Di sebuah aula megah berwarna merah darah, atmosfer tegang terasa begitu pekat. Enam sosok berdiri saling berhadapan, memancarkan aura yang menandakan kekuatan luar biasa. Di sudut ruangan, seorang pria tua dengan wajah lelah terduduk, tubuhnya terguncang oleh batuk yang tak kunjung reda.
Di hadapannya, seorang pemuda tampan berjubah hitam berdiri tegak. Mata pemuda itu penuh amarah, namun keteguhan terpancar jelas dari sorotannya. Di sisi lain aula, empat sosok berdiri dengan sikap arogan, dua pria berjubah emas dan putih, serta dua wanita berjubah hijau dan merah.
“Kau bajingan, Ji Duan! Mengapa kau masih saja melindungi tua bangka itu?” seru pria berjubah emas dengan nada mengejek. Mata tajamnya menyipit penuh kebencian.
“Kau yang bajingan, Kakak Kedua!” Ji Duan membalas dengan suara tegas. “Hanya demi kekuatan, kau tega meracuni guru kita sendiri!”
Pemuda berjubah emas itu tertawa dingin, nadanya penuh penghinaan. “Hahaha! Adikku yang bodoh... Jika saja guru bukan dari ras rendahan seperti manusia, mungkin ia masih punya harapan. Tapi sayang, ia hanya mampu mencapai Ranah Dewa Alam. Sedangkan kita, kita adalah makhluk yang ditakdirkan untuk menguasai tiga alam ini!”
Amarah Ji Duan memuncak, matanya berkilat tajam. “Kakak Kedua, kau benar-benar picik! Apa kau lupa bagaimana dulu kau memohon dengan lututmu untuk diterima sebagai muridnya?”
“Uhuk... uhuk...” Suara batuk pria tua itu memecah suasana. Ia menoleh lemah ke arah Ji Duan. “Sudah cukup, Ji Duan...”
“Guru!” Ji Duan segera berlutut di dekat pria tua itu, wajahnya penuh kekhawatiran. “Guru, kau baik-baik saja?”
Di sisi lain, wanita berjubah hijau mendengus sambil melipat tangannya. “Ternyata dia masih bertahan. Mengherankan,” katanya dengan nada mencemooh.
Ji Duan bangkit perlahan. Tubuhnya memancarkan aura merah pekat yang mendominasi ruangan. Meskipun aura itu memancarkan tekanan luar biasa kepada musuh-musuhnya, pria tua itu justru merasakan kehangatan yang menenangkan.
“Ini... garis keturunan Asura terakhir,” bisik wanita berjubah merah dengan mata membelalak, nadanya penuh ketakutan.
Pemuda berjubah putih tersenyum dingin, langkahnya maju dengan percaya diri. “Adikku, kau sangat konyol. Apa kau benar-benar berniat menghancurkan Alam Surgawi hanya untuk melindungi seorang pria tua yang sudah sekarat?”
Ji Duan menghunus dua pedang hitam dari kekosongan. Matanya berkilat tajam. “Kakak Pertama, dulu aku sangat menghormatimu. Tapi sekarang... aku hanya melihat sampah yang lebih baik dimusnahkan.”
Boom!
Aura merah Ji Duan meledak, memaksa keempat lawannya mundur beberapa langkah. Suara berderak memenuhi ruangan saat pilar-pilar besar mulai retak.
“Ini gila! Kekuatan garis keturunan Asura mampu meningkatkan kekuatannya hingga empat ranah sekaligus!” seru pemuda berjubah emas dengan wajah pucat.
Awal Pertarungan
Tanpa membuang waktu, Ji Duan melesat ke arah pemuda berjubah emas. Pedang hitamnya beradu dengan cakar naga yang memancarkan kilauan emas. Dentuman keras terdengar, menciptakan gelombang energi yang mengguncang aula.
