NovelToon NovelToon

Our Lovely Miss Shasha

[1] Hell-O Iblis Kecil

    “Sha, cepetan berangkat! Sopir taksinya udah nunggu dari

tadi di depan!” Dari arah ruang tamu Mama Shasha berteriak lantang.

    Shasha yang masih mencari karet rambutnya segera terlonjak setelah mendengar pintu kamarnya dibuka kasar oleh sang ibu. Cengiran Shasha menyambut omelan Daniar yang terus saja berdengung di telinganya. Gadis itu pun terhenyak kaget saat sang ibu menarik rambutnya cukup kasar ke belakang. Namun, sebelum ia sempat

berteriak, ia merasakan rambutnya disisir dan diikat rapi oleh ibunya. Shasha pun berbalik dengan senyum sayangnya. Diciumnya pipi Daniar cepat sebelum berlari ke teras rumah dengan terburu-buru. Bahkan kedua sepatunya dijinjing sampai masuk ke dalam taksi.

    “ Bye, Mamaaa!” Shasha melambaikan tangannya dari balik jendela taksi dan berteriak kepada Daniar. Daniar yang terengah-engah sampai di depan pagar rumah juga membalas lambaian tangan anaknya lalu mengacungkan dua kepalan tangan untuk menyemangati Shasha yang semakin lama semakin jauh. Digelengkan kepalanya menghadapi kelakuan putri semata wayangnya itu yang begitu jahil. Diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja makan, lalu dikirimnya pesan singkat ke nomor Shasha.

    Shasha yang sudah tidak dapat melihat ibunya segera menutup jendela. Ditengadahkan kepalanya di sandaran kursi mobil. Reflek ia pun mengangkat jam tangan yang menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh satu menit. Matanya mengerjap untuk memastikan bahwa ia tidak salah melihat. Dicek berulang kali sampai akhirnya ia membuka mulutnya lebar-lebar. Aku gak akan telat di hari pertama, kan?

    Gadis itu kini tampak gugup. Kedua kakinya dihentakkan pelan, sementara tangannya juga tak dapat diam. Berkali-kali ia meminta Pak sopir menancap gas lebih kencang. Ia tidak ingin di hari pertamanya bekerja, ia dicap sebagai pemalas karena terlambat. Kuku ibu jarinya pun ia gigit seraya menengok ke luar jendela. Sialnya, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi nyaring. Matanya pun melotot setelah membaca pesan yang dikirimkan ibunya.

    Selamat bekerja anakku sayang. Selamat bertemu anak-anak kecil menggemaskan. Semoga nanti mereka semua bisa buang air sendiri, jadi kamu gak usah repot-repot gantiin diaper mereka. Salam sayang dari Mama

    Shasha mendengus geli setelah membaca pesan tersebut. Namun ia memilih tidak menjawab pesan dari ibunya. Dimasukkan ponselnya ke dalam tas dan memilih bersandar di jok mobil. Untung mama sendiri.

    Saat jam tangannya menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, ia baru turun dari taksi itu. Dipandangnya gerbang warna-warni yang saat ini sudah tertutup. Diketoknya beberapa kali sampai sebuah kepala laki-laki paruh baya melongok dari lubang kecil di ujung pagar. Menanyakan identitasnya.

    “Cari siapa ya, Bu?” tanya satpam.

    “Saya Shasha, Pak. Guru baru di sini.” Shasha mencoba tersenyum simpul menanggapi perkataan satpam itu yang nampak curiga padanya.

    “ Ada sih guru baru, Bu. Tapi namanya bukan Shasha. Ibu ngaku-ngaku, ya?”   Mata satpam itu memicing mengamati Shasha dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi memang tidak ada hal janggal dengan dandanan gadis itu yang bisa membuat orang salah sangka. Shasha yang dipandangi seperti itu pun berdeham dan melepas kacamatanya.

    “Yaampun, Non Shasha! Bapak pangling gara-gara Non Shasha tambah cantik. Udah gede juga. Lagian daritadi gak langsung panggil bapak aja.”

    Shasha tersenyum masam lalu segera masuk setelah dibukakan pagar oleh Pak Amet. Pak Amet pun kembali meminta maaf karena tidak mengenali Shasha. Wajar saja kalau satpam itu tidak lagi mengenali Shasha, sebab gadis itu terakhir berkunjung ke sini delapan tahun lalu. Saat ia masih duduk di bangku SMP.

    Diketuk pintu ruangan kepala sekolah yang tak lain adalah ruangan Tante Rahma. Di sana teman ibunya itu sedang membalik beberapa lembar kertas. Gelagatnya yang ingin menjahili Shasha pun sudah terbaca. Sebelum itu terjadi, Shasha lebih dulu memberikan penjelasan mengapa ia terlambat dengan bibir cemberut. Gadis itu dengan santainya menghempaskan pantatnya ke sofa hitam di sudut ruangan yang terletak dibawah AC. Tangannya mengipas-ngipas seadanya untuk meredakan gerah.

