NovelToon NovelToon

Burnt And Broken

DARI PUNCAK KEJAYAAN MENUJU KEGELAPAN

Suara sorak-sorai membahana.

Nathan Hayes berdiri di tengah panggung, trofi emas di tangannya berkilau di bawah sorotan lampu. Di ruangan megah itu, para tamu undangan, chef terkenal, kritikus kuliner, selebritas, hingga sosialita New York berdiri memberi tepuk tangan meriah.

"Dan pemenangnya adalah... Nathan Hayes!"

Gemuruh tepuk tangan semakin menguat. Kilatan kamera menyambar ke segala arah, menangkap sosok pria yang tengah berdiri dengan penuh percaya diri. Dia tersenyum, senyum khasnya yang arogan tapi memikat. Dia bukan hanya chef. Dia adalah legenda hidup.

Di sudut ruangan, beberapa wanita berbisik, mata mereka penuh kekaguman.

"Dia benar-benar sempurna."

"Tampan, berbakat, kaya... Astaga, aku rela jadi makanannya."

Nathan mendengar itu dan dia menikmatinya.

Saat pidato kemenangan, dia mengangkat trofi, matanya menyapu seluruh ruangan.

“Tiga tahun berturut-turut, dan aku masih di sini. Kenapa? Karena aku yang terbaik.”

Tawa dan tepuk tangan kembali pecah. Dia tak perlu merendah, karena itu adalah fakta.

Pesta usai. Musik masih mengalun, gelas-gelas sampanye berdenting, tetapi Nathan merasa kosong. Ini seharusnya puncak kejayaan, tapi mengapa dia merasa... bosan?

Di teras gedung pencakar langit, dia menyesap minumannya, memandangi hiruk-pikuk New York di bawah sana.

Lalu, ponselnya bergetar.

Pesan masuk dari seorang teman:

"Arena sudah disiapkan. Kau yakin mau mencoba stunt baru malam ini?"

Nathan tersenyum miring. Tentu saja.

Trofi bisa menunggu. Pujian bisa menunggu. Tapi rasa lapar akan tantangan? Itu tak bisa menunggu.

Di bawah langit malam yang dingin, Nathan menaiki motornya di arena motocross pribadinya, di luar kota. Cahaya lampu sorot menerangi trek tanah yang kasar, sementara suara mesin motor meraung di kejauhan.

Beberapa temannya berdiri di tepi trek, raut wajah mereka penuh kekhawatiran.

"Nathan, ini gila. Lompatan itu terlalu tinggi, bahkan untukmu."

Nathan tertawa sinis. "Aku bukan orang biasa."

Dia menurunkan visor helmnya. Tangannya memelintir gas. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi karena ekspektasi. Dia ingin merasakan sensasi yang lebih besar daripada sekadar menang penghargaan.

Suara mesin meraung. Ban motor menghantam tanah, lalu melesat ke udara.

Semuanya berjalan sempurna.

Angin terasa lebih tajam. Waktu terasa melambat.

Dan lalu

Hantaman keras.

Bunyinya memekakkan telinga. Logam bertemu tanah. Tubuhnya terpelanting, menghantam keras ke tanah berbatu.

Ada suara jeritan di kejauhan.

Tapi Nathan tak bisa bergerak.

Dia mencoba menarik napas, tapi dada terasa berat. Kepalanya berdenyut. Pandangannya kabur.

Lalu dia menyadari sesuatu.

Kakinya tidak terasa.

Suara temannya memudar, lampu-lampu di sekelilingnya mulai menghilang, dan sebelum semuanya menjadi gelap, hanya ada satu pikiran yang menggema di kepalanya.

Tidak. Ini tidak mungkin terjadi padaku.

Lalu semuanya lenyap.

___

Hening.

Lalu suara. Jauh, teredam, seperti berasal dari tempat yang sangat jauh.

Bip. Bip. Bip.

Detak ritmis itu perlahan menyeretnya kembali ke permukaan. Ada sesuatu yang berat di dadanya. Bau antiseptik menyengat di hidung. Kelopak matanya terasa seperti ditindih batu.

