok Adrian. Laki-laki dingin yang merupakan kakaknya itu entah mengapa seringkali membuatnya merasa asing. Irina begitu merindukan sosok Adrian yang penuh kehangatan seperti dulu ketika mereka berdua masih kecil.

"Seandainya..."

"Seandainya bisa seperti mereka..."

Irina menatap dengan penuh harap atas pemandangan kakak beradik di depan matanya. Irina begitu iri dengan aura kehangatan yang muncul ketika Veronica dan Revano sedang asik bersama, meskipun kebersamaan itu seringkali dibumbui pertengkaran kecil. Lamunannya seketika terhenti karena Revano segera mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil.

Mobilpun melesat, meninggalkan kafe kecil yang menjadi saksi kebersamaan sore mereka hari ini.

***

Di dalam mobil...

"Aaah... Enaknya habis makan es krim..." Veronica yang duduk di kursi depan samping kemudi, merebahkan tubuhnya di sandaran kursi sambil mengelus perutnya yang merasa kekenyangan.

"Ya ampuuun, seandainya anak-anak di sekolah tahu betapa jeleknya dirimu saat ini..." Ledek Revano sambil tetap menyetir dan melirik penuh meledek kepada Veronica.

"Aaah... Kakak ini..." Veronica melayangkan tinjunya ke bahu milik Revano.

"Aduh... Aduh... Aku lagi nyetir niih, kamu mau aku antar ke surga kaah?" Ledek Revano lagi sambil masih fokus menyetir dan sedikit meringis kesakitan.

Irina yang duduk di kursi belakang lagi-lagi cekikikan melihat kelakuan Veronica dan Revano. Mereka berdua memang selalu kocak jika sedang bersama.

"Irina, kamu daritadi diam aja lho? Kenapa?" Revano tiba-tiba menyadari bahwa Irina sedari tadi hanya diam saja setelah mendengar suara cekikikan Irina.

"Nggak ada apa-apa kok kak, aku hanya..." Irina merasa ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Aaah, kakak ini kayak nggak tahu aja. Palingan dia mikirin Adrian. Kak Adrian itu kenapa sih? Seingatku sejak usia remaja berubah drastis sama Irina?" Veronica bertanya penuh selidik kepada Revano.

"Kakak kan teman dekatnya, masa Kak Adrian nggak pernah cerita apa-apa sih?" sambungnya lagi masih bertanya dengan penuh selidik.

"Heh... Anak laki-laki itu nggak sama kayak anak perempuan, apa aja diceritain sama teman, jerawat kecil muncul aja heboh laporan sama orang lain. Yaa kayak kelakuanmu itu..." lagi-lagi Revano meledek Veronica.

"Biarin... Week..!" Veronica menjulurkan lidahnya, meledek Revano.

"Jangan-jangan Kak Adrian itu punya pacar yang sangat disayangi sampai-sampai lupa sama adiknya sendiri." Veronica mulai membuat argumen asal-asalan.

"HAHAHAHAHAAAA..." Revano tak dapat menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan adiknya.

"Dengerin yaa, Adrian itu nggak pernah punya pacar. Meskipun banyak anak perempuan yang mau jadi pacarnya sampai saat ini dia nggak mau pacaran. Kalau informasi ini aku berani menjamin."

"Irina, kamu jangan berpikiran buruk terhadap Adrian. Adrian mungkin punya sosok yang dingin tapi sebenarnya dia tetap sayang dan penuh perhatian sama kamu. Kamu harus berhenti berfikiran yang tidak-tidak, belajarlah menerima sikapnya yang seperti itu." Revano bicara dengan serius sambil tetap fokus menyetir.

Irina terdiam, dia merasa apa yang dikatakan Revano memang benar. Irina seharusnya mulai melihat kakaknya dari sisi yang berbeda, bukan terus-terusan bersedih hati dengan sikap dinginnya. Selama ini dia berfikir mungkin suatu hari kakaknya akan kembali seperti dulu, bukankah akan lebih baik kalau dia berfikir untuk menerima saja dengan apa adanya atas sikap Adrian?

Revano benar-benar sudah mengatakan hal-hal yang menyadarkan Irina.