“Adik, kau mungkin kuat, tapi kau tetap tidak bisa mengalahkanku!” teriak pemuda berjubah emas sambil melancarkan serangan bertubi-tubi. Namun, Ji Duan dengan sigap menghindar, serangan baliknya menggoreskan luka tipis di lengan lawannya.
Di sisi lain, wanita berjubah hijau melepaskan panah-panah energi hijau yang memburu Ji Duan. Ia mengayunkan pedangnya, menciptakan perisai merah yang menghancurkan semua panah tersebut sebelum mencapai tubuhnya.
“Kau bukan tandingan kami berempat!” seru wanita berjubah merah. Ia menciptakan lingkaran api hitam yang melingkupi Ji Duan. Namun, pemuda itu hanya tersenyum tipis. Dengan satu ayunan pedang, lingkaran api itu terbelah, menghilang menjadi abu.
“Kalian benar-benar lemah,” gumam Ji Duan sambil melangkah maju. “Jika ini adalah kekuatan gabungan kalian, maka aku tidak perlu mengeluarkan seluruh kekuatanku.”
“Sombong sekali!” Pemuda berjubah putih melesat dengan tombak perak di tangannya. Tombak itu memancarkan aura dingin yang membekukan udara di sekitarnya. Ji Duan menangkisnya dengan kedua pedangnya, menciptakan badai energi yang menghancurkan lantai aula.
Peningkatan Kekuatan Ji Duan
Seiring waktu, kekuatan Ji Duan semakin meningkat. Setiap kali ia menerima serangan, tubuhnya menyerap sebagian energi musuh, memperkuat aura merahnya. Hal ini membuat keempat lawannya mulai panik.
“Ini tidak mungkin! Dia semakin kuat setiap kali kita menyerangnya!” teriak wanita berjubah hijau dengan wajah ketakutan.
“Ini adalah warisan garis keturunan Asura. Semakin lama bertarung, semakin kuat dia,” gumam pemuda berjubah putih sambil menggertakkan giginya. “Kita harus menyelesaikan ini sekarang juga!”
Keempatnya saling bertukar pandang, kemudian mulai melafalkan mantra kuno. Energi mereka bergabung, menciptakan formasi besar di tengah aula. Aura dari formasi itu sangat menekan, membuat Ji Duan harus meningkatkan kekuatannya untuk bertahan.
“Formasi Langit Empat Elemen...” bisik pria tua itu dengan wajah pucat. “Ji Duan, kau tidak akan bisa menang melawan itu!”
Namun, Ji Duan hanya tersenyum tipis. “Guru, aku tidak akan mundur. Aku akan melindungi kehormatanmu, apa pun yang terjadi.”
Formasi Langit Empat Elemen meluncurkan serangan dahsyat yang menggabungkan elemen api, air, angin, dan tanah. Ji Duan terdesak, tubuhnya dipenuhi luka, tetapi aura merahnya semakin pekat. Ia mulai melafalkan mantra kuno, simbol merah besar muncul di bawah kakinya.
“Ji Duan, jangan gunakan teknik itu! Kau akan—”
“Guru, ini adalah satu-satunya cara,” jawab Ji Duan dengan suara pelan namun tegas.
Teknik Terlarang
Simbol merah itu mulai menyedot energi dari tubuh Ji Duan, membuatnya semakin lemah. Namun, kekuatan yang dilepaskannya begitu besar hingga menyebabkan retakan di ruang dan waktu.
“Ini gila! Teknik terlarang Asura!” seru pemuda berjubah putih dengan wajah penuh ketakutan.
Boom!
Ledakan besar menghancurkan aula, memancarkan gelombang energi yang menggetarkan seluruh Alam Surgawi. Aura merah itu melahap semua musuh Ji Duan, mengunci mereka dalam pusaran energi yang tak terhindarkan.
Setelah itu, aula sunyi. Tubuh Ji Duan tidak lagi terlihat, hanya simbol merah yang perlahan memudar ke udara. Pria tua itu terduduk, air mata mengalir di wajahnya.
