"Akhirnya weekend juga! Masih ngantuk sih sebenernya, tapi males banget bangun. Untung hari ini nggak ada sekolah, jadi bisa rebahan seharian. Yeay!" Gumam Alyissa, masih terbenam dalam selimut tebal di kasur empuknya. Sinar matahari pagi yang cerah menerobos jendela kamarnya, tapi ia masih enggan membuka mata. Aroma kopi dan roti panggang dari lantai bawah sudah mulai menggelitik indra penciumannya, pertanda sarapan siap disajikan. Namun, panggilan alam lebih kuat.
Ia bergumam, "Ah, pipis dulu deh," sebelum beranjak dari tempat tidur. Di kamar sebelah, suara teriakan keras memecah kesunyian pagi. "Matiii! Gue kalah lagi!" Itu suara Harry, saudara kembar Alyissa yang terkenal jahil dan selalu asyik dengan game online-nya. Alyissa tersenyum geli mendengarnya. Harry memang selalu begitu, bahkan hari Minggu pun tak luput dari cengkeraman game-nya.
Setelah menyelesaikan urusan di kamar mandi—kamar mandi en-suite yang mewah, tentunya—Alyissa kembali ke kamarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya yang panjang dan berkilau, kulitnya yang putih bersih, dan matanya yang cokelat gelap membuatnya terlihat seperti seorang putri. Ia mengenakan gaun katun putih yang sederhana namun tetap membuatnya terlihat anggun. Hari ini, Alyissa memilih untuk tampil natural, tanpa riasan tebal. Kecantikan alaminya sudah lebih dari cukup.
Kemudian, Alyissa turun ke lantai bawah. Ia bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan berbakat. Ia pandai berbicara di depan umum, bahkan sudah menerbitkan beberapa buku karyanya sendiri. Sikapnya yang sedikit bandel di sekolah seringkali membuat guru-guru gemas, tetapi di balik itu semua, Alyissa adalah sosok yang baik hati dan penyayang. Ia juga memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tetapi tetap rendah hati. Ia tahu dirinya istimewa, tetapi ia tidak pernah sombong atau meremehkan orang lain. Ia juga sangat dekat dengan keluarganya, dan selalu menyempatkan waktu untuk mereka di tengah kesibukannya sebagai siswi berprestasi dan penulis muda.
Di ruang makan, keluarganya sudah duduk manis menunggunya. Alfa, ayahnya yang merupakan pemilik rumah sakit terkenal, tersenyum ramah. Almirah, ibunya yang merupakan seorang publik speaker handal, sedang asyik membaca koran bisnis. Rayyan, kakaknya yang sukses, sedang mengecek email di laptopnya. Hilmy, kakaknya yang berprofesi sebagai dokter, sibuk dengan ponselnya. Dan Harry, dengan headset masih terpasang di telinganya, masih asyik dengan game-nya.
"Pagi, sayang," sapa Almirah, meletakkan korannya dan memeluk Alyissa. Alfa mengangguk sambil tersenyum, matanya menunjukkan kebanggaan dan kasih sayang.
"Pagi, Ma, Pa," jawab Alyissa, lalu mencium pipi kedua orang tuanya. Ia menyapa Rayyan dan Hilmy, lalu duduk di samping Harry yang masih asyik dengan dunianya. Harry melepas headset-nya saat sarapan dihidangkan.
Sarapan berlangsung ramai. Rayyan bercerita tentang proyek barunya yang bikin dia begadang semalaman. Hilmy curhat tentang pasiennya yang rewel. Mama Almirah, dengan gaya bicaranya yang tegas namun tetap hangat, membahas strategi public speaking terbaru yang dia pelajari. Papa Alfa, dengan tenang, menceritakan perkembangan rumah sakitnya. Suasana hangat dan penuh canda tawa mewarnai pagi itu.
Lalu, pembicaraan beralih ke sekolah. "Gimana kabar sekolah, Har?" tanya Mama Almirah.