    Tiba-tiba muncul setumpuk kertas di depan matanya. Diliriknya Tante Rahma yang kini menarik tangannya untuk diajak ke kelas yang akan dia ajar. Sepanjang jalan dari ruang kepala sekolah mulut Tante Ratna tak berhenti mengoceh tentang kondisi kelas yang akan ditempatinya. Sedangkan Shasha yang memang malas mendengarkan hanya bisa menangkap sepenggal kalimat. “—mereka aslinya baik, kok.”

    Saat pintu kaca itu terbuka, nampak sepuluh anak—empat laki-laki dan enam perempuan. Mereka semua duduk manis di kursinya masing-masing lalu menyambut sapaan yang diucapkan Tante Rahma. Mata bulat mereka memandanginya yang nampak asing bagi mereka. Kecuali satu anak laki-laki yang duduk paling ujung. Ia sibuk menundukkan kepala tak menghiraukan kehadirannya.

    “She is Miss Shasha. She’ll be your teacher. Come here and hug her now. She’ll be love it!”

    Mulut Shasha ternganga saat mendengar Tante Rahma meminta mereka memeluknya. Kesembilan anak itu berlari seraya merentangkan tangannya menuju ke arah gadis itu. Shasha terhentak mundur saat badan mereka begitu kuat menghantamnya. Tangan mereka juga memeluk ketat pahanya. Namun, anak laki-laki yang berada di ujung meja itu tampaknya masih tak menganggap kedatangan Shasha. Tiba-tiba terdengar bunyi aneh di kerumunan anak-anak itu. Ditambah perasaan basah yang menembus kain celana Shasha.

   SROOOT!

    Matanya membulat saat ada anak lelaki dengan wajah khas Jawa menunjukkan cengirannya. Ingusnya juga masih menggantung di ujung hidungnya. Shasha linglung memandang antara anak itu dan celananya yang saat ini membekas basah di area paha kanan. Lendir-lendir putih dan kuningmasih menempel di sana. Ia pun mendengar bisikan di telinganya dari Tante Rahma yang mencoba menenangkan hatinya.

    “Sabar... Orang sabar disayang Tuhan loh, Sha. Mereka juga masih kecil” ucap Tante Rahma.

    Dipandangnya Tante Rahma yang sedang menarik beberapa lembar tisu dan membersihkan ingus di hidung anak lelaki itu. Anak itu mengedip-ngedipkan matanya dengan manipulatif, Shasha pun tak tahan dengan tingkahnya. Ia mencoba menenangkan dengan berjongkok dan mengambil tangannya. Namun yang membuat perempuan itu kembali melotot adalah tangan kecil yang ternyata penuh ingus itu digosokkan ke

tangan Shasha. Setelah itu dia mengatakan sesuatu dan tersenyum jahil yang membuat Shasha langsung terduduk di lantai.

    “Sorry, Miss. Bima sengaja.” Anak itu pun langsung berlari ke luar kelas.

    Saat ini jam baru menunjukkan pukul sepuluh, Tante Rahma sudah kembali ke ruangannya sejak tadi. Shasha pun sudah membersihkan tangan dan celananya yang penuh dengan lendir sialan milik bocah bernama Bima itu. Dia hanya bisa menghembuskan napas sebal kala mengingat kejadian memalukan tadi.

    Untuk menghilangkan pening di kepalanya, ia pun menonton video youtube milik Albert Geraldio. Laki-laki tampan keturunan Inggris yang sering membuatnya berkhayal menjadi kekasihnya. Belum juga satu video habis ditonton, bel masuk berbunyi nyaring mengharuskannya kembali bertemu para iblis kecil itu.

    Anak-anak itu sekarang sedang duduk manis di atas meja bundar dengan piring yang berisi buah-buahan di depannya. Mereka makan dengan lahap seakan benar-benar lapar. Shasha di mejanya bolak-balik mengamati mereka satu per satu dan lembar portofolio yang berisi biodata mereka. Dia hanya mampu menggelengkan kepalanya saat kembali membaca ulang latar belakang mereka. Pantesan merek tas sama sepatunya gak bisa nyantai.

    “AWWWWW! Pantat Nay sakit, Shinta!” Nay berteriak keras sembari memegang pantatnya yang baru saja terbentur lantai. Shasha terlonjak saat mendengar teriakan cempreng gadis kecil itu. Ia melihat gadis kecil bernama Nay jatuh terjerembab ke lantai karena didorong oleh Shinta. Mata Nay mulai memerah saat Shasha menghampirinya. Dipeluknya perut Shasha dengan erat. Ia pun menangis tersedu-sedu sambil menunjuk Shinta. Berkali-kali ia mengucapkan ‘Shinta jahat’. Namun Shinta yang dituding seperti itu sama sekali tidak peduli. Justru ia dengan tenang kembali memakan buah mangganya.

    “Shinta kenapa dorong Nay keras sampai dia jatuh?” Shinta mengelus pundaknya perlahan. Mencoba tidak menghakiminya. Namun Shinta mendongak dan memandangnya sengit.Shinta lalu mengalihkan tatapannya ke arah Nay dan ekspresinya semakin tidak enak dipandang.

