“Kak Evan… dewi ikut ya… “ rengek dewi dengan memegang erat ujung kaos Evan, sedangkan Evan yang kali ini tidak bisa menuruti permintaan adik imutnya ini dengan terpaksa melepaskan pegangan tangan dewi di ujung kaosnya.
“Hei… adik kecil, kamu tidak boleh ikut. Di sana banyak hewan liarnya, nanti kalau kamu di terkam dan di seret ke tengah hutan bagaimana…?” Ucap rio menakuti agar dewi tidak merengek lagi.
“Benarkah kak…?” Tatapan mata dewi manatap Evan dengan penuh linangan air mata yang akan keluar dari pelupuk matanya.
“Hmm…” jawab singkat Evan yang bersiap akan pergi dengan sepeda balapnya.
“Ayo van, keburu siang.” Ajak aldo yang sudah tidak sabar.
“Cuuus… let’s go…” dengan cepat rio mengayuh sepedanya dengan kencang, disusul dengan Evan dan aldo di belakang rio.
Dewi yang menatap ketiga anak laki laki yang mengayuh sepedanya dengan kencang, menanggis tersedu. Evan sebenarnya tidak tega melihat dewi yang merengek ingin ikut, tapi dia harus tega agar dewi tidak selalu menempel seperti perangko.
“Van… tuh dewi nangis kejer, apa tidak sebaiknya kamu ajak dia.” Ucap aldo yang tiba tiba merasa kasihan mendengar tangisan dewi.
Evan menoleh sesaat melihat ke belakang, Dia mengayuh sepedanya dengan perlahan, dan saat dia melihat bik ijah menghampiri dewi Evan mengayuhkan sepedanya lagi dengan kencang mengejar aldo dan rio yang berada di depannya.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke hutan yang tak jauh dari tempat mereka tinggal, hidup di desa yang sangat terpencil membuat Evan dan teman teman nya menjadi bilang sejati.
Jatuh atau pun luka sayatan tak membuat mereka jera melakukan petualangan, berbeda dengan jaman dulu yang berpetualang dengan jalan kaki. Karena jaman sudah milenium sekarang mengunakan sepeda untuk cepat sampai di tempat tujuan.
Melihat hutan yang akan mereka masuki berada di depan mata, segera Evan dan kawan kawannya mempercepat mengayuhkan sepedanya. Terdengar bunyi suara burung berkicau, dan suara suara daun yang tertiup angin.
“Evan… lihat ada kelinci tuh,” tunjuk aldo yang melihat kelinci si balik pohon besar.
“Eh iya van.” Ucap rio yang juga melihatnya.
“Buatin aja, kita ke sini kan mau petik jambu bukan mau tangkap kelinci.” Evan yang pada dasarnya tidak suka mengalihkan tujuan utamanya, memilih tetap mencari buah yang akan dia petik.
“Apa tidak sebaiknya kita tangkap, dan kita berikan sama dewi van biar dia senang.” Ucap aldo yang sempat membuat goyah pendirian Evan.
“Keburu siang kalau kita tangkap kelinci, udah sekarang mending cari buahnya.”
Mereka berjalan masuk setelah meletakkan sepeda mereka di bawah pohon rindang, angin bertiup dan udara yang terasa sangat sejuk membuat ketiga anak berusia tiga belas tahun itu tidak merasakan cuaca yang semakin terik.
Melihat buah yang mereka cari ada di depan mata, dengan segera Evan memanjat pohon tersebut, aldo mengikuti tingkah laku Evan. Sedangkan rio berjaga di bawah, dia bagian menangkap buah yang akan aldo dna Evan jatuhkan ke bawah.
“Rio, kamu siapkan kantong plastiknya ya…?” Teriakan Evan yang sudha berada di atas, dengan cekatan Evan memetik buah yang terlihat sudah matang dan masak. Dia melemparkan ke bawah dimana rio sudah bersiap akan menangkapnya.
Begitu juga dengan aldo, dia juga melakukan hal yang sama. Setelah di rasa sudah cukup mereka segera turun ke bawah dan memilih segera pulang karena cuaca terlihat hampir sore.
