NovelToon NovelToon

Gairah Sang Papa Angkat

Bab 1

Ketenangan sebuah kanal air di pinggir kota yang biasanya tenang di sore hari tiba-tiba di pecahkan oleh makian seorang pria. Suara kemarahan itu di selingi dengan isak tangis yang selama ini ia tahan, dan kini meledak tanpa bisa di hentikan.

"BRENGSEK!! KENAPA... Kenapa... Tega-teganya kalian melakukan ini padaku..." ucapnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan yang mendalam, ia tak mampu lagi menyembunyikan kesedihannya setelah memergoki istrinya—wanita yang telah ia nikahi selama 7 tahun terakhir mengkhianati pernikahan mereka dengan berselingkuh dengan sahabat dan juga rekan bisnisnya, dan semua itu terungkap tepat saat di hari ulang tahun pernikahan mereka—Aldebaran sudah tak bisa menahan rasa sakit di hatinya.

Aldebaran tak mampu lagi menahan rasa sakit di hatinya. Ia meremas dadanya berharap rasa sakit yang menggerogoti jiwanya hilang, namun ia tahu hal itu sia-sia. Rasa sakit yang ia rasakan begitu hebat hingga tak bisa ia tahan menghujam hatinya tanpa ampun.

Penampilannya yang biasanya rapi dan sempurna kini terlihat jauh dari kata seorang pria mapan dan terstruktur seperti yang selama ini ia tunjukan, pakaiannya berantakan, kemejanya kusut dasinya terlepas sembarangan dan rambutnya acak-acakan, wajahnya menunjukan frustasi dan terlihat lelah dengan bekas air mata masih membekas di pipinya menunjukan betapa hancurnya mental dan perasaanya saat ini.

"Tujuh tahun... Tujuh tahun Diana..." ucapnya pelan, suaranya pelan nyaris seperti bisikan. "...Tujuh tahun aku mencintaimu, mempercayaimu... Dan kau mengkhianatiku... Dengan sahabatku sendiri."

Kalimat itu keluar seperti duri yang mencabik-cabik tenggorokannya. Ia menunduk melihat pantulan dirinya di permukaan air kanal yang beriak pelan. Namun bayangan yang ia lihat terasa asing—bukan lagi seorang Aldebaran yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang telah kehilangan segalanya.

Pernikahan yang selama ini terlihat baik-baik saja dan harmonis ternyata jauh dari ekspektasinya. Lalu Aldebaran melihat buket bunga mawar yang telah hancur dengan kelopaknya yang telah berserakan tergeletak di tanah, Aldebaran menatapnya dengan tatapan kosong seolah segalanya telah sia-sia selama tujuh tahun pernikahannya.

"Paman? Paman sedang apa, Kenapa menangis?"

Suara gadis kecil terdengar di belakangnya, suara itu lembut namun cukup untuk memecah lamunan Aldebaran.

Ia menoleh kebelakang dan meliat seorang gadis kecil sedang berdiri di sana, gadis itu mengenakan pakaian yang lusuh yang kebesaran hingga lengan baju itu menutupi sebagian lengan mungilnya dengan beberapa koran yang ia genggam erat di depan dadanya.

Lalu dengan lembut dan penuh minat mata gadis kecil itu jatuh pada buket bunga yang tergeletak di tanah. Beberapa kelopak bunganya telah patah dan berantakan akibat Aldebaran lemparnya dalam upaya untuk meredakan amarahnya.

"Kenapa bunganya di buang? Kan, bagus." Lanjut gadis kecil itu, polos.

Namun Aldebaran masih terdiam, ia tak menggubris pertanyaan itu. Aldebaran masih tenggelam dalam kesedihannya.

"Apa kau menyukainya?" Tanya Aldebaran, akhirnya, dengan suara yang terdengar datar.

Gadis kecil itu mengangguk penuh antusiasme, matanya berbinar penuh harap Aldebaran akan memberikannya.