    “Nay bantu Shinta, Shinta gak suka.” Lalu Shinta melengos pergi meninggalkan Shasha yang melongo.

    Kepala Shasha rasanya ingin pecah menghadapi setan-setan cilik itu. Setelah kejadian Nay dan Shinta tadi masih banyak kejadian-kejadian absurd lainnya. Gadis itu hanya bisa bolak-balik menghembuskan napas dan menepuk dadanya. Mencoba bersabar dan menguatkan diri sendiri. Ini baru hari pertama, Sha. Semangat! Berulang kali Shasha menggumamkan kalimat itu. Mendoktrin pikirannya agar tak sejalan dengan hati yang sudah lelah itu.

    Saat ini semua anak sudah keluar dari kelas. Mereka ada yang sedang menunggu di ruang bermain, maupun menunggu di taman bermain. Gadis itu pun memutuskan segera mengambil tasnya di ruang guru dan segera pulang.

    “Mbak Sha, gimana hari pertamanya mengajar di kelas bear?” Bu Ayu salah satu guru di sana tiba-tiba bertanya.

    “Luar biasa Bu, pokoknya! Mantap!”  Shasha hanya bisa berpura-pura tersenyum membalas pertanyaan retoris yang dilayangkannya. Kepalan gadis itu diangkatnya tinggi-tinggi seakan membenarkan kata-kata yang diucapkannya. Sedangkan semua orang di ruang guru hanya bisa menertawakannya perlahan. Ia pun berjalan ke luar pagar untuk menunggu taksi jemputannya.

    Sesampainya di rumah, Shasha langsung melemparkan tas dan kaos kakinya ke atas sofa. Tak dihiraukannya pelototan Daniar yang keluar dari dapur sambil membawa spatula. Sebelum sempat mulut ibunya itu mengoceh, Shasha lebih dulu memeluk perut ibunya yang berlemak itu. Lalu diceritakannya pengalaman-pengalaman yang dilaluinya hari itu. Daniar pun tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata setelah mendengar cerita Shasha. Gadis itu yang sebal karena ditertawakan memilih untuk meninggalkan ibunya ke dapur.

    “Yaampun, Mama! Ayam gorengnya gosong!” Teriak Shasha dari dapur.

    “Matiin, Sha kompornya!” Daniar yang panik segera berlari ke dapur, namun di atas wajan ia melihat ayam gorengnya baik-baik saja. Ekor matanya menangkap pergerakan Shasha yang sedang berlari keluar lewat pintu belakang.

    “Tapi bohong, Ma!” Shasha mengintip di balik pintu dengan mulutnya yang tersenyum mengejek.

    “Dasar anak kurang ajar!” Seru Daniar.

    Gadis itu tertawa terbahak-bahak sambil tetap berlari. Bahkan air matanya sampai keluar. Akhirnya ia berhenti di ujung taman dengan napas yang tersengal-sengal. Dilihatnya sang ibu yang juga sudah kelelahan di dekat pintu dapur. Shasha pun berlari merentangkan tangannya dan memeluk Daniar erat.

[2] Mommy Bear

    Tiga hari sudah Shasha beradaptasi dengan mereka. Setidaknya di hari keempatnya ini, ia yakin tidak akan lagi dikerjai oleh anak-anak itu. Hari ini mereka akan belajar motorik. Mulai dari motorik halus dan motorik kasar. Shasha yang pagi itu duduk manis di ruang guru sudah siap dengan baju olahraganya. Dipandanginya anak-anak kecil yang masuk ke dalam gerbang. Dari sekian banyak anak yang masuk, jarang sekali dilihatnya orang tua yang mengantarkan anaknya. Lebih banyak pengasuh dan sopir yang justru mendampingi anak-anak itu. Shasha hanya bisa menggeleng dan menghembuskan napasnya.

            Shasha mengarahkan anak-anak yang saat ini sedang berlarian. Mereka pun mulai berbaris rapi. Pelajaran motorik kali ini dimulai dengan senam yang dipimpin oleh Shasha. Kemudian berjalan di atas ban, lalu dilanjutkan dengan melompat lima kali melewati rintangan, setelah itu naik ke perosotan. Anak-anak itu terlihat begitu gembira. Lima belas menit sudah Shasha memberi anak-anak itu waktu istirahat dan dia mengajak  mereka masuk ke dalam kelas namun Kia tetap diam di ayunan, tidak ingin kembali.

            “Hey, come here baby!” Shasha memanggil Kia.

            “No, Miss. I’m not a baby girl anymore! Don’t call me like that!” Kia memberengutkan bibirnya karena dipanggil seperti itu oleh Shasha. Kedua tangannya dilipat di depan dada.

            “Yup! You’re not a baby girl, but you’re my baby bear.” Shasha pun menggendong Kia dari ayunan dan membawanya ke dalam kelas.

            “If I am a baby bear, you’re the mommy bear, Miss! ” Teriak Kia.

