NovelToon NovelToon

Cinta Yang Terbalaskan Oleh Takdir

Chapter 1: Langkah Pertama Menuju Impian

Pagi itu, hujan turun deras, membasahi jalanan sempit yang penuh genangan air. Andrean Pratama Putra berdiri di depan rumah kontrakannya, menatap dengan lekat ke jalanan yang kotor dan penuh lumpur. Dengan langkah kaki yang berat, ia melangkah menuju sekolah. Tiba-tiba, suara petir menggelegar, dan ia bergegas menutup jas hujannya lebih rapat. Sepatu olahraganya yang sudah usang dan berlubang terasa berat, namun semangat untuk tetap bertahan selalu menyertainya. Andrean tahu, setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup.

Andrean tinggal di sebuah kawasan kumuh di pinggiran kota, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Rumah kontrakannya hanya terbuat dari tembok bata merah yang sudah retak di sana-sini. Atap sengnya sering bocor saat hujan deras. Ayahnya seorang tukang bangunan yang jarang pulang karena kesibukannya di proyek, sementara ibunya, seorang pedagang kecil, selalu berusaha keras mencari nafkah untuk menghidupi keluarga mereka.

Sekolah adalah tempat Andrean melarikan diri. Tempat di mana ia bisa menunjukkan kemampuannya tanpa harus dipandang sebelah mata. Meskipun berasal dari keluarga miskin, Andrean adalah siswa yang berbakat. Ia dikenal cerdas dalam pelajaran dan memiliki kemampuan olahraga yang luar biasa. Tapi, di balik semua itu, ada satu impian besar yang disembunyikan dari semua orang: Andrean ingin menjadi penulis.

Setiap kali menulis, Andrean merasa ada sesuatu yang membebaskannya. Ketika menulis cerita-cerita pendek, ia merasa bisa melarikan diri dari kenyataan hidupnya yang penuh keterbatasan. Namun, ada satu masalah besar yang selalu menghalanginya. Ia tidak punya uang untuk membeli alat dan fasilitas untuk menulis. Bahkan untuk membeli laptop atau buku-buku referensi, ia merasa itu adalah hal yang jauh dari jangkauan.

Hari itu, seperti biasanya, Andrean berjalan dengan cepat menuju sekolah. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di depan gerbang sekolah, ada kerumunan siswa yang tampaknya sedang menunggu sesuatu. Andrean yang penasaran menghampiri mereka.

"Hei, ada apa? Ada acara apa sih?" tanya Andrean pada salah satu teman sekelasnya.

Temannya, Riko, menoleh dan menjawab dengan antusias, "Ada murid pindahan, bro! Anak blasteran Prancis-Indonesia, katanya dia tinggi banget dan cantik, lho!"

Andrean mengangkat alisnya. "Blasteran? Hmmm, itu pasti menarik."

Sambil melirik ke arah pintu gerbang, Andrean tidak begitu peduli pada rumor tentang murid pindahan itu. Baginya, tidak ada yang istimewa. Tapi, sesuatu dalam dirinya membuatnya merasa penasaran. Seperti apa sih orang yang disebut-sebut begitu hebat?

Sekitar lima menit kemudian, bel sekolah berbunyi, dan semua siswa mulai masuk ke dalam kelas. Andrean duduk di bangkunya yang terletak di pojok kelas. Ia tidak terlalu suka duduk di tengah kerumunan. Biasanya, ia lebih suka fokus pada pelajaran dan olahraga, hal yang ia kuasai dengan baik.

Namun, pagi itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Andrean. Seorang gadis masuk ke kelas, dan seketika suasana menjadi lebih hidup. Angin dingin yang berhembus melalui jendela kelas seolah tidak mampu menandingi hawa yang dibawa gadis itu.

Dengan rambut panjang tergerai, kulit putih seperti salju, dan mata yang tajam, gadis itu tampak sempurna. Meskipun hanya mengenakan seragam sekolah yang sederhana, aura kecantikannya jelas terlihat. Tubuhnya tinggi—mungkin lebih dari 170 cm—dan langkahnya begitu anggun. Andrean tak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

"Ini dia, Angel Luiana Clarista," bisik Riko di sebelah Andrean. "Cantik banget, kan?"

