"Kenapa harus aku, Ma!?"
Teriakan tertahan itu meluncur dari bibir Marsha, suaranya bergetar penuh kepedihan. Ia melangkah mundur, menjauhi ibunya yang berusaha meraih tangannya. Belaian yang biasanya membawa ketenangan kini terasa seperti duri yang siap menusuknya kapan saja.
Diana, ibunya, menundukkan kepala. Wajahnya pucat dan penuh beban, seolah bertarung dengan rasa bersalah yang tak kunjung reda. “Mama tahu ini tidak adil, sayang. Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Marsha menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Jadi… Mama berniat menjual aku?” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, namun penuh dengan luka.
Diana menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Mama juga tidak mau ini terjadi, Marsha. Tapi sejak papamu meninggal, semua berubah. Oomku—” suaranya tercekat sebelum ia meralatnya, “Oom kamu mengambil alih segalanya. Dia menyalahgunakan kekuasaannya, membuat keputusan bodoh, dan menghancurkan perusahaan ini ke dalam utang. Satu-satunya cara mempertahankannya adalah dengan menikahkan salah satu dari kalian dengan Sean Harris.”
Marsha mengepalkan tangannya. “Seharusnya Maya yang menikah! Dia yang setuju sejak awal, kan!”
Marsha menatap ibunya dengan perasaan campur aduk—marah, kecewa, dan hancur. Harusnya Maya, kakaknya, yang menikah dengan pria itu. Tapi Maya kabur sebulan sebelum pernikahan, meninggalkan beban ini di pundaknya. Kenapa harus dia yang menanggung semuanya?
...***...
Marsha berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, matanya terus menatap koper kosong di atas ranjang. Seandainya dia punya keberanian seperti Maya, dia pasti akan lari dari pernikahan ini. Tapi ke mana? Dan bagaimana dengan Ibunya?
Meskipun hatinya sakit, dia tahu betul kalau perusahaan keluarganya berada di jurang kehancuran. Mendiang ayahnya terlalu percaya pada pamannya, memberikan kepercayaan penuh tanpa menyadari bahwa pria itu adalah serigala berbulu domba.
Oomnya menggelapkan uang, berinvestasi pada proyek-proyek berisiko tinggi, hingga akhirnya perusahaan mereka hampir bangkrut.
Sean Harris.
Nama itu terus bergema di kepalanya. Seorang investor muda yang sukses, pemilik perusahaan besar yang merajai berbagai industri. Ia dikenal tegas, ambisius, dan tidak mudah didekati.
Marsha mendesah, tubuhnya jatuh terduduk di ranjang. Apakah pria itu sekejam yang orang-orang katakan? Atau mungkin lebih buruk?
Pintu kamarnya diketuk pelan. “Marsha, boleh Mama masuk?”
Marsha tidak menjawab, tetapi Diana tetap masuk. Wanita itu duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak lebih tua dari usianya.
“Sayang… Mama tahu ini sulit.”
“Kalau Mama tahu ini sulit, kenapa tetap melakukannya?” potong Marsha tajam.
Diana menunduk. “Karena ini satu-satunya cara kita bertahan.”
Hening.
Marsha menggigit bibirnya, rasa sakit di hatinya semakin kuat. Ia ingin membenci Maya karena lari dari tanggung jawabnya, tapi di sisi lain, ia juga ingin melakukan hal yang sama. Namun, ia tidak bisa.
Diana menggenggam tangan putrinya, air mata berlinang di sudut matanya. “Mama sudah kehilangan Papamu… Mama tidak sanggup kehilangan segalanya.”
Dan dengan kalimat itu, Marsha tahu bahwa ia sudah kalah.
...***...
Hari pernikahan tiba lebih cepat dari yang ia kira.
Gaun putih panjang melekat sempurna di tubuhnya, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam dirinya. Dia duduk di depan cermin rias, menatap pantulannya dengan tatapan kosong.
Pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk. Sean Harris. Tinggi, tegap, dan penuh wibawa. Matanya tajam menatapnya melalui cermin. Marsha menelan ludah. Ini pertama kalinya mereka bertemu secara langsung.
