NovelToon NovelToon

Hamil Setelah Diceraikan

Bab 1. Separuh Hidup

Satu keluarga baru saja menyelesaikan makan malam. Hana yang merupakan istri sekaligus menantu satu-satunya di keluarga Hermawan, lantas membereskan sisa makanan dan piring-piring kotor.

Tidak ada yang membantunya karena mereka memang tidak memiliki asisten rumah tangga.

Semua pekerjaan rumah dia yang membereskannya sendiri, karena setelah menikah dengan Heri—sang suami, Hana dilarang untuk bekerja di luar rumah.

Namun, sampai di usia pernikahan mereka yang menginjak 5 tahun, Hana belum juga hamil. Padahal dia dan Heri sudah berharap bisa segera mendapat momongan.

Karena jika dilihat dari kasat mata finansial keduanya sudah cukup mumpuni, ditambah usia yang semakin bertambah.

"Her, Mamah mau bicara, ayo kita ke ruang keluarga," ucap Mamah Saras, yang tak lain dan tak bukan adalah ibu mertua Hana. Ya, di rumah yang cukup besar ini, mereka tinggal bertiga. Sebab ayah Heri jarang pulang ke rumah, pria itu masih bekerja sebagai seorang pelayar.

Mendengar itu Hana hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Saat ini dia akan mencuci piring, agar ketika pagi datang, pekerjaannya tidak menumpuk.

Sementara Heri dan Mamah Saras lantas meninggalkan dapur dan beralih ke ruang keluarga. Entah apa yang akan mereka bicarakan, sepertinya cukup serius sampai Hana tak boleh mendengarnya.

Dan itu semua dikuatkan oleh air muka sang ibu mertua yang nampak masam.

"Mungkin Mamah sedang ada masalah, makanya hanya ingin bicara dengan Mas Heri," gumam Hana. Dia sudah merasa biasa saat dicueki seperti itu, karena Mamah Saras memang tak begitu menyukainya, hanya karena dia dibesarkan di sebuah panti asuhan.

Dengan berpositif thinking hati Hana menjadi lebih tenang. Hingga setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, dia langsung memutuskan untuk kembali ke kamar.

Namun, karena kamarnya tak jauh dari ruang keluarga. Hana bisa mendengar dengan jelas sang ibu mertua yang sedang marah-marah pada suaminya.

"Kamu itu jangan bodoh. Apa yang kamu dapat dari Hana selama ini? Kebahagiaan macam apa kalau kalian tidak memiliki anak? Sudah hampir lima tahun kalian menikah, dan itu bukanlah waktu yang sedikit, Her!" ketus Mamah Saras sambil menjabarkan angka lima menggunakan jarinya, dan hal tersebut tentu membuat hati Hana langsung menjerit sakit.

Dia memegang dadanya dan bersandar di dinding. Matanya mendadak menganak sungai, tetapi sebisa mungkin dia tahan. Ini bukan pertama kalinya Mamah Saras menghinanya seperti itu.

Lima tahun pacaran dan lima tahun menikah. Ya, hampir setengah umur Hana sudah dihabiskan untuk hidup bersama Heri. Hingga membuatnya tetap bertahan dengan pria itu.

'Andai Mamah mau sedikit saja memahami bahwa aku dan Heri sudah berusaha, hanya saja Tuhan belum juga menghendaki keinginan kami. Lantas siapa yang harus disalahkan?' batin Hana mengingat tiap pil vitamin yang dia telan, juga pemeriksaan yang rutin dia lakukan. Dia tidak pasrah begitu saja pada takdir! Dia masih berjuang keras.

"Mah, kita juga sedang berusaha. Mamah yang sabar dong, aku pasti bisa buat Hana hamil," balas Heri berusaha menenangkan ibunya. Seorang wanita yang paling berharga dalam hidupnya.

"Sampai kapan? Apa kamu menunggu Mamah ditimbun tanah lebih dulu? Lima tahun kamu memelihara sampah di rumah ini. Karena dia tidak bisa apapun, kecuali menghabiskan uangmu! Kamu benar-benar bodoh, Her. Kamu bodoh!" maki Mamah Saras lagi, merasa gemas dengan sang anak.