“Ji Duan... kau telah melindungi kehormatan Ras Asura... tapi kau membayar harga yang terlalu mahal,” bisiknya pelan, suaranya penuh kesedihan.
Di luar aula yang hancur, langit Alam Surgawi tampak gelap. Banyak makhluk dari berbagai ras memandang ke arah kehancuran dengan rasa ngeri. Kekuatan garis keturunan Asura terakhir telah menunjukkan bahwa mereka masih menjadi ancaman, meskipun tinggal legenda.
Namun, di suatu tempat jauh dari aula, cahaya merah kecil berdenyut di dalam sebuah kristal. Dalam keheningan, suara lembut bergema. “Garis Keturunan Asura tidak akan berakhir di sini. Takdirmu belum selesai...”
Di alam yang lebih rendah, seorang anak muda dengan mata tajam memandang langit yang mendung. Ia merasakan getaran dari kejauhan, seperti panggilan yang menembus ruang dan waktu. "Aku kembali" gumamnya pelan.
Oek…oek…
“Selamat, Tuan dan Nyonya. Anak kalian laki-laki,” ucap seorang wanita tua dengan suara lelah namun penuh rasa syukur.
Di sebuah gubuk kecil yang terbuat dari kayu sederhana, tangisan bayi memenuhi udara. Suaranya nyaring, namun membawa harapan bagi kedua orang tua yang baru saja menyambutnya ke dunia. Seorang wanita muda dengan wajah kelelahan, namun bersinar dengan kebahagiaan, memeluk bayi itu erat dalam pelukannya. Di sisinya, seorang pria berdiri dengan senyum yang tidak mampu disembunyikan, meski kelelahan juga terlihat jelas di wajahnya.
“Dia akan menjadi kebanggaan kita, Yulan,” ucap pria itu lembut, suaranya bergetar oleh emosi.
Wanita itu, Yulan, menatap bayi di tangannya. Matanya berkaca-kaca, penuh dengan kebanggaan sekaligus rasa ingin tahu yang mendalam. “Dia kuat… aku bisa merasakannya. Tapi, sayang, apa kau juga merasakan… sesuatu yang aneh?” tanyanya perlahan.
Pria itu mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Yulan menggigit bibirnya, ragu-ragu. “Aku tidak tahu pasti, tapi mengapa bayi kita tidak menangis sama sekali?”
Pria itu menoleh ke wanita tua yang membantu proses persalinan. “Bibi, apakah normal bagi bayi yang baru lahir tidak menangis?” tanyanya penuh kekhawatiran.
Wanita tua itu tampak merenung sejenak. “Hmm, aku juga baru pertama kali melihat hal seperti ini,” jawabnya, kebingungan terpancar dari matanya.
Pria itu tertawa kecil, mencoba mengusir kekhawatiran yang tampak di wajah istrinya. “Mungkin itu hanya perasaanmu. Bagaimanapun, dia adalah anak kita. Namakan dia, Yulan.”
Yulan menatap bayi itu dengan penuh kasih. Ia mengusap lembut pipi mungilnya sebelum berkata, “Namanya… Feng Nan. Semoga dia tumbuh menjadi seseorang yang membawa harapan, seperti namanya.”
Namun, di dalam tubuh kecil itu, ada jiwa yang perlahan terbangun. Memori kehidupan sebelumnya mulai berputar di pikirannya. Ia mengingat pertempuran sengit di aula megah itu, pengkhianatan yang merenggut segalanya, dan pengorbanan terakhir muridnya demi menjaga kehormatannya. Wajah-wajah yang dulu begitu dikenalnya, kini kembali memenuhi benaknya.
Lima tahun berlalu…
“Nan’er, ayo cepat keluar. Ibu sudah menyiapkan makanan untukmu,” suara lembut seorang wanita memanggil dari luar kamar.