Aldebaran menghela napas pelan sebelum mengambil buket bunga yang sempat ia buang tadi. "Apa... Tidak apa-apa? Ini sudah rusak?" Katanya, ada keraguan dalam kalimat Aldebaran. Seolah masih mempertimbangkan keputusan untuk memberikannya.

"Tidak apa-apa, ini masih bagus." Jawab gadis kecil itu, wajahnya tampak bahagia saat Aldebaran menyerahkan buket bunga itu.

Terlihat tubuh gadis kecil itu tenggelam oleh buket bunga yang ukurannya yang hampir sebesar dirinya.

"Waahh..." Serunya penuh kekaguman, mata gadis itu berbinar-binar saat menatap bunga-bunga itu.

Aldebaran tersenyum tipis saat melihat reaksi bahagia gadis kecil itu yang begitu sederhana. Untuk sesaat senyuman gadis kecil itu terasa seperti cahaya di tengah kegelapan hatinya.

"Terimakasih, Paman."

Aldebaran tertawa kecil meski, meski raut kesedihan masih tampak jelas di wajahnya.

"Jangan panggil aku paman, aku masih muda dan belum punya anak." Ucap Aldebaran, merasa sedikit tersinggung lalu ia tersenyum kali ini senyuman itu lebih tulus dari sebelumnya.

"Oh ya, namamu siapa?"

"Lilia..." ucap gadis itu dengan polos. "Paman, sebagai ganti kebaikan Paman yang memberikan Lilia bunga, Paman bisa ceritakan masalah Paman sama Lilia, Lilia akan mendengarkan." Kata Lilia, sambil menatap wajah Aldebaran lekat penuh rasa ingin tahu.

Aldebaran duduk dengan menumpukan kedua sikutnya di kedua lututnya, ia menunduk sambil menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum, namun senyuman itu bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyuman pahit yang penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan.

Kemudian pandangan Aldebaran beralih pada Lilia yang masih setia duduk di sampingnya.

Gadis itu menatapnya, dengan mata besar dan ekspresi polos seorang anak berusia 9 tahun. "Aku tidak yakin kau akan mengerti..." kata Aldebaran pelan.

"Paman bisa cerita saja, Lilia akan menjadi pendengar yang baik." Kata Lilia, penuh meyakinkan, mencoba meyakinkan Aldebaran.

Aldebaran tersenyum kecil, lalu mengacak lembut rambut Lilia. "Ini bukan hal yang bisa kau dengarkan, Nak. Bagaimana kalau aku yang bertanya padamu?"

Mata Lilia melebar. Ia merasakan kehangatan saat Aldebaran mengusap kepalanya, sebuah sentuhan yang akrab yang sudah lama ia rindukan.

"Apa yang dilakukan gadis kecil seperti dirimu di tempat seperti ini sendirian? Dan orang tuamu dimana?" Tanya Aldebaran.

Seketika ekspresi wajah Lilia berubah setelah mendengar pertanyaan itu, ia tampak sedikit sedih tapi dengan segera mengubah ekspresi wajahnya. "Em... Lilia tinggal bersama paman dan Bibi Lilia."

Lilia terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Aldebaran, ia menunduk lalu meliat ke arah Aldebaran.

"Ayah dan ibu lilia sudah lama bercerai... Dan sekarang mereka sudah memiliki keluarga masing-masing." lanjutnya pelan..

Aldebaran yang mendengar pernyataan Lilia langsung merasa tidak enak. "Maaf... Aku tidak bermaksud untuk... Aku sungguh tidak tahu." Katanya menyesal.

"tidak apa-apa..." Jawab Lilia pelan.

"Sekarang kau kelas berapa?" tanya Aldebaran.

"... Lilia sudah tidak sekolah lagi." Ucap Lilia, suaranya pelan hampir tidak terdengar.

"Kenapa?" Aldebaran mengerutkan alisnya saat ia mendengar jawaban Lilia, mencoba menggali informasi lebih dalam.

