Alea Queenara Pradipta, gadis yang memiliki paras cantik, tubuh tinggi semampai, berkulit putih dan mulus tanpa cela, rambutnya yang panjang bergelombang di atas pinggang, terlihat sehat terawat, tergerai indah. Gadis itu berdiri di depan seorang pria paruh baya bernama Romi Pradipta. Pria itu merupakan ayahnya.
Mereka berada di ruangan kerja sang ayah. Suasana di ruangan itu begitu tegang. Alea menunduk, tidak berani menatap wajah sang ayah. Ingin bernapas pun Alea merasa kesulitan Bagaimana tidak, sang ayah menatap dirinya dengan tatapan tidak bersahabat seolah dirinya adalah musuhnya.
Beberapa saat yang lalu Alea memberanikan diri untuk bicara pada ayahnya mengenai hubungan dirinya dengan seorang pemuda, Xander Alvaro Bagaskara. Namun, respon ayahnya benar-benar tidak sesuai harapannya.
"Pi —" Alea bahkan belum menyelesaikan perkataannya, tetapi sang ayah sudah lebih dulu memotongnya.
"Tidak akan, Alea," tukas Romi. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan.
"Tapi Alea cinta sama Xander, Pi," ucap Alea.
"Papi tidak peduli!"
"Kenapa, Pi?"
"Kau masih bertanya alasannya pada Papi?" Bentak Romi membuat tubuh Alea tersentak karena kaget. "Kau tahu keluarga kita dan keluarga anak itu bermusuhan dari dulu!"
"Pi --- tapi —" Lagi-lagi ucapan Alea dipotong oleh Romi.
"Tidak ada tapi-tapian, Alea! Kau cari laki-laki lain saja!" perintahnya.
"Tidak bisa, Pi. Aku cintanya sama Xander. Dan akan selalu seperti itu," tolak Alea.
"Papi tidak peduli! Sampai kapanpun Papi tidak akan merestui hubungan kalian!" hardik Romi.
"Tapi —"
"Jangan mengajak Papi berdebat lagi Alea!" tukas Romi. "Papi akan carikan pemuda yang melebihi anak sialan itu!"
"Alea tidak mau," tolak Alea. "Papi harus dengar ini! Alea tidak akan pernah menikah jika bukan dengan Xander. Titik!" Setelah mengatakan kalimat ancaman itu, Alea langsung meninggalkan ruangan itu, mengabaikan panggilan dari sang ayah.
Di tempat lain dan pada waktu yang sama.
PLAK
Yang terjadi pada Alea juga terjadi pada Xander. Pemuda itu juga memberi tahu hubungannya dengan Alea, tetapi respon ayahnya, David justru di luar dugaannya. Pipinya ditampar oleh David. Hanya saja Xander tidak terlalu peduli dengan itu. Tamparan sang ayah tidak ada apa-apanya.
"Jangan berharap Papa akan merestui hubungan kalian!" Suara tegas David terdengar sampai ke luar ruangan itu.
"Terserah, Papa. Tapi aku tetap akan terus berhubungan dengan Alea," tantang Xander.
"Dengar ini, Xander! Papa akan carikan perempuan yang lebih cantik dan baik dari si jalang kecil itu."
"Namanya Alea bukan jalang kecil," geram Xander, matanya menatap tajam ayah kandungnya sendiri. Tidak suka kekasihnya dihina.
"Papa tidak peduli siapapun namanya. Yang Papa mau saat ini adalah kau putuskan hubunganmu dengan dia!" perintah David.
"Never!"
"Xander!"
"I'm not a kid anymore, Pa."
"You are my son."
"So." Xander nampak tidak peduli dengan ucapan ayahnya. Laki-laki itu lantas menjatuhkan tubuhnya di sofa, menatap acuh pada kemarahan sang ayah.
David menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya kembali untuk meredam amarahnya. Dirinya dibuat kewalahan dengan sikap pembangkang sang putra.
"Dengar, Xander! Kau tahu dari dulu hubungan keluarga kita dengan si Pradipta itu tidak baik," ucap David.
"Lalu?"
David ingin sekali mengumpat pada putra kandungnya, tetapi ia hanya bisa menahannya. Saat ini lebih David lebih memilih menunjukkan sikap tenangnya. Ia tahu seberapa keras putranya. Xander tidak bisa dibantah ataupun dikendalikan oleh siapapun.
"Jaga jarak dengan gadis itu," ujar Romi.
"Kalian yang musuhan. Kenapa aku juga harus memusuhi anaknya," balas Xander.