Di mana aku?

Lalu, ingatan itu datang menghantam seperti ombak besar yang menelan kesadarannya.

Arena. Lompatan. Angin. Hantaman keras. Rasa sakit.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Tubuhnya seharusnya bereaksi tetapi tidak ada yang terjadi.

Dengan usaha besar, kelopak matanya terbuka sedikit. Cahaya putih menusuk pupilnya, membuat pandangannya kabur. Bentuk-bentuk samar mulai terlihat. Langit-langit putih. Tabung oksigen. Kabel-kabel medis.

Sebuah suara gemetar terdengar. "Nathan...?"

Dia mengenali suara itu sebelum melihat pemiliknya.

"Mom?"

Air mata menetes di pipi wanita berambut pirang itu. Charlotte, ibu Nathan, wanita elegan yang selalu tampil sempurna, kini tampak seperti seseorang yang tak tidur selama berminggu-minggu.

"Oh Tuhan, Nathan... kau sadar..." Suaranya pecah, tangannya menggenggam erat jemari Nathan.

Pintu kamar terbuka, dan seorang dokter bersama dua perawat masuk. "Mr. Hayes, senang melihat Anda sadar. Bagaimana perasaan Anda?"

Nathan mencoba bicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. Seorang perawat buru-buru menuangkan air ke gelas dan membantu menempelkan sedotan ke bibirnya. Dia meneguk perlahan, lalu mengumpulkan kekuatan untuk bertanya.

"Apa... yang terjadi?"

Dokter bertukar pandang dengan ibunya. Charlotte mengangguk pelan, matanya kembali memerah.

"Nathan..." Dokter mengambil napas dalam. "Anda mengalami kecelakaan serius. Anda kehilangan kesadaran selama tiga minggu. Kami telah melakukan segala yang bisa kami lakukan, tetapi... ada sesuatu yang harus Anda ketahui."

Jantung Nathan berdegup lebih kencang. Ia mencoba menggerakkan tangannya. Berhasil. Tapi ketika ia mencoba menggerakkan kakinya tidak ada yang terjadi.

Napasnya memburu. Ia mencoba lebih keras. Jari-jari kakinya. Lututnya. Apa pun.

Tetap tidak ada.

Matanya membelalak. "Kenapa aku tidak bisa...?"

Dokter mencondongkan tubuhnya. "Cedera tulang belakang yang Anda alami cukup parah. Kami sudah melakukan operasi, tetapi... ada kemungkinan kelumpuhan permanen dari pinggang ke bawah."

Kepalanya berdengung. Kata-kata itu menggema di otaknya.

Kemungkinan kelumpuhan permanen.

Tidak. Tidak mungkin.

Dia, Nathan Hayes, seorang legenda. Chef terbaik di New York. Atlet ekstrem. Pria yang selalu melampaui batas.

Sekarang lumpuh?

Tidak.

"Tidak," bisiknya, suaranya bergetar.

"Nathan..." Charlotte menggenggam tangannya lebih erat, matanya memohon.

"TIDAK!"

Dengan gerakan tiba-tiba, Nathan meraih selang infus dan menariknya dengan kasar. Monitor jantung berbunyi nyaring, perawat menjerit, dan dokter buru-buru menahannya.

"Nathan, tenang!"

"Jangan sentuh aku!" raungnya.

Kemarahan, keputusasaan, dan ketakutan bercampur menjadi satu. Dia ingin bangun. Berlari. Meninggalkan tempat ini. Tapi tubuhnya mengkhianatinya.

Suaranya pecah saat ia berteriak. "INI TIDAK MUNGKIN!"

Tapi semua orang di ruangan itu tahu ini nyata.

Nathan Hayes tidak akan pernah menjadi pria yang sama lagi.

___

Nathan akhirnya meninggalkan rumah sakit setelah berminggu-minggu menjalani perawatan. Tapi bagi Nathan, kepulangannya bukanlah kelegaan itu adalah hukuman.