"Kak Revano, terimakasih yaa atas nasehatnya, aku merasa lega mendengarnya."

"Kakakku keren kan?" Veronica menoleh ke arah Irina dan mengangkat alisnya dengan penuh kebanggaan di hadapan Irina. Kali ini Irina hanya bisa speechless melihat kelakuan Veronica.

Tak berapa lama kemudian, Revano menghentikan mobil tepat di depan rumah Irina. Tak terasa mereka sudah sampai. Irina segera turun dan tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Veronica dan Revano karena sudah repot-repot mengantarkannya pulang.

***

Langit sudah hampir menunjukkan warna jingga, tak terasa waktu sudah menunjukkan tepat pukul 17.00 sore. Irina membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Dia tak menyangka, dirinya sudah terlambat 2 jam dari jadwal pulang sekolahnya.

"Irina, kamu sudah pulang?"

Nampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya. Wanita itu bernama Mariska Domino, Ibunya. Ibu menghampiri Irina dan memberikan tatapan yang lembut kepadanya.

"Bagaimana tadi bersama Veronica, asik nggak?" Ibu lagi-lagi memberikan senyum lembut kepada Irina dan mengajak Irina duduk di sofa ruang tengah.

"Ibu nggak marah?" Irina bertanya dengan sedikit takut. Ia merasa bersalah karena sudah pulang terlalu sore.

Ibu tersenyum lucu melihat tingkah laku Irina yang terlihat gugup, "Kenapa harus marah? Tadi sepulang sekolah, Adrian sudah memberitahu Ibu bahwa kamu pergi dengan Veronica, lagipula Adrian bilang tidak perlu khawatir dan barusan Ibu lihat Revano juga yang mengantarmu pulang. Kenapa Ibu harus khawatir?"

"Itu karena... Itu karena... " Irina merasa sungkan untuk menjelaskan.

"Kamu merasa bersalah? Kalau kamu merasa bersalah sama Adrian, mendingan kamu segera minta maaf aja," Irina terkejut, Ibu memang selalu paham dengan perasaannya tanpa harus dia berusaha keras mengutarakannya.

"Eng... Ibu... Irina naik dulu yaa..."

Irina memohon izin kepada ibunya untuk meninggalkan ruangan tengah.

***

Irina memasuki kamarnya, menghempaskan badannya di atas kasurnya. Teringat kata-kata ibunya sebelum dirinya naik ke atas menuju kamarnya.

"Irina, minta maaflah kepada Adrian. Percayalah meskinya sikapnya dingin, dia begitu menyayangimu."

"Tapi Ibu... Kenapa? Kenapa Kakak selalu bersikap dingin begitu kepadaku?"

"Mungkin masa puber membuatnya menjadi sosok yang kaku. Sudahlah sayang, itu hanya masa transisi. Intinya kakakmu itu sayang sama kamu." Ibu tersenyum manis meyakinkan Irina.

Meskipun Ibu bilang begitu, tetap saja Irina merasa sedih. Sedih yang tak bisa diungkapkan, dia merasa kehilangan sosok kakaknya yang begitu hangat di masa lalu.

Sikap dingin Adrian muncul sejak memasuki sekolah SMP, waktu itu setiap kali Irina bertanya kepada Adrian mengapa menjadi sosok yang dingin, Adrian hanya mengabaikannya. Jika dia bertanya kepada Ayah dan Ibunya, mereka hanya memberikan penjelasan ringan seperti masa transisi, masa puber, dan lainnya. Mereka menganggap perasaan Irina hanyalah sesuatu yang sepele, sedangkan di mata Irina sesungguhnya sikap Adrian benar-benar mengusik perasaannya. Irina jadi sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri,

Mungkinkah dia adik yang nakal atau mungkin begitu menyebalkan di mata kakaknya?

Mungkin Adrian merasa Irina malu-maluin, bila mengingat popularitas Adrian di sekolah, bukankah bisa saja Adrian merasa seperti itu?