Sean berjalan mendekat, lalu berdiri di belakangnya. “Jadi, kamu yang akan bakal jadi istriku?” suaranya dalam, penuh otoritas.
Marsha hanya bisa mengangguk pelan.
Sean menatapnya dalam-dalam. “Kamu tahu kenapa aku memilih menikah dengan salah satu putri keluarga Calloway?”
Marsha menggeleng.
Pria itu tersenyum tipis, tetapi matanya tetap dingin. “Karena aku tidak butuh istri yang penuh cinta, aku butuh seseorang yang tahu bagaimana cara bertahan.”
Jantung Marsha mencelos. Kata-kata itu seakan menegaskan bahwa pernikahan ini bukanlah kisah dongeng. Ini bukan tentang cinta. Ini realita. Dan mulai saat ini, ia adalah bagian dari dunia Sean Harris.
...***...
Hari pertama Marsha tinggal bersama Sean terasa begitu asing. Kamar yang begitu luas dan mewah tidak memberikan kenyamanan sedikit pun baginya. Langit-langit tinggi dihiasi plafon ukiran emas, dengan lampu gantung kristal Swarovski yang berkilauan di tengah. Dinding berlapis onyx hitam berkilau, memancarkan aura elegan yang dingin.
Ranjang king-size dengan headboard beludru yang dihiasi ornamen perak tampak begitu megah, sementara karpet sutra Persia yang lembut membentang di bawah kakinya. Lemari kaca dengan bingkai emas memajang koleksi parfum dan perhiasan eksklusif, menciptakan suasana seperti istana. Semua ini seperti dunia lain yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Namun, kemewahan itu tidak menghapus kegelisahan yang memenuhi dadanya.
Marsha berjalan perlahan menyusuri kamar, jemarinya menyentuh permukaan meja rias berukir. Pikirannya berputar tentang bagaimana kehidupannya ke depan. Apakah pernikahan ini benar-benar akan berjalan seperti yang ibunya harapkan? Ataukah justru menjadi awal dari penderitaan yang lebih besar?
Ia menarik napas dalam-dalam lalu duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri. Namun, keheningan itu segera buyar ketika suara pintu kamar mandi terbuka, dan Sean keluar dengan hanya handuk yang melilit pinggangnya.
Marsha spontan mendongak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat langsung dada bidang seorang pria. Otot-ototnya terbentuk sempurna, dengan butiran air masih menetes dari kulitnya yang kecokelatan. Pemandangan itu membuat Marsha membeku sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Apa yang kamu lihat?”
Suara berat Sean membuatnya tersadar. Marsha buru-buru membuang pandangannya, wajahnya memanas. Tapi sebelum ia sempat mengatur napasnya, pria itu berjalan mendekat. Jarak mereka semakin dekat hingga Marsha bisa mencium aroma maskulin dari tubuhnya.
Tanpa peringatan, Sean mengangkat dagunya, memaksanya untuk kembali menatap mata tajam itu.
Napas Marsha tercekat. Kehangatan jemari Sean di kulitnya menciptakan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Wanginya begitu memabukkan, namun ia segera mengusir pikirannya jauh-jauh. Ini bukan kisah romantis dalam novel. Ini pernikahan yang tak pernah ia inginkan.
“Kamu nggak akan nyentuh aku, kan?” suara Marsha terdengar gemetar, meski ia berusaha terlihat berani. Jauh di lubuk hatinya, ada ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan.
Sean menatapnya lama sebelum akhirnya melepaskan cengkeramannya pada dagu Marsha. Pria itu tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan.
“Kamu pikir aku tertarik menyentuh kamu?”
Marsha mengerjapkan mata, merasa tersinggung sekaligus lega. Sean kemudian berjalan menuju walk-in closet tanpa melihat ke belakang, meninggalkan Marsha yang masih terpaku di tempatnya.
...***...