Harry tertawa, "Biasa aja, Ma. Bosen banget sih, banyak banget PR. Terus... Yis lagi-lagi bikin ulah di sekolah!" Ia melirik Alyissa dengan senyum jahil.
Alyissa hanya diam, sedikit kesal.
"Ulah? Apa lagi yang Yis lakukan?" tanya Papa Alfa, alisnya sedikit terangkat.
"Dia hampir di-skors, Pa! Untung aja guru BK-nya baik," kata Harry, masih tertawa.
Alyissa menghela napas. "Itu cuma salah paham, kok."
Mama Almirah menatap Alyissa dengan tatapan tajam. "Salah paham? Ceritakan semuanya, Yis."
Alyissa menjelaskan kejadian yang sudah ia perbuat, ia menceritakan sedikit detail namun ada beberapa cerita yang ia kurangin agar orang tuanya tidak marah padanya, ia sambil melirik harry dengan sinis.
"Nih orang nyebelin banget sih! " batinnya.
Setelah menjelaskan kejadian di sekolah, suasana sedikit mereda. Mama Almirah memberikan nasihat bijak kepada Alyissa, sementara Papa Alfa mengingatkannya akan pentingnya tanggung jawab. Rayyan, seperti biasa, memberikan komentar singkat dan lugas, sementara Hilmy hanya mengangguk-angguk, sesekali melirik ke arah Harry yang masih menyeringai. Suasana sarapan kembali cair.
Tiba-tiba, Rayyan tertawa kecil. "Eh, Yis, inget nggak waktu kamu manggil Hilmy di koridor?"
Alyissa langsung cemberut. Pipinya memerah. Kejadian itu masih membekas di pikirannya. Ia salah mengira seorang dokter muda yang mirip Hilmy adalah kakaknya. Ia sudah meminta maaf, tetapi rasa malunya masih belum hilang. Mama Almirah ikut tertawa, geli melihat ekspresi Alyissa yang memerah.
"Waktu itu kocak banget, deh," kata Harry, ikut tertawa. "Mukanya Yis waktu tahu itu bukan Hilmy… nggak bisa digambarkan!"
Hilmy menambahkan, "Iya, bener! Dia langsung panik, terus minta maaf berkali-kali."
Alyissa semakin cemberut. Ia merasa malu sekali. "Kok Mama malah ikut ketawa sih?" protesnya, suaranya terdengar agak manja.
Mama Almirah berhenti tertawa, lalu mengusap lembut lengan Alyissa. "Maaf, sayang. Tapi memang lucu, kok. Kamu itu terlalu polos."
Alyissa masih cemberut. Ia berdiri dengan wajah manyun, lalu berlalu pergi menuju kamarnya.
Di dalam kamarnya, Alyissa menghempaskan tubuhnya ke kasur. "Ih, kesel banget sih! Masa iya gue salah orang. Malu banget gue! Gimana kalau dia ngira gue gila? Aduh, mana muka gue merah banget lagi. Pasti keliatan banget kalau gue lagi malu. Gimana sih! Kok bisa-bisanya gue salah orang. Dokter muda itu ganteng sih, tapi bukan Hilmy, bego banget gue!" Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. "Besok gue harus teliti lagi. Duh, bikin malu aja!"
Tak lama kemudian, Mama Almirah mengetuk pintu kamar Alyissa. "Sayang, boleh Mama masuk?"
Alyissa mengizinkan, dan Mama Almirah masuk, membawa secangkir cokelat hangat. "Ini, sayang. Minum dulu. Mama tahu kamu lagi kesal. Tapi, nggak papa kok salah mengira orang. Semua orang pernah melakukan kesalahan." Mama Almirah memeluk Alyissa, menenangkannya. "Kamu itu anak yang baik dan pintar. Jangan terlalu memikirkan hal kecil seperti ini, ya?"
Alyissa bersandar di pelukan ibunya, sedikit tenang. Ia tahu, keluarganya selalu ada untuknya, meskipun ia seringkali bersikap manja dan membuat mereka khawatir.