Dia lupa bahwa setiap jengkal debu dan tiap suapan yang masuk ke lambungnya itu semua adalah hasil tangan Hana. Ya, di pikirannya hanya ada sebuah kebencian, karena menganggap Hana adalah wanita mandul dan pengangguran.

"Lalu Mamah maunya aku bagaimana?" tanya Heri dengan pelan lengkap dengan kening yang berlipat-lipat. Karena membentak Mamah Saras adalah sebuah pantangan baginya. Dia tidak mau menyakiti hati ibunya itu.

"Cari wanita lain! Wanita mandul itu tidak pantas dipertahankan di keluarga kita, yang ada kamu tidak akan bisa memiliki keturunan sampai kapanpun!" tegas Mamah Saras yang membuat hati Hana hancur berkeping-keping.

'Ya Tuhan rasanya sakit sekali. Aku tidak pernah mengeluh akan takdirmu, tapi kenapa Engkau berikan cobaan dengan mulut jahat mertuaku. Jangan sampai aku mendoakan yang buruk untuknya.'

Air matanya langsung luruh dengan deras. Karena dia benar-benar merasa hina dituduh seperti itu. Padahal dokter tidak pernah menyatakan demikian, semuanya sehat.

"Aku tidak mandul! Tuhan hanya belum memberiku seorang anak, aku tidak mandul," gumam Hana sambil terisak-isak di balik dinding.

Di dunia ini, dia tidak memiliki siapapun lagi selain orang-orang yang ada di panti asuhan. Dia terlahir sebagai yatim piatu, hingga saat menikah dia ingin menganggap Mamah Saras sebagai ibunya sendiri.

Namun, kasih sayangnya tidak diterima. Perhatiannya terabaikan, karena Mamah Saras justru memusuhinya.

Hana melirik lagi ke arah ruang keluarga menggunakan ekor matanya dan yang dia lihat hanyalah sang suami yang tertunduk dan tak mampu melawan ucapan ibunya.

Hal tersebut membuatnya kembali tergugu, sesak karena tak ada pembelaan apapun dari satu-satunya orang yang dia percaya.

Bab 2. Tidak Ingin Merusak Surganya

Heri masuk ke dalam kamar dan mendapati Hana yang sudah berbaring menghadap tembok. Terdengar isak tangisnya yang lirih, membuat dada Heri sedikit sesak. Bagaimana pun dia mencintai wanita itu, karena mereka sudah bersama-sama dalam waktu yang cukup lama.

Heri yakin sepintas atau sepenuhnya Hana telah mendengar ucapan ibunya barusan.

Dengan perlahan pria itu naik ke atas ranjang, memindahkan guling ke sisi dan memeluk tubuh istrinya dari belakang. Dia sungguh merasa bersalah tiap Mamah Saras memberikan tuduhan dan cemoohan pada Hana.

Akan tetapi dia juga tidak bisa melawan ucapan orang yang sudah melahirkannya. Sebagaimana pesan yang sering disampaikan oleh sang ayah—Aris Hermawan. Surga ada di telapak kaki ibu, dan dia tidak ingin merusak surganya.

"Maafkan Mamah ya, Han. Mamah pasti sedang khilaf berkata seperti itu, kamu jangan diambil hati, karena sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu. Kita berusaha lagi ya, supaya kita bisa mendapat anak sesegera mungkin dan mematahkan ucapan Mamah," ujar Heri menenangkan Hana.

Namun, bukannya tenang, tangis Hana malah bertambah pecah. Dia merasa bahwa terlahir menjadi seorang wanita itu sangat berat resikonya.

Sebab mereka terus disalahkan, padahal tidak ada satupun di dunia ini wanita yang ingin terlahir tidak sempurna. Hah benarkah wanita yang belum jadi ibu itu artinya tidak sempurna? Hana sampai berpikir seperti itu.

