"Aku pulang naik bis aja, beb," ucap Olivia Caroline lewat panggilan telepon. Dia tampak berjalan melewati trotoar menuju halte bis yang tak jauh dari tempatnya bekerja. Langkah kakinya sangat terukur. Senyum dibibir manisnya selalu merekah. Olive benar-benar merasakan kasih sayang seorang kekasih yang selama ini diidamkannya.
Olivia adalah wanita matang dengan postur tubuh tinggi semampai. Tingginya kurang lebih 175 cm, untuk ukuran seorang wanita kantoran sudah cukup modis. Wanita ini bekerja disebuah perusahaan paling mentereng di negeri ini. Sebagai wanita karir, hidupnya hanya dihabiskan dengan bekerja dan bekerja. Tingkat pendidikannya yang tidak kaleng-kaleng juga memberikan nilai plus untuk mencari uang.
Namun, ada satu hal yang membuatnya kalah dari siapapun. Olivia lahir dari pasangan menikah yang awalnya saling mencintai tetapi tiba-tiba harus berpisah karena alasan ketidakcocokan. Padahal pernikahan kedua orangtuanya sudah mencapai usia 25 tahun. Tapi, mereka tidak memikirkan Olivia dan sang adik, Peter Dexton. Orang tua Olive hanya tahu bagaimana caranya agar bisa lepas dari cekcok yang hampir tiap hari terdengar.
Sebagai seorang anak tertua, Olive hanya meminta sebuah rumah untuk dirinya dan sang adik tunggal. Kalau untuk jatah bulanan, ia rela memberikannya pada Peter yang tahun ini sudah memasuki semester akhir pendidikan dokternya.
Disaat galau yang tak terkira, datanglah Mario Javier, seorang kakak tingkat saat di kampus. Pria ini begitu baik. Mario memberikan segalanya untuk Olive. Dia dan keluarganya juga setuju dengan hubungan percintaan Olive dan Mario.
Tahun ini, usia pacaran mereka sudah memasuki tahun ke 7. Sesuai janji Mario, setelah keduanya sukses dibidang masing-masing, akan ada lamaran dan pernikahan. Hal ini terwujud satu persatu.
Olive merasa kalau hidupnya akan lebih baik dengan masa depan yang Mario janjikan, tidak seperti ayah dan ibunya dulu.
"Serius? Aku jemput aja ya?" jawab Mario diujung panggilan telepon.
"Gak usah beb. Aku mau ke panti asuhan sekalian. Mau ketemu ibu panti. Bulan ini aku belum jenguk kesana soale," cetus Olive beralasan.
"Hm, ya udah. Kalau kamu pengennya kayak gitu. Tapi hati-hati ya? Kalau sudah sampai panti, kabarin."
"Ya beb, siap."
"Love u."
"Love u too."
Panggilan telepon usai. Olive memasukkan ponsel miliknya ke dalam tas kulit yang biasa ia pakai untuk bekerja.
Kini Olive duduk di salah satu kursi yang tersedia di halte bis, seorang gadis kecil dengan kuncir dua, dress warna pink motif bunga-bunga, topi coklat susu, serta sepatu kets warna putih yang tampaknya berharga lebih dari 200 dolar. Olive hanya menatap sekilas. Namun, sang gadis kecil tak demikian.
Ia berdiri di hadapannya lalu bilang." Bibi, jadi Mamaku ya?"
Gadis ini imut sekali. Tapi kata-kata yang disampaikan justru terdengar sangat serius. Olive yang kebetulan sangat menyukai anak-anak, mencoba menyikapi dengan hangat permintaan sang bocil.
"Nak, kenapa kamu ada di sini sendirian? Kemana ayah dan ibumu?" tanya Olive sembari menatap wajah mungil si bocah.
"Aku kabur dari rumah karena aku kesal. Papa tidak mau mendengarkanku," cetus gadis ini dengan bibir merengut.
"Oh ... kamu lagi marahan sama Papa. Karena apa sih kalau boleh Bibi tahu?" tanya Olive dengan wajah yang manis. Dia memperlihatkan kelembutannya serta sifat keibuannya biar tahu alasan kenapa bocah ini bisa berani sekali pergi sendirian. Padahal halte bis dekat kantornya ini sangatlah ramai dan berada dipusat kota. Berbahaya kalau sampai ada anak kecil dengan visual imut dan cantik berkeliaran sembarangan. Bisa-bisa orang jahat memanfaatkan situasi ini.