"Karena..."

"Paman dan bibikmu tidak mau menyekolahkanmu lagi?" belum sempat Lilia menjawab Aldebaran memotong perkataannya.

Lilia hanya menunduk dan tak menjawab.

"Apa kau tidak ingin sekolah lagi?" tanya Aldebaran lagi.

"Lilia tidak punya uang." jawab Lilia dengan polos, dan tanpa rasa ragu.

Lalu pandangan Aldebaran beralih pada koran-koran di tangan Lilia. "lalu koran itu?"

"Lilia... Membatu Paman Lilia berjualan, setiap hari Lilia harus mengantarkan koran." Jawab gadis itu, dengan begitu polos dan jujur.

"Dan... Ini koran terakhirmu hari ini?" Aldebaran menunjukan ke beberapa kota di tangan Lilia.

Lilia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Lalu Aldebaran mengeluarkan dompetnya dari saku jasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang tunai. "Aku akan membeli semuanya." kata Aldebaran.

Mata Lilia berbinar penuh kebahagiaan setelah mendengar Aldebaran akan membeli seluruh koran yang ia bawa. "Benarkah? Paman akan beli semuanya?" katanya seolah tak percaya. Lalu Aldebaran memberikan beberapa lembar uang yang ia ambil dari dalam dompetnya.

"Paman... Ini terlalu banyak." Kata Lilia, lalu ia hanya mengambil selembar uang dari tangan Aldebaran.

"Tidak apa-apa, kau boleh simpan sisanya." Kata Aldebaran.

"Benarkah?!" Seru Lilia, tampak senang.

Meliat Lilia senang, Aldebaran mengangguk pelan. Kemudian ia bangkit berdiri, Aldebaran tersenyum tipis ketika meliat wajah bahagia gadis itu. "Lilia bisa pulang cepat." ucapnya dengan senyuman lebar di wajahnya, begitu sederhana, dan tulus dari kepolosan anak perempuan berusia 9 tahun.

Lalu Aldebaran berjalan menuju mobilnya, namun langkahnya terhenti saat Lilia memanggilnya. "Paman!" panggil Lilia, "apa besok kita bisa bertemu lagi?" tanya Lilia, penuh harap.

"Ya..." Jawab Aldebaran singkat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobilnya.

Bersambung....

Bab 2

Aldebaran sampai di rumahnya pukul 8 malam, jejak kesedihan itu masih terlihat di wajahnya. Aldebaran berdiri cukup lama di depan pintu rumahnya bukan karena ia tak membawa kunci rumah, namun dari dalam rumah Aldebaran mendengar jelas suara ibunya memohon agar Diana tidak pergi dari rumah mereka.

Setelah cukup lama ia berdiri di depan pintu, akhirnya Aldebaran memegang kenop pintu dan memutarnya dengan perlahan, pintu itu terbuka perlahan, menampilkan pemandangan di dalam ruang keluarga, di mana ibunya memohon dan mengemis pada Diana. Tampak Diana dengan koper besar yang ia seret bersiap akan pergi dari rumah. Diana yang melihat Aldebaran yang berdiri di ambang pintu menatapnya dengan tatapan dingin.

Kemudian wanita itu menyerahkan sebuah dokumen di tangannya pada Aldebaran. "Tanda tangani!" kata wanita itu setelah berdiri di hadapan Aldebaran sambil menyerahkan dokumen itu.

Aldebaran menatap wajah wanita yang selama ini ia cinta, ia melit di mata wanita itu sudah tidak lagi ada dirinya. Saat itu tanpa berpikir lagi Aldebaran mengambil dokumen di tangan Diana dan menandatangani dokumen itu.

"Mulai hari ini kita bukan suami istri lagi." ucap Diana dingin, setelah Aldebaran menandatangani dokumen perceraian mereka.