            Gadis itu hanya bisa tersenyum karena setelah mengatakan kalimat itu, Kia langsung berlari menuju teman-temannya dan berteriak mengumumkan bahwa Shasha adalah mommy bear mereka. Shasha pun segera mengambil sekotak puzzle untuk disusun oleh anak-anak. Ada juga clay dan juga lego.

 

Kebanyakan anak perempuan memilih untuk memainkan clay dan juga puzzle. Namun tidak dengan Kia. Shasha melihatnya sedang mengaitkan  beberapa buah lego menjadi bentuk robot.

 

            Shasha pun keluar sebentar menuju kamar mandi. Di sana ia bertemu dengan Bu Kinta, salah seorang guru senior di TK Dharmawangsa. Ia melihat Bu Kinta sedang kebingungan dengan setumpuk buku di tangannya. Shasha pun menghampirinya dan mencoba membantunya. Ternyata Bu Kinta sedang sakit perut namun tidak tahu akan meletakkan bukunya di mana. Sehingga Shasha berinisiatif untuk membawakannya ke ruang guru.

            Sepuluh menit sudah Shasha meninggalkan murid-muridnya. Namun betapa terkejutnya saat ia membuka pintu ruang kelas. Dilihatnya Raja yang sedang berdiri di depan Kia. Tangannya tiba-tiba memukul wajah Kia lalu sebelum pergi ia berbalik dan meludahi wajah Kia. Namun, Kia sama sekali tak membalas, justru ia menahan tangisnya lamat-lamat.

            Shasha langsung berlari mengambil tisu dan membersihkan wajah Kia. Anak itu menunduk, seakan menghindari tatapan Shasha. Shasha yang melihat mata Kia memerah langsung mendekapnya. Memintanya untuk menangis saja. Dia tidak ingin anak sekecil Kia menahan semua beban perasaan. Setelah reda menangis, Shasha  mengusap pipi gadis kecil itu. Ditariknya kedua ujung bibir itu agar Ia tersenyum.

            “Raja, sini. Kenapa Raja pukul Kia? Raja juga ludahin Kia. Minta maaf, ya”,  ucap Shasha

            Shasha menghampiri Raja yang sama sekali tidak merasa bersalah. Justru ia masih menyusun lego-nya tanpa beban. Ia melirik Shasha sebentar lalu kembali mengambil lego-lego-nya. Shasha berjongkok di depannya. Dipandangnya mata Raja yang benar-benar tidak merasa bahwa apa yang dia lakukan itu salah. Shasha kembali bertanya alasan Raja memukul dan meludahi Kia, namun ia tetap bungkam. Justru sekarang ia memandang Kia dengan sengit. Di tempatnya, Shasha merasakan seseorang menarik kemejanya. Dilihatnya Kia sedang berdiri di dekatnya.

            “I took Raja’s lego, Mommy bear...” Kia mengatakan itu dengan suara pelan. Kepalanya kembali menunduk. Diliriknya Raja yang sedang mengambil puzzle di kotak mainan. Kia juga melihat Shasha yang saat ini sedang duduk sambil melamun di lantai. Kia tahu dia salah, om dan omanya selalu marah jika dia tidak meminta maaf. Jadi, Kia pikir Shasha juga marah padanya.

            “I’m sorry Raja.” Kia mengulurkan tangannya ke arah Raja. Namun bocah lelaki itu masih melengos. Ditepisnya tangan Kia dengan keras. Lalu ia berlari menuju ke sudut kelas. Shasha yang sudah tidak tahu lagi harus menghadapi temperamen Raja yang seperti itu segera pergi ke ruangannya. Diteleponnya ibu dari Raja. Perempuan itu awalnya menolak untuk datang, namun Shasha memohon berulang kali. Akhirnya Maria—Ibu Raja menyanggupinya. Dia bilang akan datang setelah jam sekolah usai . Shasha pun menghubungi orang tua Kia. Ia memberitahukan kejadian yang dialami Kia tadi. Berharap bahwa orang tua Kia juga bisa datang mendampingi gadis kecil ttu.

            Setelah menyanyikan lagu perpisahan dan juga berdoa, murid-murid segera menghambur ke luar. Mereka begitu antusias untuk kembali bermain di taman sembari menunggu jemputan. Sedangkan Raja yang saat ini digandeng oleh Shasha hanya bisa mengamati mereka. Sekarang Shasha, Raja, dan Kia sudah ada di ruang konsultasi. Menunggu orang tua mereka datang.

            Belum juga sepuluh menit menunggu, pintu kaca itu terbuka. Menampilkan seorang perempuan cantik yang masih mengenakan pakaian kantor, Sedangkan lelaki di samping perempuan itu, Shasha bisa menebak bahwa dia adalah papanya Raja. Wangi parfum mahal tercium membuat hidung Shasha gatal. Disilahkannya dua orang itu duduk dan ia langsung menjelaskan kejadian tadi.