"Boleh duduk di pangkuan Bibi tidak?" ujar si bocil yang tiba-tiba duduk dipangkuan Olive begitu saja. Olive kaget, tapi dia membiarkannya.
"Nah, sekarang udah duduk dipangkuan Bibi kan? Ehm, jawab dong pertanyaan Bibi," ungkap Olive mencoba tetap biasa saja agar si bocah nyaman. Dia memeluk tubuh si imut dengan penuh kasih sayang. Tatapan matanya juga sangat teduh.
"Kata Papa, Mamaku udah meninggal saat aku masih kecil. Aku ingin sekali ketemu sama Mama. Tapi kalau udah meninggal, mau cari dimana? Aku bingung. Kata buku yang aku baca, kalau Mama udah meninggal, mending cari Mama baru. Makanya saat ketemu Bibi, aku ingin Bibi jadi Mamaku. Bibi juga manis dan baik," ujar bocah yang usianya kira-kira 4-5 tahun ini. Si bocah memberikan tatapan yang tak kalah teduh.
Olive merasa kasihan dengan sang bocah. Pengennya menghibur dengan segala cara, tapi kalau masalah kehilangan ibu, dirinya pun mengalami hal yang sama meski tak separah bocah ini. Olive masih punya ibu tapi malas bertemu dengannya karena sikapnya yang keras kepala dan egois.
"Hm... gini aja, Bibi antar kamu pulang ya? Dimana alamat rumahmu?" tanya Olive lagi.
"Gak, aku gak bakalan kasih tahu! Kalau aku kasih tahu, Bibi pasti gak mau jadi Mamaku!" jawab si bocah jadi ngambek. Bibir imutnya semakin mengerucut. Kedua tangan kecil bersedekap. Sorot matanya menatap lurus ke depan. Dia tampak kesal dengan pertanyaan yang disampaikan oleh Olive.
"Gak gitu sayang. Gini lho, kalau kamu pulang ke rumah, Bibi bisa bantu kamu bicara sama Papamu kalau kamu tuh pengen Mama baru gitu. Ya? Mau ya pulang?" sahut Olive terus membujuk bocah ini.
"Gak! Gak mau!" jawab sang gadis kecil mulai marah. Dia menangis. Olive jadi panik.
"Huaaaaaa ... Bibi gak sayang sama aku! Huaaaaa semua orang benci sama aku! Padahal aku cuma pengen Mama! Pengen ketemu Mama! Huaaaaaa!" Tangisan sang bocah semakin menjadi, membuat perhatian semua orang yang ada di halte tertuju pada Olive. Tangan dan kaki mungil bocah ini menghentak kesana kemari. Hampir saja Olive tak bisa mengendalikan tubuh mungil yang lagi ngamuk gak karuan.
"Astaga, nih bocah ekstrim juga. Gimana sih kalau aku bawa ke panti aja? Tapi ... kalau aku bawa bersamaku, dikira penculik lagi. Ah ... gak, gak. Aku harus gimana Tuhan?" batinnya bergemuruh. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan tapi berusaha untuk tetap tenang saat menghadapi si bocah.
"Cup ... cup ... cup ... Nak. Oke, aku mau jadi Mama kamu. Tapi satu jam aja ya? Kamu harus pulang ke rumah setelah itu," pinta Olive seketika membuat tangisan bocil berhenti.
"Beneran?" cetus bocah itu memastikan.
"Astaga, kok udahan nangisnya? Bibi kira kamu nangis beneran? Hmmm ternyata bohong ya? Anak baik gak boleh gitu lho?" beber Olive mencoba untuk mengalihkan perhatian si bocah.
"Hehe ... ya gak lah. Aku gak bohong. Aku emang nangis kok, alasannya jelas. Pengen Bibi jadi Mamaku," ungkap si gadis sambil mengusap air mata dan ingus yang mengalir bersamaan menggunakan ujung rok.
"Eh, jorok lho Nak. Gak boleh, pakai tisu Bibi aja ngusapnya." Olive meraih tisu yang ada di tasnya dan membantu bocah itu membersihkan air mata dan ingus yang ada di wajah si bocah.