"Tapi aku tidak mandul, Her. Kita sudah memeriksakannya ke dokter dan aku baik-baik saja. Tidak ada masalah dengan rahimku, tapi kenapa Mamah selalu menyudutkanku?" rengek Hana dengan suara sumbang, rasa lelah semakin menggerogoti hatinya.

Akan tetapi dia tidak pernah berpikir untuk lepas dari Heri. Dia mencintai pria itu, sangat!

"Iya-iya aku mengerti, Hana. Mamah hanya asal bicara, kamu seperti tidak tahu saja."

Heri mengusap puncak kepala istrinya dengan sayang, sementara Hana yang mendengar itu merasa bahwa ucapannya percuma. Ya, selamanya Heri hanya akan membela Mamah Saras.

Hingga akhirnya wanita itu memilih untuk diam. Semakin bicara hatinya justru semakin sakit, seperti ada belati yang menusuk-nusuk.

"Sudah ya, lebih baik kita tidur. Besok aku ada meeting dengan bos," ujar Heri, sebagai wakil direktur, dia tentu memegang jabatan yang cukup tinggi di perusahaan. Dia tidak mau merusak citranya, hanya karena terlambat meeting.

Hana mendesahkan nafas, dan yang bisa dia lakukan hanyalah mengalah pada perasaannya. Dengan mata yang masih basah, akhirnya wanita itu mencoba untuk terlelap. Dan kecupan singkat di kepalanya, menjadi penghantar tidur.

***

Pagi harinya. Seperti rutinitas biasa, Hana menjadi orang yang pertama bangun saat fajar mulai menyingsing, dia membuat sarapan untuk suami dan ibu mertuanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Dia selalu menghemat waktu dengan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus.

"Masak apa kamu hari ini?" tanya Mamah Saras saat tiba di dapur. Hidup wanita paruh baya itu sudah enak sekali, sebab makan tinggal makan, baju tinggal pakai, uang bulanan selalu berjalan.

"Aku masak kentang, sayur buncis dan juga ayam goreng, Mah," jawab Hana sambil melirik sekilas, dia terlihat biasa saja, seolah tak pernah terjadi masalah.

"Masak itu yang bergizi dikit gitu lho. Kamu kan pegang uang banyak dari suamimu. Beli daging atau ikan, hari-hari itu terus proteinnya, kasihan anakku, bosan!" cerocos Mamah Saras tanpa perasaan, padahal Hana menerima uang dari Heri tidak utuh, sebab sebagiannya diberikan pada sang ibu mertua.

Dan juga sesekali Hana sudah sering memasak apa yang disebutkan Mamah Saras, hanya saja tak pernah dinilai, apalagi dipuji-puji.

"Iya, Mah," balas Hana singkat, sebab tak ingin berdebat.

"Terus kalau pagi-pagi itu mandi, suami mau berangkat kerja, kamu malah kumel dan masih bau iler seperti itu!"

"Mah, Hana kan masih mengerjakan yang lain. Biasanya juga dia dandan kok," timpal Heri yang baru saja tiba di dapur, tipis-tipis dia membela istrinya tanpa meninggikan suara.

Hana menundukkan pandangan. Karena apapun yang dilakukannya selalu salah. Dandan salah, tidak dandan apalagi.

Mamah Saras hanya mendengus, lalu mereka menghabiskan sarapan bersama.

Sebelum Heri berangkat bekerja, Hana mengantar sang suami sampai di ambang pintu.

Dia menyalimi Heri dengan takdzim serta mengecup kedua pipi suaminya.

"Aku berangkat ya, Han. Kamu baik-baik di rumah, kalau memang ada apa-apa langsung telepon," ucap Heri memberi perhatian. Hana langsung mengangguk kecil.

"Kamu juga hati-hati ya. Jangan lupa dimakan bekalnya," balas Hana mengingatkan suaminya, karena meskipun sibuk Heri harus tetap mendapat asupan agar tidak sakit.

Heri langsung mengiyakan, lalu mengecup kening Hana sekilas. Sementara Mamah Saras mengintip dan menatap dengan penuh kebencian. Bagaimana pun caranya, dia harus membuat Heri mau mempoligami Hana, agar sang anak bisa memiliki keturunan sebagai penerus keluarga.