Andrean hanya mengangguk pelan, meskipun ia tak tahu harus berkata apa. Ia tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Apa yang membuat gadis ini berbeda dari yang lain?

Angel Luiana Clarista, murid pindahan dari Prancis, adalah anak dari keluarga kaya raya yang memiliki banyak aset di berbagai bidang. Ibunya seorang pengusaha sukses, sementara ayahnya seorang pengacara terkenal. Keluarga mereka terkenal di kalangan orang-orang kaya di kota itu, dan tak heran jika banyak siswa yang terpesona dengan keberadaannya.

Namun, yang paling menarik perhatian Andrean bukanlah kekayaannya atau status sosialnya. Melainkan, cara Angel memandang dunia. Meskipun ia berasal dari keluarga berada, ia tampak rendah hati dan penuh rasa ingin tahu tentang hal-hal yang lebih dari sekadar kemewahan hidup. Sepertinya, Angel ingin mengenal dunia yang jauh dari kemewahan dan glamor yang selama ini mengelilinginya.

Seiring berjalannya waktu, Andrean mulai berbicara lebih banyak dengan Angel. Setiap kali mereka berbincang, Andrean merasa ada ikatan yang mulai terbentuk di antara mereka. Angel tidak hanya penasaran tentang Andrean yang pintar di sekolah dan olahraga, tetapi juga tertarik dengan impian besar Andrean yang jarang ia ungkapkan kepada orang lain.

"Jadi, kamu suka menulis, ya?" tanya Angel suatu sore, setelah melihat Andrean sedang menulis di buku catatannya.

Andrean terkejut. "Iya, tapi itu cuma hobi sih," jawabnya dengan ragu.

Angel tersenyum. "Kamu harus mulai serius dengan itu. Kamu punya bakat, Andrean. Aku yakin kamu bisa membuatnya jadi sesuatu yang besar."

Andrean merasa bingung. "Tapi, untuk itu, aku butuh modal. Aku nggak punya apa-apa. Hanya buku lama dan pena."

Angel mengerutkan dahi. "Kalau begitu, aku akan bantu. Aku punya keluarga yang bisa menyediakan segala yang kamu butuhkan."

Kata-kata itu membuat Andrean tertegun. Tidak pernah ia membayangkan ada seseorang yang bersedia membantunya mewujudkan impian besar tersebut. Tapi, Angel terlihat begitu tulus, dan Andrean pun merasa bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan.

Malam itu, Andrean pulang ke rumah dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia merasa ragu, namun juga bersemangat. Apakah ia siap untuk mengambil langkah besar ini? Apakah ia siap untuk mengejar impiannya dengan bantuan orang lain yang bahkan belum lama ia kenal?

Namun, dalam hati Andrean, satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Hidupnya yang penuh keterbatasan mungkin tidak akan pernah sama lagi setelah ini.

.......

Bersambung

Chapter 2: Pagi yang Berbeda

Pagi yang cerah itu menyelimuti sekolah dengan cahaya matahari yang hangat. Andrean merasa langkahnya lebih ringan hari ini, meskipun harus tetap melalui jalanan yang sama seperti biasa. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin karena percakapan dengan Angel semalam, atau mungkin karena merasa ada harapan baru untuk impian yang selama ini dia simpan rapat-rapat.

Sesampainya di sekolah, Andrean langsung menuju kelas. Sesuai kebiasaannya, ia memilih bangku pojok, jauh dari keramaian. Namun, hari itu, ada sesuatu yang menarik perhatian. Angel Luiana Clarista duduk di bangku depan, bukan di tempat yang biasanya ditempati siswa lain. Itu membuat seluruh kelas terdiam sejenak. Beberapa siswa saling berbisik, terkejut dengan perubahan itu.

Angel tersenyum saat melihat Andrean masuk ke kelas. Dia mengangkat tangan dan menyapa dengan anggun, "Hei, Andrean! Ayo duduk sini."