“Baik, Ibu…” sahut seorang bocah kecil dengan nada lembut. Perlahan, ia membuka matanya yang sempat terpejam. Wajahnya terlihat polos, namun ada sesuatu yang berbeda di balik tatapan matanya – kedalaman yang tak lazim untuk anak seusianya.
Bocah itu adalah Feng Nan. Namun, di balik tubuh kecil itu tersembunyi jiwa seorang pria yang pernah dikenal sebagai salah satu individu terkuat di Alam Surgawi. Di masa lalunya, ia adalah Feng Nan, Dewa Pengetahuan, seorang kultivator legendaris yang dihormati sekaligus ditakuti. Kini, ia telah bereinkarnasi di dunia yang jauh berbeda, di sebuah benua bernama Bintang Timur.
Feng Nan menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak henti-hentinya mengusik hatinya. “Aku tak menyangka akan memiliki garis keturunan muridku sendiri. Aku tahu teknik terlarang itu, tapi… muridku, kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu?” gumamnya pelan.
Teknik yang dimaksud adalah Teknik Sembilan Reinkarnasi Asura, sebuah teknik terlarang yang telah lama hilang dari tiga alam. Teknik ini ditemukan Feng Nan secara tidak sengaja di sebuah reruntuhan kuno. Saat itu, ia memberikan catatan teknik tersebut kepada murid terakhirnya, Ji Duan, sebagai warisan. Kini, setelah menyadari efeknya, ia bertanya-tanya mengapa muridnya memilih menggunakan teknik itu untuk dirinya.
“Nak, cepatlah makan. Makananmu akan dingin!” suara ibunya, Yulan, memanggil lagi.
“Baik, Ibu. Aku datang,” sahut Feng Nan sambil bangkit dari tempat tidurnya. Ia melangkah keluar dari kamar kecilnya menuju ruang makan.
Di ruang makan sederhana itu, hidangan sudah tersaji. Semangkuk sup hangat, sepiring sayuran segar, dan beberapa potong roti kasar menjadi pengisi meja. Feng Guan, ayah Feng Nan, tersenyum lebar melihat putranya akhirnya keluar dari kamar.
“Akhirnya kau keluar, putraku. Kau tidak tahu betapa laparnya ayah menunggumu,” candanya, mencoba mencairkan suasana.
Yulan, yang sedang menyendokkan sup ke mangkuk Feng Nan, tersenyum lembut. “Nan’er, makanlah yang banyak. Kau harus tumbuh kuat,” ucapnya penuh kasih.
Feng Nan mengangguk kecil. Ia tersenyum tipis sambil menerima mangkuk dari ibunya. “Terima kasih, Ibu.”
Namun, di balik senyum itu, pikirannya terus bekerja. Lima tahun di tubuh ini cukup baginya untuk memahami dunia baru tempat ia tinggal. Dunia ini, meski tidak sekuat Alam Surgawi, memiliki kompleksitasnya sendiri. Benua Bintang Timur dipenuhi dengan sekte-sekte dan klan-klan besar yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan.
“Nan’er, apa kau sudah memutuskan ingin belajar apa?” tanya Feng Guan tiba-tiba.
Feng Nan berhenti sejenak, berpikir. “Ayah, aku ingin menjadi kultivator. Aku ingin melindungi kalian.”
Feng Guan dan Yulan saling berpandangan. Kebingungan tampak di wajah mereka. Feng Guan menggelengkan kepala, dan Yulan mengangguk pelan, seolah sepakat untuk menenangkan putra mereka.
“Kau masih kecil, Nan’er,” kata Yulan lembut. “Kekuatan itu penting, tapi yang lebih penting adalah tumbuh menjadi anak yang baik.”
Feng Nan hanya tersenyum kecil. Ia tahu orang tuanya tidak memahami makna sesungguhnya dari ucapannya. Di dalam dirinya, jiwa Feng Nan yang dulu adalah seorang Dewa Pengetahuan sudah merencanakan langkah-langkah panjang untuk masa depannya. Ia tidak hanya ingin kuat, ia ingin menguasai dunia ini, seperti ia pernah menguasai Alam Surgawi.
