NovelToon NovelToon

Ayah Darurat Untuk Janinku

01. Masuk Kandang Buaya

...“You are entering a wrong place.” — Anonim...

Di sebuah diskotik yang bernama Black Moon, Lea terlihat asyik berjoget di atas lantai dansa. Gadis primadona sekolah itu tak sendiri ke sana. Hampir semua teman seangkatannya ikut berdansa di bawah kerlap kerlipnya lampu disko.

Lea dan semua temannya menikmati hari terakhir kebersamaan mereka sebagai murid SMA. Usai menenggak alkohol, tubuh mereka terasa ringan saat bergerak mengikuti alunan musik EDM.

“Put your hands up!”

“Put your hands up!”

“Put ... put your hands up!”

Usai meneriakkan semua tamu untuk mengangkat tangan, pria yang di sebut DJ itu, langsung mempersembahkan musik bass, diiringi teriakan gembira semua orang yang ada di sana.

Malam itu, Lea mengenakan dress hitam mini yang membentuk tubuh, membuat semua mata tertuju padanya. Apalagi tubuhnya yang langsing itu memiliki lekukan dan ukuran yang indah dibagian-bagian yang menjadi sorotan mata pria.

Bibir merah dengan polesan makeup tebal, memberikan kesan bahwa gadis 18 tahun ini sudah dewasa. Rambut hitam panjang itu bergerak mengikuti gerak tubuhnya.

“Lea!” teriak Dimas dengan tubuh sempoyongan. “Ayo pulang!”

Laki-laki gemulai itu mendekatkan bibirnya ke telinga Lea. “Ntar gue dimarahin emak lu!”

“Ntar dulu! Baru juga mulai!” balas Lea sekuat tenaga, mencoba mengalahkan suara musik yang memekakkan telinga.

“Yaudah, gue tunggu di mobil ya.”

Dimas langsung berjalan keluar dari diskotik dan menuju parkiran. Kemudian, ia masuk dan duduk di kursi kemudi, membuka sedikit jendela agar ada celah udara masuk, lalu ia mengunci mobilnya. Laki-laki berkulit kuning langsat itu menurunkan kursi dan terlelap dengan sangat nyenyak.

Sementara Lea, gadis itu masih keasyikan berdansa. Para pria hidung belang yang tak dikenal, banyak yang mendekat dan mencoba mendempetkan tubuh mereka ke tubuh Lea.

Belum sempat tangan seorang pria itu mencoba meraba tubuhnya, Lea mendadak mual. Ia pun bergegas berlari keluar dari lantai dansa.

“Lea!” teriak Tari, sahabatnya yang sejak tadi sibuk berdansa dengan pria yang baru ia kenal malam itu. “Lo mau ke mana?”

Lea yang sudah terlanjur mual, ia hanya melambaikan tangannya. Kemudian bergegas berlari ke toilet dan melepaskan muntahnya di tempat cuci tangan.

Tak lama kemudian, ia pun keluar dari toilet dan menuju meja yang sempat mereka reservasi bersama. Lea mengambil tasnya, dan berjalan ke arah Tari yang masih sibuk berdansa.

“Gue sama Dimas tungguin lo di mobil ya.”

Lalu, Lea menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil Rubicon berwarna putih. Ia masuk ke kursi penumpang, dan merebahkan tubuhnya di kursi itu dengan posisi terlentang dan kaki sedikit ia tekukkan karena sempit.

“Loh, Dim?” gumam Lea yang sudah tak sadar dengan mata tertutup. “Sejak kapan paha lo berotot gini?”

Tangan mungil Lea meraba-raba paha yang menjadi bantalnya saat itu.

“Kok lu wangi banget?” Lea mencoba menghirup aroma maskulin yang mengusik hidungnya. Aroma yang sangat wangi dan cukup menggoda. “Biasanya lu bau ketek.”

Lea terkekeh pelan.

Beberapa detik kemudian, gadis itu pun tak bisa menahan rasa penasarannya. Ia bangkit dari posisi tidurnya, kemudian duduk di atas paha pria itu sambil berhadapan.