Xander lantas berdiri, memungut tas punggungnya yang tergeletak di lantai.
"Kau ke ke mana, Xander?" tanya David sambil berteriak, berhasil menghentikan langkah Xander.
"Menemui kekasihku," jawab Xander tampa menoleh ke arah David.
"Jika kau berani melangkah satu langkah lagi bahkan pergi dari rumah ini untuk menemuinya, Papa tidak akan segan-segan mencabut semua fasilitas yang Papa kasih!" ancam David.
Xander tersenyum sinis lantas berbalik, menatap sang ayah. "Do it." Xander kembali berbalik melangkah meninggalkan ruangan kerja sang ayah.
Persetan dengan kemarahan ayahnya.
David sendiri masih berdiri di tempat yang sama, berdiri sambil memandang punggung putranya dengan napas yang tersengal-sengal. Kali ini David benar-benar kehilangan kata-katanya. Xander benar-benar menjadi keras kepala, juga berubah menjadi pembangkang handal setelah dirinya memutuskan untuk menikah lagi, enam tahun yang lalu, setelah ibu kandungnya meninggal.
******
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, Alea sedang menunggu kedatangan Xander di salah satu cafe langganan mereka. Ia sengaja memilih tempat duduk outdoor cafe, menikmati pemandangan malam, kendaraan yang berlalu lalang sedikit bisa mengobati suasana hatinya yang buruk.
Setelah menunggu beberapa saat Xander terlihat turun dari mobil, mengayunkan langkah ke tempat Alea. Pemuda itu membungkuk, membubuhi kecupan di kening Alea.
"Sorry, aku telat," ucap Xander lantas duduk berseberangan langsung dengan Alea.
"Hmm," gumam Alea.
Raut wajah Alea terlihat tidak bersemangat, Xander sudah bisa menembak apa yang terjadi.
"Keluargamu juga menentang hubungan kita," tebak Xander dibalas anggukkan oleh Alea.
"Keluargamu juga?" tanya Alea. Giliran Xander yang menganggukkan kepala.
Tangan Xander terulur, menyelipkan rambut Alea ke belakang telinganya. "Kita makan dulu, terus cari tempat untuk bahas ini," ujar Xander.
"Hmmmm." Alea bergumam untuk merespon perkataan Xander.
Setengah jam kemudian makanan Alea masih belum habis. Gadis itu hanya mengaduk-aduk makanannya. Ia makan beberapa suap itupun Xander yang menyuapi.
"Al, makan yang benar," suruh Xander.
"Ck." Alea berdecak lantas menaruh sendok di atas piring. "Aku tidak napsu makan."
"Ya sudah. Ayo kita pergi," ajak Xander. Laki-laki itu lantas mengangkat tangannya, memanggil salah satu waiters. "Bill-nya."
Waiters itu membawa bill yang Xander minta. Setelah membayarnya, Xander mengajak Alea untuk pergi dari tempat itu. Keduanya mengayunkan langkah menuju tempat mobil Xander terparkir. Sepanjang perjalanan tangan Xander berada di pergelangan tangan Alea.
Sampai di samping mobilnya, Xander membukakan pintu untuk Alea lantas berjalan memutar ke sisi lain, masuk ke dalam mobil dan duduk dibangku kemudi.
"Kita mau ke mana?" tanya Alea.
"Ke apart aku mau?" tawar Xander. "Kita ngobrol di sana," sambungnya.
"Ayo." Alea menganggukkan kepala.
Xander melajukan mobilnya meninggalkan cafe. Mengarahkan laju mobil itu menuju apartemen pribadinya.
Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam, berkutat dengan pemikiran masih-masing, tetapi memikirkan hal yang sama. Keduanya baru akan menyelesaikan pendidikan mereka di salah satu Universitas yang berbeda. Selama ini Xander dan Alea menjalin hubungan jarak jauh juga backstreet dari keluarga mereka.
Hubungan mereka sudah terjalin semasa keduanya masih duduk di kelas sebelas. Keduanya sudah tidak tahan untuk terus menjalin hubungan seperti itu. Mereka berencana untuk menikah setelah selesai study. Namun keluarga mereka masih kekeh untuk terus bermusuhan.
"Apa yang mau kita lakukan setelah ini?" tanya Alea lirih nyaris tidak terdengar..
Xander tidak langsung menjawab pertanyaan Alea, ia menoleh ke arah gadis itu sekilas, sebelum menepikan mobilnya. Pemuda itu menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan matanya erat-erat. Rasanya Xander sudah berada dalam ambang frustrasi.