Malam itu terasa panjang. Marsha sudah berbaring di ranjang, namun pikirannya masih penuh dengan pertanyaan dan kekhawatiran. Sean yang kini sudah mengenakan pakaian tidur duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya. Tidak ada percakapan di antara mereka.
Ketika akhirnya pria itu bangkit dan berjalan menuju ranjang, Marsha menegang. Namun, alih-alih naik ke ranjang, Sean justru mengambil bantal dan selimut. Ia berjalan ke arah sofa panjang di sudut kamar, lalu merebahkan dirinya di sana.
Marsha menatapnya bingung. “Kamu nggak tidur di sini?”
Sean melemparkan tatapan sekilas. “Aku nggak minat berbagi ranjang dengan wanita yang terpaksa menikah denganku.”
Hati Marsha terasa nyeri mendengar kata-kata itu. Meskipun pernikahan ini adalah paksaan, mendengar Sean mengatakannya dengan nada dingin membuatnya merasa semakin kecil.
Marsha memalingkan wajahnya, berusaha mengabaikan perasaan yang tak perlu. Ini bukan tentang cinta. Pernikahan ini adalah transaksi. Tidak ada yang perlu ia harapkan.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang perlahan tumbuh—ketidakpastian dan rasa penasaran terhadap pria itu.
Siapa sebenarnya Sean Harris? Dan bagaimana kehidupannya akan berubah setelah ini?
...***...
Marsha terbangun dengan perasaan ganjil. Matanya menyesuaikan diri dengan sinar matahari yang menerobos melalui tirai jendela besar. Ruangan ini terasa asing, terlalu luas, terlalu dingin. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok Sean, namun pria itu sudah tidak ada.
Tanpa sadar, ia menghela napas lega. Setidaknya pagi ini ia bisa bernapas tanpa harus berhadapan dengan tatapan tajamnya.
Dengan langkah malas, ia turun dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk bersiap. Hari ini ia harus kuliah. Setidaknya, rutinitas itu bisa memberinya sedikit rasa normal di tengah hidupnya yang kini tak lagi miliknya.
Namun, saat ia melangkah turun ke lantai bawah, sesuatu membuatnya tersadar—rumah ini terlalu besar hanya untuk dihuni dua orang.
Lorong panjang yang menghubungkan ruang-ruang megah terasa begitu sunyi. Setiap langkah kakinya menggema di lantai marmer yang berkilauan. Dinding tinggi berhias lukisan mahal semakin membuatnya merasa kecil dan tidak berarti.
Ia mengerutkan kening. Seingatnya, tadi malam ia tidak terlalu memperhatikan jalur yang dilewati saat masuk ke rumah ini. Ia bahkan tidak tahu di mana pintu keluar.
Sebelum kebingungannya bertambah, seorang wanita berpakaian rapi mendekatinya.
“Selamat pagi, Bu.”
Marsha tersentak. Panggilan itu terasa begitu asing.
“Pagi…” jawabnya ragu. “Aku… mau sarapan.”
Pelayan itu tersenyum sopan. “Silahkan ke ruang makan, saya akan mengantarkan.”
Marsha mengangguk dan mengikuti wanita itu menuju ruang makan yang tak kalah megah. Meja panjang dari kayu mahoni berukiran klasik berdiri kokoh di tengah ruangan, dihiasi vas bunga segar. Namun, semua kemewahan ini terasa kosong.
Ketika ia duduk, pelayan lain datang membawa sarapan. Tetapi sebelum ia sempat menyentuh makanan, wanita yang tadi kembali berbicara.
“Tadi pagi, Pak Sean menitipkan pesan untuk Bu Marsha.”
Marsha mengangkat alis. “Pesan apa?”
Wanita itu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya dan menyerahkannya. Dengan ragu, Marsha mengambilnya dan mulai membaca.
Marsha, ada beberapa hal yang harus kamu patuhi.