"Aku serius. Bibi mau kan jadi Mamaku?"
"Nak, lebih baik hapus ingusmu dulu," pinta Olive terus mengalihkan perhatian sang bocah.
"Makasih Bibi. Bibi baik deh." Sang bocah tersenyum. Dia sangat nyaman sama Olive. Tapi sang wanita justru jadi bingung, dia harus ke panti tapi gak bisa meninggalkan sang bocah begitu saja. Pikirannya terbelah dua.
Di saat bersamaan, ia melihat notifikasi di ponselnya soal berita terkini. Seorang anak perempuan dengan usia 4-5 tahun hilang. Ciri-ciri yang disampaikan di berita itu, sangat mirip dengan visual bocah yang ada di pangkuannya.
Pikirannya yang sangat cepat merespon hal ini, langsung membaca berita itu dengan sesama. Di berita itu ada alamat yang bisa didatangi ketika menemukan anak yang dimaksud.
"Jangan-jangan bocah ini anak yang hilang itu? Wah syukurlah ... Aku bisa mengantarkan bocah ini ke pulang rumahnya," batinnya mulai lega. Kebetulan Olive mengetahui di mana alamat itu berada. Dengan tekad yang penuh keyakinan, Olive segera naik bis yang tersedia. Ia mengesampingkan urusan pribadinya untuk mengantar si bocah kembali ke pangkuan keluarganya.
"Nak, ikut Bibi ya?"
"Bibi? Katanya Bibi mau jadi Mamaku selama 1 jam? Kok nggak jadi?"
"Hehe ya maaf. Jadi kok, ehm ikut Mama yuk? Mama ajak kamu jalan-jalan."
"Hore! Kemana Mama? Kemana?" Sang bocah sangat antusias seolah melupakan kesedihan yang dari tadi menyelimutinya.
"Nanti kamu bakalan tahu. Kita naik bis ya?" Raut wajah Olive sangat bahagia sehingga menularkan kebahagiaan juga kepada si bocah.
"Ayo!"
Olive menggendong bocah itu dan masuk ke dalam bis. Keduanya duduk di kursi paling belakang. Sang bocah tampak nyaman bersama Olive.
"Mama, mama tahu gak? Aku tuh benci sama papa. Papa selalu membelikanku banyak hadiah, Tapi saat aku ingin Mama, Papa diam dan pergi bekerja ke kantor. Kan nggak boleh kayak gitu, ya kan? Harusnya kalau anak kecil itu dipeluk lalu dikasih tahu. Ya nak nanti papa carikan Mama yang baru. Gitu kan? Bener nggak?" ucap si bocah dengan lucunya. Aksen bicaranya sangat imut membuat Olive tidak berhenti tersenyum.
"Astaga, Kamu imut banget sih. Kalau kamu berkeliaran di kota sebesar ini, pasti papamu akan kewalahan. Ada banyak orang yang mengincarmu dan meminta tebusan. Kamu nggak boleh kayak gitu ya? Pokoknya setelah ini jangan kabur-kaburan lagi. Kasihan papa kamu sama keluarga kamu yang lain. Kalau boleh Mama ngomong, gini lho maksudnya papa kamu itu. Dia nggak langsung kasih mama baru buat kamu karena papamu itu lagi nyari yang tepat. Jangan sampai nanti kalau udah dapat nama baru eh malah dapat yang tidak baik. Papamu itu ingin yang terbaik buat kamu Nak." Olive meneduhkan banget cara bicaranya membuat si bocah memeluknya.
"Biarin lah, kalau Papa lagi cari mama baru yang penting aku udah nemuin sendiri. Aku pengennya Bibi yang jadi mamaku." Sang bocah semakin erat memeluk Olive. Olive jadi tidak tega membohongi si kecil. Kalaupun hanya satu jam, dia yakin sudah mengukir luka untuk si kecil. Tapi mau gimana lagi? Olive mencoba melakukan yang terbaik.
Obrolan keduanya sangat asik, tak terasa bocah kecil itu tadi itu di pangkuannya. Olive memiliki banyak kesempatan untuk menghubungi anggota keluarga sang bocah.