Aldebaran menyerahkan kembali dokumen perceraian itu setalah ia menandatanganinya pada Diana. Diana merampas dokumen itu dengan kasar dari tangan Aldebaran lalu pergi meninggalkan rumah mereka.

"Aku menyesal pernah menikah denganmu." Kata Diana, dingin. Ia keluar dari dalam rumah tanpa menoleh sedikitpun.

"Diana! Tunggu!" teriakan Bu Anne, ibu Aldebaran yang masih bersikeras menghentikan Diana pergi. "Ibu mohon pikirkanlah lagi!" kata Bu Anne, mencoba menahan Diana di ambang pintu. Namun sepertinya Diana sudah tak memperdulikan permintaan ibu mertuanya itu, Diana masuk kedalam mobil pribadinya dan pergi begitu saja.

"DIANA!!" teriak Bu Anne, meliat Diana menantu ya pergi begitu saja.

Merasa usahanya sia-sia, Bu Anne menghampiri Aldebaran yang masih berdiri di ambang pintu.

"Aldebaran kenapa kau tidak menghentikan istrimu pergi?" Kata Bu Anne, setelah berteriak meminta Aldebaran untuk membujuk Diana—istrinya untuk tidak pergi, namun Aldebaran tak bergeming ia masih berdiri seperti patung batu kepalanya tertunduk menatap lantai, pandangannya kosong.

"Aku tidak akan menghentikan siapapun yang ingin pergi Bu..." Ucap Aldebaran, wajahnya tanpa ekspresi. "Ini adalah jalan yang sudah dia pilih... aku tidak bisa menghentikannya." lanjut Aldebaran datar.

Bu Anne mengguncang-guncangkan tubuh Aldebaran, "Dasar bodoh! Istrimu sedang hamil dan kau biarkan dia pergi bersama dengan cucuku!" Teriak Bu Anne, penuh emosi.

Aldebaran terkejut mendengar perkataan ibunya, yang mengatakan Diana sedang mengandung, Aldebaran tertawa dingin, tawa itu bercampur dengan air mata kesedihan, kekecewaan dan kemerahan dari seorang pria yang telah kehilangan segalanya.

"Mengandung..." Ucap Aldebaran, pelan hampir berbisik, suaranya berat penuh kepedihan. "Aku tidak akan pernah mengakui anak dalam kandungannya adalah anakku." lanjut Aldebaran.

"Aldebaran, kau ini bicara apa? Bagaimana mungkin kau bicara seperti itu? Diana sedang hamil anakmu!!" Lanjut ibunya, penuh emosi.

Aldebaran, menatap wajah ibunya, wajah wanita yang melahirkannya. Wajah itu sudah keriput dan penuh dengan guratan dan keriput. Dia pikir ibunya—wanita yang melahirkannya yang hidup bersamanya hampir di sepanjang hidupnya dan selalu bersamanya akan mengerti perasaanya. Namun kenyataanya tidak seperti itu.

karena saking mendambakan seorang cucu kini Bu Anne memaksa Aldebaran untuk menghentikan istrinya yang sudah ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, di mana Aldebaran sudah tak bisa lagi memaafkan wanita yang sudah pernah bersamanya selama 7 tahun.

"Bu... Bagaimana aku bisa memiliki anak darinya? Sedangkan aku sendiri di fonis impoten, Bu!!! Aku tidaka kan bisa punya anak, dan bagaimana aku bisa mengakui anak didalam perutnya adalah darah dagingku?" Teriak Aldebaran, penuh kesedihan dan kemarahan terhadap dirinya sendiri.

"...dan ibu ingin aku mengejar wanita yang sudah meninggalkanku demi pria lain! Dan pria itu adalah temanku sendiri? Sudah cukup, Bu. Hatiku sudah cukup sakit melihat dia tidur bersama pria lain di kamar hotel!!" ucap Aldebaran penuh dengan kepedihan. Saat itu Aldebaran tak bisa lagi menahan air matanya.