Dengan segera mereka pulang ke rumah masih masing, sedangkan buahnya mereka bagi tiga dengan Evan yang membaginya. Evan selalu bersikap adil dengan teman temannya, makanya rio dan aldo selalu mengandalkan Evan di situasi apapun.
“Kak Evan jahat, tante kak Evan jahat.” Rengek dewi yang mengadukan perbuatan Evan ke Emi, emi adalah mama dari Evan.
“Evan, apa kamu tidak mengajak dewi waktu kamu main.” Tanya Emi menatap putra kesayangannya.
“Dewi harus terbiasa tanpa aku ma, dia sudah besar.” Evan segera masuk ke dalam kamar mandi, melihat Evan yang sudah tidak tampak lagi dewi menjadi kesal.
“Dewi lebih baik kamu pulang, nanti biar tante bilang sama Evan. Biar nanti jika dia main bisa ajak kamu ya…?” Ucap Emi menenangkan dewi yang akan menanggis.
“Iya tant, kalai begitu aku pulang dulu.” Dengan kaki kecilnya dewi melangkahkan kakinya menuju keluar rumah, badan gembul dan badan yang tak begitu tinggi serta kulinya yang terlihat putih, membuat siapapun yang melihat dewi merasa gemas.
Tapi berbeda dengan Evan, dia merasa kesal yang setiap kemanapun selalu di ikuti oleh dewi. Sampai klimaksnya, Evan di ejek oleh teman temannya yang selalu mengajak dewi.
Evan segera keluar dari kamar mandi dengan badan yang terlihat fresh dan tercium wangi sabun pun dari tubuh Evan, Emi menatap putra tampan kesayangannya tersebut.
“Evan, apa kamu sudah dengar jika keluarga tante dini akan pindah ke kota.” Evan menggelengkan kepalanya cepat, dia sendiri merasa terkejut karena baru ini Evan mendengar dari mamanya Emi.
Karena Evan yang akhir akhir ini sibuk dengan teman teman barunya, sampai tidak tahu jika keluarga dewi akan pindah ke kota.
“Kapan mereka akan pindah ma…” tanya Evan penasaran,
“Mungkin besuk…”
“APA….!!!! BESOK…!!!?” Teriak Evan terkejut.
“Memang dewi nggak kasih tahu kamu van, apa kamu sekarang jarang main bareng sama dewi Hmm…” tanya Emi menginterogasi, Evan menundukkan kepalanya menyesali perbuatannya dengan dewi.
“Ya sudah, lebih baik kamu temui dewi. Kasian dia, pasti dia sedih banget karena mau berpisah sama kamu van.” Emi mengelus kepala Evan dengan sayang dna pelan, dia ingin menangkan Evan.
“Iya ma…” saat akan keluar rumah tampak mobil keluarga dewi keluar dari pekarangan rumahnya, dengan tatapan nanar Evan menatap kepergian mobil yang di kendarai keluarga dewi.
“Sepertinya mereka keluar, kamu tunggu mereka pulang ya…?” Ucap Emi menyuruh Evan segera masuk kedalam.
Hari ini tepat di mana kepindahan dewi dan keluarganya, mereka akan berpindah ke kota karena perpindahan tugas kerja Deri. Dewi menatap rumah kediaman Evan dengan tatapan mata sedihnya, tampak Evan keluar dari rumah dengan membawa kotak segi empat kecil di tangan kanannya.
“Kak Evan…!!?” Teriak dewi menghampiri Evan yang berjalan ke arahnya.
“Kenapa kamu tidak beritahu aku jika kamu akan pindah..!!?” Seru Evan terdengar kecewa.
“Kak Evan terlalu sibuk dengan teman teman kakak, jadi aku malas bilang.” Ucap dewi memainkan kaosnya, dia takut melihat kemarahan Evan.
“Ish… kamu bisakan bilang langsung waktu berdua sama aku.”