Gadis bermata amber itu mencoba membuka lebar matanya, lalu ia menatap pria yang ada di depannya saat ini. Cukup sulit ia fokus pada pandangannya saat itu efek konsumsi alkohol, lagi-lagi ia sibuk berbicara meski lawannya tak membalas ucapannya.

“Ini bukan Dimas!” Lea mencengkeram rahang tegas pria itu. “Pantes aja beda.”

Sesaat usai Lea mendapati bahwa pria itu bukan Dimas, pria di hadapannya itu langsung menyambar bibir merekah gadis itu. Ia melumat habis bibir itu tanpa ampun.

Pria itu melepaskan pagutan bibir mereka sesaat dan berbisik, “you are entering a wrong place.”

Usai mengejek Lea yang telah salah masuk, pria itu kembali melanjutkan aksinya.

Skill yang pria itu miliki tak perlu diragukan lagi. Tak hanya bibir, tangan pria itu menjalar ke setiap inci dari kulit mulus Lea. Bahkan sampai ke area terlarang gadis itu.

Lea dibuat kehabisan nafas dengan mata yang terbuka dan terpejam silih berganti. Tangannya menjambak dengan erat rambut pria itu saat ada sensasi-sensasi nikmat yang pertama kali ia rasakan.

Di dalam mobil mewah yang dingin dan gelap itu, terlihat embun yang mulai muncul di kaca jendela mobil. Dan … tak membutuhkan waktu yang lama, mobil itu terus bergoyang, mengikuti ritme kedua orang yang sedang bercinta dengan panas di dalamnya.

Keesokan paginya, Lea terbangun dari tidurnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan memperhatikan sekeliling.

“Oh … cuman mimpi,” kekeh Lea sambil memegang kepalanya yang pengar. Ia merasa tenang karena saat ini ia sudah berada di kamarnya. Kemudian ia duduk dari tidurnya.

“Aw!” pekik Lea saat merasakan nyeri dipunggungnya.

“Enak clubbing-nya?” tanya Renata yang entah sejak kapan duduk di sofa yang ada di kamar putrinya. Wanita paruh baya itu terlihat bersandar di sofa dengan kedua tangan yang melipat ke dada dan berlipat kaki.

“Kenapa bohong sama Mama dan Papa?” Johan yang sejak tadi menahan diri di samping Renata, kini ia langsung ke pertanyaan inti. “Kamu bilang sebatas perpisahan sekolah di hotel, tapi kenapa malah ke disk—”

“Hotel Black Moon, Pa,” potong Lea.

“Itu Hotel dan Club, Lea!” sergah Johan sambil berdiri dari duduknya. “Kamu itu perempuan!”

“Berapa kali Papa bilang? Perempuan itu paling gampang rusaknya!”

“Pa, aku nggak ngapa-ngapain. Aku cuman dansa sama teman-teman—”

“Dansa? Hm?” potong Renata menatap tajam ke arah Lea. “Kamu nggak minum alkohol?”

Lea tertunduk kalah. “Mi-minum, Ma.”

“Sekarang Papa tanya. Pagi ini, kenapa kamu bisa ada di rumah? Siapa yang nganterin kamu?”

Lea terdiam. Ia sedikit memiringkan kepalanya, mencoba mengingat kembali kejadian malam tadi. Awalnya mereka berkumpul di restoran Hotel Black Moon, untuk merayakan perpisahan mereka sambil makan-makan dan bercanda tawa. Tiba-tiba Dimas nyeletuk ….

“Kita ‘kan udah dewasa. Sesekali nyobain clubbing … boleh ‘kan ya?”

“Gue setuju!”

Kembali teringat pembicaraan mereka sebelum ke club. Lalu, setibanya di club, awalnya mereka sekedar menikmati musik ngebas dan memekakkan telinga. Lama-lama … mereka menjadi enjoy, happy dan penasaran mencoba alkohol. Kemudian mereka pun mereservasi meja dengan harga yang fantastis hanya untuk bersenang-senang. Setelah itu, Lea menenggak alkohol dan berdansa.

Dan akhirnya … Lea tidak ingat kejadian apalagi yang ia lalui malam itu.

...🌸...

...🌸...

...🌸...

...Bersambung .......

02. Hamil?

...“Pertama kali berhubungan badan … nggak mungkin langsung hamil, ‘kan?” — Eleanore Lunette...

