NovelToon NovelToon

Sang Pewaris Takdir

Prologue

Malam itu, Dunia menangis.

Langit diselimuti awan kelam, menutupi cahaya bintang seakan takut menyaksikan kengerian yang terjadi di bawahnya. Angin membawa bau kematian, menghembuskan aroma darah dan abu ke seluruh penjuru negeri.

Di tempat yang berbeda, di wilayah yang dahulu dikuasai oleh tiga klan besar, pemandangan yang serupa terjadi.

Di wilayah timur, kesunyian yang tak wajar menyelimuti benteng Klan Spaide, kaum yang begitu cepat hingga mereka bisa menghilang di antara kedipan mata

Namun, kali ini, tak ada lagi bayangan yang berkelebat. Kebanggaan mereka telah hilang dalam diam, mata mereka membelalak dalam ketakutan, seolah kemampuan yang mereka banggakan tak cukup cepat untuk menyelamatkan mereka. Mereka menyerah sebelum peperangan.

Di puncak selatan, para pemanah dari Klan Acellian menyaksikan mimpi buruk mereka menjadi kenyataan. Mereka, yang membanggakan akurasi sempurna, mendapati panah-panah mereka tak berguna. Bahkan sebelum mereka sempat membidik, kepala mereka sudah terpenggal dari tubuhnya. Namun satu yang pasti, sang pemimpin klan, Mamoru Isamu, telah tewas dengan penuh kebanggaan.

Di perbatasan utara, tanah bergetar di bawah kaki pasukan Klan Strein, para pejuang yang lahir dengan kekuatan tubuh yang mampu menghancurkan batu hanya dengan kepalan tangan mereka.

Namun, malam itu, tangan-tangan yang seharusnya tak tergoyahkan itu justru terkulai. Tubuh-tubuh keras mereka tergeletak tanpa nyawa, benteng dan rumah-rumah mereka hancur di bawah bayang-bayang satu sosok.

Tidak ada pemenang di sini, hanya penderitaan yang merayap di antara yang hidup dan mati.

Di tengah pemandangan mengerikan itu, di atas singgasana yang terbuat dari tulang-tulang musuhnya, duduklah seorang pria yang telah merenggut kejayaan dari tiga clan besar.

Satu sosok.

Satu nama.

Yoru Anzai Sang Tirani.

Matanya yang seperti bara api menyapu ke seluruh penjuru negri, menatap puing-puing kejayaan para klan yang ia tundukkan. Tubuhnya dibalut jubah hitam dengan jirah pelindung dari batu obsidian, sementara pedang raksasa yang telah menelan ratusan nyawa tertancap di sisinya, terbalut oleh darah yang sudah mengering.

Hingga kemudian sebuah bisikan datang kepadanya—sebuah ramalan.

Tentang seorang yang akan lahir.

Tentang seorang pendekar muda yang kekuatannya belum pernah ada sebelumnya.

Bukan sekadar kekuatan seperti Klan Strein, bukan sekadar kecepatan seperti Klan Spaide, bukan sekadar akurasi seperti Klan Acellian.

Melainkan sesuatu yang lebih.

Sesuatu yang melampaui batas manusia.

Dan sesuatu yang akan membawa kehancuran bagi tirani yang telah ia bangun.

Malam itu, dari singgasananya, perintahnya bergema ke seluruh negeri.

“Cari anak itu.”

"Bunuh sebelum ia cukup kuat untuk menjadi ancaman.”

“Musnahkan harapan sebelum ia sempat tumbuh.”

Maka, perburuan pun dimulai.

Namun takdir adalah sesuatu yang tak dapat dihentikan begitu saja.

Di suatu tempat, di sebuah desa terpencil, di rumah sederhana, di bawah langit yang kelam—seorang anak dilahirkan.

Bayi itu diberi nama Sora. Ia tumbuh di sebuah desa terpencil. Ayahnya bernama Abirama, adalah satu-satunya yang benar-benar membimbingnya.