1. Jangan keluar rumah tanpa izinku.
2. Jika ada keperluan kuliah, beritahu supir untuk mengantar dan menjemput.
3. Jangan pernah membawa orang luar ke rumah ini tanpa persetujuanku.
4. Jika butuh sesuatu, minta pada pelayan. Mereka akan mengurusnya.
Tangan Marsha mencengkeram kertas itu erat. Seakan pernikahan ini belum cukup membuatnya merasa terkekang, kini Sean mengatur kehidupannya seperti burung dalam sangkar. Ia mendengus pelan, melipat kertas itu dengan kasar sebelum meletakkannya di meja.
“Apa ada pesan yang lain?” tanyanya sinis.
Pelayan itu menggeleng. “Cuma itu, Bu.”
Marsha menekan emosi yang hampir meluap. Ia menatap sarapannya, tetapi tiba-tiba nafsu makannya hilang.
“Di mana supirnya?” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian.
“Sedang bersiap di garasi, Bu. Saya bisa antarkan Bu Marsha ke sana selesai sarapan.”
Marsha mengangguk singkat. Saat ini, hanya ada satu hal yang bisa ia lakukan—menjalani hari seperti biasa. Meski ia tahu, tidak ada yang akan pernah sama lagi.
...***...
Perjalanan ke kampus terasa berbeda dari biasanya. Ia duduk di kursi belakang mobil mewah dengan supir pribadi, bukan lagi kendaraan umum atau tumpangan dari Maya.
Di sepanjang perjalanan, pikirannya terus dihantui peraturan Sean. Apa maksud pria itu melarangnya keluar rumah tanpa izin? Seolah ia seorang tahanan yang harus selalu diawasi.
Ia mendengus pelan. Bukan hanya pernikahan ini yang terjadi tanpa keinginannya, tetapi kini ia juga harus menjalani hidup seperti boneka dalam rumah mewah itu.
Saat mobil berhenti di depan kampus, beberapa temannya langsung menghampirinya.
“Marsha! Gila, kamu kemana saja? Kami nggak lihat kamu beberapa hari ini,” ujar Evelyn, sahabatnya.
Marsha tersenyum tipis. “Aku sibuk.”
“Eh, tapi serius, kami dengar gosip dari anak-anak fakultas hukum… beneran kamu menikah?”
Marsha membeku sejenak. Ia tahu cepat atau lambat kabar ini akan menyebar, tapi ia tidak siap membahasnya.
“Berita dari mana?” tanyanya berusaha mengalihkan.
“Jelas dari media sosial! Kalau ada acara besar, pasti ada yang membocorkannya.”
Marsha menarik napas panjang. “Iya… aku menikah.”
Dua temannya langsung membelalakkan mata.
“Serius!? Kenapa nggak bilang-bilang?”
Marsha tersenyum tipis. “Ini… pernikahan mendadak.”
Evelyn menatapnya curiga. “Kamu kelihatan nggak bahagia.”
Marsha menelan ludah. Seharusnya ia menyangkal, tetapi ia tidak bisa.
“Udahlah, Yuk masuk kelas,” ujarnya, menghindari pembicaraan lebih jauh.
Namun, bahkan saat duduk di dalam kelas, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu hal—hidupnya kini bukan lagi miliknya.
...***...
Saat kembali ke rumah, kesunyian kembali menyambutnya. Mobil berhenti di depan gerbang besar. Marsha turun dengan langkah berat. Seorang pelayan segera menyambutnya.
“Bu, Pak Sean belum pulang. Apa Bu Marsha mau makan malam sekarang atau menunggu beliau?”
Marsha melirik jam di dinding. Pukul tujuh malam.
Ia menggeleng. “Aku makan nanti aja.”
Pelayan itu mengangguk sebelum pergi, meninggalkan Marsha sendirian di ruang tamu yang luas. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa sunyinya rumah ini. Tidak ada suara lain selain detak jam dan desiran angin dari AC.
Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap halaman belakang. Taman luas dengan kolam renang membentang di hadapannya, tetapi semuanya terasa mati.
Sangkar emas. Itulah yang ia rasakan saat ini. Ia boleh hidup dalam kemewahan, tetapi hatinya terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu pertanyaan terus berputar di benaknya—apakah ia bisa bertahan dalam kehidupan seperti ini?
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!