Dulu, apartemen penthousenya di jantung Manhattan adalah simbol kejayaan. Sekarang, itu terasa seperti penjara.

Begitu ia tiba, ia langsung menyuruh semua orang pergi. Ibunya, sahabatnya, bahkan staf pribadinya. "Aku tidak butuh siapa pun!" bentaknya.

Setiap orang yang mencoba masuk akan diusir. Ia tak ingin melihat ekspresi kasihan mereka. Tak ingin mendengar kata-kata penghiburan yang kosong.

Ia menjadi bayangan dari dirinya yang dulu. Tak peduli lagi pada kebersihan apartemen, makanan, atau pekerjaannya sebagai chef terkenal. Semua trofi dan penghargaan yang dulu ia banggakan kini hanya menjadi benda tak berarti di rak.

Hari-harinya dihabiskan dalam kegelapan. Minuman keras menggantikan makanan. Pintu tetap terkunci.

Nathan Hayes telah menghilang dari dunia. Dan bagi dirinya sendiri, ia lebih baik mati.

___

Charlotte Hayes berdiri di depan pintu apartemen putranya dengan wajah penuh kecemasan. Sudah lima hari sejak terakhir kali Nathan tidak menghubungi siapa pun. Telepon tidak dijawab. Pesan tidak dibaca. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Ia menoleh ke pria di sampingnya Erick Carter, sahabat sekaligus manajer Nathan. Wajah Erick tegang. "Kita buka pintunya sekarang," katanya dengan suara mantap.

Seorang teknisi keamanan memasukkan kode, tetapi sistem pengaman tetap tidak merespons. Akhirnya, dengan paksaan, pintu berhasil dibuka.

Begitu pintu terbuka, bau menyengat langsung menyergap mereka.

Charlotte menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak. Ruangan itu seperti medan perang. Botol-botol minuman berserakan di lantai, pecahan kaca berkilauan di bawah cahaya temaram. Tirai tertutup rapat, membuat apartemen terasa lebih menyeramkan daripada tempat tinggal seorang pria yang dulu dikenal sebagai legenda kuliner New York.

Erick masuk lebih dulu. "Nathan!" serunya.

Tidak ada jawaban.

Matanya menyapu ruangan... dan kemudian ia melihatnya.

Di sudut ruangan, Nathan tergeletak di lantai, tubuhnya lunglai, wajahnya pucat, dan napasnya lemah. Sebuah botol wiski kosong terguling di dekat tangannya.

"NATHAN!" Charlotte berlari dan berlutut di samping putranya, tangannya gemetar saat menyentuh pipinya. "Oh Tuhan, dia tidak sadarkan diri!"

"Telepon ambulans! CEPAT!" Erick berteriak.

Beberapa menit kemudian, suara sirene menggema di luar gedung. Paramedis bergegas masuk, dengan cekatan memeriksa tanda-tanda vital Nathan.

"Napasnya lemah. Kita harus segera membawanya!"

Charlotte hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca saat mereka mengangkat Nathan ke atas tandu.

Dalam hati, ia tahu... putranya yang dulu begitu kuat, kini benar-benar jatuh.

Nathan kembali dirawat di rumah sakit, tetapi kali ini situasinya berbeda. Ia tidak hanya pasien dengan kondisi fisik yang parah, ia juga dalam kondisi mental yang berbahaya.

Dokter menempatkannya di ruang perawatan dengan pengawasan lebih ketat. Tidak ada lagi botol alkohol, tidak ada benda tajam, dan staf medis harus selalu waspada. Mereka melihatnya sebagai seseorang yang bisa melakukan hal nekat kapan saja.

Charlotte, yang selalu mencoba kuat, kini benar-benar khawatir. "Tolong lakukan apa pun yang perlu dilakukan," pintanya kepada dokter. "Saya tidak peduli berapa lama. Saya hanya ingin Nathan... kembali."

Seorang psikolog mulai menangani Nathan, tetapi responsnya dingin. Ia menolak berbicara, menolak menerima bantuan, dan tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Tapi satu hal jelas ia tidak bisa dibiarkan sendirian terlalu lama.