Abirama dulunya adalah seorang pendekar dari Klan Spaide, ia meninggalkan klan agar bisa menikahi pujaan hatinya. Hanya sedikit orang yang mengetahui tentang masa lalunya—itu karena ia selalu menggunakan topeng dari kain yang dibalutkan setiap kali ia berpergian. Dan ia telah membesarkan Sora dengan baik.

Sora tak mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya, ia tak menyadari siapa dirinya. Tapi suatu hari nanti, dunia akan menyebutnya dengan satu gelar yang akan mengguncang sejarah.

Pewaris Takdir.

Dan ketika ia akhirnya mengangkat pedangnya, dunia akan kembali bergetar.

Episode 1 - Kisah yang Terukir, Takdir yang Terjalin

Di awal abad ke-19, di benua Aethorian, terdapat tiga clan yang sangat berpengaruh dan kuat. Mereka adalah:

Klan Strein.

Klan Strein adalah salah satu Klan tertua dan paling berpengaruh di wilayah tersebut. Mereka memiliki kemampuan dalam hal kekuatan yang luar biasa, sehingga mereka dapat mengangkat dan melemparkan benda-benda berat dengan mudah. Selain itu, mereka memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa terhadap berbagai racun.

Klan Strein memiliki kemampuan pertempuran yang sangat baik, sehingga mereka dapat mengalahkan musuh-musuh mereka dengan mudah. Senjata utama mereka adalah sarung tangan besi. Ada juga yang menggunakan dua buah gada besar dan pedang berbilah besar.

Klan Spaide.

Klan Spaide adalah Klan yang memiliki kemampuan dalam kelincahan yang sangat baik. Mereka dapat bergerak dengan sangat cepat dan lincah, sehingga mereka dapat menghindari serangan musuh dengan sangat mudah.

Di dalam pertarungan, kecepatan Klan Spaide membuat mereka terlihat seperti dapat memprediksi masa depan. Gerakannya yang cepat sering kali menciptakan gaya akrobatik alami, seperti tarian menyebalkan yang dapat memancing emosi lawannya.

Senjata utama Klan Spaide adalah sebilah pedang tipis namun kuat dan tajam, atau orang lebih mengenalnya dengan Miao Dao Sword.

Klan Acellian

Klan Acellian memiliki kemampuan dalam hal akurasi yang sangat tinggi. Kemampuannya dalam memprediksi serta melakukan serangan yang tepat dan presisi, menjadikannya sebagai pembunuh yang efektif.

Senjata Klan Acellian adalah berupa Busur Panah, Shuriken, Kunai atau pun senjata jarak jauh lainnya. Seperti karakteristik senjata tersebut, mereka lebih menyukai pertarungan secara diam-diam, bergerak dalam bayangan, senyap dan mematikan.

Ketiga Klan ini telah bersaing selama berabad-abad, dan persaingan mereka semakin sengit seiring berjalannya waktu. Mereka sering bertempur untuk memperebutkan kekuasaan dan pengaruh. Hal itu semakin menebalkan kebencian di antara mereka, hingga tertanam pada generasi-generasi berikutnya.

Merespon keadaan yang ada, para pemimpin clan tanpa disadari dan secara bersamaan telah membuat satu aturan umum, dimana mereka melarang para rakyatnya untuk memiliki hubungan dengan clan lain dalam bentuk apapun.

Bertahun-tahun berlalu, di tengah aturan mutlak itu, hiduplah dua orang pasangan muda bernama Abirama dan Kimiko. Mereka berasal dari dua klan yang berbeda, yaitu Klan Spaide dan Klan Acellian.

Abirama dan Kimiko tidak peduli dengan larangan tersebut. Mereka jatuh cinta dan memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka secara diam-diam. Mereka sering bertemu di tempat-tempat tersembunyi dan berbagi cerita serta impian mereka.

Tapi suatu hari, hubungan mereka terbongkar oleh pemimpin dari Klan Acellian. Pemimpin Klan tersebut sangat marah terutama kepada Kimiko, dan merasa bahwa Kimiko telah mengkhianati klan mereka. Dia memutuskan untuk mengusir Kimiko dari klan dan kota mereka.

Meski Kimiko adalah salah satu anak dari pemimpin klan tersebut, aturan tetaplah aturan, sang pemimpin klan harus menegakan aturan mereka, guna menjaga martabat serta kepercayaan dari para pengikutnya.