"Are you okey?" tanya Alea.
Xander melihat ke arah Alea, menatap gadis itu penuh arti. Cintanya pada gadis itu amat besar, hingga tidak sanggup untuk kehilangan.
"Ayo kita habiskan malam ini bersama!" ajak Xander disambut anggukkan oleh Alea. "Lebih dari biasanya."
"Hah … maksudnya?" tanya Alea bingung.
Xander lantas mengutarakan idenya, mungkin terkesan gila dan nekat, tetapi Xander sudah tidak lagi bisa menunggu, mungkin dengan apa yang akan mereka lakukan setelah ini, keluarga masing-masing akan setuju untuk menikahkan mereka.
"Tapi … Xander---?" Alea bingung untuk berkomentar mengenai ide gila sang kekasih. Pemuda itu ingin membuatnya hamil.
"Ini satu-satunya cara agar mereka mau menikahkan kita," bujuk Xander.
"Lalu bagaimana setelah kita melakukannya dan ternyata aku tidak hamil?" tanya Alea.
"Aku akan tetap bertanggung jawab, Alea," jawab Xander penuh keyakinan.
"Kau yakin?"
"Masih meragukan aku?"
Alea terdiam, masih ragu dengan ide gila sang kekasih. Sampai akhirnya Alea mengutarakan sebuah pertanyaan pada Xender.
"Xander … apa kau pernah melakukan hubungan itu di sana dengan wanita lain?" tanya Alea ragu.
"Ck, Alea. Kau wanitaku satu-satunya. Tidak ada yang lain. Dan ini juga akan menjadi pengalaman pertamaku."
Alea masih diam sambil terus menatap Xander, penuh arti.
"Alea, trust me!"
Alea menatap Xander, mencari kebohongan di mata pemuda itu. Selama ini Xander selalu meratukan dirinya, membuatnya menjadi prioritas utama, menjaga kesetiaan dalam hubungan jarak jauh mereka. Alea yakin Xander tidak akan meninggalkan dirinya begitu saja.
"Ayo," ujar Alea.
Xander tersenyum, tangannya terulur menyentuh sisi wajah Alea. "I don't want to lose you."
Alea meraih tangan Xander yang ada di wajahnya lantas mengecup telapak tangan pemuda itu. "Me too."
Setelah sepakat, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke salah satu hotel, menghabiskan malam yang panjang bersama dengan bercinta.
"Aarght, Xander! Hentikan! Ini sakit." Alea memekik saat merasakan benda keras memasuki tubuhnya. Ia juga terisak saat kekasihnya terus memaksa memasuki dirinya. Tubuhnya terasa terbelah menjadi dua.
"Tidak bisa, Al. Milikku sudah sepenuhnya masuk," ucap Xander.
"Tapi ini sakit," rintih Alea. Tangannya mencengkram kuat pundak Xander, hingga kukunya yang panjang menggores punggung Xander.
Xander mengerang juga meringis merasakan nikmat dan sakit saat miliknya dicengkeram oleh milik Alea. Rasanya begitu sesak, sang kekasih benar-benar masih perawan.
Xander berdiam diri sejenak, sambil menciumi Alea, mencoba menenangkan sang kekasih. Saat Alea mulai tenang Xander mencoba memulainya. "Aku gerak ya."
"Hmmm," gumam Alea.
Alea merasa tubuhnya mulai terguncang bersama dengan setiap hentakan yang Xander berikan. Rasa sakit yang terasa sebelumnya mulai menghilang, berganti dengan rasa nikmat yang sulit untuk Alea jabarkan.
Kamar mewah dengan minim cahaya, menjadi saksi bisu pengalaman pertama keduanya. Rasa nikmat yang keduanya rasakan membuat keduanya lupa berapa kali mereka mendapatkan pelepasan. Hingga rasa lelah memaksa mereka untuk menyudahi pergulatan panas itu.
Alea mengerang panjang saat kembali mencapai pelepasan. Matanya terpejam merasakan sesuatu yang dingin mengalir dalam tubuhnya. Tidak terasa air matanya menetas, seperti ada penyesalan yang menghampiri.
Cup
Xander mengecup kening Alea dalam jeda waktu yang cukup lama.
"Terima kasih sudah menjadikan aku laki-laki pertamamu," ucap Xander dianggukki oleh Xander.
"Don't leave me, Xander!"
"Never!"