Mendengar perkataan Aldebaran Bu Anne terdiam seolah tak percaya, namun entah apa yang di pikirkan Bu Anne ia masih membujuk Aldebaran untuk menyusun Diana. "Setidaknya kau bicara dengannya, dan jangan biarkan dia pergi!"

"Tidak, aku pikir... Ibu adalah orang yang paling mengerti perasaanku, ternyata... Aku salah. Aku tidak akan pernah mengakui anak dalam kandungan Diana sebagai darah dagingku!" lalu Aldebaran meninggalkan ibunya yang terpaku mendengar perkataan Aldebaran.

Malam ini menjadi malam yang berat untuk Aldebaran, ia merasakan segalanya telah hilang darinya. Dunianya telah hancur tak tersisa, ia meremas dadanya dengan kuat, rasa sakit di dadanya semakin merobek hatinya, ia masih tak percaya wanita yang ia cintai meninggalkannya dengan cara seperti ini.

...~o0o~...

Keesokan harinya, Aldebaran duduk di meja kerjanya, ia kembali bekerja seperti biasanya. Namun, terlihat jelas jejak kesedihan dan kelelahan di matanya. Tatapannya kosong, matanya hanya tertuju pada layar monitor di hadapannya.

Aldebaran merasa segala sesuatu di sekitarnya menjadi bayangan semu yang tidak penting, yang ada di pikiran Aldebaran saat ini hanya bekerja dan bekerja. Ia melakukan itu untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit hati yang ia alami setelah Diana meninggalkannya.

Tak terasa hari semakin sore, Aldebaran bangkit dari kursinya ia berdiri menatap pemandangan kota dari balik jendela besar di dalam kantornya, pemandangan kota yang sibuk dan gedung-gedung tinggi bak monolit tanpa jiwa seperti dirinya saat ini.

Setelah merapikan jasnya Aldebaran mengambil kunci mobil dan tas kerjanya dan bersiap untuk pulang. Aldebaran menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang, di persimpangan jalan ia berhenti saat lampu merah, pandangannya masih kosong. Saat lampu berubah hijau Aldebaran memilih berbelok di persimpangan jalan, ia memilah tak melewati jalan menuju ke rumahnya.

Saat ini ia tak tahu harus kemana, namun entah apa yang ia pikirkan saat ini, Aldebaran memilih pergi ke kanal air di pinggir kota—tempat kemarin ia bertemu dengan Lilia. Dan benar saja saat mobilnya melintasi jembatan yang membelah kanal Aldebaran meliat Lilia sudah menunggunya di tepi sungai tempat kemarin mereka bertemu.

"Dia benar-benar menungguku?" pikir Aldebaran, entah bagaimana senyum itu melengkung di bibirnya.

Kemudian Aldebaran memarkir mobilnya di tepi jalan lalu ia berjalan menghampiri Lilia yang sedang melempar batu krikil ke dalam sungai, tampak jelas gadis kecil itu bosan, mungkin saja Lilia sudah menunggu Aldebaran lama hingga akhirnya pria itu kembali menemuinya.

"Lilia." panggil Aldebaran, saat dia sudah berdiri tepat di belakang gadis kecil itu. "Kau sudah lama menungguku, ya?"

Lilia menoleh ke belakang dan melihat Aldebaran sudah berdiri di belakangnya. "Paman!" katanya, tampak sangat senang saat melihat Aldebaran menemuinya lagi. "Iya, lama sekali." Lanjut gadis kecil itu, dengan gaya khas anak kecil yang sedang merajuk.

Aldebaran tertawa kecil saat melihat Lilia merajuk, "maaf, aku baru pulang kerja." Aldebaran menatap ekspresi Lilia yang merajuk tampak mengemaskan. "Hei, bagaimana... Sebagai ganti karena aku datang terlambat bagaimana kalau aku membawamu jalan-jalan, kita naik mobil." Lanjut Aldebaran, sambil memperagakan gayanya sedang menyetir mobil. "Bagaimana? Mau, kan?"