Abirama yang mendengar kabar tersebut, yang juga merupakan anggota dari klan Spaide, memutuskan untuk mengikuti belahan jiwanya. Mereka berdua memutuskan untuk mengasingkan diri dan memulai hidup baru di tempat yang jauh.

Setelah meninggalkan klan mereka, Abirama dan Kimiko berjalan berdua ke arah yang tidak diketahui. Mereka memiliki tujuan yang jelas, tapi mereka tahu bahwa mereka harus meninggalkan clan dan keluarga mereka untuk selamanya.

Saat berjalan, mereka berbicara tentang masa lalu dan bagaimana mereka bertemu. Mereka tertawa dan menangis bersama, mengingat kenang-kenangan indah di masa lalu.

Setelah beberapa hari berjalan, mereka tiba di sebuah desa kecil yang indah dan tenang. Desa itu dikelilingi oleh pegunungan hijau dan sungai yang jernih.

Abirama dan Kimiko memutuskan untuk menetap di desa itu dan memulai hidup baru. Alasan lain mengapa mereka menetap, karena desa tersebut tidak termasuk kedalam wilayah clan manapun.

Abirama dan Kimiko membangun sebuah rumah kecil dari kayu dan bambu, bersama beberapa warga desa yang secara sukarela membantunya. Beberapa hari kemudian, mereka mulai menanam tanaman dan sayuran. Memulai hidup baru sebagai seorang petani.

Mereka hidup sederhana tapi bahagia. Menghabiskan hari-harinya dengan berkebun, memancing, dan berjalan-jalan di sekitar lembah.

Saat malam, mereka duduk di depan api unggun dan berbicara tentang impian-impian mereka. Mereka berharap untuk memiliki anak-anak dan hidup bahagia bersama.

Tahun-tahun berlalu, Abirama dan Kimiko hidup bahagia di desa itu. Hingga kemudian kebahagiaan mereka bertambah, Kimiko diketahui sedang mengandung.

Hari kelahiran pun tiba, Kimiko telah melewati malam yang sulit, dia berhasil melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat.

Mendapati kenyataan tersebut, Abirama tertawa bahagia, tawanya cukup untuk memecah ketegangan malam itu. Dia kemudian meraih dan menggendong bayi tersebut, "Lihatlah, ini anak kita. Dia tampak kuat dan tampan, seperti aku." Terlihat jelas, ekspresi yang menunjukkan kebahagiaan dan kebanggaan saat mengatakannya.

"Ya, dia sangat tampan. Mirip seperti kamu." Kimiko membalasnya dengan senyuman di sertai tawa kecilnya, "Jadi, siapa namanya?" Tanya Kimiko dengan senyuman manis di wajahnya.

Seketika Abirama terdiam, ekspresinya yang mendadak serius membuatnya terlihat semakin mempesona, "Aku akan menamai dia... Sora."

Kimiko tersenyum kembali, aura sexual Abirama membuat wajah Kimiko sedikit memerah, "Sora? Aku suka nama itu. Tapi, apa artinya?" Tanya Kimiko dengan raut wajah penuh rasa penasaran.

"Sora artinya langit,." Seraya tersenyum, Abirama melanjutkan perkataanya, "Dengan nama ini... Aku berharap, anak kita memiliki hati yang luhur serta berguna dan selalu dapat di andalkan bagi orang sekitar." Jelas Abirama disertai dengan doa dan harapan.

Kimiko mengangguk, "Aku setuju, Sora adalah nama yang indah."

Dengan senyuman terbaiknya, Kimiko meraih Sora dan menggendongnya dengan lembut, lalu ia berkata, "Selamat datang, Sora. Ibu sangat bahagia kamu sudah lahir." Sambutnya.

Malam itu, Kimiko tidak dapat menutupi kebahagiaanya. Dia bersenandung sepanjang malam seraya menggendong sang buah hati dari tempat tidurnya.

Abirama yang juga sangat bahagia mulai menyiapkan bahan-bahan masakan dengan penuh semangat. Kali ini, dia yang akan menyiapkan makan malam untuk mereka.