Hingga satu bulan kemudian, Alea berdiri di depan wastafel, dengan memegang satu benda berukuran kecil di tangannya. Dirinya telat datang bulan lebih dari dua minggu. Alea memutuskan untuk melakukan tes kehamilan dengan beberapa testpack. Cairan bening menetes dari matanya melihat semua benda itu menunjukkan garis dua, yang artinya dirinya positif hamil.
Tidak menunda lagi Alea langsung mengubungi Xander, meminta kekasihnya untuk datang sebelum pemuda itu kembali ke luar negeri. Setelah sepakat Alea pergi menemui Xander dengan mengendarai mobilnya sendiri.
Satu jam kemudian Alea sampai di tempat yang sudah disepakati dengan Xander. Ia keluar dari mobil, duduk di atas cup mobil sambil menunggu Xander. Detik, berganti menit, menit berganti jam, hingga lima jam lamanya Alea menunggu di tempat yang sama, selama lebih dari lima jam, sampai hari berubah menjadi gelap. Selama itu Xander tidak juga muncul. Telepon, chat pun sama sekali tidak direspon oleh pria itu. Bahkan nomornya pun sudah tidak aktif.
Alea sudah sangat putus asa juga lelah. Sekuat tenaga Alea menahan diri untuk tidak menangis dan tetap berpikir positif jika Xander tidak mengingkari janjinya. Hari semakin gelap membuat Alea memilih untuk pulang, berharap esok ada kabar dari Xander.
Sudah empat bulan Xander tidak ada kabar, laki-laki itu menghilang tanpa jejak. Sudah ribuan kali Alea menghubungi nomor Xander, tetapi tidak ada satupun panggilan yang direspon, ribuan kali pula Alea mengirim chat pada Xander, tetapi tidak ada satupun yang masuk. Alea bahkan datang ke rumah itu orang tua Xander, tetapi rumah itu justru kosong seperti tidak berpenghuni. Alea yang sudah merasa putus asa akhirnya menceritakan semuanya pada keluarganya.
PLAK
Tamparan keras mendarat di pipi Alea, pelakunya tidak lain adalah Romi. Mendengar kabar kehamilan Alea, pria paruh baya itu kalap. Dirinya kehilangan kendali alhasil melayangkan pukulan terhadap putri kandungannya itu.
"Dasar anak bodoh! Bagaimana bisa kau melakukan kesalahan fatal, Alea!" bentak Romi.
"Ma-af, Pi," ucap Alea lirih nyaris tidak terdengar.
"Sudah Papi katakan sebelumnya, keluarga itu bukan keluarga baik-baik. Sekarang kau tahu, bukan. Kau ditinggalkan setelah dia mendapatkan tubuhmu," geram Romi.
"Xander tidak seperti itu, Pi," bela Alea.
"Kau masih saja membela laki-laki berengsek itu?" bentak Romi.
Romi kembali murka dan siap melayangkan pukulan.
"Papi! Cukup!" Nina yang merupakan ibu tiri Alea mencegah Romi yang ingin kembali memukul Alea. Wanita itu berdiri di hadapan Alea, merentangkan kedua tangannya, menjadi tameng untuk anak tirinya.
"Minggir, Nina!" suruh Romi.
"Jangan berani memukul anakku lagi!" cegah Nina.
"Jangan ikut campur!" larang Romi.
"Dia putriku! Bagaimana mungkin aku tidak ikut campur dan membiarkanmu terus memukulnya," balas Nina sambil menahan amarahnya.
"Dia melakukan kesalahan yang besar, Nina. Aku harus memberinya hukuman," geram Romi.
"Banyak wanita di luaran sana yang hamil di luar nikah. Anak kita hanya sial karena laki-laki itu tidak mau bertanggungjawab," bela Nina. "Harusnya kita sebagai keluarganya mendukungnya, bukan memojokannya seperti ini."
"Aku tidak peduli. Dia sudah membuat malu keluarga kita. Jadi sudah sepatutnya aku menghukumnya!"
"Tapi tidak dengan cara memukulinya," ujar Nina.
"Jika aku mau, akupun bisa melenyapkannya," sergah Romi.
"Kalau begitu langkahi dulu mayatku," tantang Nina membuat Romi diam seketika.
"Mam." Alea memeluk Nina, tangisannya pun langsung pecah.
"Tenang, Sayang." Nina mengusap-usap rambut juga pundak Alea.
"Pergi dari sini!" usir Romi. "Papi tidak ingin melihatmu!" sambungnya.