“Hehe… lupa kak.. maaf ya..” dewi merasa tidak enak sediri dengan Evan yang masih tampak marah.
“Tapi kakak tidak perlu kawatir, saat aku tidak ada di sini kakak masih punya teman teman kakak. Kakak bisa main main sama mereka.” Dewi memberanikan diri menatap Evan.
Dengan kesal Evan segera memeluk dewi yang terlihat pendek dan gemuk, dia memeluk erat adik kecilnya. Sedangkan dini dan Deri yang melihat kesedihan kakak dan adik tersebut karena mereka akan berpisah, menjadi ikut terbawa suasana.
Deri melangkah mendekati ke dua anak tersebut, dengan perlahan Deri mengelus punggung Evan yang bergetar.
“Jika kamu kangen dengan adik kamu, kamu bisa datang ke kediaman om Deri di sana.” Ucap Deri membuat Evan menatapnya.
“Benarkah om…?” Tanya Evan dengan binar mata ceria, Deri mengangukan kepalanya mantap.
“Tuh kak, nanti kakak kalau liburan sekolah bisa main main ke rumah dewi di kota. Kita nanti jalan jalan bareng, dan bisa main main bareng lagi kayak disini.” Seperti biasa dewi memegang ujung kaos milik Evan, dengan senang Evan tersenyum menatap dewi.
Emi mengingatkan untuk mereka segera berangkat, karena perjalanan yang jauh dan akan memakan waktu lebih dari lima jam perjalanan. Dengan segera dewi berpamitan me Evan, dengan terpaksa Evan melepas kepergian dewi. Tapi sebelum dewi pergi, Evan memberikan sebuah kotak kecil ke adik kecilnya tersebut.
“Buat kamu, buka jika udah sampai kota ya…?” evan menyerahkan kotak kecil ke depan dewi, dengan antusias dewi menerima pemberian Evan.
“Terima kasih kak.” Jawab dewi sambil membolak-balik kotak tersebut, dia penasaran apa isi kotak tersebut.
“Ini buat kalian, jika kalian lapar makanlah waktu kalian berhenti di rest area.” Emi menyerahkan paper bag yang berisi makanan ke arah dini, sedangkan papa Eros yang sedang mengecek mobil yang akan Deri dan keluarganya kendarai.
“Semuanya sudah siap Deri, ingat jika kamu capek. Jangan paksakan diri, berhenti demi keselamatan kalian.” Pesan Eros ke adiknya Deri.
“Terima kasih banyak mas, terima kasih selama ini mas Eros sudah sering membantu keluargaku di saat masa masa terpuruk ku.” Dengan suara sedikit serak Deri mengucapkan rasa terima kasihnya ke kakak yang selalu membantunya selama ini.
“Apaan sih kamu Deri, sama kakak sendiri kamu nggak perlu sungkan. Ya sudah cepat berangkat, sudah hampir siang.” Eros menatap jam di pergelangan tangannya.
“Baiklah, saya pergi dulu mas. Jangan lupa kalian semua mampir ke kediaman ya, aku tunggu.” Deri memeluk tubuh kakaknya dengan erat, begitu juga Emi dan Dini.
Keluarga dewi masuk ke dalam mobil, dengan perlahan mobil Avanza new putih keluar dari kediaman Deri. Emi dan Eros serta Evan melambaikan tangan mereka, mengantarkan kepergian keluarga adiknya.
Setelah mobil Deri sudah tak tampak, Eros dan Emi serta Evan masuk ke dalam rumah. Melihat Evan yang berjalan seperti tidak semangat, dengan iseng Eros menggoda anak tampannya tersebut.
“Liburan tahun ini, kita akan ke kediaman om Deri. Bagaimana…?” Ucap Eros menepuk pundak Evan, dengan senang Evan menatap Eros dia memastikan apa ucapan Eros nyata atau hanya menyenangkan Evan yang sedang sedih di tinggal dewi.
Eros tersenyum dan mengangukan kepalanya, dengan senang Evan segera memeluk Eros dengan erat.
“Awas pa, jangan beri harpal ke Evan…” ucap Emi mengingatkan Eros.
