NovelToon NovelToon

Suami Suka Selingkuh (S3)

BAB 1 – Kau Harus Mengerti

Aurelia Mahesa berdiri di tengah ruang tamu rumahnya, tangan menggenggam erat ponsel yang masih menampilkan pesan singkat itu.

"Aku menunggumu di hotel, Sayang. Cepat datang sebelum aku merindukanmu terlalu dalam. Karina ❤️"

Darahnya berdesir, tubuhnya seakan kehilangan daya. Pandangannya mengabur, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak. Sudah berhari-hari hatinya didera kecurigaan. Pulang larut malam, telepon yang sering diabaikan, aroma parfum wanita di kemeja Aditya. Semua tanda itu kini menemukan kepastiannya.

Aditya Mahendra, suaminya, telah mengkhianatinya.

Ia menunggu di ruang tamu dengan kesabaran yang hampir habis. Waktu terus bergulir, menunjukkan pukul satu dini hari. Bunyi deru mobil terdengar dari luar. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan sosok yang selama ini ia cintai melangkah masuk.

Aditya tampak santai, jasnya terlipat di lengannya, kancing kemeja atas terbuka, rambutnya sedikit berantakan, dan—Aurelia bisa mencium aroma itu. Parfum yang bukan miliknya. Aroma yang tidak asing lagi.

"Aurel, kau belum tidur?" suara Aditya terdengar biasa, seolah tidak ada yang salah.

Aurelia menatapnya tajam. Matanya yang bening kini diselimuti amarah dan kesedihan. "Di mana kau?" suaranya bergetar, mencoba tetap tenang.

Aditya melepas sepatunya tanpa tergesa. "Lembur. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."

Aurelia tersenyum sinis, air mata yang sejak tadi ia tahan mulai menggenang. Ia mengangkat ponselnya, menampilkan pesan dari Karina. "Pekerjaan yang harus diselesaikan? Di hotel, bersama Karina?"

Rahang Aditya mengeras. Ia terdiam sejenak, tapi hanya untuk sesaat sebelum menghela napas panjang. "Aurel, aku bisa jelaskan."

"Jelaskan?" Aurelia tertawa pendek, getir. "Lalu kau akan mengatakan ini hanya salah paham? Bahwa aku melihat sesuatu yang tidak nyata?"

Aditya menatapnya dengan ekspresi datar. Tidak ada penyesalan. Tidak ada ketakutan karena ketahuan. Justru ia terlihat… lega.

"Aku mencintainya, Aurel," kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

Dunia Aurelia serasa runtuh. Napasnya tercekat. Ia melangkah mundur, seolah kata-kata suaminya adalah tamparan yang menghantam wajahnya. "Kau mencintainya?" suaranya berbisik, nyaris tak percaya.

Aditya mengangguk pelan. "Aku tak ingin menyakitimu, tapi aku juga tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku dan Karina—kami sudah bersama cukup lama."

"Berapa lama?" Aurelia menelan kepedihannya, berusaha mempertahankan sisa harga dirinya.

Aditya mengalihkan pandangannya. "Dua tahun."

Dua tahun.

Dua tahun ia menjalani pernikahan dengan seorang pria yang mencintai wanita lain. Dua tahun ia hidup dalam kebohongan, sementara Aditya membagi cintanya dengan perempuan lain. Hatinya terasa dihantam ribuan duri, tapi air matanya belum jatuh. Ia menolak menangis di depan pria yang mengkhianatinya.

"Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari perselingkuhanmu?" suara Aurelia terdengar pelan, tapi penuh luka. "Kau tidak merasa bersalah."

Aditya menatapnya, ekspresinya tetap tenang. "Aku hanya ingin kau mengerti, Aurel. Aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku menyayangi Karina. Aku tidak ingin berpisah darinya."

Aurelia tertawa kecil, getir. "Kau ingin aku mengerti? Mengerti bahwa suamiku tidur dengan wanita lain selama dua tahun? Mengerti bahwa aku telah dipermainkan?"

Aditya mendesah, seolah bosan dengan percakapan ini. "Aku tak ingin berdebat. Aku lelah. Aku akan tidur di kamar tamu malam ini."

Ia berbalik, melangkah ke arah tangga.

"Jangan pernah kembali ke kamarku," suara Aurelia terdengar dingin, penuh ketegasan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri.

Langkah Aditya terhenti. Ia menoleh sebentar, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatapnya sejenak, lalu melanjutkan langkahnya ke atas.