Alyissa masih bersandar di pelukan ibunya, menyesap cokelat hangat. Perlahan, amarahnya mereda. Ia merasa bersyukur memiliki keluarga yang begitu menyayanginya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka tanpa permisi. Harry masuk dengan santainya, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. "Eh, Yis, masih ngambek?" tanyanya, sambil melihat sekeliling kamar Alyissa.
Kamar Alyissa memang sangat mewah. Dindingnya dicat dengan warna pink pastel yang lembut, dihiasi dengan berbagai aksesoris lucu dan feminin. Kasur besar dengan seprai sutra berwarna putih bersih terletak di tengah ruangan. Lemari pakaiannya penuh dengan baju-baju branded. Meja rias yang besar dan elegan dilengkapi dengan cermin besar dan berbagai macam kosmetik berkualitas tinggi. Singkatnya, kamar Alyissa adalah surga bagi seorang remaja perempuan.
"Ih, keluar, Har! Nggak sopan banget sih masuk kamar orang tanpa izin!" Alyissa sedikit kesal, tetapi amarahnya sudah jauh berkurang.
Harry mengabaikan protes Alyissa. Ia mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. "Nih, lihat! Dafa lagi selfie sama fansnya."
Alyissa langsung mengambil ponsel Harry. Foto itu menunjukkan Dafa, kekasihnya, sedang tersenyum lebar bersama seorang gadis cantik. Gadis itu terlihat sangat akrab dengan Dafa, dan Alyissa merasa sedikit cemburu. Dafa dan Alyissa memang berpacaran, tetapi mereka bersekolah di tempat yang berbeda, dan hubungan mereka dirahasiakan. Alyissa khawatir Dafa akan dekat dengan gadis lain. Apalagi, hubungan mereka tergolong backstreet.
"Ih, siapa dia?" tanya Alyissa, suaranya terdengar sedikit cemburu.
"Nggak tahu. Mungkin fansnya," jawab Harry, santai. "Tapi, dia cantik juga, ya? Eh, hubungan private kok dilarang cemburu?" Harry menyindir Alyissa dengan senyum jahil.
Alyissa langsung ngambek. "Ih, kamu mah selalu bikin aku kesal!" Ia melempar bantal ke arah Harry.
Harry tertawa. "Santai aja, Yis. Mungkin cuma teman Dafa. Lagian, kamu kan punya aku. Aku selalu ada buat kamu," katanya, sambil bercanda.
Sebelum Alyissa sempat membalas atau menelepon Dafa, ponselnya berdering. Nama Dafa terpampang di layar. Alyissa pura-pura tenang, meskipun jantungnya berdebar-debar. Ia menjawab panggilan itu dengan suara yang sebisa mungkin dibuat biasa saja, menahan gejolak cemburu
… “Halo?” sapa Alyissa, berusaha terdengar santai, meskipun jantungnya berdebar-debar. Ia pura-pura tidak melihat foto yang baru saja dilihatnya, berusaha agar suaranya terdengar tenang.
Dari seberang sana, suara Dafa terdengar. "Cil, lagi apa?" sapa Dafa, panggilan sayang yang hanya Dafa gunakan untuk Alyissa.
Alyissa hanya berdeham, masih menahan gejolak cemburu. Ia diam, tidak menjawab pertanyaan Dafa.
Dafa melanjutkan, "Cil, kok diem aja? Kamu marah ya?"
Alyissa tetap diam, cemberut. Ia masih menatap foto Dafa dan gadis itu di ponsel Harry. Harry sendiri sibuk dengan ponselnya, pura-pura tidak memperhatikan.
Dafa mencoba lagi, "Cil, aku tanya lagi, kamu marah ya? Ada apa?" Suaranya terdengar khawatir.
Alyissa masih diam. Ia memutar-mutar ujung rambutnya, masih menahan rasa cemburu dan kesal. Ia ingin sekali mengungkapkan kekesalannya, tetapi ia juga ragu. Apakah ia berlebihan? Mungkin hanya teman Dafa. Tapi tetap saja, ia merasa tidak nyaman melihat kedekatan mereka.