Dokter dan psikolog akhirnya berbicara dengan keluarga Nathan. "Dia butuh lingkungan yang lebih tenang," ujar psikolognya. "Tinggal di tengah hiruk-pikuk New York hanya akan memperburuk kondisinya. Dia butuh tempat yang jauh dari tekanan, jauh dari kehidupan lamanya yang sekarang hanya menjadi bayangan menyakitkan."

Charlotte mengangguk pelan, meski hatinya berat. "Jadi... dimana tempat terbaik untuknya?"

Psikolog berpikir sejenak. "Sebuah rumah di luar kota, dekat dengan alam, dengan akses mudah ke terapi fisik dan mental. Itu akan jauh lebih baik daripada penthouse di tengah kota."

Erick, yang ikut dalam diskusi, menyela, "Aku bisa mengatur semuanya. Aku tahu tempat yang cocok."

Dan dengan keputusan itu, Nathan meski tidak dengan kemauannya sendiri akan segera meninggalkan New York.

TIDAK ADA PERAWAT YANG BERTAHAN

"Ini sudah perawat keempat dalam dua minggu," gumam Erick sambil menghela napas. Ia menatap wanita berusia 40-an yang baru saja keluar dari kamar Nathan dengan wajah lelah dan marah.

"Dia bukan manusia, dia monster!" seru perawat itu, melepaskan sarung tangannya dengan kasar. "Aku sudah menangani pasien sulit sebelumnya, tapi dia? Dia tidak hanya kasar, dia benar-benar tidak mau dibantu!"

Charlotte, yang juga berada di ruangan itu, menunduk dengan putus asa. "Aku mohon, bisakah kau bertahan sedikit lebih lama? Dia hanya butuh waktu..."

"Tidak, Ny. Hayes. Tidak ada yang bisa bertahan dengan pria itu," kata perawat itu tajam sebelum pergi dengan langkah cepat.

Erick menatap pintu kamar Nathan yang tertutup rapat. Di dalam, suara barang pecah belah terdengar. Mungkin Nathan baru saja membanting sesuatu lagi.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Erick. "Dia butuh seseorang yang bisa menghadapinya."

Charlotte menghela napas. "Tapi siapa yang cukup gila untuk mau bertahan?"

Charlotte menatap Erick dengan raut lelah. "Mungkin kau benar. Kita sudah mencoba beberapa perawat wanita, dan hasilnya selalu sama."

Erick menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap pintu kamar Nathan yang tertutup. "Kita butuh seseorang yang tidak hanya sabar, tapi juga cukup kuat untuk menghadapi ledakan emosinya. Mungkin seorang perawat pria lebih cocok."

Charlotte mengangguk pelan. "Aku akan mencari kandidat yang tepat."

Namun, tak satu pun dari mereka tahu bahwa solusi yang mereka butuhkan bukanlah soal kekuatan fisik, tetapi seseorang yang bisa menyentuh hati Nathan dengan cara yang tak terduga.

Lowongan perawat untuk Nathan segera tersebar di berbagai platform pencari kerja. Dalam waktu singkat, puluhan lamaran masuk sebagian besar dari perawat pria yang memenuhi kualifikasi, tetapi ada juga beberapa wanita yang melamar dengan alasan yang kurang profesional.

“Aku tidak percaya dia butuh perawat," gumam seorang wanita saat membaca lowongan itu. "Nathan Hayes... pria paling tampan dan berbakat di dunia kuliner, dan sekarang dia lumpuh? Ini kesempatan!"

Namun, mereka semua tidak tahu satu hal pria yang mereka kagumi bukan lagi sosok yang mereka bayangkan. Ia bukan Nathan Hayes yang memesona di layar kaca. Ia adalah bayangan dirinya sendiri, penuh amarah dan luka yang tak terlihat.

Dan ketika mereka akhirnya bertemu dengannya, kenyataan akan menghancurkan semua ekspektasi mereka.