            “Kami harap Bapak dan Ibu selalu memantau perkembangan Raja. Jika temperamennya tidak segera diperbaiki, saya takut akan memengaruhi sikap Raja nantinya.” Shasha tersenyum sopan, mencoba seramah mungkin kepada mereka. Dia tidak ingin dianggap melimpahkan kesalahan kepada orang tua Raja. Perempuan itu hanya ingin aktif memberitahu semua perkembangan anak kepada orang tuanya.

            Di tempatnya, Raja hanya terdiam sambil memainkan jari-jarinya. Kepalanya menunduk dalam. Tidak mau menatap orang tuanya. Apalagi saat sang papa memanggilnya. Bukannya mendekat justru anak itu beringsut ke pojokan sofa. Enggan membuka suaranya. Ditatapnya mata Shasha dengan khawatir sebelum kembali menunduk.

            “Kenapa kamu pukul temanmu, Raja?”

            Pria yang Shasha tahu adalah suami Bu Maria menanyakan hal itu pada anaknya. Menatap tubuh Raja tajam. Bocah itu yang sedari tadi diam tiba-tiba membuka suara di hadapan papanya.

            “Kia curi lego aku!” Raja berteriak sembari memandang Kia tajam.

            “NO! Aku gak curi lego Raja! I just took it on the floor near him!” bela Kia.

            Emosi Kia nampaknya sudah mulai tersulut setelah terus diabaikan oleh Raja. Ditatapnya Raja dengan sengit. Wajahnya merah padam karena marah. Shasha yang tidak ingin lagi ada keributan segera membawa Kia ke ruang bermain yang sudah sepi. Namun dititipkannya Kia di sana dengan petugas jaga ruang bermain. Ia pun kembali ke ruang konsultasi, Belum sempat ia membuka pintu, didengarnya teriakan Raja yang membuat hati Shasha terpukul

            “Kenapa Raja harus minta maaf?! Papa aja pukul Raja gak pernah minta maaf!” ucap Raja pada papanya.

            Shasha berdiri diam di depan pintu selama tiga menit. Menunggu agar kondisi di dalam ruangan lebih kondusif. Setelah tidak mendengar suara apapun, gadis itu memberanikan masuk ke dalam. Di sana, orang tua Raja masih duduk di posisi yang sama. Raja juga masih beringsut di sudut sofa. Tidak menghiraukan mereka.

            Setelah selesai mengobrol, orang tua Raja pamit pulang. Ke luar ruang konsultasi, Raja langsung berlari ke arah mobil mereka berada. Shasha pun mengantar mereka sampai ke tempat parkir. Dilihatnya seorang sopir yang menunggu mereka di sana. Mobil mereka pun melaju. Namun sebelum jendela sepenuhya tertutup, ia melihat bahwa Bu Maria langsung menjewer Raja dengan keras. Air mata bocah itu akhirnya luruh juga setelah dari tadi sama sekali tidak menangis.

            Shasha membekap mulutnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Maria Rosani, sekretaris partai kenamaan yang selama ini dicap sebagai perempuan anggun nan cerdas bahkan tega memperlakukan anaknya sedemikian rupa. Dua puluh dua tahun hidupnya, tidak pernah ia merasakan namanya diperlakukan kasar oleh orang tuanya. Walau Mamanya sering berteriak atau mengancam untuk memukulnya, ia tahu itu hanya candaan belaka.

            Shasha berbalik, ingin menuju ke ruang bermain melihat kondisi Kia. Sudah satu setengah jam dari jam pulang dan ia bahkan belum melihat sopir yang menjemput Kia. Namun sungguh terkejut Shasha saat ada lelaki yang semua orang tahu namanya, Albert Geraldio. Youtuber  kenamaan yang karirnya kini sedang melejit. Gadis itu juga sering menonton video lelaki itu di ponselnya saat bosan melanda.

            “Permisi, Mbak. Saya mau jemput Kia.” Gerald melambaikan tangannya di depan wajah Shasha yang sedang melamun. Akhirnya ditepuknya bahu Shasha karena perempuan itu tak kunjung menjawabnya. Wajah gadis itu memerah saat ia sadar ia benar-benar berdiri di depan seorang Gerald yang selama ini hanya bisa dilihatnya di layar ponsel.

            “Eh, iya. Mau cari siapa Mas Gerald ke sini?” Shasha mencoba bertanya dengan tegas. Maksud hati biar tidak terlihat norak.

            “Saya mau cari Kia, keponakan saya,  Mbak cantik,” ucap Gerald sembari tersenyum.

            Shasha kembali salah tingkah. Perkataan Gerald beserta kedipan matanya membuat ia hilang fokus. Cepat-cepat ia berjalan meninggalkan Gerald yang tersenyum di belakang. Gadis itu berjalan menuju ruang bermain di mana ia menitipkan Kia. Namun, sebelum masuk ia berhenti dan mengambil napas berulang kali. Shasha berbalik dan menunggu Gerald. Ia ingin menceritakan kejadian tadi terlebih dahulu agar lelaki itu tidak kaget melihat pipi keponakannya memerah.