“Demi Tuhan, Le, bukan gue yang anterin lo pulang ke rumah.”

Lea dengan posisi tengkurapnya di atas kasur dengan kedua kaki terangkat, ia merebahkan dagunya di atas boneka yang ia peluk. Matanya menatap bingung ke arah layar ponsel yang menampilkan panggilan video dengan Dimas dan Tari.

“Tadi pagi, waktu gue dan Dimas bangun, kita berdua masih di parkiran dan ketiduran dalam mobil.”

“Terus siapa yang nganterin gue pulang?” kekeh Lea sambil menghela nafas berat. Bibirnya mencebik manja karena kesal.

“Gue jadi takut main ke rumah lo,” celetuk Dimas dengan bibir yang mengkerut ke bawah. “Emak sama bapak lo ‘kan kalo udah marah, serem.”

“Iya!” sahut Tari antusias. “Gue jadi inget waktu dulu kita staycation bertiga di hotel, masak kita dituduh kumpul kebo?!”

“Bentar deh,” sela Lea tiba-tiba. Gadis itu memiringkan kepalanya dengan alis yang mengkerut. “Pas gue bangun, pinggang gue sakit banget. Dan … itu gue kayak perih—”

“Lea!” pekik Dimas dan Tari bersamaan.

“Apa sih?! Ntar kedengaran sama emak bapak gue!”

“Elah, tinggal kecilin volume hape aja kenapa sih!” geram Dimas kesal.

“Lo … bener-bener nggak ingat sama sekali? Malam tadi lo abis ngapain?” desak Tari agar Lea mencoba mengingat lagi apa yang terjadi malam tadi.

“Lo nggak di-per-ko-sa … ‘kan?” tanya Dimas pelan seperti mengeja.

Lea terdiam. Bibirnya mendadak kelu dengan kerongkongan tercekat. Kepalanya mendadak migrain karena dipaksa berfikir tentang kejadian malam tadi. Namun sayang, tak ada satu pun petunjuk yang keluar.

“Gue matiin dulu ya! Bye!”

Lea bergegas mematikan ponselnya, kemudian ia berlari ke dalam kamar mandi. Lalu, ia memeriksa organ kewanitaannya. Apakah masih tersegel atau segelnya sudah dibobol?

Betapa terkejutnya gadis muda itu. Sesuatu yang selama ini ia jaga, bahkan belum pernah pacaran hingga saat ini karena memiliki ‘strict parents’, hal berharga itu ternodai sia-sia. Bahkan … ia tak tahu pria mana yang menodainya. Bagaimana kalau kedua orangtuanya sampai tahu?

Dari kejadian ini saja, ia sampai dihukum sehingga tak boleh keluar selama sebulan. Apalagi kalau sampai ketahuan ia sudah tidak gadis lagi? Mungkin ia bisa babak belur.

“Pertama kali berhubungan badan … nggak mungkin langsung hamil, ‘kan?”

Lea menggigit bibirnya. Menelan kenyataan medis yang tak dapat ia sepelekan. “Ah … nggak lah.”

“Tapi … kalau sampai hamil?”

“Nggak, nggak, nggak.”

Lea keluar dari kamar mandi. Kemudian ia berjalan bolak balik seperti setrikaan di depan ranjang besarnya. Bibirnya tak henti-hentinya bergetar sambil menggigit kuku.

Lea menarik nafas dalam, kemudian melepaskannya secara perlahan. Ia melakukannya sebanyak tiga kali.

“Tenang, Lea. Semua akan baik-baik saja.”

...🌸...

Sebulan kemudian.

Sebuah test pack terlepas dari genggaman tangan Lea. Sekujur tubuh gadis itu bergetar dengan hebat. Tanpa terasa airmata membasahi pipinya. Ia pun jatuh tersungkur di kamar mandinya, menatap nanar test pack yang bergaris dua itu.

“Anak … siapa?”

“Terus … masa depanku?”

“Kuliah? Kerja? Menikah dengan orang yang dicintai seperti di novel-novel?”

Lea tak lagi mampu menahan emosi yang bergejolak di dada. Ia melempar test pack yang ada di lantai. Kemudian ia bangkit dari duduknya, ia berjalan ke kamar dan melempar semua yang ada di kamar itu sembari berteriak histeris.