Alea menarik diri, memberikan jarak dengan Nina. Setelah itu maju satu langkah ke hadapan Romi.
"Pi, tolong. Jangan usir Alea," mohon Alea dengan menyatukan kedua tangannya.
"Baik, Papi tidak akan mengusirmu. Tapi dengan satu syarat," ucap Romi.
Alea langsung mengusap air matanya dan bertanya pada Romi, "apa syaratnya, Pi."
"Gugurkan kandunganmu!" jawab Romi.
Semua orang yang mendengar langsung terbelalak, terkejut dengan syarat yang diajukan oleh Romi. Alea sendiri langsung lemas, kakinya bahkan sudah tidak bisa lagi menahan berat tubuhnya hingga membuat Alea kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Beruntung ada Nina yang menahan tubuh Alea.
"Alea, kau tidak apa-apa?" tanya Nina dibalas gelengan kecil oleh Alea. "Ayo duduk!" Nina menatap tajam Romi sebelum membantu Alea duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Tubuh Nina kembali menegak, pandangannya mengarah pada Romi, menatap suaminya itu dengan tatapan marah.
"Kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau berpikir untuk melenyapkan cucumu sendiri!" marah Nina.
"Aku tidak sudi memiliki cucu yang mengalir darah Bagaskara," balas Romi.
"Turunkan egomu sedikit. Dari pada kau terus marah-marah sebaiknya cari keberadaan Bagaskara! Minta pertanggungjawaban anak mereka!" suruh Nina.
"Keluarga sialan itu sudah pergi dari kota ini. Tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi," ungkap Romi. "Tidak ada cara lain selain menggugurkan kandungannya untuk menyelamatkan reputasi keluarga kita," ucap Romi.
Alea sendiri masih duduk dengan tatapan kosong, tetapi masih bisa mendengar perdebatan mami dan juga papinya.
Menggugurkan kandungannya?
Kehamilannya sudah memasuki usia empat bulan lebih. Tidak mungkin untuk menggugurkan kandungannya, itu sama saja dengan membunuh anak kandungnya sendiri. Selain itu, anak dalam kandungannya adalah satu-satunya kenangan dari Xander.
Mata Alea terpejam dengan erat diikuti cairan bening yang menetes dari matanya lantas Alea membukanya kembali. Alea sudah memikirnya matang-matang dan siap mengambil keputusan.
"Alea tidak bisa menggugurkan kandungan Alea," ucap Alea setelah lama diam. "Alea tidak bisa membunuh anak Alea sendiri."
Nina dan Romi sama-sama melihat ke arah Alea. Nina tersenyum puas dengan keputusan Alea, tetapi tidak dengan Romi. Pria paruh baya itu bertambah murka.
"Kalau begitu pergi dari rumah ini!" perintah Romi.
Alea berdiri, menatap Romi dengan matanya yang basah, "Baik. Alea akan pergi dari sini."
Alea mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, melewati Romi begitu saja. Ia lantas berjalan menuju kamar, mengabaikan panggilan dari Nina. Sampai di kamarnya Alea memasukkan beberapa pakaian juga beberapa barang yang pernah Xander berikan padanya.
"Alea."
Mendengar ada yang memanggil namanya, Alea menghentikan kegiatannya. Perempuan itu melihat ke arah pintu, ibu tirinya baru saja masuk.
"Mam …." Alea tidak kuasa menahan kesedihannya hingga kembali menangis dipelukan Nina. Tangisannya pecah bahkan Alea sampai menangis sesegukan.
"Control your self, Alea." Nina memeluk erat putri tirinya, tangannya bergerak naik turun di punggung perempuan itu. "Dengar kau harus kuat. Keadaanmu saat ini akan mempengaruhi perkembangan bayimu."
Alea mengangguk lantas menarik diri dari pelukan itu, menarik napasnya dalam-dalam lalu kembali menghembuskannya. Perempuan itu melakukannya secara berulang, sampai rasa sesak di dadanya mereda.
"Lebih baik kau memang pergi dari sini," ujar Nina membuat Alea menoleh ke arahnya. "Maaf, Sayang. Bukannya Mami ikut mengusirmu, tapi saat ini papi sedang kalap. Mami takut papimu akan berbuat nekat padamu atau pada bayimu," jelas Nina.
"Aku tahu, Mam," sahut Alea.
"Ayo, Mami bantu bereskan barang-barangmu." Nina bangun lantas membantu memasukkan barang-barang ke koper. "Kau jangan memakai pakaian yang ketat lagi. Pakai baju yang longgar," ucap Nina seraya memasukkannya beberapa pakaian ke dalam koper. "Makan sayur dan buah, jangan terlalu banyak makan junk food," beo Nina.