            Sesudah penjelasan panjang yang Shasha ucapkan, Gerald hanya bisa tersenyum masam. Ia tahu keponakannya itu tidak pernah membalas orang lain. Karena Gerald sendiri yang terus-menerus mengajari Kia bahwa ia tidak boleh membalas kejahatan orang lain.

            Shasha masuk ke ruang bermain. DIlihatnya Kia sedang tidur di sudut tempat boneka-boneka besar diletakkan. Boneka beruang besar itu dipeluknya erat. Shasha pun membangunkannya perlahan. Gadis kecil itu mengerjapkan matanya menatap Shasha lekat.

            “Mommy Bear?” Gadis kecil itu merentangkan kedua tangannya meminta gendong Shasha. Namun, bukannya Shasha yang menyambut uluran tangan Kia. Gerald yang ada di belakang Shasha dengan sigap menggendong keponakannya. Ia juga mencium pipi Kia dan mencubit hidungnya sampai memerah.

            “Om ganteng!” Kia pun membalas pelukan Gerald dengan erat. Ia juga mencium pipi pamannya itu. Sedangkan di tempatnya Shasha hanya bisa berandai bahwa ia menjadi Kia agar bisa mencium pipi pria itu.

[3] Detektif

            Sore itu, Shasha membantu Daniar memasak. Tapi gadis itu justru melamun. Daniar yang kesal langsung saja menginjak kaki putrinya. Shasha menjerit tertahan mendapati kakinya yang tiba-tiba sakit. Mulutnya pun hampir kelepasan mengumpat sebelum melihat pelototan mamanya.

            “Kesambet baru tahu rasa kamu. Ngelamun terus.”

            Daniar mencibir pelan anaknya yang saat ini sedang mencebikkan bibirnya. Shasha yang tahu sang ibu sedang kesal segera memeluknya. Beginilah gadis itu di rumah, selalu manja kepada Daniar. Tidak pernah sehari pun ia tidak menggoda ibunya. Namun setelah itu ia pasti akan memeluk ibunya sebagai permintaan maaf. Seperti itulah kedua orang itu menyalurkan kasih sayangnya.

            “Menurut Mama wajar gak sih anak usia empat tahun mukul dan ngeludahin orang lain?”

            Daniar mengerutkan keningnya memandang Shasha. Tidak biasanya Shasha menanyakan hal serius seperti itu. Terlebih tentang anak kecil. Daniar ingat betul, dulu putrinya itu mulai tidak menyukai anak kecil saat salah satu keponakannya datang ke rumah dan tidak sengaja mengencingi laptop Shasha. Gadis itu benar-benar tidak terima karena laptop itu baru dibelikan ayahnya kemarin. Lalu saat Shasha memarahi sepupunya itu, semua orang justru menyalahkannya.

            “Idih, Mama ganti yang ngelamun! Jawab dong, Ma!” Shasha merengek mengguncang lengan ibunya.

            “Ya bisa aja. Gitu tergantung lingkungannya, kok. Kalau gaulnya sama orang gak bener, ya jadinya gak bener.” Daniar mengedikkan bahunya dan terus melanjutkan memotong wortel.

            “Ssttt… Mama ini yang aku omongin anaknya Maria Rosani sama suaminya yang kerja di kementerian PUPR itu. Orang kayak gitu kok dibilang gak bener.”

            Ditekan telunjuknya di depan mulut Daniar. Membuat Daniar jengah. Ia pun mengusir Shasha ke luar dari dapur. Shasha semakin mencebikkan bibirnya. Sedari tadi pikirannya tidak bisa lepas dari Kia dan Raja. Sungguh dua anak yang malang. Direbahkan tubuhnya di ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Ponselnya tiba-tiba berbunyi nyaring menghilangkan kantuk yang sempat dirasakannya.

            “Hai,” ucap suara dari seberang telepon. Gadis itu membulatkan matanya setelah mendengar suara familiar tersebut. Dijauhkan ponsel itu dari telinganya karena Shasha penasaran siapakah yang menghubunginya. Nama Gery tertera di sana. Ia mengernyit heran, seingatnya ia tidak pernah kenal dengan seseorang bernama Gery. Apalagi nama itu ada di dalam ponselnya tiba-tiba.

            “Ini Gerald, om gantengnya Kia. Kamu lupa?”

            “Eh, Mas Gerald ya. Aku kira siapa. Soalnya di kontak aku namanya Gery.” Shasha menjawab dengan menggigit-gigit pipi dalamnya demi menghilangkan kegugupan. Namun dirinya masih kebingungan, kenapa nama Gerald di ponselnya adalah Gery.

            “Kaget ya kamu. Saya sengaja simpan nomor saya pakai nama Gery. Anggap saja itu panggilan sayang kamu untuk saya, Shasha. Selamat menikmati sore yang indah mommy bear-nya Kia.”

            Shasha bergidik ngeri setelah tahu siapa yang meneleponnya itu. Lelaki yang membuat dirinya salah tingkah sejak beberapa hari yang lalu. Karena gugup, Shasha langsung memutus panggilan itu. Ponselnya pun sengaja ia matikan. Sekarang ia sedang meringkuk di bawah selimutnya. Pipinya juga memerah malu.