Mata seluruh kelas langsung tertuju pada mereka berdua. Andrean merasa gugup, tapi mencoba tetap tenang. Meskipun ia merasa canggung dengan perhatian yang diberikan oleh teman-teman sekelas, ia tak bisa menolak tawaran Angel. Ia akhirnya berjalan menuju tempat duduk yang sudah disiapkan untuknya di sebelah Angel.

"Jadi, bagaimana dengan novel yang kamu ingin buat? Sudah mulai menulis?" tanya Angel dengan nada antusias.

Andrean sedikit terkejut, karena tidak mengira Angel akan membicarakan hal itu begitu cepat. "Aku… aku belum mulai menulis banyak sih. Masih mikirin ide dan cara untuk memulainya."

Angel mengangguk sambil tersenyum. "Aku percaya kamu bisa, Andrean. Kalau kamu butuh bantuan, aku akan selalu ada untukmu."

Kata-kata Angel membuat Andrean merasa lebih tenang. Namun, di sisi lain, ia merasa ada beban yang cukup besar. Bisa saja ia memanfaatkan bantuan dari Angel, tetapi ia juga tidak ingin terlihat seperti orang yang hanya bergantung pada orang lain. Ia ingin melakukannya sendiri, namun Angel terus memberikan dorongan dan semangat.

Di kelas itu, pelajaran berlangsung seperti biasa. Namun, di dalam pikiran Andrean, ide untuk menulis novel semakin berkembang. Ia membayangkan bagaimana jika ia bisa menulis sebuah cerita yang akan mengubah hidupnya. Apa yang akan ia lakukan jika idenya itu benar-benar bisa mengubah jalan hidupnya?

Sore harinya, Andrean mendapat undangan dari Angel untuk datang ke rumahnya. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan besar, tetapi ia merasa cemas. Di satu sisi, ia ingin mengejar impiannya, tetapi di sisi lain, ia merasa ragu untuk menerima bantuan orang lain.

Sesampainya di rumah Angel, Andrean terpesona melihat kemewahan yang ada di sekitarnya. Rumah besar dengan taman yang indah, furnitur yang mewah, dan dekorasi yang elegan membuat Andrean merasa sedikit canggung. Ia tidak terbiasa berada di lingkungan seperti ini.

Angel menyambutnya dengan ramah. "Selamat datang, Andrean. Jangan ragu, ini rumahku. Aku ingin kamu merasa nyaman."

Andrean tersenyum canggung. "Terima kasih, Angel. Aku… nggak biasa berada di tempat seperti ini."

Angel tertawa kecil. "Aku ngerti kok. Tapi kamu nggak perlu merasa canggung. Aku malah senang bisa membantumu."

Setelah beberapa saat berbincang-bincang, Angel membawa Andrean ke ruang kerjanya. Di dalam ruangan itu terdapat berbagai macam alat tulis, komputer canggih, dan rak-rak penuh dengan buku-buku. Andrean terkejut melihat betapa terorganisirnya ruang kerja Angel.

"Ini tempat di mana aku biasa menulis," kata Angel sambil menunjuk meja kerjanya. "Aku suka menulis juga, meskipun nggak seperti kamu. Tapi aku bisa membantu kalau kamu butuh bantuan dengan pengeditan atau ide."

Andrean melihat meja itu dengan kagum. "Wow, ini keren banget. Aku nggak pernah berpikir bisa punya tempat seperti ini."

Angel tersenyum. "Ini semua karena orang tua aku. Mereka mendukung apa pun yang aku lakukan. Kalau kamu butuh ruang seperti ini, aku bisa membantumu."

Andrean merasa terharu. Ia tak bisa membayangkan betapa mudahnya hidup Angel dibandingkan dengan hidupnya sendiri. Namun, di sisi lain, ia juga merasa ada peluang besar untuk mewujudkan impian yang selama ini ia pendam.

Setelah beberapa jam berbincang dan berdiskusi, Andrean mulai merasa lebih nyaman. Angel mengajaknya untuk berjalan-jalan di sekitar rumah, memperkenalkan beberapa fasilitas yang ada. Mereka berjalan di taman yang luas, berbicara tentang berbagai hal. Andrean merasa semakin dekat dengan Angel.