Wanita itu sengaja bicara banyak hal untuk mengalihkan rasa sedihnya. Tetapi itu justru semakin membuat Alea sedih, apalagi matanya menangkap beberapa kali ibu tirinya itu mengusap air matanya.
"Ingat, jangan tidur terlalu—"
"Mam …." Alea menahan langkah Nina lantas membawa dirinya masuk ke dalam pelukan Nina.
"Alea." Nina membalas pelukan Alea. Mereka akhirnya sama-sama menangis. "Dunia mungkin tahu kau bukan putri kandungku. Tapi bagi Mami kau adalah putri kandungku, Alea. Mami yang merawatmu dari bayi sampai sebesar ini. Kau seperti ini Mami ikut sakit," ucap Nina di sela isak tangisnya.
"Thank you very much."
"You're welcome."
"You're so kind. I will never forget what you have done."
"You are my daughter."
Alea menganggukkan kepala.
Nina lebih dulu menarik diri lantas memberikan sesuatu kepada Alea.
"Ini." Nina memberikan account m-banking miliknya. "Pakai untuk keperluanmu."
"Tapi —"
"Ini milik Mami pribadi. Penghasilan dari butik. Papi tidak akan tahu," tukas Nina. "Satu lagi, Mami memiliki apartemen yang tidak diketahui oleh papimu. Mami ke sana kalau Mami sedang bertengkar dengan papimu untuk memenangkan diri." Nina memberitahu di mana letak apartemen juga unitnya juga password apartemen pribadinya. "Pergilah sebelum malam." Alea mengangguk. "Ayo, Mami antar sampai teras."
Alea berjalan menuruni anak tangga, bersama Nina. Di belakang ada seorang pelayan yang membawa satu koper berukuran besar miliknya. Sebenarnya berat bagi Alea untuk meninggalkan rumah itu berikut keluarganya, tetapi situasi saat ini sangat sulit dan tidak memungkinkan bagi Alea untuk tetap tinggal.
Sampailah Alea di ruangan tengah, ia melihat Romi yang masih berada di tempat yang sama, duduk sembari melamun. Alea sangat memahami kekecewaan dan kemarahan Romi, tetapi dirinya juga tidak bisa jika harus menggugurkan kandungannya.
Sesaat Alea memandang Romi, ada rasa takut untuk menghampiri sang ayah. Namun ia tetap akan mencobanya. Alea maju, berdiri beberapa langkah dari Romi.
"Papi …." Alea kembali menahan rasa sakit saat Romi memilih untuk berdiri, tetapi dengan posisi membelakangi dirinya. "Apa sekali saja Papi tidak mau melihat Alea?" tanya Alea.
"Aku tidak sudi melihat wajahmu! Cepat pergi dari sini!" perintah Romi.
Alea diam dan kembali terisak mendengar perkataan ayahnya, tetapi dirinya juga tidak bisa memaksakan kehendaknya.
Nina yang melihat itu langsung menghampiri Alea, memegang kedua pundak putrinya, "Ayo, Alea. taksimu sudah datang."
"Iya, Mam," sahut Alea. Pandangan Alea kembali mengarah pada Romi. "Aku pergi, Pi. Sekali lagi maafin Alea sudah membuat Papi kecewa."
Sekali lagi Alea mengusap air mata yang jatuh di pipinya, kembali berjalan keluar dari rumah itu. Memang sebaiknya ia pergi untuk kebaikan semuanya.
"Alea, kau baik-baiklah di sana. Kabari Mami jika kau membutuhkan sesuatu," pesan Nina. "Mami pasti akan sering-sering datang menjengukmu," sambungnya.
"Iya, Mam," sahut Alea.
"Kau juga jangan khawatir, Mami akan terus mencoba untuk membujuk papi," ucap Nina lagi.
"Terima kasih untuk semuanya, Mam," ucap Alea. "Mami sama papi juga jaga diri baik-baik," pesan Alea. "Salam juga untuk Lena."
Setelah itu Alea masuk ke dalam mobil, duduk di bangku penumpang belakang lantas menurunkan kaca untuk melihat Nina.
"Hati-hati bawa mobilnya ya, Pak," ucap Nina pada sopir taksi.
"Baik, Nyonya," sahut sopir itu.
"Sampai jumpa, Mam." Alea melambaikan tangannya.
"Daaah, Sayang," balas Nina.