Suara derasnya hujan dan cahaya lampu yang remang karena kurangnya penerangan, telah menjadi saksi kebahagiaan mereka malam itu, dan juga menjadi saksi lahirnya seorang anak bernama Sora.

Episode 2 - Sidang Strein: Menyerah atau Bertarung

Ilustrasi gambar dari para figur Klan Strein

...----------------...

Di sebuah aula di dalam istana Klan Strein.

Suhu ruangan dinaikan oleh kerumunan di dalam. Jumlah total penghuninya tidak terlalu tinggi, tetapi ruangan itu bukan yang paling luas, gravitasi situasi memastikan tidak ada seorang pun di dalamnya yang merasa nyaman.

Ada meja panjang di tengah ruangan, dan Dai Hideo—sebagai ketua klan duduk di kepala, di sebelah kanannya adalah Dai Hitoshi—putra pertama dari Dai Hideo.

Bergabung dengan mereka adalah figur-figur penting dari Klan Strein, kebanyakan dari mereka adalah pendekar-pendekar kuat yang memegang peranan penting dalam kemiliteran Klan Strein. Para kepala dari setiap divisi militer dan organisasi.

Biasanya, pertemuan apapun akan dimulai dengan semua kecuali pemimpin klan yang berdiri, sebagai tanda hormat formal-namun, mereka tidak hanya tetap duduk tetapi juga para pelayan mengisi cangkir di depan mereka. Tanda yang jelas bahwa pertemuan ini akan berlangsung lama.

Hitoshi melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semua orang dilayani, dan kemudian membuat bola bergulir.

"Kalian telah menerima kabar itu, topik hari ini adalah deklarasi perang dari Sang Naga Hitam, Yoru Anzai."

Deklarasi perang adalah ungkapan yang kuat, tetapi dia menggunakannya justru karena dia ingin semua orang di sini memahami maknanya.

Memang, para figur penting—semuanya termasuk ayahnya—mengerutkan dahi meraka, menggambarkan kemarahan mereka.

Hitoshi melirik ke samping, ke arah ayahnya. Tunduknya dua klan—Spaide dan Acellian, adalah perhatian terbesarnya di sini. Sangat penting dia mengesankan betapa seriusnya perkembangan ini dan mendorongnya untuk membuat pilihan yang tepat.

"Mengingat siapa yang dibunuh oleh Anzai, aku yakin ini sulit untuk ayahku..." Gumam Hitoshi seraya memandang raut wajah ayahnya yang penuh kemarahan serta kekhawatiran.

Beberapa hari yang lalu, Hitoshi berada tepat di samping ayahnya, ketika ia mendapat perkamen yang berisikan kabar bahwa Mamoru Isamu—pemimpin dari Klan Acellian, telah tewas di tangan Anzai, serta Klan Spaide yang tunduk menyerah sebelum pertarungan dimulai.

Kemudian disusul dengan kabar bahwa klan yang akan ditundukkan selanjutnya adalah klan mereka. Dia belum pernah melihat ayahnya kehilangan dirinya sendiri saat gelombang kemarahan sekaligus kekhawatiran menggulungnya.

Setelah pukulan seperti itu, dapatkah ayahnya memberikan keputusan yang baik untuk clan mereka sebagai penanggung jawab? Menyerah atau melawan? Sebuah pertanyaan yang ia sendiri segan untuk menanyakannya—setidaknya, tidak di situasi seperti ini.

Di tengah atmosfir yang di penuhi rasa tegang, suara bernada berat dan tegas terdengar, "Kalian telah mendengar beritanya, bicaralah... aku ingin mendengar pendapat kalian." Seru Dai Hideo.

Semua orang di ruangan itu telah mengetahui kabar fakta dari perkamen tersebut, terlebih rumor bahwa penyerangan terhadap Klan Acellian benar-benar mengerikan—bukan hanya sekedar penyerangan, melainkan sebuah pembantaian.

"Yoru Anzai, apa dia sekuat itu?" Sebuah pertanyaan terlontar dari salah satu menteri bernama Zach, menyiratkan keraguannya akan informasi tentang kematian Mamoru Isamu. Pemikirannya yang kritis telah menempatkannya sebagai menteri hukum.

