Inikah kehidupan yang bahagia?.
Pertanyaan itu selalu berputar di kepala Rama Adi Wijaya setelah membuka matanya selepas tidur sembari melemparkan pandangannya pada ranjang kosong di sampingnya.
Sejak pernikahannya dengan istrinya Citra Suganda, Rama merasa kehidupannya makin suram. Istrinya bukanlah orang yang buruk tapi, ini adalah pernikahan yang tidak dia inginkan.
*
Rama mulai mengangkat kepalanya yang terasa sangat berat dari atas bantal. Rama mulai melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya yang terasa sangat lengket.
Setelah beberapa menit akhirnya Rama keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutupi bagian sensitifnya. Rama mulai mengenakan pakaian kerjanya, dasi yang menggantung di lehernya membuat ketampanannya naik sepuluh kali lipat.
Setelah mengenakan jas hitam andalnya, Rama keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan untuk menyantap sarapannya sebelum menuju kantor.
Rama segera duduk di salah satu kursi dengan wajah datar tanpa ekspresi, dengan sigap Citra menaruh sepotong roti panggang di piring Rama.
Citra memposisikan dirinya berdiri di samping Rama, Citra sejujurnya ingin menjadi istri baik yang melayani suaminya tapi,, sikap Rama selalu menghalanginya.
"Biar saya saja." Kata Rama mengambil roti miliknya yang hendak di olesi selai oleh Citra.
Citra tersenyum lalu segera mendudukkan bokongnya di atas kursi.
Sarapan keduanya selalu berjalan seperti ini, kaku tanpa percakapan. Jangan ditanya bagaimana kehidupan mereka, datar tanpa senyum.
...----------------...
Flashback on
Rama muda sedang duduk di depan orang tuanya sembari menundukkan kepalanya menahan kemarahan.
"Ibu sudah bilang, wanita itu tidak cinta sama kamu."
"Dia cuma mau harta kita." Kata Ibu Rama.
"Dia tidak seburuk yang ibu katakan." Jawab Rama dengan wajah memerah.
"Kalau dia tidak seburuk itu, kenapa dia menerima uang dari keluarga kita?! Dia bisa menolaknya!." Teriak ibu Rama.
"Kamu harus menikah dengan Citra." Kata Ayah Rama ikut angkat bicara.
"Ini hidupku, aku mencintai Olifia. Kenapa Kalian selalu mengendalikan aku dan mengurungku dalam sangkar ini!." Teriak Rama melawan.
"Apa Ayah perlu hilangkan dan musnahkan dia agar kamu menurut dengan ayah!."
"Bukan dia yang seharusnya hilang, kalian yang harusnya mati!." Teriak Rama.
Plakkk
Sebuah tamparan mendarat di pipi Rama.
Flashback off
...----------------...
Rama yang menghabiskan sepotong roti terakhirnya segera bangun dari duduknya dan meninggalkan Citra tanpa sepatah kata pun. Rama faham betul perbuatannya dapat menyakiti hati Citra tapi entah kenapa dirinya tidak bisa berbuat baik pada istrinya itu.
Rama melajukan mobilnya dengan kecepatan normal, mulai menyalakan musik di mobilnya untuk mengisi kesunyian.
Rama menginjak rem mobilnya, menunggu lampu lalu lintas di depannya berubah warna. Sembari memandang orang yang berlalu lalang menyebrang zebra cross, katanya tertuju pada seorang Anita yang tampak tidak asing di pandangannya, wanita dengan senyum terindah yang pernah dia lihat.
"Olifia." Kata Rama memandang intens ke arah wanita yang lewat di depan mobilnya.
Rama melepas sabuk pengamannya, membuka pintu mobilnya ketika pintu mobil baru terbuka lalu terlintas di benak Rama yang membuat dirinya mengurungkan niat.
"Apa urusanku dengannya? Dia yang meninggalkan aku." Kata Rama Kembali menutup pintu mobil dan mengenakan sabuk pengamannya kembali.
Rama menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan mantan pujaan hatinya yang baru saja lewat.
Sejujurnya Rama tak bisa menyangkal, bagi Rama pertemuan ini adalah hal yang diinginkannya sejak lama.
Rama memicingkan matanya tersenyum kecut, menyadari suasana hatinya membaik setelah melihat wanita yang dibencinya.
...----------------...
Melihat suaminya sudah meninggalkan pekarangan rumah dengan wajah tersenyum Citra membereskan piring di atas meja.
Keadaan tidak hanya sulit untuk Rama, Citra juga mengalami hal yang sama. Tidak ada yang menginginkan pernikahan ini di antara keduanya, dikala Rama masih sulit untuk membuka hati Citra juga mengalami hal yang sama. Dikala Rama harus meninggalkan kekasih hatinya untuk menikah dengan Citra, Citra juga merasakan hal yang sama. Tapi, Citra mengusahakan membuka hatinya untuk Rama, tapi apa Rama berusaha melakukan hal yang sama?,,,
Citra Suganda merupakan seorang putri tunggal dari pemilik perusahaan kecil jika dibandingkan dengan milik keluarga Rama. Gadis penyuka seni ini harus menikah dengan seorang pria yang tidak dia cintai.