Nathan tidak hanya kasar dengan kata-kata, tetapi juga secara fisik. Setiap perawat yang datang menghadapinya mengalami perlakuan yang lebih buruk dari yang mereka bayangkan.

ini beberapa perlakuan Nathan pada perawat-perawatnya sampai tidak bisa bertahan.

Saat perawat pria ini mencoba membantu Nathan duduk, Nathan tiba-tiba mendorongnya dengan kuat, membuat perawat itu hampir jatuh ke lantai. "Jangan sentuh aku!" bentaknya. Ketika perawat itu menenangkan diri dan mencoba bersikap profesional, Nathan mengambil botol air di dekatnya dan menumpahkannya ke kepala perawat tersebut. "Kau tidak lebih dari pelayan di sini," katanya dengan nada dingin.

Ada lagi perawat wanita ini datang dengan penuh semangat, mengira dia bisa menghadapi Nathan. Tapi saat dia membawakan sup hangat untuknya, Nathan dengan sengaja menumpahkan sup itu ke rambutnya. "Ups," katanya dengan ekspresi tak bersalah. Wanita itu menjerit kaget, aroma sup panas menyelimuti rambutnya. "Apa kau gila?!" teriaknya, tetapi Nathan hanya menyeringai. "Kau seharusnya lebih berhati-hati saat berada di dekat orang sepertiku."

Perawat pria, dia mencoba membujuk Nathan untuk keluar dari kamar dan duduk di kursi roda. Sebagai balasan, Nathan mengambil remote TV dan melemparkannya ke kepala perawat itu. "Aku tidak butuh belas kasihanmu!" teriaknya. Darah mengalir sedikit di pelipis perawat itu, tetapi dia memilih diam. Namun, keesokan harinya, dia menyerahkan surat pengunduran dirinya.

Satu lagi perawat wanita ,dia berpikir Nathan hanya membutuhkan sedikit kelembutan. Tapi saat dia mencoba mengganti perban di tangannya, Nathan tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. "Sakit? Bagus. Sekarang kau tahu bagaimana rasanya," katanya dengan suara rendah dan tajam. Wanita itu keluar dengan mata berkaca-kaca, tangannya bergetar ketakutan.

Setiap kali ada perawat baru, Nathan selalu menemukan cara untuk menakut-nakuti dan menghancurkan mental mereka. Tidak ada yang tahan lebih dari beberapa hari, bahkan perawat pria yang dianggap lebih tangguh sekalipun.

Erick mengusap wajahnya dengan kasar, menatap daftar perawat yang semuanya berakhir dengan catatan "Mengundurkan Diri."

"Ini gila," gumamnya. "Mereka semua digaji dua kali lipat dari gaji perawat biasa, ditambah bonus, fasilitas, semuanya. Tapi tetap saja, tidak ada yang sanggup bertahan lebih dari seminggu."

Charlotte duduk di seberangnya, terlihat sama putus asanya. "Mungkin uang bukan jawabannya, Erick. Nathan bukan sekadar pasien sulit dia sudah menyerah pada hidupnya sendiri. Tidak peduli berapa banyak kita bayar seseorang, jika mereka tidak bisa menghadapi ledakan emosinya, mereka pasti pergi."

Erick menghela napas panjang. "Kalau begini terus, kita tidak akan pernah menemukan seseorang yang cukup gila untuk bertahan."

Charlotte yang sejak awal mengetahui perlakuan-perlakuan Nathan pada perawat menjadi sedikit kuatir. Akankah semua orang akan bertahan disini. Terlebih pada Erick. Charlotte sangat bersyukur Erick masih mau memikirkan keluarganya terutamanya Nathan. Restoran mewah Nathan, sekarang ini benar-benar jadi tanggung jawabnya.

Ada suatu alasan mengapa Erick masih setia bersama Nathan.

Erick menatap kosong ke luar jendela, mengingat masa lalu yang membuatnya tetap bertahan meski Nathan memperlakukannya dengan kasar.