Malam itu, setelah makan malam selesai, Feng Nan kembali ke kamarnya. Malam sudah larut, dan angin dingin berhembus masuk melalui celah-celah dinding kayu. Ia duduk bersila di atas tikar sederhana, menutup matanya, dan mulai berkonsentrasi.
“Sirkulasi energi di dunia ini lebih lambat dibandingkan di Alam Surgawi,” gumamnya pelan. “Namun, itu tidak akan menjadi halangan. Aku pernah memulai dari nol sebelumnya. Kali ini, tidak ada yang bisa menghentikanku.”
Ia mulai mempraktikkan teknik kultivasi yang dahulu diberikan kepada muridnya, Teknik Sembilan Akar Roh Asura. Teknik ini memiliki keistimewaan luar biasa, termasuk kemampuan menciptakan tubuh tiruan yang kekuatannya setara dengan pengguna aslinya. Namun, Feng Nan memahami risiko dan pengorbanan besar yang menyertai penggunaan teknik ini.
Perlahan, energi mulai mengalir masuk ke tubuhnya. Sebagai Dewa Pengetahuan, Feng Nan memiliki kemampuan luar biasa untuk memahami dan menguasai teknik apapun dengan cepat. Ia mengingat setiap detail teknik ini, termasuk rahasia tersembunyi yang hanya ia ketahui.
“Muridku, kau telah memberikan hidupmu untukku,” gumamnya dengan nada sedih. “Aku akan menghormati pengorbananmu. Dunia ini akan menjadi saksi kebangkitanku.”
Perlahan energi masuk ke dalam tubuh Feng Nan, dia di beri julukan Dewa Pengetahuan bukan hanya karena terlihat keren, tapi karena dia mengetahui hampir semua pengetahuan di tiga alam ini, bahkan dia mengingat berbagai Teknik kultivasi dan kelemahanya, dengan hanya membaca sekali, dengan kehebatanya itu banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi muridnya karena dengan menjadi muridnya mereka bisa mengetahui Dimana kekurangan dan apa yang mereka haruskan menjadi lebih kuat.
“Hmmm, sungguh aku tidak membayangkanya,”ucap sedih Feng Nan, akhirnya dia tahu menggapa muridnya tidak mengunakan tubuh tiruan untuk melawan muridnya yang lain, karena muridnya itu sudah berencana mengorbankan kehidupanya untuk dirinya dengan mengunakan seluruh energinya untuk membuat dia bisa hidup Kembali.
Kukurukuk…
“Hmmm, sudah pagi,” gumam Feng Nan sambil perlahan membuka matanya dari tidur nyenyaknya. Cahaya matahari pagi menembus celah-celah kecil di dinding kayu sederhana, menciptakan pola-pola hangat di lantai. Feng Nan meregangkan tubuhnya, mengusir sisa kantuk yang masih menempel. Ia melirik ke samping, melihat meja kecil di sudut ruangan. Di atasnya tergeletak sebuah surat lusuh dan cincin dengan ukiran naga yang tampak kuno.
Feng Nan berjalan perlahan menuju meja tersebut, tubuhnya masih terasa sedikit kaku. Ia menarik kursi kayu sederhana, duduk, dan menatap surat dan cincin di depannya. Surat itu tampak ditulis dengan terburu-buru, namun tetap rapi. Dengan hati-hati, Feng Nan membuka surat itu dan mulai membaca tulisan tangan yang dikenalnya.
**“Untuk putra kami tercinta, Feng Nan,
Jika kau membaca surat ini, berarti kami telah pergi. Maafkan kami karena harus meninggalkanmu tanpa pemberitahuan. Dunia ini tidak seaman yang terlihat, dan kami memiliki hal yang harus kami selesaikan. Tapi sebelum itu, Ibu sudah meninggalkan bekal untukmu. Dalam cincin itu, Ibu menyimpan kitab kultivasi, sesuai permintaanmu untuk menjadi seorang kultivator. Ibu juga menambahkan beberapa sumber daya yang mungkin akan kau perlukan.