“Harpal…? Apaan itu ma…?” Eros yang tak mengerti maksud Emi menatap istrinya dengan segala pertanyaan.
“Harapan palsu…” Emi berlalu dari depan Eros dan Evan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun pun berganti tahun. Tak terasa perpisahan Evan dan dewi sudah lebih dari delapan tahun, janji Eros yang akan ke kediaman Deri urung sudah karena Evan yang sempat jatuh sakit karena terkena demam berdarah. Dan harus di rawat selama beberapa hari di rumah sakit, dengan rasa kecewanya Evan sudah tidak berharap lagi ke kota untuk bisa menemui dewi.
Waktupun berlalu begitu cepat, sampai pada akhirnya Evan beranjak dewasa dan lulus dari sekolah menengah atas. Dengan rasa gembira karena hari ini adalah kelulusannya, dengan baju putih yang penuh coretan tinta. Evan pulang ke rumahnya menjelang sore hari, dengan tatapan kesal Emi melihat Evan.
“Kenapa harus ada acara corak coret segala sih van, apa tidak lebih baik bajunya di sumbangkan untuk adik kelas kamu.” Gerutu Emi menatap Evan yang tersnyum melihat Emi.
“Ma… ini namanya budaya kelulusan.” Sahut Evan santai sambil menggambil roti donat yang ada di depan meja Emi.
“Budaya kog negatif, apa tidak sebaiknya melakukan hal positif gitu.”
Merasa jika obrolan Evan dan mama nya akan berujung pertengkaran, Evan memilih masuk ke dalam. Dia bergegas mandi dan akan membersihkan dirinya, setelah itu menemui ke dua orang tuanya.
Emi melihat kepergian Evan dengan kesal, sedangkan Eros melihat Evan yang manjauh menjadi terkikik geli. Sudah jadi kebiasaan ibu dan anak tersebut, berdebat hal hal kecil dan Eros yang akan menengahi mereka berdua.
Makan malam pun tiba, Eros, Emi dan Evan berkumpul di meja makan. Sudah jadi kebiasaan keluarga Eros, jika mereka harus makan bersama. Dengan telaten emi menyiapkan makanan untuk Eros dan Evan, melihat Emi yang sedang menyiapkan makanan untuk Eros. Evan sengaja berbicara dengan papanya, tapi sebelum memulai pembicaraan Evan menatap Emi yang mencuri curi pandang ke arahnya.
“Pa… mengenai kuliahku, aku ingin melanjutkan kuliah di kota xxx. Untuk masalah tempat tinggal, papa dan mama tidak usah kawatir. Di sana aku sudah menemukan rumah kontrakkan, aku akan tinggal bersama teman temanku pa.” Ucap Evan sambil melihat ke kedua orang tuanya.
“Apa kamu yakin…? Kamu tidak ingin tinggal di rumah om kamu Deri.” Eros memastikan melihat Evan yang menggelengkan kepalanya.
“Evan tidak ingin merepotkan om Deri, apalagi kami sudah lama tidak bertemu pa. Rasanya canggung, jadi Evan harap papa dan mama setuju ya dengan permintaan Evan.”
Terlihat Eros berfikir, dia menatap Emi untuk meminta pendapat. Emi menghendikkan bahunya, dengan helaan nafas Eros kembali menatap Evan yang masih menatapnya.
“Papa pikir pikir dulu van, papa tidak ingin kamu terbawa arus pergaulan yang tidak benar.” Eros kembali menerusakan makannya, sedangkan Evan kesal dengan ucapan Eros.
Seperti rencana awal, Evan akan melanjutkan kuliahnya di kota xxx. Kota tersebut adalah kota dimana dewi tinggal dengan keluarganya, usul Evan yang akan tinggal di kontrakkan terpaksa batal karena tidak adanya persetujuan dari Eros dan Emi.
Dengan memasukkan segala keperluannya di dalam koper, evan kembali meneliti barang bawaannya. Dia tidak ingin tertinggal satupun barang pentingnya, seperti hand set dan power bank serta iPad dan juga laptop miliknya yang selalu menemani dia untuk menyalurkan hobinya.