Dia membuka kembali berita online soal kehilangan anak perempuan. Dia membaca ulang dan menemukan nomor ponsel yang bisa dihubungi. Tapi, tidak ada respon sama sekali. Padahal sudah menelepon selama puluhan kali.
"Huft! Kayaknya papanya bocah ini nggak niat deh nyari anaknya. Kalau memang nomornya bisa dihubungi, langsung jawab kek. Orang udah nyebarin berita malah nggak bisa dihubungi. Aneh," gumamnya kesal.
Setelah melakukan perjalanan selama setengah jam, Olive turun di sebuah halte yang dekat dengan perumahan orang-orang berduit. Perumahan itu namanya Gold Residence.
"Akhirnya sampai juga," ujarnya seraya turun dari bis. Dia sudah membayar ongkos bis dengan cara pakai kartu member yang tinggal di tempel pada barcode yang tersedia.
Olive menggendong sang bocah di punggungnya. Dengan hati-hati, Olive berjalan menuju gerbang utama perumahan itu.
Disana kebetulan tidak ada seorangpun yang berjaga, jadi Olive langsung nyelonong aja masuk. Olive melihat ke kanan kiri perumahan yang sepi.
"Gold Residence nomor 23 B," ucapnya sambil komat-kamit menghafal nomor rumah si bocah.
Setelah berjalan kira-kira 15 menit, akhirnya Olive menemukan sebuah rumah dengan pengamanan yang super ketat. Dia mencoba untuk memencet bell. Tak berapa lama kemudian gerbang lapisan pertama dibuka.
"Ada apa mbak? Kamu cari siapa?" tanya security yang belum sadar kalau ada nona muda dipunggung Olive.
"Aku cari bapaknya bocah ini. Katanya bocah ini hilang kan? Aku membantu mengantarkannya ke rumah."
"Astaga! Nona Kecil!" ujar security sambil membuka gerbang lapisan kedua dan mendekat kepada Olive. Security ingin menggendong bocah itu. Tapi dicegah oleh Olive.
"Pak sebentar, anak ini lagi tidur. Jangan tiba-tiba digendong, nanti kalau berpindah gendongan, bisa-bisa ngereog," tegur Olive sedikit tegas.
"Oh ya ya baik. Mbak bener juga, Nona Kecil memang suka kabur-kaburan dan suka ngereog. Hm, baiklah. Ayo masuk ke dalam. Tuan Muda pasti akan senang kalau putri kesayangannya sudah kembali."
Security mempersilakan Olive masuk ke dalam rumah yang megah itu. Keduanya berjalan pelan menuju ruang utama bergaya Amerika Modern dengan cat berwarna putih bersih. Terdapat banyak pilar yang menyangga megahnya bangunan.
Setelah sampai di ruang utama, terlihat jelas kalau rumah itu memang bukan milik orang sembarangan. Semua barang yang terlihat begitu antik dan langka. Olive cukup tercengang dengan apa yang dilihatnya.
"Wah, Yang benar saja. Anak ini ternyata pewaris keluarga kaya raya. Untung aku yang menemukannya, kalau yang lain pasti minta tebusan," gumamnya sambil menatap ke segala arah.
"Mbak? Mbak? Kamu lihat apa? Ayo jalan," tanya si security.
"Gak , aku gak lihat apa-apa Pak. Ya pak."
Olive mengikuti langkah security itu. Sang security berjalan menuju sebuah lorong yang cukup panjang dan mewah. Hingga sampailah mereka di sebuah pintu emas. Security menekan bell masuk ke dalam ruangan itu.
Tak beberapa lama kemudian pintu terbuka, security masuk bersama dengan Olive.
"Tuan, Nona Kecil ketemu!"
Seketika pria yang melamun di kursi dan duduk membelakangi keduanya, menoleh dengan segera. Mata Olive dan pria tadi bertemu.
"Kamu?" ucap Olive saat tahu pria yang ada dihadapannya adalah pria yang sama dengan bos menyebalkan di kantornya.
"Wanita kurang ajar? Ngapain kamu di sini?" jawab Aarav Alexander, seorang bos besar dari perusahaan A2 corp yang juga kaget melihat wanita yang menjadi karyawan dikantornya bisa-bisanya sampai di rumah dan membawa putri kecilnya.