            Senin pagi tiba, Shasha cepat-cepat turun dari taksi dan masuk ke dalam sekolah. Disapanya Pak Amet, satpam yang sudah mengenalnya sejak ia kecil itu. Ia berlari meminta Pak Amet jangan menutup pintu gerbang dahulu. Saat masuk ke dalam sekolah, di lapangan depan semua guru dan murid sudah berbaris rapi. Upacara yang sebentar lagi akan dimulai membuat Shasha hanya bisa tersenyum sungkan kepada barisan guru yang ada di pojok kanan lapangan. Gadis itu segera menyusul mereka tanpa meletakkan tasnya di ruang guru.

            Baru saja lima menit upacara dimulai. Salah satu murid Shasha—Yuri, tiba-tiba jatuh pingsan. Refleks Shasha berteriak dan menggendongnya ke ruang kesehatan. Mbak Sari, petugas kesehatan segera menanganinya. Gadis itu gugup dan bingung melihat wajah Yuri yang pucat. Ia pun segera menghubungi Ibu Yuri. Beruntung, Ibu Yuri segera mengangkat panggilannya dan akan segera sampai ke sekolah untuk menjemput Yuri.

            “Anak-anak, kita doain Yuri, ya. Semoga Yuri cepet sembuh.”

            Shasha mengajak anak-anak untuk mendoakan kesembuhan Yuri. Anak-anak ttu menurut dan berdoa bersama. Lalu Shasha meminta mereka membuka buku berhitung. Hari ini mereka akan belajar berhitung satu sampai sepuluh. Gadis itu pun memutar video menyanyi dan berhitung. Gerakan itu diikuti oleh anak-anak dengan ceria.

            Mereka bernyanyi, berhitung, dan menari bersama. Tubuh gembul mereka bergoyang mengikuti irama yang ada. Membuat Shasha tersenyum simpul. Direkamnya aksi anak-anak itu dan dikirimnya ke grup wali murid sebagai laporan hariannya. Setelah selesai Shasha memasukkan ponselnya dan ikut menari bersama anak-anak.

            Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Anak-anak kelas bear sekarang sedang mengikuti kelas musik. Khusus untuk kelas ini, bukan Shasha yang mendampingi, namun guru musik bernama Bu Wina. Umurnya hanya beda dua tahun dari Shasha. Potongan rambut mereka pun sama, sehingga kadang orang-orang salah mengenali mereka dari belakang.

            Dikarenakan ada beberapa pertanyaan yang akan ia ajukan kepada Raja, ia meminta izin membawa Raja dari kelas musik Bu Wina. Saat ini Shasha kembali masuk ke ruang konsultasi. Digandengnya Raja dan didudukkannya di sofa. Gadis itu mengeluarkan kertas dan pulpen sebelum mulai bertanya kepada Raja.

            “Raja, boleh Miss tanya sesuatu?” Raja hanya mengangguk singkat menanggapi pertanyaan Shasha.

            “Kemarin Miss denger Raja dipukul Papa?” Shasha bertanya dengan suara pelan tidak ingin membuat Raja merasa tidak nyaman.

            Kali ini Raja menatap matanya. Mulutnya masih bungkam. Ia menunduk seakan menghindari Shasha. Gadis itu pun meyakinkan Raja bahwa bercerita adalah hal yang menyenangkan. Shasha juga mengatakan bahwa dia akan membantu Raja agar sang papa tidak memukulnya. Asalkan Raja menceritakan semuanya pada Shasha.

            “Bukan Cuma Papa yang pukul Raja, Mommy bear. Mama juga pukul Raja. Di sini, di sini, terus di sini.” Bocah itu menunjuk tangan, kaki, dan pantatnya.

            “Kemarin Mama jewer Raja. Mama juga cubit Raja. Sakit, Mommy bear…”

            Raja menatap Shasha sendu. Tatapan sengitnya tadi telah hilang diganti dengan mata yang berkaca-kaca. Dipeluknya Shasha yang kini termenung. Gadis itu mendekap Raja erat dan menenangkannya. Diusapnya kepala anak itu berulang kali.

            “Papa sama Mama gak sayang Raja. Papa sama Mama Jahat!” Bocah itu terisak pelan di pelukan Shasha. Mengoceh berkali-kali tentang perbuatan orang tuanya. Gadis itu tak bisa berkata apa pun. Ia hanya bisa menenangkannya.

            “Jangan sedih lagi, Raja. Mama sama Papa sayang, kok sama Raja. Nanti Miss bakal buat Mama sama Papa Raja gak pukul-pukul lagi. OK?”

            Raja tersenyum ceria dan mengecup pipi Shasha sekilas. Lalu bocah laki-laki itu segera berlari ke luar ruangan meninggalkan Shasha yang membeku. Gadis itu pun tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

            Karena kelas terakhir bukan ia yang mengajar, Shasha memilih untuk mengerjakan laporan perkembangan siswa di mejanya. Walau baru dua minggu ini gadis itu mengajar, ia lebih memilih mencicil pekerjaannya daripada harus lembur di akhir bulan.