Dulu, sebelum menjadi orang sukses, Erick hanyalah seorang pria muda yang berjuang untuk bertahan hidup di New York. Ia bekerja serabutan, tak memiliki arah yang jelas. Saat itulah Nathan yang saat itu masih seorang chef berbakat yang sedang naik daun menawarkan bantuan tanpa alasan yang jelas.

"Kau tidak perlu mengemis belas kasihan," kata Nathan waktu itu dengan nada dingin. "Tapi kalau kau mau bekerja keras, aku akan memberimu kesempatan."

Nathan memberinya pekerjaan di restoran mewah miliknya, melatihnya, dan membimbingnya dengan caranya sendiri keras dan tanpa basa-basi. Namun, berkat Nathan, Erick menemukan jalan hidupnya. Ia tak hanya mendapatkan pekerjaan, tetapi juga kepercayaan diri dan tujuan.

Maka, ketika Nathan jatuh ke titik terendah, Erick merasa berhutang budi untuk tetap ada di sisinya.

Dan Erick juga tahu mengapa Nathan begitu arogan, Nathan pernah menceritakan masa lalu Nathan yang kelam yang membentuk kepribadian Nathan

Di balik kesuksesan dan arogansinya, Nathan menyimpan luka yang dalam. Sejak kecil, ia tumbuh dalam rumah tangga yang penuh pertengkaran. Ayah dan ibunya selalu berseteru teriakan dan caci maki adalah hal biasa di rumah mereka.

Nathan yang masih kecil hanya bisa menyaksikan, tak berdaya. Sampai akhirnya, suatu hari, ayahnya memutuskan pergi.

"Aku muak dengan ini semua," suara ayahnya terdengar begitu jelas di ingatannya. "Aku tidak bisa hidup dengan wanita ini lagi."

Tanpa ragu, sang ayah meninggalkan mereka. Meninggalkan ibunya yang hancur, meninggalkan dirinya yang masih anak-anak. Sejak saat itu, Nathan belajar satu hal, dunia ini keras, dan orang yang lemah akan ditinggalkan.

Maka, ia membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, menutupi kelemahannya dengan kesombongan dan sikap arogan. Ia ingin membuktikan bahwa ia tidak butuh siapa pun sampai akhirnya, kecelakaan itu mengubah segalanya.

Erick menatap sahabatnya yang dulu begitu kuat, penuh percaya diri, kini hanya bayangan dari dirinya sendiri. Nathan yang ia kenal tidak akan menyerah begitu saja.

"Aku tahu kau membenci ini," gumam Erick dalam hati. "Tapi kau harus menerima kenyataan, Nathan. Kau tidak bisa terus-terusan menghancurkan dirimu sendiri."

Meski frustrasi, Erick tetap berharap. Ia berharap Nathan bisa menemukan cara untuk bangkit, menerima hidupnya yang baru, dan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar seorang chef sukses atau pria yang sempurna secara fisik. Ia berharap suatu hari, Nathan mau membuka hatinya lagi bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang masih peduli padanya.

MELAMAR MENJADI PERAWAT

Olivia Carter berasal dari keluarga sederhana di Rhinebeck, sebuah desa kecil yang tenang di utara New York. Rumah keluarganya adalah rumah kayu bergaya pedesaan yang dikelilingi pepohonan rindang. Halaman belakangnya luas, tempat Olivia sering bermain saat kecil, sebelum hidup mulai terasa sulit.

Ayahnya, Daniel Carter, dulunya bekerja di sebuah perusahaan manufaktur di kota terdekat. Namun, setelah perusahaan itu bangkrut, ia kehilangan pekerjaannya, membuat keuangan keluarga semakin sulit. Ibunya, Margaret Carter, adalah seorang ibu rumah tangga.

Mereka hidup sederhana, tetapi penuh kehangatan. Namun, setelah kehilangan sumber penghasilan utama, beban terasa semakin berat. Olivia tahu orang tuanya berusaha sebisa mungkin, tetapi dia tidak ingin menjadi tambahan beban. Itu sebabnya, dia memilih tinggal di kota, bekerja sambil kuliah, dan berusaha mandiri sebisa mungkin.