Evan adalah seorang programmer game tanpa Eros dan Emi ketahui, dia sudah mengeluti bidang itu sejak awal masuk SMA. Sampai Evan mempunyai uang sendiri dari membuat salah satu game yang sekarang di minati oleh beberapa orang, tapi kedua orang tuanya tidak mengetahui kemampuan tersembunyi Evan.
“Semua sudah siap van, kita berangkat sekarang.” Eros berdiri di depan kamar Evan yang terbuka, dia menatap Evan yang sedang mengangkat koper milik Evan.
“Sudah pa, oh sebentar pa hampir lupa.” Evan segera menggambil tiket pesawat yang dia letakkan di atas meja nakasnya.
“Untung kamu ingat, jika tidak batal perjalanan kamu naik pesawat.” Gerutu Eros melihat kebiasaan putranya yang selalu lupa.
“Santai pa… aman kog aman.” Evan menggeret kopernya keluar dari kamar.
“Makanya jangan kebanyakan main game, jadi pelupa kan.” Gerutu Eros meningkatkan kebiasaan Evan.
Evan hanya tersenyum mendengar ucapan Eros, sedangkan Emi yang sudah menunggu di samping mobil untuk mengantarkan Evan ke bandara.
“Mama kelihatannya senang aku akan pergi dari rumah ini.” goda Evan melihat Emi.
“Iya mama senang, karena tidak akan ada yang buat mama marah marah lagi.” Ucap asal Emi sambil masuk ke dalam mobil setelah melihat Evan keluar bersama Eros.
“Kalian ini kebiasaan, kalau dekat kayak kucing dan anjing. Tapi kalau jauh saling merindukan.” Sindir Eros melihat anak dan istrinya.
Eros segera melajukan mobilnya menuju ke bandara, setelah sampai di depan pintu masuk bandara. Eros menurunkan Evan dan juga Emi terlebih dahulu, dia ingin memarkirkan mobilnya.
“Ingat, kalau sudah sampai di rumah om kamu jangan bikin ulah. Jadi anak baik dan penurut, jangan usilin adik kamu dewi. Ingat itu…” Emi mengingatkan kebiasaan Evan dulu, yang selalu membuat dewi menangis karena ulah Evan.
“Baik Kanjeng ratu.” Evan membungkukkan setenagh badannya setelah mendengar amanat dari Emi.
Melihat Eros yang berjalan ke arah anak dan istrinya yang sudah menunggu kedatangannya, segera Evan menggambil tiket pesawat di dalam tas ranselnya.
“Van kamu lihat para gadis gadis yang ngelihatin kamu dari tadi di pojok sana.” Ucap Eros menghentikan gerakkan anaknya, sedang Emi reflek melihat ke tempat rombongan beberapa gadis di yang berada di pojokkan tempat yang di maksud Eros.
“Memang kenapa pa…? Mungkin saja mereka tidak melihat ke arahku, mungkin mereka menatap ke arah lain.”
“Ah… kamu sok cuek, papa lihat dari tadi mereka melihat ke arah kamu.” Ucap Eros yang ingin Evan menyadarinya.
Sebenarnya evan tahu jika para gadis cantik itu curi curi pandang ke arahnya, tapi sudah menjadi kebiasaan Evan tidak mempedulikan tatapan para kaum hawa yang mengagumi ketampanannya, dia sudah terbiasa dengan pandangan kagum dari orang orang di sekitarnya.
“Iya van, lihat tuh.” Emi mengkompori ucapan Eros agar Evan menatap para gadis yang terlihat histeris dengan menatap Evan.
“Ayo kita masuk ma, pa…” Evan mengeret kopernya masuk kedalam meninggalkan kedua orang tuanya.
Dengan kesal Emi mengikuti Evan di belakang bersama Eros, memang Evan yang mempunyai rasa cuek terhadap lawan jenisnya membuat Eros dan Emi menjadi takut sendiri. Apalagi sekarang banyak kaum pelangi bermunculan, bukannya menolak keberadaan mereka.