“Non? Non Lea?”

Terdengar suara cemas Yati yang merupakan asisten rumahtangga di keluarganya.

Tok! Tok! Tok!

“Non? Kenapa, Non?”

Tok! Tok! Tok!

“Buka pintunya, Non? Bibi nggak bisa masuk.”

Lea bergegas ke kamar mandi, kemudian ia mengambil test pack tadi, dan menyembunyikannya ke dalam lemari pakaiannya.

Gadis dengan hidung mancung seperti Zhao Lusi itu takut sekali kalau sampai kedua orangtuanya tau tentang kehamilannya. Bisa-bisa ia dibuang dan tak dianggap anak.

Hancur sudah masa depan yang cerah karena cinta semalam. Dan cinta semalam itu tak tahu dengan siapa?

Lea berjalan mendekati pintu kamarnya. Kemudian ia duduk bersandar di daun pintu, dan memeluk tubuhnya sendiri dengan sangat erat.

Ada perasaan jijik dan geli saat mengingat lagi dengan siapa ia bersetubuh malam itu.

Apakah dengan pria tua? Suami orang? Preman?

Orangnya seperti apa?

“Mamaaaa!”

Lea berteriak histeris. Memikirkan diperkosa oleh pria yang tak dapat ia bayangkan saja sudah sangat menjijikkan. Apalagi dengan pria tua? Suami orang?

...🌸...

Sudah seminggu Lea berada di kamarnya seperti mayat hidup. Kedua orangtuanya kebingungan dengan sikap anaknya. Makan tak mau, keluar tak mau, bahkan berbicara pun anaknya tak mau.

“Lea?”

Tok! Tok! Tok!

Johan mengetuk pintu kamar anaknya. Pria paruh baya itu sangat khawatir dengan kondisi anaknya. “Besok kita ke rumah sakit ya?”

“Nggakkk!” teriak Lea dari dalam kamarnya.

Renata yang sedang berada di samping suaminya terlihat gelisah. Ia memegang lengan suaminya. “Mas, apa kita panggil Dimas dan Tari ke sini?”

“Siapa tau Lea mau kalo ada sahabat-sahabatnya?”

Johan pun mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan oleh istrinya.

Tak membutuhkan waktu yang lama, sejam kemudian Dimas dan Tari tiba di rumah.

“Permisi, Om, Tante,” sapa Dimas dan Tari dengan sopan dan takut-takut.

“Akhirnya.” Renata bernafas lega. “Bisa tolong bujuk Lea?”

“L-Lea … kenapa, Tan?” tanya Tari ragu.

“Udah seminggu dia di kamar. Nggak mau keluar, makan di kamar dan … sering teriak, bahkan sampai melempar barang.”

“Om sama Tante nggak boleh masuk.”

Melihat kekhawatiran kedua orangtua Lea, Tari dan Dimas pun mengiyakan permintaan kedua orangtua itu.

“Lea? Ini gue Dimas.”

“Iya. Gue juga dateng Le,” timpal Tari.

Ceklek!

Pintu kamar Lea terbuka.

Renata yang melihat pintu kamar anaknya terbuka, ia bergegas ingin masuk. Namun Johan menahan istrinya.

“Sabar, Sayang. Biarkan sahabatnya membuat dia tenang dulu,” bujuk Johan menenangkan istrinya.

...🌸...

...🌸...

...🌸...

...Bersambung .......

03. Dapet Istri + Anak

...“Nikahin temen aku ya? Lea namanya. Ntar Kakak dapet istri sekaligus anak.” — Tari Heidi...

“Gue hamil.”

“Whattt?!” Dimas tak mampu menutupi rasa terkejutnya.

“Aw!” pekik Dimas.

Tari mencubit paha Dimas sambil berbisik. “Diam lo! Ntar emak bapaknya denger.”

“Le.” Tari memposisikan tubuhnya menghadap Lea. Wajahnya terlihat serius.

Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Lea. Tapi ia menahan diri. Takut-takut pertanyaannya nanti membuat Lea semakin depresi.

“Siapa—”

“Dimas!” Tari menutup mulut Dimas menggunakan tangannya. “Lo bisa diem nggak sih?!”