Kini, dengan uang sewa apartemen yang naik dan tabungannya yang semakin menipis, Olivia tahu dia harus menemukan solusi secepatnya.

Olivia duduk di tepi ranjang sempitnya, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Harga sewa apartemen akan naik bulan depan.

"Aku butuh pekerjaan dengan gaji lebih besar," gumamnya.

Sebagai mahasiswa psikologi tingkat tiga, dia tidak bisa sembarangan mengambil pekerjaan yang menyita terlalu banyak waktu. Tapi kalau tidak segera menemukan jalan keluar, kuliahnya akan terancam.

Pikirannya melayang ke ayahnya yang kehilangan pekerjaan. Ke ibunya yang sudah berusaha sekuat tenaga mencukupi kebutuhan keluarga di desa.

"Aku tidak boleh menyerah."

Dengan tekad bulat, Olivia mulai mencari lowongan pekerjaan di internet. Dia butuh sesuatu yang membayar tinggi segera.

Olivia menatap layar ponselnya, membaca ulang iklan lowongan yang baru saja ia temukan.

"Dibutuhkan perawat pribadi. Gaji tinggi, bonus besar. Perawatan pasien dengan kebutuhan khusus. Lokasi: New York City."

Gajinya hampir tiga kali lipat dari pekerjaannya sebagai pengantar pizza. Fantastis. Bahkan cukup untuk menutupi biaya kuliah dan sewa apartemennya selama beberapa bulan ke depan.

"Tapi... kenapa gajinya setinggi ini?" gumamnya curiga.

Rasa penasaran membawanya untuk mencari tahu lebih lanjut. Begitu dia menggulir ke bagian informasi tambahan, matanya melebar.

"Pasien adalah seorang publik figur Nathan Hayes."

Jantungnya hampir berhenti. Chef terkenal itu? Nathan Hayes? Pria yang tiga tahun berturut-turut memenangkan penghargaan kuliner paling bergengsi?

Olivia tahu siapa Nathan. Semua orang tahu. Dia bukan hanya terkenal karena bakat memasaknya, tetapi juga karena sikap arogannya yang menjadi buah bibir di dunia kuliner dan media sosial.

Dan sekarang, dia sedang mencari perawat pribadi?

Sesuatu terasa aneh. Tapi Olivia tahu satu hal jika dia mendapatkan pekerjaan ini, semua masalah keuangannya bisa terselesaikan.

Tapi... apakah dia sanggup menghadapi Nathan Hayes?

Olivia menatap layar ponselnya dengan ragu. Tawaran gaji yang fantastis itu memang menggoda, tapi bagaimana dengan kuliahnya?

"Apakah aku bisa mengatur waktu?" pikirnya.

Sebagai mahasiswa psikologi tingkat tiga, jadwalnya cukup padat. Dia tidak ingin pekerjaannya mengorbankan studinya, tapi di sisi lain, jika dia tidak mendapatkan uang tambahan, kuliahnya mungkin harus terhenti.

Dia menghela napas dalam. Mungkin ini kesempatan yang harus dia ambil entah bagaimana caranya, dia akan mencari solusi agar semuanya tetap berjalan.

___

Lingkungan tempat tinggal Nathan sekarang jauh berbeda dari hiruk-pikuk New York. Berada di Todt Hill Staten Island. Rumah besar dengan arsitektur klasik berdiri di tengah lahan luas, dikelilingi pepohonan rindang dan udara yang lebih sejuk. Di sekitarnya, hanya ada suara burung dan gemerisik dedaunan tertiup angin.

Di sinilah dia menjalani terapi bukan hanya untuk fisiknya, tetapi juga untuk jiwanya yang terluka.

Lingkungan ini dipilih dengan harapan bisa membantunya keluar dari keputusasaan. Jauh dari kebisingan kota, dari sorotan media, dan dari orang-orang yang dulu mengelilinginya hanya karena kesuksesan. Namun, meskipun suasananya lebih tenang, Nathan tetap menolak segala bentuk bantuan.