"Eh, kamu gendong Alesia? Turunkan! Cepat turunkan! Dasar penculik!"
"Enak aja nuduh aku penculik, aku tuh nganter anak kamu ke sini dengan susah payah, malah dituduh penculik!" ucapnya dengan kesal. Olive tidak menyangka kalau Aarav memang se-menyebalkan ini. Tidak di kantor, tidak di rumah, sama saja orangnya suka menuduh.
"Cih memangnya ada penculik yang ngaku? Turunin anak aku sekarang!" pinta Aarav masih pakai emosi. Pria ini berusaha untuk mengalihkan gendongan Alesia Alexander. Tapi, si bocah malah bangun.
"Hoaaaam kita ada di mana Mama? Apa sudah ada di surga?" tanya Alesia perlahan mengucek kedua matanya dan melihat ada sang Papa di hadapannya.
"Heh? Kenapa ada Papa di sini? Bukannya aku bersama dengan Mama saja ya?" sambung Alesia.
"Mama siapa nak? Wanita ini, bukan mama kamu." Dengan sangat kasar, Aarav menggendong sang bocah. Dalam sekejap, Alesia sudah berada di dalam pelukan sang Papa.
"Pelan-pelan bisa nggak sih? Kasihan anak ini!" tegur Olive tidak habis pikir dengan sikap Aarav.
"Loh, ini anakku kok. Aku mau melakukan apapun ya terserah aku. Sekarang kamu harus masuk ke dalam penjara karena sudah melakukan tindakan kriminal!" ungkap Aarav yang langsung menelepon kantor polisi, tapi dicegah oleh anaknya.
"Papa! Hentikan! Mama nggak salah! Aku yang kabur dan mendatangi Mama, Mama memberikan waktu untukku satu jam menjadi anaknya. Mama gak salah Pa!" teriak Alesia kesal. Dia mulai memberontak dalam gendongan sang ayah.
"Mama? Dari mana kamu bisa memanggilnya Mama? Dia tuh orang jahat, sayang. Papa tahu siapa wanita ini!" ujarnya dengan menatap ke arah Olivia.
"Gini lho Pa. Aku sama Bibi ini lagi mainan Mama-Mama an. Selama 1 jam, Bibi bersedia untuk jadi mamaku. Aku sudah menghitung dari awal pertemuan sampai detik ini, waktu masih kurang 10 menit lagi jadi Mamaku. Mama gak boleh pergi sebelum benar-benar full satu jam," ungkap si bocil yang mulai mengeluarkan jurus jitunya.
"Nak, lebih baik kamu istirahat aja ya? Mama harus pulang. Kapan-kapan Mama akan main lagi ke sini ya?" bujuk Olive yang merasa sudah terlalu lama terlibat dalam rumah tangga orang lain. Dia juga memiliki urusan yang harus segera diselesaikan.
"Gak boleh, Mama gak boleh pergi kemana-mana! Pokoknya Mama harus ada bersamaku selama sepuluh menit! Titik!" teriak Alesia.
Alesia lantas menangis sejadi-jadinya. Olive makin pusing dibuatnya.
"Huaaaaa! Papa jahat! Mama jadi gak betah karena Papa!" Suara Alesia memenuhi satu ruangan. Semua orang jadi pusing dan panik.
Olive dengan sabarnya mendekati si bocah." Nak, jangan nangis ya? Kasihan papa kamu. Papa kecapean kerja buat kamu, kamu harus nurut sama papa ya?"
"Gak mau! Papa jahat! Papa selalu menolak permintaanku tentang mama baru! Padahal aku sudah menemukan Mama yang baik, tapi Papa ingin memasukkan Mama ke dalam penjara! Papa jahat huaaaaa!" Tangisan Alesia tak juga reda.
Olive yang tak tega melihat anak kecil menangis lantas mengirim pesan kepada ibu panti karena harus menggagalkan janji hari ini.
Maaf, Bu Maria. Aku gak jadi ke panti. Ada urusan mendadak.
Setelah menulis pesan, Olive mengirimnya kepada nomor telepon Bu Panti.
Olive menghela nafas, kemudian membujuk Alesia untuk kesekian kalinya." Nak, main sama mama yuk? Nanti Mama temenin makan juga, temenin bobo juga boleh."