Saat pintu kamar tamu tertutup, seluruh pertahanan Aurelia runtuh. Air matanya akhirnya jatuh, isak tangisnya menggema di ruang tamu yang kini terasa begitu asing.

Lima tahun ia mencintai pria itu, mempercayainya, mendampinginya dalam suka dan duka. Dan dalam sekejap, semua itu hancur.

Tapi satu hal yang pasti—Aurelia tidak akan tinggal diam. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima semuanya begitu saja, ia salah besar.

Pengkhianatan ini harus dibayar.

BAB 2 – LEBIH DARI SEKADAR PENGKHIANATAN

Langit sore meredup, menghamparkan warna oranye keemasan di cakrawala. Kota ini sibuk seperti biasa, tapi di dalam kafe mewah tempat Aurelia berdiri sekarang, waktu seolah berhenti. Pandangannya tajam menatap sepasang mata yang sejak tadi menunggunya.

Karina.

Wanita yang dengan bangga menyandang status sebagai orang ketiga dalam pernikahan Aurelia. Wanita yang kini duduk angkuh di sudut ruangan dengan kopi yang masih mengepul di hadapannya.

Aurelia menarik napas, mengendalikan detak jantungnya yang sempat berdebar lebih cepat. Tidak ada gunanya marah. Tidak ada gunanya menangis. Yang ada hanyalah rasa jijik.

Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju meja itu. Karina menoleh dan menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

"Tak kusangka kau benar-benar datang, Aurelia."

Aurelia menarik kursi di hadapan Karina, duduk dengan elegan, lalu menyilangkan kakinya. Tatapannya dingin, senyum tipis terukir di bibirnya.

"Dan aku juga tak menyangka kau punya keberanian untuk mengajakku bertemu setelah merebut suami orang."

Karina terkekeh, menyesap kopinya perlahan. "Rebut? Jangan naif, Aurel. Aditya datang padaku dengan sukarela."

Aurelia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Karina dengan sorot mata yang membuat wanita itu sedikit gelisah. "Oh, jadi kau bangga karena seorang pria yang menikahiku selama lima tahun, berbagi ranjang denganku, menyentuhku dengan janji manisnya, tapi tetap mencari wanita lain? Itu bukan prestasi, Karina. Itu hanya menunjukkan kau tidak lebih dari tempat persinggahan sementara."

Karina tersenyum sinis. "Aku yang ada di sisinya sekarang."

Aurelia tertawa kecil. "Sekarang? Ah, betapa lucunya. Kau pikir kau yang pertama?"

Karina terdiam sesaat. "Maksudmu?"

Aurelia bersandar ke belakang, memainkan jari di gelasnya dengan santai. "Kau pikir aku tidak tahu? Sebelum kau, ada wanita lain. Dan sebelum wanita itu, ada yang lainnya lagi. Kau hanya bagian dari daftar panjang, Karina. Tidak istimewa. Tidak berbeda. Dan sebentar lagi, kau juga akan digantikan."

Karina menggigit bibirnya, tampak tersinggung. Tapi dengan cepat ia menegakkan punggungnya, berusaha menunjukkan kepercayaan diri yang mulai goyah.

"Aku berbeda."

Aurelia mengangkat alisnya. "Benarkah? Coba tebak, apa yang dikatakan Aditya saat bersamamu?"

Karina mengerutkan kening.

"Ia mengatakan kau istimewa?" lanjut Aurelia. "Ia mengatakan kau satu-satunya? Bahwa ia akhirnya menemukan kebahagiaan sejati bersamamu?"

Wajah Karina mulai pucat.

"Aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya, Karina. Persis seperti itu." Aurelia tersenyum tipis. "Dan tebak? Aku mendengar kata-kata yang sama saat ia bersama wanita lain sebelum kau. Kau pikir Aditya berubah? Tidak, sayang. Kau hanya korban selanjutnya."

Karina menatap Aurelia dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada kemarahan di sana, tapi juga ketakutan.

"Omong kosong," gumamnya.

Aurelia menyandarkan punggungnya ke kursi. "Lihat saja nanti."

Pertemuan itu seharusnya berakhir di sana. Seharusnya ia cukup beranjak dan meninggalkan Karina dengan pikirannya yang kacau. Tapi sesuatu terjadi.

Saat Aurelia berjalan keluar dari kafe, seseorang berdiri di seberang jalan.

Seorang wanita.

Mata mereka bertemu. Wanita itu membeku, wajahnya pucat pasi.