Bagi Nathan, tempat ini bukan terapi melainkan pengasingan.

___

Saat mobil sewaan yang ditumpanginya berhenti di depan rumah besar itu, Olivia menatap bangunan megah di depannya dengan campuran kagum dan gugup.

Ini bukan sekadar rumah, ini seperti sebuah vila di tengah alam. Udara sejuk menyambutnya, berbeda jauh dari kota yang penuh polusi dan kebisingan. Namun, Olivia tidak punya waktu untuk terbuai oleh pemandangan indah ini.

Dia menyesap napas dalam, menggenggam map berisi CV nya erat-erat. Ini adalah satu-satunya kesempatan yang bisa menyelamatkan kuliahnya. Dia harus diterima.

Dengan langkah mantap, Olivia berjalan menuju pintu utama, siap menghadapi apa pun yang menunggunya di dalam.

Seorang petugas keamanan dengan seragam rapi menghentikan langkah Olivia sebelum ia sempat mencapai pintu utama.

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada tegas.

Olivia segera menunjukkan CV yang digenggamnya. “Saya Olivia Carter. Saya datang untuk wawancara sebagai perawat.”

Petugas itu mengamati sekilas, lalu mengangguk. “Silakan ikut saya.”

Dia berjalan mendahului Olivia, membawanya melewati lorong menuju sebuah ruangan luas yang tampak seperti area perekrutan.

Siang hari di ruangan pengrekrutan...

Charlotte dan Erick duduk di meja panjang, setumpuk CV pelamar terbentang di hadapan mereka. Charlotte menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi sambil memilah berkas satu per satu.

"Aku benar-benar tidak mengerti," gumamnya, meletakkan satu CV dengan ekspresi frustrasi. "Kenapa begitu banyak yang melamar, tapi tidak ada yang bertahan?"

Erick mendengus, melipat tangannya di dada. "Karena mereka semua tidak tahu apa yang menunggu mereka. Nathan bukan pasien biasa, Charlotte. Dia seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja."

Charlotte mengangguk pelan, lalu kembali menelusuri berkas-berkas di hadapannya. "Kita butuh seseorang yang bukan hanya bisa merawatnya, tapi juga cukup sabar dan tangguh untuk menghadapinya."

Erick mengambil salah satu CV, menatapnya sekilas, lalu meletakkannya kembali dengan gelengan kepala. "Kebanyakan dari mereka hanya punya pengalaman di rumah sakit atau panti jompo. Tidak ada yang benar-benar siap untuk menangani pasien sekeras Nathan."

Charlotte tiba-tiba berhenti di satu CV. Matanya menyipit saat membaca isinya. "Ini menarik."

Erick mengangkat alis. "Siapa?"

"Olivia Carter," jawab Charlotte, menyerahkan CV itu kepada Erick. "Mahasiswa psikologi tingkat tiga. Tidak punya banyak pengalaman sebagai perawat, tapi latar belakangnya menarik."

Erick membaca sekilas, lalu menghela napas. "Psikologi? Kau pikir itu bisa membantu?"

Charlotte mengangkat bahu. "Setidaknya, dia mungkin bisa memahami pola pikir Nathan lebih baik daripada yang lain. Itu hanya dugaan, tentu saja, tapi kupikir layak dicoba."

Erick berpikir sejenak, lalu melemparkan CV Olivia kembali ke meja. "Baiklah. Kita panggil dia untuk wawancara. Tapi jangan terlalu berharap."

Charlotte tersenyum kecil. "Aku tidak berharap banyak. Tapi aku berharap dia bisa bertahan lebih lama dari yang lain."

Seorang asisten perekrutan keluar dari ruangan dan melirik daftar nama di tangannya sebelum mengangkat suara.

“Olivia Carter?”

Olivia yang duduk di kursi tunggu segera berdiri, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menggenggam map berisi CV nya, berusaha menenangkan diri.

“Silakan masuk,” ujar asisten itu sambil membuka pintu.

Olivia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan wawancara, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!