Pertemuan mereka dikarenakan janji keluarga. Pernikahannya dengan Rama sudah berjalan 5 tahun, sejak awal pernikahan sikap Rama selalu ketus terhadap Citra.
Citra selalu menerima semua sikap Rama dan menganggap bahwa hal tersebut merupakan cara beradaptasi Rama terhadap kehidupan barunya.
Bersambung.....
Citra menatap pantulan wajahnya di cermin yang tergantung di dapur.
Wajah yang dulu penuh semangat kini terlihat lelah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mencintai seseorang sendirian. Apalagi jika orang itu adalah suaminya sendiri.
Ia mengusap lembut wajahnya, mencoba menghapus bayang-bayang luka yang sulit disembunyikan.
Suara mesin cuci terdengar samar dari sudut dapur, dan dalam sunyi itulah, Citra menangis tanpa suara. Tangis yang sudah terlalu sering datang diam-diam, agar tak menyusahkan siapa pun—terutama Rama.
Di tempat lain, Rama melangkah masuk ke dalam gedung kantor.
Langkahnya tegap, wajahnya dingin seperti biasa. Karyawan yang berpapasan dengannya langsung menunduk memberi salam, dan Rama hanya memberi anggukan kecil. Semua orang tahu, bos mereka bukan pria yang ramah.
Namun berbeda hari ini.
Setelah menutup pintu ruangannya, Rama menyandarkan tubuhnya di balik pintu, memejamkan mata. Kilasan wajah Olifia—atau entah siapa tadi—masih terus menari di pikirannya.
“Bisa jadi itu cuma ilusi,” gumamnya pelan. Tapi dada Rama berdetak lebih cepat daripada biasanya, seperti ada alarm dalam dirinya yang mengatakan: perempuan itu nyata, dan dia kembali.
Sementara itu, Citra duduk di ruang tamu dengan album foto di tangannya.
Foto-foto pernikahan mereka, yang diambil lima tahun lalu, masih tampak utuh dan rapi. Tapi dari tatapan mata Rama dalam foto-foto itu, tak pernah ada cinta. Citra tahu, bahkan sejak hari itu, Rama hanya berusaha terlihat sopan. Tidak lebih.
Tangannya berhenti di satu foto—foto di mana Rama mencium keningnya. Itu satu-satunya momen yang membuatnya merasa istimewa, meski hanya sesaat.
"Kalau aku pergi... apakah dia akan sadar kehilanganku?" ucapnya lirih.
Keesokan harinya, suasana rumah masih sama. Sunyi.
Rama turun dari kamar dengan kemeja kerja yang sudah rapi dikenakan. Ia berjalan menuju meja makan, dan seperti biasa, Citra sudah menyiapkan sarapan. Hari ini bukan roti, melainkan bubur ayam dan teh panas.
"Ada rapat jam sembilan," kata Rama sambil duduk.
Citra hanya mengangguk. Tapi hari ini ia memberanikan diri untuk bicara lebih panjang.
"Rama..."
Rama menoleh sekilas, menunggu kalimat selanjutnya.
"Aku mau izin keluar kota dua hari. Ada pameran seni di Bandung, aku dapat undangan dari komunitasku."
Rama menatapnya. Lama.
Biasanya, ia akan diam atau mengangguk asal. Tapi hari ini bibirnya bergerak pelan.
"Pergilah."
Citra tak menyangka akan mendapat izin secepat itu. Tapi bukannya senang, hatinya justru makin kosong. Rama bahkan tak bertanya siapa yang mengundang, atau kenapa dia baru bilang hari ini.
Sore harinya, setelah pulang kerja, Rama kembali melewati jalan yang sama.
Tanpa sadar ia memperlambat mobilnya di tempat kemarin ia melihat wanita itu. Ia berharap, mungkin saja ia muncul lagi. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya pejalan kaki biasa, dan suara klakson bersahutan.
Namun di lampu merah yang berikutnya, matanya terpaku pada papan reklame besar:
Pameran Seni: "Wajah yang Hilang", oleh Olifia Ramadhani.
Gedung Galeri Kota Bandung, 3-5 Agustus.
Jantung Rama serasa berhenti berdetak.
Olifia… benar. Itu dia.
Dan lebih dari itu, ternyata Citra pergi ke tempat yang sama.
Di dalam kamar, Rama duduk di sisi ranjang, membuka ponselnya.
Ia membuka galeri lama, mencari-cari folder yang sudah bertahun-tahun tidak dibuka:
“OLIFIA – 2015”.
Senyum manis, tatapan lembut, tangan yang dulu pernah ia genggam penuh cinta.
Namun bayangan tamparan sang ayah, jeritan ibunya, dan darah yang mengalir karena keputusan yang tak bisa ia kendalikan... semua kembali menggelegak di kepalanya.
...----------------...
Bandung, dua hari kemudian.
Citra berjalan di antara lukisan-lukisan yang dipamerkan. Tangannya meraba salah satu karya bertajuk “Sangkar Tanpa Kunci”. Di bawahnya tertulis:
“Untuk dia yang pergi bukan karena tak cinta.”