Tari melotot ke arah Dimas. Pria gemulai itu menciut seperti anak anjing yang habis dimarahi oleh majikannya.

Cukup lama ketiganya terdiam dengan pikiran masing-masing. Mencerna keadaan dan mencoba mencari solusi. Hingga akhirnya Tari yang membuka pembicaraan.

“Jadi, apa rencana lo?”

“Gugurin?” Lea mengatakannya tanpa basa basi.

“Bahaya, Le!” Tari menatap tajam ke arah Lea dengan intonasi penuh penekanan, tapi dengan suara yang perlahan.

“Nggak mungkin anaknya lahir. Kan nggak punya bapak?” celetuk Dimas lagi.

“Ya terus lo mau kehilangan sahabat?”

Dimas menggelengkan kepalanya.

Tari menghela nafas beratnya seperti menumpahkan seluruh masalah di sana. Masalah yang dihadapi oleh sahabatnya itu, juga menjadi masalahnya. Karena, pada malam itu ia sudah berjanji dengan kedua orangtua Lea. Tapi … ia tidak bertanggungjawab.

Sampai-sampai Lea yang sudah di amanahkan padanya terpaksa menelan pil pahit memilukan ini.

“Lo harus nikah, Le.”

“Terus, lo lahirin tuh bayik.”

Lea dan Dimas menatap Tari yang tiba-tiba mengeluarkan ide itu. Atas dasar apa Tari bisa berfikir sampai ke sana? Dalam kondisi hamil dan ternodai seperti ini, pria mana yang mau menikahinya?

“Emangnya ada—”

“Ada!” Tari memotong pembicaraan Dimas.

“Duh, Dim. Mending lo pulang deh. Berisik amat dari tadi, ah!”

“Gue jamin seratus persen! Dia pasti mau nikah sama lo! Dan dia juga butuh anak lo!” jelas Tari antusias. “Gimana kalo lo ketemu dulu sama Om gue?”

“Anjir! Lo nyuruh sahabat lo nikah sama Om-Om?” celetuk Dimas sembari menoyor kepala Tari. “Mau lu kasih gue duit miliaran pun, ogah gue sama om-om!”

“Dim, gue tampol lu ya!” kesal Tari sambil menatap Dimas. Kemudian ia kembali melempar pandangannya ke arah Lea.

“Dia itu masih perjaka, Le. Pokoknya masih seger,” jelas Tari lagi.

“Nggak deh. Gue gugurin aj—”

“Ayok!” Entah sejak kapan Tari sudah bangkit dari duduknya. Ia menarik Lea yang kumal karena tak mandi dan tak mengurus diri. Kemudian ia mendorong sahabatnya ke kamar mandi. “Lo mandi dulu ya. Terus kita coba cari angin segar ke luar.”

“Tapi—”

“Udah, lo mandi dulu. Biar otak lu fresh.”

...🌸...

Sebuah mobil Mini Cooper kuning berhenti tepat di pekarangan rumah mewah. Lea, Tari dan Dimas, turun dari mobil tersebut.

“Lo mau ngejual Lea?” celetuk Dimas khawatir.

“Dih, gue malah berharap Lea jadi keluarga ipar gue.”

Lea mendadak bimbang. Sepertinya ia belum siap dengan yang namanya pernikahan. Apalagi dengan pria yang tak ia kenali. “Gue mau pulang.”

Tari yang sudah kepalang berharap menjadi ipar Lea, ia menarik tangan Lea dan menuntun gadis itu ke depan pintu utama rumah itu.

Rumah berwarna putih dengan nuansa arsitektur Belanda. Pintu yang kokoh dengan hiasan emas itu sepertinya setinggi 2 meter setengah.

Tari menekan tombol bel yang ada di samping pintu tersebut.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya membuka pintu. “Eh, Non Tari.”

“Bi, ada Om Luca, nggak?”

“Ada. Kayaknya lagi di taman belakang rumah.”

“Opa sama Oma juga di rumah nggak, Bi?”

“Buset, Tar. Kakek sama Nenek? Udah setua apa lah tuh Om lu?” bisik Dimas mencubit lengan Tari karena kesal.