Mendengar kata-kata yang disampaikan oleh Olive, membuat Alesia sumringah. Dia tak akan membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja.
"Yey! Ayo main!" ucap Alesia yang langsung berpindah gendongan kepada Olive. Aarav tidak bisa berbuat apa-apa kalau anaknya Sudah menentukan pilihan.
Pak security yang sedari tadi menjadi saksi percekcokan yang ada, cuma bisa diam. Dia tidak bisa mengeluarkan kata-katanya karena takut dimarahin.
"Pak, sebenarnya wanita ini baik juga," bisik Pak security.
"Hm, diem kamu!" jawab Aarav kesal.
"Maaf Pak, jangan marah-marah. Berikan izin barang sehari, siapa tahu Nona Kecil nanti bisa diatur lagi. Kasihan kalau harus kabur terus, ini ke 10 kalinya Nona Alesia gak mau pulang ke rumah. Kami juga ikut pusing, Pak," cetus Pak security sambil berbisik lagi.
Aarav cuma melotot. Pak security langsung takut dan menundukkan pandangannya.
"Aku memberikan kesempatan sampai jam 09.00 malam. Kamu boleh menemani anakku, tapi hanya hari ini. Besok-besok tidak boleh lagi!" pinta Aarav. Dia menunjukkan ketegasannya.
"Iya Pak, galak amat," jawab Olive yang mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu sesuai dengan arahan Alesia.
Aarav yang masih berdiri tegap, cuma bisa menahan amarahnya." Sabar! Aku harus sabar! Demi Alesia," gumamnya seraya mengepalkan tangannya erat.
•
•
•
Sementara itu di ruang bermain, Alesia sangat menikmati waktunya bersama dengan Mama Barunya. Tawa manis dan ceria, sangat jelas terlihat.
Alesia berusaha mencuri-curi waktu untuk menghubungi pacarnya. Dia mengirimkan pesan kepada Mario.
Beb, maaf. Aku pulang telat. Aku ada urusan.
Pesan itu dikirim, lalu beberapa menit langsung mendapatkan jawaban.
Oke, gak papa Beb. Aku juga ada lemburan kerja. Nanti kalau pulang hati-hati ya? Maaf kalau aku gak balas pesan kamu lagi. Ada banyak kerjaan nih.
Pesan balasan sudah dibaca olehnya, ia langsung menjawab lagi.
Oke Beb.
Olive merasa baik-baik saja karena tidak membuat kekasihnya khawatir. Dia melanjutkan bermain bersama dengan Alesia. Olive memberikan waktu yang sangat menyenangkan dan mengesankan untuk bocah kecil di hadapannya.
"Pak, kayaknya Nona Kecil sangat suka dengan wanita itu," ucap Pak security yang nyatanya masih bersama dengan majikannya. Keduanya tampak mengintip di balik tembok.
"Kamu ngomong apa sih? Anakku nggak butuh Mama Baru. Aku bisa menjaga dan merawatnya sendiri," jawab Aarav keukeuh pada keyakinannya.
"Meski istri bapak sudah meninggal 5 tahun lalu, setidaknya bapak harus membuka hati untuk wanita lain."
Ucapan Pak security membuat Aarav menatap dengan tajam wajah sang security." Kamu bilang apa? Jangan mengungkit masa laluku di saat seperti ini, paham!"
"Bukan seperti itu Pak, tapi ... Aku berusaha untuk mengingatkan bapak. Ya, saya sangat tahu kalau Nyonya Rachel bukan wanita sembarangan yang bisa digantikan oleh yang lainnya. Hanya saja, Nona Alesia bukan Bapak. Dia masih kecil. Seorang anak perempuan yang sangat merindukan kasih sayang ibunya. Bapak harus mempertimbangkan perasaan Nona Kecil," ucap security membuat mata Aarav memerah, dia merasa marah dan sedih karena harus mengingat masa kelam saat ditinggalkan oleh Rachel.
"Jangan bicara omong kosong, lebih baik kamu pergi saja! Urusi pekerjaanmu!" teriak Aarav sambil menahan air matanya yang menetes.
"Pak, akui saja. Biar hatimu lega."
"Sialan kamu!"
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!