Mobil yang membawa Alea sudah jauh dari pandangannya. Nina mengela napas berat, setelah itu masuk kembali ke dalam rumah. Sambil melangkah sesekali Nina mengusap air matanya. Jika boleh jujur Nina juga sebenarnya kecewa dengan Alea, tetapi rasa sayang pada anak tirinya itu lebih besar. Apalagi dirinya juga seorang perempuan juga seorang ibu, dirinya memahami apa yang dirasakan oleh Alea.
"Kau jangan pernah menemuinya lagi!"
Suara berat itu membuat langkah Nina terhenti. Ia lantas menoleh ke asal suara. Pandangannya bersirobok dengan Romi.
"Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" tanya Nina, nada bicaranya seakan sedang menantang Romi.
"Karena aku tidak mengizinkannya!" jawab Romi. Suaranya masih meninggi.
"Aku akan tetap menemuinya dengan atau tanpa persetujuanmu," tantang Nina.
"Nina!"
"Apa?"
"Aku suamimu! Turuti perintahku!"
"Kau ingat, aku bukan hanya istrimu, aku juga ibu dari anak-anakmu."
"Sekali lagi aku peringatan, jangan pernah kau temui dia lagi! Kalau tidak aku akan —"
"Kau akan apa? Kau akan mengusirku atau menceraikan aku?" tukas Nina membuat Romi terdiam seketika. "Aku tidak takut dengan ancamanmu. Bila perlu lakukan sekarang juga! Aku juga sebenarnya sudah tidak tahan dengan keegoisanmu, tapi aku bertahan demi anak-anak."
Romi masih terdiam tidak berani berdebat dengan istrinya.
"Kenapa diam? Tidak bisa hidup tanpa kami, bukan?" serang Nina.
Benar yang dikatakan oleh istrinya, dirinya tidak bisa hidup tanpa istri dan juga anak-anaknya. Satu anaknya juga sudah pergi, jika istri dan satu anaknya lagi pergi maka hidupnya akan terasa hampa.
"Dengar ini juga! Jika kau memang tidak mau mengurus putrimu, biar aku saja." Setelah itu mengatakan Nina pergi ke kamar, tidak peduli dengan kemarahan yang Romi tunjukkan.
Alea sendiri sudah dalam perjalanan menuju apartemen yang diberikan oleh Nina. Duduk bersandar sembari melihat pemandangan luar, memerhatikan jalanan yang dia lalui. Raganya memang ada di dalam mobil itu, tetapi tidak dengan pikirannya. Pikirannya melayang jauh, memikirkan banyak hal termasuk keberadaan Xander. Laki-laki itu menghilang bak ditelan oleh bumi.
Hingga ia tersadar saat merasakan sesuatu yang bergerak di dalam perutnya. Alea menggerakkan tangannya mengusap-usap perutnya yang mulai menonjol. Naluri seorang ibu muncul membuatnya tidak tega untuk menggugurkan kandungannya. Apalagi itu adalah kesalahannya, kenapa bayi dalam kandungannya yang harus menerima akibatnya.
Alea memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman, mengela napas panjang untuk meredam rasa sesak di dadanya. Mulai saat itu Alea berjanji pada dirinya sendiri akan melahirkan dan juga merawat anak itu meskipun tanpa kehadiran Xander.
Setelah berkutat dengan kemacetan panjang Alea sampai di gedung apartemen yang dia tuju. Ia turun dari mobil lantas menyeret kopernya masuk ke dalam gedung apartemen. Langkahnya kini lebih mantab untuk menjalani kehidupan baru.
-
-
-
Hari demi hari Alea lalui di tempat itu, perutnya pun semakin membesar, gerakan bayinya semakin terasa. Dokter mengatakan jika bayinya berjenis kelamin laki-laki, sehat dan juga sempurna. Nalurinya sebagai seorang ibu semakin kuat, ia menjaga kandungannya dengan sangat baik, dirinya juga sering mengajak bayi dalam kandungnya bicara, seolah bayi itu bisa merespon setiap ucapannya.
Kehamilannya banyak membawa perubahan baik dalam diri dan juga hidupnya, membuat ia yakin pilihannya tidak salah untuk tetap mempertahankan bayinya.
Tidak terasa kehamilan Alea sudah memasuki trimester akhir. Kegiatannya pun semakin dibatasi, termasuk kelas ibu hamil yang biasa Alea ikuti, tetapi Nina sengaja mendatangkan fasilitator khusus ke apartemen, agar Alea tetap bisa mengikuti kelas ibu hamil tanpa harus keluar dari apartemen.