“Oh. Tuan Alex dan Nyonya Katty lagi keluar kota, Non. Baru banget berangkat tadi pagi.”

“Yaudah, aku ke taman ya, Bi.” Tari menarik tangan Lea ke dalam rumah. Kemudian ia menuntun Lea ke taman belakang rumah dengan girang.

Sesekali gadis berambut ikal itu menatap sahabatnya yang sedang muram itu. “Lea, gue yakin lo pasti suka.”

Saat ketiga sahabat itu sudah berada di teras taman belakang rumah, Lea dan Dimas mematung membisu. Tak ada kata-kata yang bisa mereka ungkapkan. Apalagi Dimas?

“Tari … nggak usah kasih uang miliaran, lo kasih gratis pun gue mau sama Om lo, Tar.” Dimas terpesona menatap ketampanan sosok paman yang Tari jodohkan dengan sahabatnya. “Kok selama ini lo sembunyiin sih? Kenapa nggak bilang-bilang?”

Tari hanya bisa cengengesan bangga. Ia merasa puas saat Dimas yang sejak tadi berisik, kini ia buat bungkam dengan pesona pamannya tersebut.

Sedangkan Lea? Gadis itu mematung membisu karena berpikiran, bahwa pria itu tak mungkin mau menikahinya yang sudah ternodai.

“Om!” panggil Tari mengalihkan fokus Luca yang saat itu sedang sibuk berkutat dengan laptopnya.

Pria berkulit sawo matang namun sedikit cerah itu menatap ke arah suara itu berasal. Ia melepaskan kacamatanya dan meletakkannya ke atas meja. Mata elang yang tajam itu sedikit mengkerut saat sebuah senyuman terukir di bibirnya yang seksi.

“Tari? Ada apa, Dek?”

Tari bergegas menarik Lea dan menghampiri Liam.

“Om—”

“Om?” ulang Luca sambil menaikkan alisnya sebelah dan menatap tajam ke arah Tari. “Panggil Kakak.”

“Eh … iya, lupa.” Tari cengengesan. Karena ia sudah berjanji untuk memanggil Luca dengan sebutan Kakak kalau di depan orang lain.

“Jadi gini, Kak …,” Tari memulai ucapannya. Padahal ia masih berdiri dan belum duduk sama sekali.

“Duduk dulu,” ucap Luca yang sadar bahwa mereka masih berdiri. “Minum dulu dan tarik nafas dulu. Baru cerita.”

Dimas yang mendengar Luca menyuruh mereka duduk, laki-laki itu langsung duduk di kursi besi yang bersebelahan dengan Luca. Dengan gerak-geriknya yang kemayu dan malu-malu. Sesekali ia menggigit bibirnya karena gugup.

Tari yang menyadari hal itu, ia kembali mempelototi Dimas.

Tari akhirnya duduk bersampingan dengan Luca. Sedangkan Lea, ia duduk berhadapanan dengan Luca. Namun wajah gadis itu sejak tadi tertunduk atau mengalihkan pandangannya ke sekeliling.

“Anu, Kak—”

“Maaf, Non, Den. Ini Bibi bawain minum sama camilan.” Tiba-tiba Titi muncul dengan nampan yang penuh minuman dingin dan camilan.

Wanita paruh baya itu meletakkan makanan dan minuman di atas meja. Kemudian ia bergegas kembali ke dapur.

“Jadi, tadi mau ngomong apa?” tanya Luca sambil mengambil gelas yang berisikan jus jeruk, dan menyeruputnya perlahan.

Tari menunjuk ke arah Lea, namun dengan tubuhnya yang merapat mendekat ke arah Luca. “Kakak nikahin temen aku ya? Lea namanya. Ntar Kakak dapet istri sekaligus anak di hari pertama kalian menikah.”

“Udah paket complete.”

“Mana anaknya cantik.”

“Nggak rugi loh, Kak.”

Ohok! Ohok!

Ucapan Tari yang begitu lantang dan tanpa basa basi itu, membuat Luca tersedak dan tak mampu menahan ekspresi terkejutnya. Pria yang kini berusia 26 tahun itu terkejut dengan permintaan Tari, anak dari kakak kandungnya.

...🌸...

...🌸...

...🌸...

...Bersambung …....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!