Ini pesan dari Ayah: Carilah pasangan yang memiliki sifat seperti ibumu. Aku tahu itu akan sulit, tetapi berusahalah. Ayah juga meninggalkan senjata yang mungkin akan membantumu kelak.
Ingatlah, Nan’er, kami mencintaimu lebih dari segalanya. Kami percaya pada kekuatan dan kebijaksanaanmu untuk menghadapi masa depan. Berhati-hatilah, dan jangan mudah mempercayai orang lain.
Ayah dan Ibu.”**
Mata Feng Nan mulai berkaca-kaca. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada rasa hangat sekaligus hampa yang menyeruak di dalam dadanya. Ia mengusap sudut matanya yang basah dengan lengan baju, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba muncul.
“Kenapa mataku mengeluarkan air mata?” gumamnya pelan sambil menatap cincin di atas meja. Jari-jarinya menyentuh ukiran naga yang menghiasi cincin itu, merasakan aura unik yang memancar darinya. Aura itu terasa kuat, namun lembut, seperti pelukan yang menenangkan.
Feng Nan menghela napas panjang. “Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan, Ayah, Ibu?” gumamnya lagi. Dengan hati-hati, ia memusatkan kekuatan spiritualnya dan mencoba mengakses cincin tersebut. Cahaya biru samar muncul di permukaan cincin, perlahan membuka ruang di dalamnya.
Di dalam ruang cincin, Feng Nan menemukan harta karun yang luar biasa: tumpukan koin emas, gulungan teknik kuno, ramuan langka, dan sebuah pedang pendek hitam legam dengan ukiran naga di gagangnya. Pedang itu tampak hidup, memancarkan aura yang sama seperti cincin.
“Ini… bukan pedang biasa,” gumam Feng Nan sambil mengangkat pedang itu. Ketika ia menyentuhnya, ia merasakan sambungan energi yang kuat, seolah-olah pedang itu mengenali dirinya. Pedang itu bergetar pelan, merespons sentuhannya.
Selain pedang, ia juga menemukan gulungan peta yang menunjukkan lokasi yang tidak dikenalnya. Di bawah peta itu terdapat catatan kecil: “Ini adalah lokasi rumah kita.”
Feng Nan membuka gulungan peta tersebut. “Dari peta ini, aku sekarang berada di wilayah Kekaisaran Gu, tepatnya di Hutan Malam. Hutan ini berbatasan langsung dengan Sekte Teratai Bambu di utara,” gumamnya sambil merenungkan situasi.
Ia melanjutkan penelusurannya di dalam cincin. Selain ramuan dan senjata tingkat pusaka perak, ia menemukan tiga pusaka emas. Feng Nan mengingat kembali klasifikasi pusaka yang ia pelajari di kehidupan sebelumnya:
Pusaka dibagi menjadi tujuh tingkatan:
-Pusaka Perunggu
-Pusaka Perak
-Pusaka Emas
-Pusaka Mistik
-Pusaka Bumi
-Pusaka Langit
-Pusaka Dewa
“Dahulu aku memiliki satu pusaka yang sangat diincar banyak kultivator,” pikir Feng Nan, mengingat Armor Void yang merupakan ciptaannya sendiri. Sayangnya, dengan tingkat kultivasinya yang sekarang berada di Penyempurnaan Qi Tingkat 2, menggunakan pusaka itu hanya angan belaka.
Tingkat Kultivasi di alam rendah di bagi:
-Penyempurnaan Qi 1-9
-Pembentukan Roh 1-9
-Inti Perak Awal-Akhir (Awal,Menengah,Akhir)
-Inti Emas Awal-Akhir (Awal,Menengah,Akhir)
-Tingkat Bumi (...)