Selama masa kehamilan, hanya ibu dan adik tirinya, Lena yang senantiasa menemani juga menjaganya. Sampai saat mendekati hari perkiraan lahir mereka bergantian untuk berjaga.
PRANG
"Mam," pekik Alea.
Nina yang berada di dapur terkejut mendengar suara pekikan Alea juga suara benda pecah. Wanita paruh baya itu berjalan dengan cepat ke ruangan depan.
Nina terbelalak melihat Alea duduk bersandar, merintih menahan sakit sembari memegangi perutnya.
"Sakit, Mam," rintih Alea.
"Kita ke rumah sakit sekarang." Nina segera menghubungi ambulan.
Nina membawa barang-barang yang sudah dipersiapkan untuk persalinan. Mendudukkan Alea di kursi roda yang juga sudah Nina persiapkan sebelumnya. Wanita paruh baya itu juga meminta bantuan pada petugas keamanan apartemen.
Sampai di rumah sakit, Alea langsung dibawa ke ruangan bersalin karena sudah memasuki pembukaan enam. Nina setia menunggu juga memberikan semangat untuk putrinya itu.
Tidak berselang lama Lena datang, ia menemui ibu dan juga kakaknya. Memberikan semangat kepada sang kakak, tetapi Alea tidak mampu lagi untuk merespon, ia sedang bergelut dengan rasa sakit yang semakin memuncak.
Dokter kembali memeriksa Alea dan sudah masuk pembukaan sempurna. "Ibu Alea, bersiaplah!"
"Kepala bayinya sudah terlihat, Dokter?" tanya Nina dengan antusias.
"Sudah pembukaan sempurna," jawab Dokter.
"Alea, ayo semangat. Anakmu akan lahir," ucap Nina antusias.
Semuanya seakan dipermudah, tidak butuh waktu yang lama, suara tangis bayi memenuhi ruangan itu. Alea pun dalam kondisi baik-baik saja, tidak ada komplikasi apapun. Setelah dibersihkan perawat memindahkan Alea ke ruangan perawatan.
"Aaaa, cucuku!" seru Nina. Perawat memberikan bayi yang telah dibersihkan kepada Nina. "Tampan sekali," pujinya.
"Mami, mana keponakan aku?" Lena yang baru masuk ke ruangan itu berlari menghampiri ibunya. Raut wajahnya berubah seketika. "Ya Tuhan! Anak ini mirip sekali dengan ayahnya. Tanpa melakukan tes DNA semua orang akan tahu jika anak ini adalah anaknya," ucap Lena. Ia lantas mengarahkan pandangannya ke arah Alea. "Apa kau selalu memikirkan dia, Kak?"
"Lena …."
Nina memberikan isyarat pada putrinya untuk tidak membahas Xander di depan Alea.
"Sorry," ucap Lena lirih.
"Laki-laki itu memang ayah kandungnya. Wajar jika anak ini mirip sekali dengannya," imbuh Nina.
Senyum membingkai di wajah Alea, senyum yang terkesan dipaksakan.
"Baiklah, kita lupakan pria itu?" ucap Lena. "Oh iya, apakah kau sudah memiliki nama untuknya?" tanya Lena pada Alea.
"Hmmm." Alea menganggukkan kepalanya. "Namanya Axelio Giovani."
"Nama yang bagus. Aku akan memanggilnya Axel," seru Lena. "Axel, ini Aunty Lena." Lena menoel pipi Axelio.
"Kau tidak memberikan nama belakang keluarga kita atau keluarga ayahnya?" tanya Nina.
Alea menggeleng sembari menunduk, " keluarga ayahnya entah ada di mana, sedangkan keluarga kita …" Alea menggantungkan ucapannya. "Papi masih masih belum mau memaafkan aku, apalagi jika nanti dia melihat anakku mirip sekali dengan Xander, papi pasti tidak akan pernah mau menerimanya. Jadi … mana mungkin aku bisa memberikan nama belakang dari salah satu keluarga ini," jelas Alea.
"Tidak masalah, Kakak." Lena duduk di samping Alea, lantas merangkul pundak kakaknya itu. "Jika mereka tidak mau menerima Axel, masih ada kita, bukan? Kita akan sama-sama membesarkan Axel Mami, aku benar, 'kan?"
Nina mengangguk, kemudian meletakkan Axelio ke box bayi lantas ikut duduk di tempat tidur, memeluk kedua putrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!