Pada akhirnya Irina berhenti bertanya dan mulai terbiasa dengan sikap dingin Adrian. Adakalanya Irina bahkan lupa bahwa Adrian pernah bersikap begitu hangat kepadanya di masa lalu, senyuman yang begitu hangat, uluran tangan yang begitu penuh kasih sayang, semua itu pernah dia dapatkan dari Adrian sebelum Adrian beranjak remaja dan duduk dibangku SMP.

Dan sekarang, mengingat Adrian sudah menjadi murid kelas 12 tingkat SMA, terhitung sudah 6 tahun lamanya Adrian menjadi sosok kakak yang dingin kepadanya tanpa alasan yang benar-benar bisa dimengerti oleh Irina.

"Kakak, apa kamu membenciku?"

Irina menutup matanya dengan kedua tangannya.

Dari sudut matanya nampak bulir air mata mulai berjatuhan.

Yaa, dia menangis.

***

"Dokk... Dokk... Dok..."

Suara ketukan dari luar pintu kamar Irina menyadarkan Irina.

Irina segera bangkit dari tenpat tidurnya dan tak lupa menghapus air mata yang sempat membasahi pipinya.

"Krieett..."

Pintu terbuka dengan sendirinya, sosok laki-laki yang baru saja membuat Irina menangis muncul berdiri mematung di depan kamarnya.

"Irina... Ibu memintaku memanggilmu untun makan. Barangkali kamu lapar." Adrian mengucapkan kalimatnya dengan wajah datar.

Irina teringat bahwa dia harus minta maaf kepada kakaknya, dengan tergesa-gesa Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiri Adrian.

"Kakak...." Irina menunduk malu tak berani melanjutkan kalimatnya.

"Ada apa?" Lagi-lagi Adrian hanya memasang wajah datar.

"Itu... Aku... Aku... Eng...Maaf, maaf karena tadi aku minta izin secara sepihak dan langsung pergi dengan Veronica."

Adrian diam sejenak lalu menghela nafas panjang.

"Sudahlah, nggak perlu dipermasalahkan."

Adrian masih memasang wajah datar dan berlalu dari hadapan Irina. Pergi masuk ke dalam kamarnya sendiri tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Irina meraih tas nya, teringat surat cinta hari ini yang harus dia berikan kepada Adrian. Digenggamnya surat cinta dari Senna Zain, Ia bermaksud untuk segera memberikannya.

***

BERSAMBUNG...!

Sweet Covenant - 3. Perdebatan

Irina berdiri tepat di depan pintu kamar Adrian. Padahal tadi dia sudah dengan tergesa-gesa mengambil surat cinta dari Senna Zain di dalam tas-nya namun ternyata Adrian telah lebih dulu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.

"Hufffh~" Irina menghela nafas dengan berat. Setiap hari memberi surat cinta kepada Adrian adalah sebuah malapetaka. Sikap dinginnya benar-benar merendahkan Irina.

"Tokk.. Tokk.. Tokk.." Irina mengetuk pintu kamar Adrian dengan perlahan. Perlu mengambil beberapa saat untuk Irina mendapati Adrian membukakan pintu untuknya.

"Ada apa?" tanya Adrian datar sambil membuang muka.

"Ini... Aku... Mau... Eng... Mau... Aku mau ngasih surat dari Kak Senna," Irina dengan gugup menyampaikan maksudnya. Irina tidak habis pikir, kenapa malah seolah-olah rasanya seperti dirinya sendiri yang mau memberi surat cinta. Sialan! Irina mengutuk dirinya sendiri di dalam hatinya.

Adrian tak mengatakan sepatah katapun. Irina bisa menangkap pandangan mata Adrian yang menatapnya dengan tajam dan saat ini Adrian mengangkat sebelah alis matanya. Irina sudah tahu mimik wajah Adrian yang seperti ini, ini adalah saat dimana Adrian akan mulai berkata-kata tajam kepadanya.

Adrian menyilangkan tangannya di dada lalu mulailah kata-kata tajam dilontarkannya.

"Kamu itu nggak capek yaa? Baik banget mau menjadi pengantar surat buat mereka,"

"Memangnya kamu dibayar berapa? Uang sakumu nggak cukup kaah sampai kamu harus punya kerjaan sampingan seperti ini?"