"Gila saja kalau aku membiarkan Heri terus-menerus hidup dengan wanita tidak normal itu!" cetusnya dengan nada mencibir.

***

Bab 3. Bertemu Seseorang

Setelah kepergian suaminya, Hana lantas masuk kembali ke dalam rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Namun, tak berapa lama tiba-tiba ibu mertuanya datang. Mamah Saras melipat kedua tangannya di depan dada lalu berkata.

"Nanti siang teman-teman arisan Mamah mau datang. Beli kue sana!" Menyuruh tapi dengan nada angkuh.

Sontak saja Hana langsung mengalihkan pandangan. Dia mengelap tangannya yang basah di sisi daster, karena dia baru saja selesai mencuci piring bekas mereka sarapan.

"Di tempat biasa kan, Mah?" tanya Hana dengan hati-hati. Karena biasanya Mamah Saras suka membentaknya.

"Iya, memangnya di mana lagi? Kamu kan sudah tahu toko kue langganan Mamah." Baru saja bergumam dalam hati, Hana sudah kena semprot. "Jangan lupa buahnya juga sekalian. Pilih yang masih segar."

"Baik, Mah. Nanti aku belikan, aku lanjutkan pekerjaanku dulu ya," balas Hana tanpa ikut meninggikan suaranya.

"Hem ..." Hanya suara itu yang keluar dari mulut Mamah Saras, lalu kembali meninggalkan menantunya itu.

Setelah semuanya beres, Hana langsung membersihkan tubuhnya. Dia sedikit berdandan dengan menggunakan bedak dan lipstik, agar tidak terlalu pucat.

Hana keluar dari kamar sambil memesan taksi online. Tak lupa dia juga menghampiri ibu mertuanya lebih dulu, untuk meminta uang.

Karena harga kue yang biasa dibeli oleh Mamah Saras harganya cukup mahal. Maklum ibu mertuanya adalah kaum sosialita.

Jadi dia tidak akan mungkin menyuguhkan makanan murah. Semuanya harus serba mewah. Bisa turun harga dirinya andai kalah dengan yang lain.

"Mah," panggil Hana pada Mamah Saras yang sedang menonton TV.

"Hem ..."

Lagi-lagi hanya itu sahutan yang Hana dapatkan.

"Eum, Mamah butuh berapa macam kue?" tanyanya, berharap sang ibu mertua mengerti tanpa harus dia meminta.

Mamah Saras nampak berpikir sesaat.

"Ya, beli saja lima. Masing-masing dua bungkus ya, soalnya teman-teman Mamah itu kan banyak."

"Baik, Mah."

Hana lantas menunggu Mamah Saras memberikan dia uang. Namun, sampai beberapa menit berlalu, ibu mertuanya itu tetap diam.

Hingga tiba-tiba Mamah Saras melirik sinis. "Kenapa masih di sini?"

"Mah, kue itu kan cukup mahal. Tidak mungkin kan pakai uangku semua," jawab Hana dengan menundukkan kepala. "Boleh tidak kalau separuhnya pakai uang Mamah?"

Mendengar itu tentu saja Mamah Saras langsung memelototkan matanya. Bahkan dia bangkit dari duduk dan siap memaki Hana yang dipikirnya pelit dan kikir.

"Kamu ini jadi menantu pelit sekali. Pakai uang yang ada di ATM-mu, kan kamu yang pegang semua uang Heri!" bentaknya.

"Tapi Mamah kan juga dikasih," lirih Hana.

"Astaga, jadi kamu mau hitung-hitungan dengan orang yang sudah melahirkan suamimu? Apa kamu tidak tahu semua uang yang Heri berikan tidak bisa membayar rasa sakitku saat melahirkannya, menyusuinya dan juga membesarkannya. Oh iya, kamu seperti ini karena kamu tidak punya anak, makanya pikiranmu tidak sampai ke sana!" cerocos Mamah Saras dengan makian yang selalu mematahkan hati Hana.