Mata Lilia berbinar penuh antusiasme. "Waahh... Benarkah? boleh?"

"Iya, tentu saja." Aldebaran mengangguk, lalu menuntun Lilia ke mobilnya yang sedang terparkir di tepi jalan.

Bersambung.....

Bab 3

Di dalam mobil, Lilia tampak senang, ia melihat ke luar jendela mobil dengan antusias. Mata besar gadis itu berbinar saat meliat pemandangan di luar.

"Waaahh..."

Aldebaran melirik Lilia yang terlihat sangat senang melihat ke luar jendela mobilnya, begitu mudah dan sederhana membuat gadis kecil itu bahagia. Aldebaran tak tahu kenapa ia memilih untuk bertemu dengan gadis kecil itu lagi, dan yang jelas ini bukan karena janji yang ia ucapkan kemarin, saat ia bilang akan menemui Lilia lagi. Yang jelas ia hanya ingin mengalihkan pikirannya yang sedang kacau, mungkin... baginya untuk saat ini Lilia seperti pelarian kecilnya.

Tiba-tiba...

Mata Aldebaran menyipit tajam saat tak sengaja pandangannya beralih pada tangan mungil Lilia yang memegang dasboard mobilnya.

Tatapan itu tajam bukan karena Aldebaran tidak suka saat Lilia menyentuh mobil mewahnya sembarangan melainkan karena bekas luka di pergelangan tangan gadis itu yang tampak masih baru.

"Lilia, tanganmu kenapa?" Tanya Aldebaran, sambil menatap gadis kecil itu penuh rasa ingin tahu.

Lilia dengan cepat menyembunyikan tangannya yang terluka di balik punggungnya.

"Ti-tidak apa-apa..." Kata Lilia sedikit canggung, "kemarin Lilia tidak sengaja jatuh..." Lanjut Lilia, sambil mengalihkan pandangannya seolah ia sedang mencari alasan yang tepat, dan tentu saja itu tidak membuat Aldebaran percaya begitu saja karena ia tahu Lilia sedang berbohong padanya.

Lalu dengan hati-hati Aldebaran menghentikan mobilnya dia pinggir jalan. "Coba aku lihat!" ucap Aldebaran, sambil mengulurkan tangannya mencoba meraih tangan gadis itu.

Lilia yang melihat itu hanya menggeleng sambil menyembunyikan kedua tangannya di belang punggungnya.

"Ayo! Aku hanya ingin melihatnya, aku ingin pastikan kau baik-baik saja." Lanjut Aldebaran mencoba meyakinkan gadis kecil itu.

Lilia menatap Aldebaran beberapa saat, sampai akhirnya dengan ragu ia mengulurkan kedua tangannya. Saat itu Aldebaran melihat luka memar yang cukup besar di pergelangan tangan gadis itu dan tampak sudah membengkak.

Lalu pandangan Aldebaran beralih pada wajah Lilia, ia menatap mata besar gadis itu yang kini menunduk di hadapannya. Ada rasa takut dan khawatir di balik tatapan polos itu.

"Apa? Kau bahagia selama kau tinggal bersama dengan Paman dan Bibimu?" tanya Aldebaran tiba-tiba.

Sontak Lilia mengangkat pandangannya hingga tatapannya bertemu dengan mata Aldebaran. Pria itu menatap lekat wajah gadis kecil itu menunggu jawaban dari gadis itu dengan sabar.

Lilia kembali menunduk, mengalihkan pandangannya dari Aldebaran. "Lilia..." Lilia tahu itu pertanyaan yang sulit ia jawab.

"Baiklah, kalau kau tidak mau bilang, juga tidak apa-apa." Kata Aldebaran, kemudian kembali melanjutkan mobilnya.

"Tapi kita kerumah sakit dulu, ya? Kita obati luka di tanganmu dulu." Lanjut Aldebaran, Lilia hanya terdiam kemudian menganggu kecil, Aldebaran tersenyum kecil saat Lilia setuju.