Tapi Emi dan Eros ingin agar Evan meneruskan keturunan keluarga Alexander, apalagi Evan adalah anak satu satunya di keluarga.
Melihat kepergian Evan membuat kesedihan di perasaan Emi dan Eros, selama beberapa tahun Evan tidak pernah lepas ataupun jauh dari pantauan Emi dan Eros.
Setelah menempuh satu jam perjalanan udara, Evan akhirnya sampai di kota xxx. Tempat di mana dia akan melanjut akan pendidikannya, dengan memakai kaca mata hitam dan jaket baseballnya yang bertuliskan angka empat belas di punggungnya.
Evan berjalan dengan sangat keren sambil menggeret troli, gaya Evan yang cool dan tinggi badan seratus delapan puluh tiga serta kulit putihnya. Membuat pandangan mata para kaum hawa tak bosan menatap Evan, topi baseball berwarna hitam menghiasai kepala Evan dari teriknya sinar matahari.
Evan melihat kembali alamat yang di kirimkan papanya di handphonenya, tapi gerakkan Evan terhenti saat terdengar suara seorang laki laki yang Evan kenal.
“Evan…” ucap laki laki tersebut yang memanggil Evan yang tak lain adalah Deri.
Perlahan Evan mengangkat kepalanya melihat Deri yang berada di sampingnya, wajah yang terlihat masih tampan dan hanya terlihat sedikit berisi membuat Evan dapat langsung mengenali laki laki yang memanggilnya.
“Om Deri…” dengan segera Evan memeluk Deri dengan sangat erat, sudah delapan tahun lebih mereka tidak pernah bertemu tapi deri masih dapat mengenali Evan.
“Wah… sudah besar kamu ya… tampan pula, pasti sudah punya kekasih kamu ya van.” Deri menepuk nepuk lengan Evan dengan keras, dia merasa bangga melihat Evan yang tampak gagah dan tinggi.
“Aku masih sama kog om, bagaimana om bisa langsung menemukan aku. Sedangkan kita sudah lama tidak pernah bertemu.” Ucap Evan penasaran bagaimana bisa Deri dengan cepat menemukan Evan.
“Tiap hari papa kami selalu mengirimkan foto kamu ke om, dia merasa bangga dengan anak tampannya.”
Mereka mengobrol banyak hal selama berjalan menuju ke parkiran, sengaja mobil Deri tidak dia parkirkan di depan bandara. Karena dia takut akan lama mencari Evan, jadi sekarang Evan dan Deri berjalan bersama ke arah parkiran yang letaknya lumayan jauh dari pintu keluar bandara.
“Kamu capek setelah jauh berjalan van.” Tanya Deri dengan nafas sedikit ngos ngosan.
“Aku atau om yang capek,hahaha…” pecah sudah tawa Evan melihat Deri yang menyandarkan tubuhnya di bod mobil.
“Maklum aja om sudah tua, jadi om gampang capek.” Ucap Deri beralasan.
“Biar Evan yang mengemudikan mobil kalau gitu om, mana kuncinya.” Evan meminta kunci ke arah Deri, dengan cepat deri menyerahkan kunci mobilnya.
“Kita jalan ya om, saya pakai navigasi aja biar om istrirahat.” Evan menghidupkan navigasi di dalam mobil Deri, dengan segera Deri menekan dimana letak rumahnya.
Evan mengikuti arahan dari seorang wanita di navigasi tersebut, dengan perlahan dia mengeluarkan mobil Deri dari parkiran bandara.
“Nyaman juga ya kamu mengemudikan mobilnya, om jadi bisa istirahat kalau gini.” Dengan santainya Deri merebahkan tubuhnya yang terlihat lelah, karena Deri yang baru saja pulang kerja dan langsung menjemput Evan di bandara.
Evan tersenyum melihat Deri yang terlihat terlelap di sampingnya, dia membayangkan melihat papanya yang baru pulang kerja dan sama lelahnya dengan Deri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!