"Harus berapa kali sih aku perlihatkan ke kamu kalau aku nggak kepengen baca surat-surat mereka,"

"Lebih baik langsung saja kamu buang, nggak usah bela-belain ngasih semua surat-surat itu ke aku."

Adrian benar-benar mengucapkan semua kata-katanya tanpa menggunakan perasaan. Mimik wajahnya begitu dingin dan datar seolah dirinya adalah orang suci tak berdosa. Semua ucapannya bagaikan petir Dewa Zeus yang menyambar langsung ke tubuh lemah Irina. Irina bahkan bagaikan sedang berhalusinasi bahwa jantungnya sudah diambil dan diremas oleh Adrian hingga berubah menjadi butiran debu yang lenyap dan terbang tertiup angin. Adrian bahkan seperti tidak peduli dengan reaksi Irina yang hanya diam mematung dan kesal.

Irina kemudian tak mampu menahan dirinya lagi untuk membalas semua kata-kata dingin tak berperasaan yang dilayangkan oleh Adrian. Meskipun pada akhirnya dia melontarkan semua kekesalannya, Ia masih mampu menahan dirinya untuk tidak meledak-ledak dalam menuangkan emosinya. Ia hanya berusaha mengucapkan beberapa kalimat yang mewakili perasaannya dengan sedikit memperlihatkan kegeramannya.

"Kakak... Kalau memang tidak ingin surat dari mereka, bukankah lebih baik kakak sendiri yang buat pengumuman di sekolah?"

"Kakak pikir aku suka yaa direpotin untuk dititipin surat kayak begini?"

"Kakak kira aku suka yaa mendatangi kakak hanya untuk semua surat-surat menyebalkan itu dan menerima perlakuan kakak yang kayak begini?"

"Kakak kira, aku ini nggak punya hati yang bisa terluka karena kata-kata tajam kakak, yaa?"

"Asal kakak tahu, yaa? Ini surat terakhir yang aku berikan untuk kakak. Dan perlu kakak tahu, kalau bukan karena diancam jika surat ini nggak sampai ke tangan kakak, mungkin daritadi sudah kubuang!"

"KAKAK JAHAT!!!" Irina mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan sedikit keras. Matanya pun mulai berkaca-kaca, namun Ia berusaha agar tak menangis, berharap air matanya masih sanggup terbendung di sudut matanya.

Adrian terdiam. Raut wajahnya mulai menunjukkan rasa bersalah. Adrian selama ini tak pernah berpikir dari sisi perasaan Irina. Adrian mulai menyadari betapa kejam dan jahat sikapnya selama ini kepada Irina. Bahkan meskipun memang dirinya sendiri yang memutuskan untuk bersikap dingin kepada Irina, namun selama ini Adrian tak menyangka bahwa dirinya bukan hanya bersikap dingin melainkan sudah menjadi sosok yang kejam di mata Irina. Adrian merasa bersalah.

"Irina, bukan begini sebenarnya yang kuinginkan," batin Adrian.

"Tidah boleh! Aku harus kuat! Ini semua demi kebaikan Irina." Adrian menyadarkan dirinya dari perasaan emosi yang menyelimutinya, perasaan ingin menghangatkan hati perempuan di depan matanya.

Yaa, Adrian sebenarnya merasa sakit melihat Irina bersedih seperti yang sekarang disaksikannya ini. Tapi, Adrian tetap ingin bertahan. Adrian merasa harus kuat, sedikit lagi, sedikit lagi untuk hubungan yang lebih baik kedepannya. Setidaknya itulah hal yang bisa dipikirkan Adrian demi kebaikan Irina.

Adrian mengabaikan raut wajah Irina yang menyedihkan. Pandangan tajamnya kini beralih fokus ke surat cinta yang berada di genggaman tangan Irina.

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Adrian segera meraih surat tersebut dengan kasar, merobek dengan penuh emosi di depan mata Irina, bahkan membuang serpihannya di depan wajah Irina.

Irina tentu saja sangat terkejut hingga terkesiap!

"Apa yang kakak lakukan?"

"Kakak, itu surat dari Senna Zain, murid perempuan tercantik di sekolah,"

"Kakak bodoh yaa?"