Dan Aurelia mengenalnya.

Hatinya berdesir, bukan karena sedih, tapi karena ia tahu Persis bagaimana kelanjutan dari semua ini.

Wanita itu berjalan mendekat, langkahnya ragu-ragu. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, sebuah suara lain menyela.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Suara Karina.

Aurelia menoleh, menatap Karina yang kini berdiri dengan ekspresi penuh amarah. Berbeda dari tadi, kini Karina tak lagi menampilkan senyum sombongnya.

"Apa yang kau inginkan dariku, Aurelia?" suara Karina bergetar, tapi bukan karena takut. Lebih kepada kebencian yang membuncah.

Aurelia tetap tenang. "Aku?" Ia mengangkat bahu. "Aku tidak menginginkan apa pun darimu, Karina. Justru kau yang menginginkan sesuatu dariku—suamiku."

Wajah Karina memerah. "Dia bukan suamimu lagi! Dia memilihku!"

Aurelia mendekat, menatapnya dalam-dalam. "Benarkah? Atau kau hanya pilihan sementara?"

Karina mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Cukup!" bentaknya. "Aku muak dengan kata-katamu. Aku tidak peduli berapa banyak wanita sebelum aku, yang jelas sekarang aku yang bersamanya!"

Aurelia tertawa pelan. "Oh, Karina... Kau tidak mengerti, ya?"

"Apa lagi?" Karina mendesis.

Aurelia menyunggingkan senyum dingin. "Lihat ke belakangmu."

Karina ragu, tapi akhirnya menoleh.

Wanita tadi masih berdiri di sana, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya.

"Siapa dia?" tanya Karina, suaranya mulai melemah.

Wanita itu akhirnya bicara, suaranya gemetar. "Aku mantan pacar Aditya."

Karina tertawa sinis. "Dan kau pikir aku peduli?"

Wanita itu menatapnya dengan mata yang penuh luka. "Aku hanya ingin memperingatkanmu."

Karina melipat tangan di dada. "Peringatan? Untuk apa?"

Wanita itu menelan ludah. "Karena aku pernah ada di posisimu. Dulu, aku juga berpikir bahwa aku adalah satu-satunya. Bahwa Aditya memilihku dengan tulus. Bahwa ia meninggalkan semua wanitanya untukku termasuk istrinya."

Karina menggigit bibirnya, mulai tak nyaman.

"Tapi kemudian, dia mulai berubah," lanjut wanita itu. "Sama seperti dia berubah dari Aurelia kepadamu. Dan aku yakin, setelah ini, akan ada wanita lain setelahmu."

Karina menggeleng cepat. "Tidak. Aku berbeda."

Aurelia tersenyum miring. "Sama seperti aku dulu berpikir bahwa aku berbeda."

Karina terdiam.

Aurelia mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Karina, suaranya rendah namun menusuk.

"Aditya tidak pernah memilih siapa pun, Karina. Dia hanya memilih kesenangannya sendiri."

Karina menegang. Matanya melebar, seolah kenyataan itu menghantamnya tanpa ampun.

Aurelia menatapnya sekali lagi sebelum berbalik pada wanita di sampingnya. "Ayo pergi."

Wanita itu mengangguk pelan, dan bersama-sama, mereka melangkah meninggalkan Karina yang kini berdiri di sana dengan ekspresi yang tak lagi sombong, tapi penuh kebingungan dan ketakutan.

Karena untuk pertama kalinya, ia mulai meragukan segalanya.

Aurelia melangkah pergi dengan langkah ringan, seolah beban yang selama ini menekan dadanya perlahan menghilang. Angin sore membelai rambutnya, membawa serta kelegaan yang begitu nikmat.

Namun sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, ia menoleh sekali lagi ke arah Karina.

Wanita itu masih berdiri terpaku, wajahnya pucat, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Sorot matanya penuh kebingungan, kemarahan, dan ketakutan yang bercampur jadi satu.

Aurelia tersenyum tipis. Tidak ada belas kasihan. Hanya rasa puas yang tak terbendung.

Akhirnya.

Akhirnya Karina merasakan sedikit dari apa yang ia alami selama lima tahun bersama Aditya.

Tapi ini belum seberapa.

Aurelia kembali mendekat, berdiri tepat di hadapan Karina yang masih membeku. Dengan nada santai, ia menurunkan suaranya, cukup untuk membuat Karina semakin terhantam kenyataan.

"Ini baru satu wanita yang kuberitahu padamu, Karina."