Hana menelan ludahnya susah payah, seharusnya dia sudah tahu harus apa. Kenapa dia masih saja mengikuti kerealistisan otaknya?

"Iya, Mah, iya, aku minta maaf. Kalau begitu biar aku yang beli dan pakai uangku," jawab Hana mengalah, dari pada berujung pertengkaran. Yang ada Mamah Saras akan mengadu pada suaminya.

"Nah, begitu dong. Jadi menantu itu setidaknya yang bisa diandalkan. Sudah tidak bekerja, mau-maunya menguasai harta suami!"

Telinga Hana terasa begitu panas jika terus berada di sini, jadi dia cepat-cepat untuk kabur.

"Ya sudah, kalau begitu Hana pamit, taksinya sudah menunggu di depan."

Hana mencoba meraih tangan Mamah Saras, lalu menyaliminya. Karena walau bagaimanapun, dia ingin menjadi menantu yang baik. Karena dia yakin, apa yang dia lakukan akan dibalas oleh Tuhan. Semua ada catatannya.

Wanita cantik itu lantas berjalan keluar rumah. Sementara Mamah Saras hanya menatap dengan senyum sinis.

"Pura-pura kuat saja terus. Aku pastikan suatu saat Heri menendangmu dari rumah ini!"

*

*

*

Setelah menghabiskan waktu setengah jam lebih di perjalanan akhirnya Hana sampai di toko kue langganan ibu mertuanya.

Dia memilih lima macam kue dan membelinya masing-masing dua. Seperti yang diminta oleh Mamah Saras.

Tak berlama-lama Hana langsung melangkah ke arah kasir dengan membawa barang belanjaannya.

"Ada tambahan, Nyonya?" tanya sang kasir sambil tersenyum ramah.

"Itu saja, Mbak," jawab Hana sambil mengeluarkan kartu ATM.

"Baik, totalnya jadi 2.150.000. Dan karena Nyonya membeli 10 kue sekaligus, Nyonya mendapatkan satu kotak mini cake gratis ya," kata kasir, mengambilkan satu cake dan memasukkannya ke barang belanjaan Hana.

Hana pun menanggapinya dengan senyum dan anggukan kepala. Tidak apa-apa lah uang belanjanya jadi berkurang, semoga saja dengan begitu rezeki suaminya jadi bertambah semakin banyak.

"Terima kasih, Mbak," ucap Hana saat menerima paper bag.

"Sama-sama, Nyonya, jangan lupa datang lagi."

Hana segera berjalan keluar, tetapi seseorang yang sedang sibuk dengan ponselnya tak sengaja menyenggol bahu Hana dan membuat wanita itu terhuyung. Beruntung dia langsung dipegangi dan kuenya tidak sampai jatuh ke lantai.

"Astaga, maaf—" Setelah menegakan tubuh dia langsung melepaskan genggaman tangannya, dan begitu melihat wajah Hana dengan seksama, dia merasa tidak asing. "Hana ...." Lirihnya yang membuat wanita itu segera mengangkat pandangan. Meski suara itu kecil, tapi Hana masih mampu mendengarnya jelas.

"Maaf, kamu siapa? Kenapa bisa mengenalku?" tanya Hana dengan wajah kebingungan.

Satu yang pria itu sadari, kalau Hana tidak mengenalinya. Alhasil dia pun langsung menggeleng pelan.

"Oh aku sepertinya salah orang. Tapi kebetulan sekali ya, namamu juga Hana," katanya dengan cepat. Hana menautkan kedua alisnya, merasa aneh dengan pria yang ada di depannya. Namun, tak ingin banyak berpikir dan membuang waktu, akhirnya wanita itu langsung mengiyakan saja.

"Kalau begitu saya duluan, permisi," ujar Hana. Dia segera membungkukkan badan dan berlalu pergi. Begitu juga dengan pria itu yang melanjutkan langkah untuk membeli kue kesukaan ibunya, tetapi beberapa kali dia menoleh ke belakang dan melihat Hana yang semakin jauh dari pandangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!