Entah datang darimana ide untuk mengucapkan semua kata-kata itu. Padahal sebenarnya Irina juga tidak suka dengan Senna Zain, tapi entah apa yang membuatnya mengatakan semua itu. Semua kata yang diucapkannya terasa seperti dirinya sedang mempromosikan Senna Zain untuk kakaknya.

Adrian semakin muak setelah mendengar semua kata-kata Irina. Adrian tidak suka mendengarnya. Adrian bersiap untuk menutup pintu kamarnya kembali. Namun sebelum Ia menutup pintu kamarnya, Adrian mengucapkan sepatah dua kata penutup untum Irina.

"AKU TIDAK BERMINAT PACARAN DENGAN SIAPAPUN!"

"BLAMM!"

Tanpa permisi Adrian langsung menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Irina yang masih terdiam mematung di depan pintu kamarnya. Irina menghela nafas berat dan mengusap-usap wajahnya dengan kesal, tak lupa dia menghapus air mata yang masih duduk manis di sudut matanya.

Irina pun berlalu dari depan pintu kamar Adrian lalu segera turun ke lantai bawah dan mencari sosok Ibunya. Dia menemukan Ibunya sedang sibuk di dapur bersama Bi Anah, asisten rumah tangga mereka. Irina bermaksud untuk membantu menyiapkan makan malam di meja makan.

***

Hidangan untuk makan malam telah siap tersaji di meja makan. Irina seketika lupa dengan masalahnya barusan, saat ini yang dia rasakan hanyalah rasa lapar dan ingin sekali segera menikmati hidangan yang ada di depan matanya. Dengan tergesa-gesa Irina segera mengambil posisi untuk duduk di kursi makan yang ada di dekatnya. Belum ada beberapa detik dia menikmati kursinya, Ibunya menghampiri dan meminta tolong kepadanya.

"Irina, tolong panggilkan Ayahmu yaa, dia ada di ruang kerjanya."

Irina sedikit kesal karena harus menunda menikmati makan malamnya. Dia segera bangkit dari tempat duduknya, bermaksud untuk menuju ke ruang kerja untuk mengajak Ayahnya ikut makan bersama.

"Irina, jangan lupa ke lantai atas juga untuk memanggil Adrian." sambung Ibunya lagi dari arah dapur.

Irina sedikit enggan, namun dirinya tak kuasa untuk tidak mematuhi perintah Ibunya. Ia mulai menuju Ayahnya terlebih dulu di ruang kerja, kemudian setelah itu Ia akan ke lantai atas untuk memanggil kakaknya.

***

Irina membuka pintu ruang kerja milik Ayahnya. Ia mendapati Ayahnya masih duduk manis di depan meja kerjanya sambil sibuk menatap layar laptopnya. Sesekali Ayahnya mengetik beberapa kalimat yang entah untuk apa, intinya tentu saja berhubungan dengan pekerjaannya dalam mengurus perusahaan keluarga milik mereka.

Lelaki paruh baya yang adalah Ayahnya itu bernama Riffan Domino, seorang CEO dari perusahaan besar milik mereka yang masuk dalam daftar 3 besar perusahaan terbaik di Kota X. Sosoknya sangat tegas, rapi, dan berwibawa.

Sejenak Riffan Domino menghentikan aktivitasnya ketika melihat Irina telah berada di ruangannya. Senyum penuh kehangatan pun terlukis di wajahnya.

"Irina, kamu daritadi berdiri disitu? Maafkan Ayah yaa nak, Ayah tidak menyadarinya."

Ayahnya membenarkan letak kacamatanya dan bangkit dari tempat duduknya. Irina menghampiri Ayahnya dan mengintip sedikit pekerjaan Ayahnya.

"Waah, banyak sekali pekerjaan Ayah. Ibu memintaku untuk memanggil Ayah, makan malam sudah siap," ucap Irina menggandeng tangan Ayahnya.

"Ayah, lain kali Ayah jangan banyak bekerja seperti ini, Ayah jangan sampai kurang istirahat," lanjutnya lagi sambil mengajak Ayahnya menuju ruang makan.