Sesampainya di rumah sakit, Aldebaran membawa Lilia untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Saat dokter menyampaikan pada Aldebaran tentang luka yang dialami Lilia bukan karena terjatuh melainkan karena pukulan benda tumpul yang menyebabkan luka memar dan bengkak di kedua pergelangan tangannya.

Setelah melakukan pemeriksaan dan dokter memberikan resep obat penghilang rasa sakit, di dalam mobil, Aldebaran menatap wajah gadis kecil itu lekat.

"Lilia, coba kau katakan yang jujur, apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Maksudku setelah kau pulang?" Tanya Aldebaran.

Lilia hanya menunduk, ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia bicara, "Lilia... Di marahi Paman... Karena kemarin saat Papa beri Lilia uang lebih, Paman bilang Lilia harus simpan, jadi Lilia simpan, lalu tadi malam Paman Lilia tahu kalau Lilia menyimpan uang lebihnya... Jadi Lilia dimarahi." Jawab Lilia dengan polosnya, lalu gadis kecil itu mulai menangis sejadinya.

Saat itu Aldebaran tak percaya kebaikan kecil yang ia lakukan pada Lilia kemrin membuat gadis kecil itu harus menerima hal seperti ini, keluarga yang seharusnya melindunginya malah dengan tega menyakitinya.

"Sudah, jangan menangis." Aldebaran mengusap lembut kepala gadis kecil itu. "Sekarang coba katakan, apa hal yang paling kau inginkan di dunia ini? Aku akan memenuhinya."

Lilia menatap Aldebaran dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Lilia ingin... Lilia ingin sekali pergi ke taman hiburan..." Katanya meski tangisnya masih terdengar.

"Taman hiburan, ya? Baiklah! Kita akan ke sana. Tapi sebelum itu, kita belanja. Aku akan belikan gaun cantik untuk Tuan Putri yang manis." Kata Aldebaran, sambil mencubit pipi Lilia. Dalam hati setidaknya hal kecil yang ia lakukan saat ini cukup untuk menghibur hati gadis kecil ini.

"Sungguh?! Paman akan belikan?"

"Ya, tentu saja." Kata Aldebaran, dengan percaya diri, lalu ia menatap Lilia lagi. "Tapi dengan satu syarat, kau harus berjanji padaku kau tidak akan menangis lagi."

Mendengar syarat yang di katakan Aldebaran dengan segera Lilia menghapus air matanya, "baiklah, Lilia berjanji."

"Nah, begitu."

Kemudian Aldebaran melakukan mobil sedan mewah ya dan berhenti di depan sebuah butik, Aldebaran memarkir mobilnya di depan butik, lalu ia mengajak Lilia masuk kedalam butik, seorang pegawai butik membuka pintu untuk mereka.

Mata Lilia langsung berbinar, melihat deretan pakaian dan gaun cantik di dalam butik.

"Pilihlah yang kau inginkan." Kata Aldebaran.

"waah... Boleh?"

"Tentu saja, pilihlah!"

Lilia mengelilingi setiap sudut butik dan mengamati setiap gaun cantik yang di bajang di sana, hingga perhatiannya teralihkan oleh sebuah gaun one piece berwarna baby blue terpajang di dekat jendela etalase. Aldebaran yang melihat minat gadis kecil itu langsung mendekat.

"Apa itu yang kau sukai?" tanya Aldebaran, setelah berada di dekat Lilia.

Lilia menoleh dan menatap Aldebaran dengan malu-malu, lalu ia menganggu kecil. "Apa tidak apa-apa? Harganya sangat mahal."

Aldebaran mengangkat sebelah alisnya, "Lilia, kau pikir aku membawamu kesini tanpa membawa uang?" kata Aldebaran.

"Iya... Kan mahal." kata Lilia lagi, kali ini ia sambil meremas ujung bajunya.

"Jika kau memang suka, ambil saja."