Karina tersentak. "Apa maksudmu?" suaranya gemetar.

Aurelia menyeringai, menikmati bagaimana Karina mulai kehilangan pijakan. "Selama lima tahun aku bersamanya, ada lebih dari satu wanita sepertimu. Aku bisa memberitahumu satu per satu, kalau kau mau."

Karina menggeleng cepat, matanya membulat penuh ketakutan. "Kau berbohong. Aku tidak percaya!"

Aurelia tertawa kecil, suara tawanya begitu tenang tapi menusuk tepat ke jantung. "Tentu saja kau tidak percaya. Sama seperti aku dulu tidak percaya ketika ada yang memberitahuku."

Karina mencengkeram ujung bajunya sendiri, napasnya mulai tersengal. Ia berusaha keras menyangkal, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa pikirannya mulai dipenuhi keraguan.

"Jangan khawatir," lanjut Aurelia, masih dengan senyuman penuh kemenangan. "Kau akan tahu sendiri pada waktunya. Aku hanya membantumu menghemat waktu sebelum kau jatuh lebih dalam ke lubang yang sama."

Karina menutup matanya erat, menggigit bibirnya hingga hampir berdarah.

Aurelia menikmati pemandangan itu. Betapa nikmatnya melihat Karina yang sebelumnya penuh kesombongan kini mulai hancur perlahan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Karina dengan pikirannya yang berkecamuk.

Langkah Aurelia semakin ringan. Ia menegakkan punggungnya, menarik napas panjang, dan membiarkan angin membawa semua sisa kepedihan masa lalunya.

Di belakangnya, Karina masih berdiri di tempat yang sama, dengan wajah yang tak lagi penuh percaya diri.

Tepat sebelum Aurelia benar-benar menghilang dari pandangan, ia berhenti sejenak dan menoleh.

Dengan suara yang nyaris seperti bisikan tapi cukup keras untuk menusuk Karina hingga ke tulang, ia berkata:

"Aditya tak pernah benar-benar memilih siapa pun. Dia hanya memilih siapa yang bisa dia manfaatkan saat ini."

Dan setelah itu, ia pergi, meninggalkan Karina dengan dunia yang tiba-tiba terasa runtuh di sekelilingnya.

Bersambung.

BAB 3 – YANG TIDAK PERNAH KAU SADARI

Angin malam membelai wajah Aurelia ketika ia berdiri di balkon apartemennya, menatap gemerlap kota yang terasa begitu jauh dari hatinya. Gelas wine di tangannya bergoyang pelan, cairan merah di dalamnya berkilauan tertimpa cahaya lampu kota.

Hatinya tenang, tapi ada sesuatu yang menggelitik pikirannya.

Karina.

Wajah wanita itu tadi begitu kacau, hancur dalam kebingungan dan ketakutan. Aurelia tidak pernah menduga akan menikmati momen itu sepuas ini. Namun, ia tahu ini belum berakhir. Karina hanya awal.

Lalu, ponselnya bergetar.

Sebuah nama yang sudah terlalu lama ia abaikan muncul di layar.

Aditya.

Aurelia menatap nama itu lama, lalu tersenyum kecil. Secepat ini? Ia bahkan belum sempat menarik napas lega, tapi Aditya sudah mulai bertingkah seperti yang ia duga.

Ia membiarkan dering itu berlalu. Sekali. Dua kali. Hingga akhirnya hening.

Tapi tak butuh waktu lama sebelum ponselnya kembali bergetar. Kali ini, lebih lama.

Aurelia menghela napas, lalu akhirnya mengangkatnya. "Ada apa?" tanyanya dingin.

Di seberang sana, suara Aditya terdengar kasar, sedikit tergesa. "Kita harus bicara."

Aurelia terkekeh, matanya menatap ke kejauhan dengan bosan. "Tentang apa? Tentang betapa lucunya melihat pacar barumu hampir menangis tadi?"

"Aurelia, ini bukan main-main."

"Oh, aku tahu." Ia menyesap winenya dengan santai. "Aku sangat serius saat bilang bahwa dia hanya satu dari sekian banyak wanita sepertinya."

Ada keheningan di seberang.

Aurelia tersenyum puas. Aditya pasti sedang menggertakkan giginya sekarang.

"Aku tidak akan membahas Karina," ujar Aditya akhirnya, suaranya lebih lembut. "Aku ingin membahas kita."

Aurelia tertawa renyah, kali ini tanpa menyembunyikan ejekannya. "Kita?"

"Ya, kita."