"Aah iyaa, kamu benar Irina. Ayah memang sudah tua. Ayah sangat berharap banyak agar nantinya Adrian bisa menggantikan Ayah bila sudah waktunya,"

"Ayah jangan khawatir, Kak Adrian pasti akan jadi CEO yang hebat!" Irina mengesampingkan rasa kesalnya pada Adrian, mengucapkan kata-katanya dengan bangga di depan Ayahnya.

Irina bukan sedang berakting, memang Irina sangat mengakui bahwa kakaknya memang pantas untuk dibanggakan. Irina tidak hilang akal untuk menyadari kehebatan kakaknya meskipun Ia benar-benar kesal dengan sikap dingin Adrian.

"Ah iyaa.. Ayah, aku panggil kakak dulu yaa di kamarnya," Irina pamit untuk naik ke lantai atas rumahnya.

"Baiklah, Ayah akan menunggu kalian berdua di ruang makan. Kita makan sama-sama yaa,"

Irina tersenyum manis membalas senyuman penuh kehangatan yang diberikan oleh Ayahnya. Setelah Ayahnya berlalu dari pandangannya, Irina segera menuju ke kamar Adrian. Dari kejauhan, Irina menatap pintu kamar Adrian yang tertutup rapat. Rasanya Irina seperti sedang melihat pintu besar yang kokoh terbuat dari bongkahan es. Hawa dingin mulai menusuk di dalam imajinasinya.

"Ayolah Irina, lupakan perdebatan kalian. Kamu harus memanggilnya untuk makan malam," Irina mencoba menguatkan dirinya sendiri.

Irina mengetuk pintu kamar Adrian, tak ada jawaban. Irina menunggu beberapa saat dan mengulangi ketukan pintunya. Masih tetap tak ada jawaban. Pada akhirnya Irina memutuskan untuk mencoba membuka pintu kamar Adrian.

"Klak!" pintu terbuka.

"Eh? Rupanya pintunya tidak terkunci?" gumam Irina sedikit terkejut.

Irina masuk ke dalam kamar Adrian, dirinya mendapati Adrian sedang terbaring pulas di tempat tidurnya. Di dalam imajinasinya, sosok Adrian begitu bersinar dan menyilaukan. Dia seperti sosok pangeran suci yang sedang terbaring di singgasananya.

"Astagaaa, bagaimana bisa perempuan tidak terpesona olehnya? Kak Adrian memang tampan seperti ini," gumam Irina.

"Siapa dulu, kakakku gitu lhoo.." Irina menyeringai bangga akan keberuntungannya memiliki kakak setampan Adrian.

Tiba-tiba Adrian membuka sebelah matanya, setelah Ia yakin mendapati sosok Irina telah berdiri disamping sisi tepi tempat tidurnya, Adrian perlahan bangkit dari tidurnya sambil mengucek kedua matanya.

"Ngapain kamu disini?" ucap Adrian dengan nada dingin.

"Sudah waktunya makan malam," ucap Irina tak kalah dingin dan segera pergi dari kamar Adrian.

Irina tak menunggu Adrian untuk turun. Ia segera bergegas menuju ruang makan dengan kesal. Tanpa sepatah katapun Irina langsung duduk di kursinya dan mulai mengambil makanan. Ayah dan Ibunya yang telah sedari tadi menunggu dan telah siap duduk di kursi mereka masing-masing saling menatap heran dengan sikap Irina.

"Ada apa, kok kelihatannya lagi kesal?" tanya Ibunya sambil memandang Irina dengan saksama.

"Kok, Adrian nggak turun sama kamu?" Ayahnya ikut melontarkan pertanyaan.

Irina menghela nafas panjang. Irina malas sekali untuk menjelaskan perdebatan yang baru saja terjadi antara dirinya dan Adrian. Lagipula paling-paling kedua orangtuanya hanya akan menanggapi dengan sepele dan menganggap Irina perlu memaklumi sikap Adrian.

Irina benar-benar malas untuk angkat bicara, saat ini yang ingin dia lakukan hanyalah segera menikmati hidangan di depan matanya. Ia begitu kelaparan karena belum makan daritadi sore dan energinya telah banyak terkuras untuk menahan emosi terhadap kakaknya sendiri, Adrian Domino si Manusia Berhati Dingin.