Aldebaran memberi isyarat pada pegawai butik untuk mengambil gaun yang Lilia inginkan. Kemudian pegawai butik menuntun Lilia ke ruang ganti dan membantunya mengganti pakaiannya.

"Wah, ku terlihat mengemaskan." Ucap Aldebaran, setelah Lilia selesai mengganti pakaiannya dengan gaun one piece yang Aldebaran belikan.

Sore itu sesuai janjinya, Aldebaran membawa Lilia jalan-jalan ke taman hiburan, "Ayo! Paman cepat Lilia sudah tidak sabar!" Kata Lilia, sambil menarik tangan Aldebaran. Entah bagaimana tingkah polos gadis kecil itu membuat Aldebaran merasakan sesuatu yang selama ini ia dambakan sebagai seorang pria: memiliki seorang anak, entah bagaimana pikiran itu muncul begitu saja saat ia melihat Lilia terus menarik tangannya. Tangan mungil itu terasa hangat dan lembut, setiap kata-kata dan harapan kecil gadis itu membuat Aldebaran merindukan seorang anak yang memanggilnya 'Ayah' entah bagaimana pikiran itu menyeruak begitu saja.

Di taman hiburan mereka bermain dan menaiki berbagai wahana, hingga akhirnya mereka duduk di sebuah kursi taman. Lilia tampak sibuk dengan es krim di tangannya, ekspresi polosnya saat memakan es krim hingga membuat noda es krim menempel di pipinya. Aldebaran tersenyum tipis saat melihat tingkah polos Lilia, ya, karena wajar saja gadis kecil itu baru berusia 9 tahun, rambut coklat panjangnya tergerai sempurna dan sebagiannya di ikat dengan pita dengan warna senada dengan gaunnya.

"Hei, apa... Kau senang bersamaku, Lilia?" tanya Aldebaran, tiba-tiba. Ia masih memandangi gadis kecil itu, mengamati setiap tingkah polosnya yang terlihat mengemaskan.

"Iya." Lilia mengangguk tanpa ragu, "Paman sangat baik sama Lilia." lanjut gadis itu sambil tersenyum lebar.

"Apa kau tidak takut aku akan menculikmu?" Kata Aldebaran lagi, dengan nada jahil. Lalu ia mengeluarkan selembar saputangan dari saku jasnya dan memberikan sisa es krim di pipi gadis kecil itu.

Lilia memiringkan kepalanya sambil menatap Aldebaran. "Tidak, karena paman orang baik, jadi mana mungkin menculik Lilia."

Aldebaran tersenyum geli saat ia menerima jawaban yang begitu jujur dan terus terang dari seorang gadis kecil. Lalu Aldebaran mengalihkan pandangannya, ia menatap lurus kedepan melihat ke arah orang-orang yang lalu-lalang di taman hiburan.

"Lilia, jika aku minta sesuatu darimu, apa aku akan melakukannya?"

"Memangnya paman ingin Lilia lakukan apa?"

"Aku..." Kata itu menggantung, Aldebaran terdiam sesaat sebelum ia melanjutkan kalimatnya, "Bisakah kau memanggilku Papa?" Kata Aldebaran, lalu ia menoleh ke arah Lilia yang memandanginya dengan tatapan seolah tak percaya, melihat reaksi Lilia yang di luar ekspektasinya, Aldebaran mengusap tengkuknya dengan gugup. "Ya... Itu hanya untuk hari ini saja... Itu... Jika kau mau."

Lilia terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya sebuah senyuman lebar terukir di bibirnya yang mungil.

"Baiklah, Papa."

Mata Aldebaran melebar saat mendengar jawaban Lilia yang langsung setuju tanpa syarat. Seketika sebuah perasaan aneh menyeruak di dalam hati Aldebaran, antara bahagia, terharu, dan tak percaya.

"Apa... Seperti ini rasanya menjadi seorang ayah?"

Bersambung.....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!