Namun, di balik itu semua, Andrean mulai merasa ada sesuatu yang tak terungkapkan. Ia mulai merasakan perasaan yang berbeda terhadap Angel. Perasaan yang lebih dari sekadar rasa terima kasih karena bantuan yang diberikan. Ada semacam ikatan yang mulai terbentuk, meskipun Andrean berusaha menahannya.

Pada saat mereka berdua duduk di bangku taman, Angel berbicara dengan lembut. "Andrean, aku tahu hidupmu nggak mudah. Tapi aku yakin kamu bisa sukses. Aku percaya pada kemampuanmu."

Kata-kata itu membuat Andrean merasa tersentuh. Ia tidak bisa membayangkan ada orang yang begitu peduli dengan impian dan kehidupannya. Namun, ia juga tahu bahwa perasaan ini tidak akan mudah. Ia tidak bisa membiarkan perasaan ini mengganggu fokusnya pada tujuannya.

"Terima kasih, Angel. Aku akan berusaha sebaik mungkin," jawab Andrean, meskipun hatinya bergejolak.

Angel tersenyum lebar. "Aku tahu kamu bisa, Andrean. Aku akan selalu ada untukmu."

Setelah menghabiskan waktu bersama, Andrean kembali pulang dengan perasaan campur aduk. Ia tidak hanya merasa lebih dekat dengan Angel, tetapi juga semakin yakin untuk mengejar impian menulisnya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada tantangan besar yang harus dihadapi. Apakah ia siap untuk membuka hati dan menerima bantuan dari seseorang seperti Angel? Atau, apakah ia akan terus bertahan dengan cara yang lebih sulit, berjuang seorang diri?

........

BERSAMBUNGG.....

Chapter 3: Mimpi yang Terhalang

Keesokan harinya, Andrean kembali merasa semangat. Sejak pertemuannya dengan Angel, segalanya terasa berbeda. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengubah nasib, untuk mewujudkan impian yang selama ini terpendam. Namun, tantangan yang lebih besar pun muncul, yang menguji tekadnya.

Setelah pulang sekolah, Andrean menuju rumahnya yang sederhana di daerah kumuh. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah mengingatkan pada realita hidup yang penuh perjuangan. Namun, ia bertekad untuk tidak menyerah. Saat ia melangkah masuk ke dalam rumah, sang ibu, yang bekerja keras di pasar, menyapanya dengan senyuman hangat.

"Andrean, sudah makan?" tanya sang ibu, seperti biasa.

"Sudah, Ma," jawab Andrean sambil duduk di meja makan.

Namun, di dalam hatinya, Andrean merasa tak enak. Ia ingin berbicara tentang impiannya menulis novel, tetapi ia tahu betapa sulitnya untuk memberi tahu ibunya bahwa ia ingin mengejar sebuah impian yang tak pasti ini. Ia takut ibunya akan merasa kecewa, karena dalam keadaan mereka yang serba kekurangan, impian itu tampaknya hanya angan-angan belaka.

Malam itu, Andrean duduk di depan komputernya. Ia membuka dokumen kosong, menatap layar tanpa tahu harus mulai dari mana. Beberapa kali ia mencoba menulis, namun kata-kata seakan menolak keluar. Terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya—keadaan ekonomi, rasa canggung dengan bantuan dari Angel, dan tekanan dari kehidupannya yang keras.

Tiba-tiba, teleponnya berdering. Itu adalah pesan dari Angel.

“Hei, Andrean! Ada acara pameran novel di Jakarta bulan depan. Aku yakin ini kesempatan bagus untuk kamu. Jangan ragu, ayo kita ikut!”

Andrean terkejut. Pameran novel? Itu adalah kesempatan emas, namun dalam pikirannya, ada banyak pertanyaan. Apakah ia siap? Apakah novelnya sudah cukup baik untuk dipamerkan? Ia merasa masih jauh dari cukup.