Hati Citra tercekat.
Tepat saat itulah langkah kakinya terhenti, melihat sosok wanita berpakaian putih duduk di dekat meja galeri utama.
“Olifia?” bisik Citra nyaris tak percaya.
Olifia menoleh. Mata mereka bertemu.
Dua wanita yang sama-sama mencintai pria yang sama... akhirnya bertatap muka untuk pertama kalinya.
Bersambung...
Citra tertegun ketika melihat seorang wanita perlahan melangkah mendekati Olifia, yang tengah terpaku pada sebuah lukisan di dinding putih museum.
Citra berdiri di sisi Olifia, pura-pura tak mengenalnya. Olifia menyadari kehadiran Citra, lalu menoleh dan mengangguk ramah.
Tatapan Citra tak lepas dari wanita itu—wanita yang selama ini begitu diidamkan suaminya. Cantik, anggun, mengenakan gaun putih selutut. Senyum tipis mengembang di bibir Citra, senyum yang sulit diartikan.
Bagaimana Citra tahu itu Olifia, wanita yang dicintai Rama? Bagaimana tidak tahu, jika di awal pernikahan mereka, seluruh kenangan tentang Olifia masih memenuhi rumah? Foto, lukisan, bahkan barang-barang kecil yang seolah memanggil nama itu. Hingga suatu hari, semua lenyap begitu saja, seperti ditelan bumi.
"Suka pelukis ini juga?" tanya Citra santai.
Olifia tersenyum dan mengangguk.
Citra mengalihkan tubuhnya, menatap Olifia sambil mengulurkan tangan.
"Aku Citra Suganda. Salam kenal."
Olifia menoleh, membalas senyuman itu.
"Aku Olifia Ramadhani."
Keduanya berjabat tangan. Tidak ada tanda pengenalan di mata Olifia—seolah nama “Citra” tak punya arti baginya. Olifia hanya menganggap wanita di hadapannya agak aneh, menyebut namanya begitu saja sambil tersenyum ramah. Tapi Citra tak peduli.
Mereka lalu duduk di sebuah bangku, memandang lukisan yang terpajang di depan. Lukisan berjudul Sangkar Tanpa Kunci itu seolah menarik keduanya masuk ke dalam kisahnya.
"Menurut kamu, apa yang dirasakan pelukisnya?" tanya Citra tanpa mengalihkan pandangan.
"Sedih, pastinya," jawab Olifia pelan.
Citra terkekeh. "Keduanya berpisah," ujarnya, menunjuk lukisan itu—dua burung dalam satu sangkar, tapi terpisah oleh sekat. Di atasnya tergantung sebuah kunci.
"Kamu lihat kunci itu?"
"Sulit diraih meski terlihat jelas," jawab Olifia. "Mereka tak punya kuasa. Makhluk boleh berencana, tapi Tuhan tahu yang terbaik."
Citra menatap Olifia lama, diam-diam merasakan sesuatu yang tak ingin ia akui—rasa bersalah. Tapi pikirannya terlalu kusut untuk diurai.
Saat itu, seorang staf museum mendekat.
"Maaf, Bu. Ibu sudah lama di sini?" tanyanya sopan.
Olifia sedikit terkejut, lalu memandang Citra yang hanya membalas senyum ke arah staf. Ada keheranan di wajahnya.
Olifia berdiri, membungkuk sedikit.
"Aku Juliet," katanya pelan. "Nama samaran… lebih tepatnya."
Citra mengerjap.
"Terima kasih sudah menyukai lukisanku, Citra," lanjut Olifia, menatapnya tepat di mata.
Citra membeku. Pelukis favoritnya belakangan ini—adalah Olifia. Wanita yang dicintai suaminya. Wanita yang, bahkan hingga detik ini, masih menempati hati Rama.
...---------------...
Olifia Ramadhani, gadis sederhana yang jatuh hati pada seni. Lulusan salah satu SMA ternama ini mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikannya—sebuah prestasi yang membanggakan. Tiga tahun sebelum Rama bertemu Citra, Olifia adalah wanita yang begitu ia cintai.
Namun, cinta mereka terhenti oleh sebuah tragedi yang meninggalkan luka mendalam bagi keduanya. Peristiwa itu membuat Olifia memilih memutuskan semua hubungan dengan Rama, seolah menghapus jejak masa lalu yang pernah mereka rajut. Seiring waktu, Rama pun menikah dengan Citra.
Olifia tak pernah mencoba mencari tahu kabar Rama sejak itu. Baginya, membuka kembali cerita lama hanya akan mengoyak luka yang sudah berusaha ia sembuhkan. Rama adalah cinta pertamanya, tapi masa lalu itu harus ia kunci rapat.
Dalam pikirannya, Rama pasti telah melupakannya. Buktinya, ia telah menikah dan—dari luar—tampak hidup bahagia. Dan bagi Olifia, kebahagiaan Rama adalah sesuatu yang patut ia syukuri, meski bukan lagi bersamanya.
Namun… apakah benar seperti itu?
Apa yang sebenarnya terjadi di hati Rama?
Bersambung,,,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!