            Dibukanya lembar demi lembar catatannya selama dua minggu ini. Juga foto dokumentasi yang selalu diambilnya di setiap kegiatan untuk dilampirkan dalam laporan bulanannya. Ia pun tersenyum melihat foto-foto menggemaskan itu. Diingatnya kembali saat ia memotret tingkah lucu mereka.

            Shasha sengaja pulang terlambat. Semua guru sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Tadi ia mengunduh banyak video pembelajaran anak usia dini di laptopnya. Ditambah beberapa video youtube di ponselnya. Namun tidak ada satu pun video Gerald yang ia unduh. Padahal biasanya video lelaki itu yang selalu ia tonton. Karena Shasha tidak kuat menahan malu saat wajah lelaki itu terpampang nyata di layar ponselnya. Bayangan senyum dan kedipan matanya yang genit serta suaranya di telepon kala itu membuat Shasha tak berhenti memerah.

            Dipesannya taksi online yang biasa ia pakai. Kakinya melangkah ke luar pintu ruang guru. Ditentengnya tas laptop di tangan kanannya. Namun saat ia melewati taman bermain, Shasha melihat anak laki-laki sedang duduk di ayunan. Ia kenal benar anak itu. Anak yang sampai saat ini masih bersikap dingin kepadanya. Namanya Bian.

            “Bian, kamu belum dijemput, Sayang?”

            Shasha menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sedangkan anak itu hanya menjawab pertanyaan Shasha dengan gelengan. Beberapa kali gadis itu mencoba mengajak Bian berkomunikasi. Namun Bian sama sekali tidak mengacuhkannya. Gadis itu menghembuskan napas berulang kali lalu melirik jam tangannya. Gak mungkin aku tinggalin Bian sendirian. Shasha mengecek kembali ponselnya yang berdering, telepon dari sopir taksi yang ia pesan tadi.

            “Bian mau Miss anterin pulang, ya? Udah mau sore ini.”Shasha membujuk Bian.

            “Nggak usah Miss. Ayah janji mau jemput Bian.”

            Shasha pun membujuk Bian. Ia mengatakan bahwa Ayah Bian sudah menunggu Bian di rumah. Bocah itu akhirnya mau ikut pulang bersama Shasha. Di dalam taksi pun Bian hanya memandang ke luar jendela. Shasha yang tidak tahu rumah Bian pun segera mengambil biodata yang ada di tasnya.

            “Kita ganti tujuan ke Pasar Minggu ya, Pak.”

            Setelah empat puluh menit, mereka akhirnya sampai di depan rumah Bian. Diantarkannya bocah itu sampai di depan gerbang. Namun setelah berkali-kali memencet bel, tidak ada seorang pun yang membuka gerbang.

            “Miss, semua orang hari ini libur. Gak ada orang di rumah.”

            Bian berbicara pelan sambil menunduk. Ia takut Shasha marah karena ia tidak mengatakannya dari tadi. Shasha yang mendengar pernyataan Bian akhirnya membayar taksi itu dan memilih menemani Bian di depan gerbang rumahnya.

            Lima menit mereka menunggu, datang sebuah mobil hitam dengan kecepatan tinggi. Shasha terkejut mendengar suara pintu mobil terbanting keras. Di depannya ia melihat laki-laki dewasa yang menggetarkan jiwa perempuannya. Walau rambutnya berantakan dan kemeja putihnya kusut, sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya.

            Shasha terpana melihat badan tegapnya dengan kulit kecoklatan dan juga cambang tipis di wajahnya. Namun kekagumannya sirna seketika. Ia yang mendengar lelaki itu memarahi Bian dengan intonasi yang cukup keras ikut terbawa emosi.

            “Ayah kan udah bilang, Bian. Tunggu Ayah! Kamu malah udah sampe rumah! Ayah bingung cariin kamu!”

            Bian mengambil kunci dari tangan ayahnya dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Sedangkan ayah bocah laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi. Shasha benar-benar tidak terima lelaki itu memarahi Bian.

“Maaf, Bapak kalau saya ikut campur. Seharusnya Bapak tidak memarahi Bian karena saya yang memaksa Bian untuk pulang.”

            Shasha melangkah ke depan Rangga—Ayah Bian. Menatapnya berani. Rangga yang sepertinya baru menyadari kehadiran Shasha hanya bisa menghembuskan napas. Wajahnya diraup kasar sebelum menatap Shasha dengan perasaan jengah. Gadis itu menyadari mungkin lelaki ini sedang lelah, namun Shasha juga tak bisa melakukan apa-apa. Mau menasihati pun rasanya percuma.

            “Perkenalkan, nama saya Kanasha Rifani, penanggung jawab  kelas Bian.” Rangga mengangguk dan menerima jabatan tangan Shasha.

            “Saya Ranggana Hernanta, Ayah Bian.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!