"Apa kau lupa?" suaranya tetap ringan, tapi menusuk. "Sudah tidak ada ‘kita’ sejak kau memilih mengkhianati semua yang pernah kita bangun bersama."

"Aku tidak pernah memilih untuk mengkhianatimu."

Aurelia mengerutkan kening, tak percaya laki-laki ini masih berani mengeluarkan kata-kata seperti itu. "Jangan menghinaku, Aditya. Kau pikir aku bodoh?"

"Aku hanya..." Aditya menghela napas. "Aku hanya kehilangan kendali. Itu bukan berarti aku tidak mencintaimu."

Aurelia meletakkan gelas winenya di pagar balkon, jemarinya mencengkeramnya erat. "Lalu, kau ingin aku bagaimana? Menerima bahwa kau hanya ‘kehilangan kendali’ dan memaafkanmu begitu saja?"

"Setidaknya dengarkan aku."

"Untuk apa?" Aurelia menggeleng sambil tersenyum dingin. "Supaya kau bisa mengulang semua kebohonganmu?"

Aditya terdiam.

Ada jeda yang panjang di antara mereka.

Aurelia menikmati momen itu. Momen di mana Aditya, untuk pertama kalinya, menyadari bahwa ia tidak akan bisa mengendalikan segalanya seperti yang biasa ia lakukan.

"Aku tidak bisa melepaskanmu, Aurelia."

Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat jantung Aurelia berdetak lebih cepat.

Ia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Ia sudah tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari mulut Aditya terasa berbeda.

"Kau sudah melakukannya," jawabnya akhirnya.

"Tidak," Aditya bersikeras. "Aku pikir aku bisa, tapi aku tidak bisa."

Aurelia mendengus. "Dan kau baru menyadarinya sekarang? Setelah aku melihatmu dengan wanita lain?"

"Aku salah..."

Aurelia terkekeh lagi. "Kau selalu salah, Aditya. Dan aku selalu menjadi korban dari kesalahanmu."

Aditya terdiam, tapi ia tidak menutup telepon.

Aurelia tahu dia sedang berpikir, sedang mencari cara untuk membalikkan keadaan. Tapi tidak ada lagi yang bisa dibalikkan.

Lalu, Aditya berkata sesuatu yang membuat napas Aurelia tercekat.

"Aku tahu kau masih mencintaiku."

Darahnya mendidih.

Ia menggigit bibirnya, menahan tawa sinis yang ingin meledak keluar. "Kau terlalu percaya diri."

"Aku mengenalmu, Aurelia. Kau bisa berpura-pura sekuat apapun, tapi aku tahu kau tidak akan pernah benar-benar melupakanku."

Aurelia menutup matanya, merasakan amarah yang selama ini ia tahan mulai merayap naik.

Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan nada yang begitu lembut, tapi mematikan.

"Kau benar, Aditya."

Aditya terdiam, mungkin berpikir bahwa ia telah menang.

Tapi Aurelia belum selesai.

"Aku tidak akan pernah melupakanmu."

Ada keheningan sejenak, sebelum Aurelia menambahkan, "Tidak ada orang yang akan lupa bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang paling mereka percaya."

Telepon terputus.

Aditya memandangi layar ponselnya, dadanya berdebar tak karuan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang benar-benar asing.

Ketakutan.

Bukan karena kehilangan, tapi karena mengetahui bahwa mungkin… hanya mungkin… kali ini, ia benar-benar telah kehilangan Aurelia untuk selamanya.

****

Aurelia menutup telepon dengan jemarinya yang gemetar. Ia membiarkan ponselnya tergeletak di meja balkon, menatapnya seolah itu benda asing yang baru saja membakar telapak tangannya.

Matanya menatap ke langit yang gelap, diwarnai gemerlap lampu kota yang tampak jauh di bawah sana. Angin malam berembus lembut, tapi dinginnya tak mampu menenangkan hatinya yang kembali bergejolak.

"Aku tahu kau masih mencintaiku."

Suara Aditya masih bergema di kepalanya, berputar tanpa henti, menyusup ke setiap celah luka lama yang sudah susah payah ia sembuhkan.

Ia menghela napas panjang.

Tidak. Aku tidak boleh membiarkan ini berpengaruh padaku lagi.

Aurelia menyambar gelas wine-nya dan meneguknya dalam sekali tegukan. Rasa asam manisnya seharusnya bisa menenangkan, tapi malam ini, bahkan alkohol pun tak mampu meredakan amarah dan luka yang kembali terbuka.