Siapa seseorang ini—nama Yoru Anzai ada di benak semua orang.

Masing-masing mata di ruangan itu membawa emosi yang berbeda, tapi satu sentimen yang sama diantara mereka semua adalah rasa penasaran yang diselimuti amarah.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi sejauh yang aku tahu, sang Naga Hitam adalah salah satu dari tujuh pendekar legendaris. Tujuh pendekar yang telah mencapai Oubaitori." Jawab Asano Obura, figurnya tua dan berwibawa, wawasan yang luas serta kemampuan bertarungnya yang handal telah menempatkannya sebagai komandan militer Klan Strein.

Oubaitori—Idiom Jepang kuno yang berasal dari kanji, untuk empat pohon yang mekar di musim semi, yang adalah bunga sakura, persik, prem, dan aprikot. Setiap bunga mekar pada waktunya sendiri, dan makna di balik idiom tersebut adalah bahwa kita semua tumbuh dan berkembang dengan kapasitas serta kecepatan kita sendiri.

Oubaitori—menjadikannya sebuah julukan bagi mereka yang telah mencapai puncak tertinggi dalam pemahaman ilmu bela diri dan spritual.

Mendengar penjelasan tersebut, beberapa petinggi nampak terkejut, dan mulai saling melirik serta memandang. Mereka teringat akan satu nama, seorang pendekar dari klan mereka yang juga telah mencapai Oubaitori.

Seakan mengetahui apa yang ada di benak para bawahannya, Dai Hideo merespon dengan mengangguk pelan, "Iya, benar. Kemampuannya mungkin setara dengan guru besar kita, Akio Senju."

Sangat ironis jika kita membenturkan sejarah dan fakta yang ada. Para pemegang gelar Oubaitori diketahui selalu memegang teguh akan nilai-nilai budi yang luhur. Nilai-nilai yang bekerja sebagai hukum alam dalam mengesampingkan ambisi serta nafsu akan keduniawian.

Bagaikan serigala penyendiri, para Oubaitori biasanya selalu hidup mandiri, tidak terikat, dan tidak terintervensi oleh siapa pun. Mereka senantiasa selalu berbuat kebajikan dan hanya akan bertarung jika diperlukan. Sama halnya seperti Akio Senju, guru besar mereka yang menghilang 20 tahun yang lalu.

Sebelum pembicaraan menjadi semakin dalam dan penuh atensi. Guocha yang merupakan seorang menteri perdagangan mencoba mengutarakan pendapatnya lebih awal. Bukan karena terlalu bersemangat, tetapi ia ingin menggiring para petinggi kepada opininya.

"Fuee—aku mendapat informasi dari teman lamaku, kepala birokrasi serikat pedangan dari clan Spaide. Fuee—Yoru Anzai tidak datang kepada mereka setelah pengumuman penyerahan diri. Setidaknya, sampai saat ini. Maksudku, jika sekuat itu, tidak ada gunanya bertarung." Sarannya, dengan suara sedikit gemetar.

Gendut—tidak, sejujurnya, pada dasarnya seluruh tubuhnya memang gendut. Perutnya penuh dengan lemak yang menggelambir, dan bahkan dagunya terdiri dari lemak berlebih. Karena tertutupi oleh lemak, wajahnya terlihat seperti anjing bulldog yang gemuk luar biasa.

"Fuee—jika kita bisa menghindari resiko korban dan kerugian materil, lebih baik untuk menyerah dan menyelesaikan masalah secara damai, bukan begitu?"

Entah karena hidungnya yang sedang tersumbat atau tidak, sebuah suara "fuee" akan sering terdengar selama dia berbicara. Itu juga bisa karena dia menggunakan mulutnya untuk bernafas dan nadanya hampir tidak berirama. Rasanya sedikit aneh, seakan dia memainkan sebuah skrip kata demi kata.

Di sisi lain, figur serta pendapatnya telah membuatnya layak untuk dicurigai. Pejabat gendut yang korup—mungkin terlalu kasar, tapi... dia layak diselidiki.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!