Sebelumnya orang tua Feng Nan sudah mengetahui mengenai Tingkat kultivasi Feng Nan, dan kedua orang tuanya waktu itu sangat terkejut dengan betapa pintarnya Feng Nan dengan hanya membaca buku cara mengumpulkan energi Feng Nan dapat dengan mudah sampai ke ranah penyempurnaan qi Tingkat 1 padahal seorang anak biasanya mulai berkultivasi saat umur anak itu 10 tahun dan Feng Nan bahkan sekarang umurnya baru beranjak 5 tahun.
“Hmmm, dengan beberapa pil dan tanaman ini mungkin aku bisa mencapai ranah Inti Perak menengah selama kurang lebih 7 tahun,”batin Feng Nan.
Ia mengalihkan perhatianya kepada ingatanya,dia juga harus mempelajari teknik pedang, meskipun banyak teknik pedang dalam cincin itu namun tingkatnya rendah.Setelah lama mencari akhirnya ada beberapa yang menarik minatnya Salah satunya menarik perhatiannya: Teknik Tarian Pedang Nirwana. Teknik ini pernah ia ajarkan kepada muridnya, Ji Duan, namun bahkan Ji Duan tidak mampu menguasainya. Dengan pengalaman dan pengetahuannya sebagai Dewa Pengetahuan, Feng Nan yakin ia mampu mempelajari teknik ini.
“Sepertinya aku akan tinggal di sini selama tujuh tahun ke depan untuk berlatih,” batinnya. Menurut peta, lokasi ini berada di ujung timur Hutan Malam, wilayah yang cukup aman untuk tingkat kultivasi Feng Nan saat ini.
Feng Nan memandang pedang hitam di tangannya. Pedang itu memancarkan aura misterius yang bahkan ia, seorang Dewa Pengetahuan, tidak bisa memahami sepenuhnya. “Siapa sebenarnya kalian, Ayah, Ibu? Mengapa bahkan aku tidak mengetahui asal-usul pedang ini?” gumamnya sambil menatap langit dari jendela kecil di kamarnya.
Dalam pikirannya, tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia luar. Dengan cincin ini sebagai sumber daya, ia memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Feng Nan menggenggam pedang hitam itu erat. Energinya menyatu dengan senjata tersebut, aura pedang itu berdenyut, seolah menyampaikan pesan yang hanya bisa dirasakan oleh Feng Nan.
“Mari kita mulai perjalanan ini, satu langkah demi satu langkah,” ucap Feng Nan dengan penuh tekad. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah langit biru yang luas. Masa depan mungkin penuh ketidakpastian, tetapi Feng Nan telah bertekad untuk membongkar rahasia keluarganya dan mencapai puncak dunia ini sekali lagi.
Matahari perlahan merangkak naik di cakrawala, menghangatkan hutan di sekitarnya. Burung-burung berkicau riang, melodi mereka menyatu dengan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Feng Nan memutuskan untuk memulai harinya. Ia menggulung peta itu dengan rapi dan menyimpannya kembali ke dalam cincin, bersama pedang dan barang-barang lainnya.
Langkah pertama Feng Nan adalah memperkuat fondasi kultivasinya. Dengan teknik dan sumber daya yang tersedia, ia yakin bisa mencapai terobosan lebih cepat dari kultivator biasa. Namun, ia juga tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya soal kekuatan; ia harus mengasah kecerdasan dan kewaspadaannya. Dunia ini penuh intrik dan bahaya, terutama bagi seseorang dengan rahasia besar seperti dirinya.
Feng Nan menghela napas dalam-dalam, merasakan udara pagi yang segar. “Tujuh tahun adalah waktu yang cukup,” gumamnya sekali lagi, dengan mata yang penuh tekad. Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar dari rumah kayunya, memulai hari pertama dari perjalanan panjangnya menuju puncak dunia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!