Di tempat lain, di sebuah rumah yang pernah mereka bangun bersama, Aditya berdiri di depan jendela kamarnya yang luas. Lampu di ruangan itu temaram, menciptakan bayangan panjang dirinya di lantai marmer yang dingin.

Ponsel masih ada di genggamannya, tapi panggilan itu sudah berakhir.

Suaranya sendiri masih bergema di dalam pikirannya.

"Aku tahu kau masih mencintaiku."

Apa yang barusan ia katakan? Apa yang sebenarnya ia harapkan dari Aurelia?

Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Kepalanya penuh. Pikirannya tak tenang.

Sebelumnya, ia selalu yakin bahwa jika ia menginginkan sesuatu, maka ia akan mendapatkannya kembali. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, keyakinan itu goyah.

Aurelia berbeda.

Wanita itu bukan Karina, bukan wanita lain yang bisa ia mainkan sesuka hatinya.

Aurelia tidak menangis, tidak memohon, tidak tersakiti seperti yang ia duga.

Sebaliknya, ia menyindir dengan senyum dingin, ia menghancurkan harga diri Aditya dengan kata-katanya, dan yang paling menyakitkan—ia pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Aditya meremas ponselnya.

Kenapa ia merasa seperti ini? Kenapa ia merasa seolah sesuatu yang penting sedang benar-benar terlepas dari genggamannya?

Di apartemen, Aurelia masuk ke dalam, membiarkan angin malam tertutup di balik pintu kaca yang besar. Ia berjalan ke arah sofa, melemparkan dirinya ke sana dan menutup wajah dengan kedua tangan.

"Aku tahu kau masih mencintaiku..."

Aurelia terkekeh miris.

Aditya memang brengsek. Begitu pandai memainkan kata-kata. Seolah-olah ia bisa datang kapan saja, berkata sesuka hatinya, dan dunia akan kembali berputar sesuai kehendaknya.

Tidak lagi.

Bukan lagi dirinya yang dulu.

Pikirannya kembali ke lima tahun yang mereka habiskan bersama. Setiap kenangan muncul seperti kilatan-kilatan yang menyakitkan.

Suara tawa mereka di pagi hari.

Pelukan hangat di malam yang dingin.

Kata-kata manis yang dulu membuatnya merasa istimewa.

Lalu... pengkhianatan itu.

Bagaimana ia berdiri di ambang pintu rumah mereka, memegang hasil tes kesehatan yang menyatakan dirinya sehat, sementara Aditya dengan santainya memilih mempercayai wanita lain yang mengatakan bahwa Aurelia mandul.

Bagaimana ia menemukan bukti demi bukti bahwa Aditya sudah mulai mencari "penggantinya" bahkan sebelum ia benar-benar pergi.

Bagaimana, di saat Aurelia berjuang untuk mempertahankan pernikahan mereka, Aditya justru sibuk menikmati hidup dengan wanita lain.

Aurelia meremas dadanya.

Sakit.

Tapi di balik sakit itu, ada sesuatu yang lain.

Kemenangan.

Karena malam ini, bukan ia yang tersiksa. Bukan ia yang menangis di sudut kamar dengan hati yang remuk.

Malam ini, Aditya yang tak bisa tidur.

Malam ini, giliran Aditya yang merasakan kehilangan.

Di rumah besar yang seharusnya terasa nyaman, Aditya menatap ruang kosong di samping ranjangnya. Tempat di mana dulu Aurelia biasa tidur, dengan punggungnya yang hangat dan napasnya yang lembut.

Dulu, ia tidak pernah memperhatikannya.

Tapi kini, kekosongan itu begitu nyata.

Ia mencoba berbaring, menutup mata, berharap bisa terlelap.

Tapi yang ia dengar hanya suara Aurelia.

"Aku tidak akan pernah melupakanmu. Tidak ada orang yang akan lupa bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang paling mereka percaya."

Aditya membuka matanya lagi, tatapannya kosong menatap langit-langit.

Terlambat.

Mungkin kali ini, ia benar-benar sudah terlambat.

Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa ia terima.

Aditya meraih ponselnya lagi, kali ini dengan tekad yang lebih kuat.

Jika ia tidak bisa menghubungi Aurelia, maka ia akan menemukannya.

Karena ada sesuatu yang baru saja ia sadari.

Ia tidak pernah benar-benar bisa melepaskan Aurelia.

Dan ia tidak akan membiarkan Aurelia pergi begitu saja.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!