Namun, keinginan untuk mewujudkan impiannya lebih kuat daripada keraguan. "Aku harus mencoba," batinnya.

Keesokan harinya, Andrean kembali ke sekolah dengan tekad yang lebih kuat. Di tengah pelajaran, Angel mendekatinya.

"Andrean, aku sudah daftar untuk pameran novel itu. Jangan khawatir, aku akan bantu semua yang kamu butuhkan," kata Angel dengan percaya diri.

Andrean sedikit terkejut. "Kamu yakin? Aku… aku masih belum siap. Aku belum punya cukup materi untuk dipamerkan."

Angel tersenyum lembut. "Jangan khawatir. Kamu punya bakat, dan aku yakin semua orang akan terkesan dengan karya kamu. Ini kesempatanmu untuk bersinar."

Meskipun begitu, Andrean merasa tertekan. Pameran itu hanya sebulan lagi, dan ia merasa jauh dari siap. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu menulis, meskipun sering kali ia merasa patah semangat. Setiap kali ia memandang layar kosong, ia merasa ragu akan kemampuannya.

Namun, di saat-saat sulit itulah, Angel selalu hadir untuk memberinya semangat. Ia mengirimkan pesan-pesan motivasi, mengajaknya berbicara tentang ide-ide kreatif, dan mengingatkan Andrean bahwa ia bukan sendirian dalam perjuangan ini.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan pameran novel semakin dekat. Andrean semakin merasa terjepit. Ia merasa harus memberikan yang terbaik, tetapi ia juga takut kalau semuanya akan gagal. Di satu sisi, ada rasa ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa berhasil. Namun, di sisi lain, ia khawatir jika usahanya tidak cukup.

Saat malam hari, Andrean berdiri di depan cermin. Ia menatap dirinya sendiri dengan penuh pertanyaan. Apakah ini benar-benar impian yang ingin ia kejar? Ataukah ia hanya mengikuti arus karena dorongan dari Angel?

Namun, jawabannya mulai jelas. Ia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.

Beberapa hari sebelum pameran, kehidupan Andrean kembali diuji. Ketika ia sedang berjalan pulang dari sekolah, ia melihat beberapa teman-temannya yang sedang berkumpul di sudut jalan. Mereka mulai berbicara tentang dirinya, tentang novel yang katanya sedang ia tulis.

"Heh, Andrean itu cuma mimpi besar doang, nggak ada yang istimewa," salah satu temannya berkata.

Mendengar itu, Andrean merasa terhina. Ia berusaha untuk tidak melirik atau menunjukkan perasaan, tetapi kata-kata itu menyentuh hati yang paling dalam. Di tengah perjalanan pulang, ia merasa dunia seakan menjauh darinya.

Sampai di rumah, ia mencoba untuk tidak mengungkapkan perasaannya pada ibunya. Ia tahu, hidupnya sudah cukup sulit tanpa perlu menambah beban. Namun, ia tak bisa menahan perasaan kecewa dan cemas yang menggelayuti dirinya. Rasanya seperti mimpi itu semakin jauh, seolah-olah ada kekuatan yang ingin menghancurkannya.

Malam sebelum pameran, Andrean terjaga larut malam. Ia menatap layar komputernya yang kosong, mencoba menulis beberapa kata yang bisa ia jadikan materi untuk pameran. Namun, kata-kata itu terasa tidak cukup, dan ia merasa cemas. Apa yang harus ia lakukan jika semuanya gagal? Apa yang harus ia katakan pada Angel jika novelnya tidak diterima?

Namun, tiba-tiba teleponnya berbunyi. Itu pesan dari Angel.

“Aku tahu kamu cemas, Andrean. Tapi kamu harus ingat, ini bukan soal memenangkan lomba. Ini soal perjalananmu. Jangan takut gagal, karena kamu sudah berusaha dengan keras.”

Pesan itu memberi sedikit ketenangan bagi Andrean. Angel benar, ini bukan tentang kemenangan, tapi tentang berusaha. Ia merasa sedikit lega, meskipun kecemasan masih menghantuinya.

.........

BERSAMBUNGG..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!