Tak lama kemudian, sebelum Irina harus mencari ide untuk memberikan penjelasan yang tak akan diperpanjang oleh Ayah dan Ibunya, sosok Adrian muncul dan segera mengambil posisi duduk di kursi sebelah Irina.

"Ayah, Ibu, maaf tadi aku ketiduran," ucap Adrian dengan sangat santun.

"Woaaa, hebat! Bisa gitu yaa?! Benar-benar beda sikapnya!" batin Irina.

Irina berpura-pura tidak peduli dengan kehadiran Adrian dan mencoba fokus menikmati makanan yang ada di hadapannya.

Begitupun Adrian segera menikmati makanannya setelah memberikan senyuman manis kepada Ayah dan Ibunya.

Tinggallah kedua orangtua mereka yang saling beradu tatapan mempertanyakan keadaan canggung yang terjadi dihadapan mereka. Meskipun Irina dan Adrian berusaha menutupi keadaan, Ayah dan Ibunya sudah memahami tingkah laku mereka dan sadar ada yang salah. Namun mereka memilih untuk mengabaikan dan tak membahas ataupun meminta klarifikasi dari kedua mulut anak mereka.

"Baiklaaah, Ibu juga mau makan... Sayang, apa mau kuambilkan nasinya?" ucap Marinka kepada suaminya. Marinka berusaha mencairkan suasana dan memberi kode kepada Riffan untuk lebih baik menikmati makanan saja.

"Hmm... Aku rasa aku harus mulai bicara kembali dengan Adrian. Banyak hal yang harus disampaikan," ucap Riffan dalam hatinya sambil fokus menikmati makanan yang sudah diambilkan oleh istrinya tesayang, Marinka.

"Adrian... Setelah makan malam, bisakah kamu ikut Ayah ke ruang kerja?" Riffan memandang Adrian dengan lembut

"Baiklah, Ayah. Setelah ini aku akan ikut pergi ke ruang kerja Ayah," ucap Adrian masih dengan sangat santun.

"Bagus, ada beberapa hal yang ingin Ayah bicarakan denganmu mengenai rencana masa depanmu."

Adrian terdiam. Ia tahu bahwa Ayahnya sedang memberikan kode untuk siap mendengarkan pembicaraan serius. Pembicaraan yang sangat serius hingga mempertaruhkan nasibnya beberapa tahun ke depan.

"Baiklah, Ayah." ucap Adrian singkat lalu kembali fokus melanjutkan makan malamnya.

"Eng? Ada apa yaa?" Irina membatin menyaksikan percakapan singkat antara Ayah dan Adrian.

"Apa mungkin Ayah tahu yaa kalau tadi dia dan kakaknya berdebat sengit di kamar?"

"Atau ada hal lainnya?"

Irina berpikir keras. Irina penasaran ada hal apa yang mau dibicarakan Ayah dengan kakaknya sampai-sampai harus dilakukan secara empat mata di ruang kerja miliknya.

Bukankah bisa saja dibicarakan saat ini?

Kenapa harus menghindar dari Irina dan Ibunya?

"Ayah, kenapa kalian harus bicara berdua saja? Memangnya ada apa?" Irina tak sadar melontarkan pertanyaannya yang dipicu oleh rasa penasaran yang begitu besar dalam dirinya.

"Dasar kepo!" celetuk Adrian pelan namun masih bisa terdengar oleh Irina dan sukses membuat Irina melayangkan pandangan sadis kepada Adrian yang tetap terlihat tenang menikmati makanannya dengan penuh wibawa.

"Irina, sebenarnya Ayah ingin membicarakan mengenai kelanjutan pendidikan Adrian setelah lulus SMA. Selain itu Ayah ingin menunjukkan beberapa hal penting yang perlu dipahami oleh Adrian mengenai berkas perusahaan. Apa Irina mau ikut bergabung di ruang kerja Ayah?" Ayah tersenyum manis menatap Irina.

"Eh... Tidak... Tidak... Tidak... Hehehe..." Irina menolak dengan cengengesan. Ia mengusap tengkuk lehernya yang tidak pegal, hanya salah tingkah mendengar jawaban Ayahnya.

***

.

.

.

BERSAMBUNG...!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!