Keheningan masih menyelimuti percakapan mereka. Dafa menunggu jawaban Alyissa dengan sabar, khawatir kekasihnya sedang marah. Suasana tegang terasa di antara mereka, hanya diselingi oleh suara-suara samar dari sekitar Alyissa dan suara detak jantungnya sendiri yang terasa berdebar kencang.
Keheningan masih menyelimuti percakapan mereka. Detik-detik terasa begitu panjang. Dafa menunggu jawaban Alyissa dengan sabar, khawatir kekasihnya sedang marah. Suasana tegang terasa di antara mereka, hanya diselingi oleh suara-suara samar dari sekitar Alyissa dan suara detak jantungnya sendiri yang terasa berdebar kencang. Akhirnya, Alyissa angkat bicara, suaranya pelan dan sedikit bergetar.
"Itu... siapa di foto itu, Daf?" tanyanya, berusaha agar suaranya tidak terdengar terlalu cemburu.
Dafa terdiam sejenak. Ia tahu Alyissa sedang cemburu. Ia sudah menduga Alyissa akan bertanya tentang foto itu. "Itu… fans aku, Cil. Dia minta foto bareng waktu aku lagi di sekolah," jelas Dafa, kali ini jujur. Ia tidak menyembunyikan fakta bahwa gadis itu adalah teman sekolahnya.
Alyissa langsung mengerutkan kening. "Fans? Di sekolah? Kok kayak deket banget?" Ia masih belum sepenuhnya percaya. Rasa cemburu masih menguasainya. Ia membayangkan berbagai skenario, dan semuanya buruk.
Dafa menghela napas panjang. "Iya, Cil. Dia emang fans aku. Serius, aku nggak bohong. Dia sering minta foto, terus kadang ngobrol juga. Tapi cuma sebatas itu kok. Aku nggak pernah jalan sama dia di luar sekolah."
Tiba-tiba, Harry menyela dari belakang, "Cie… yang lagi teleponan sama pacar. Pacar backstreet pula! Dan ternyata pacarnya punya fans di sekolah!" Ia tertawa geli melihat ekspresi Alyissa yang semakin cemberut.
Dafa ikut tertawa mendengar ledekan Harry. "Diem, Har! Biar aku jelasin sama Si Bocil."
Alyissa semakin cemberut. "Gak ada yang lucu!" katanya, suaranya terdengar kesal. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya, masih menahan rasa kesal dan cemburu. Ia membayangkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi.
Harry tertawa puas. "Wah, gagal PDKT nih. Mungkin kamu harus lebih romantis, Dafa," katanya, masih tertawa.
Alyissa mengabaikan Harry dan kembali merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia merasa kesal dengan Dafa, juga dengan Harry yang selalu saja menambah masalah. Ia memeluk guling kesayangannya, berusaha menenangkan diri. Pikirannya dipenuhi bayangan Dafa dan gadis itu yang akrab di sekolah.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Alyissa kembali terbuka. Kali ini, bukan Harry yang masuk, tetapi Mama Almirah. Ia membawa secangkir cokelat hangat dan sepotong kue favorit Alyissa.
"Sayang, masih ngambek?" tanya Mama Almirah lembut, sambil meletakkan cokelat dan kue di meja rias.
Alyissa hanya diam, masih cemberut. Mama Almirah duduk di tepi kasur, mengelus rambut Alyissa dengan lembut. "Kamu tahu, sayang. Kadang-kadang, cemburu itu wajar. Tapi, jangan sampai cemburu itu merusak hubungan kamu dan Dafa. Dia sayang banget sama kamu, kok."
Mama Almirah melanjutkan, "Coba kamu pikir lagi. Mungkin Dafa benar. Dia nggak mungkin selingkuh. Tapi kamu harus bicara baik-baik sama dia. Jelaskan kekhawatiranmu."
Alyissa terdiam, memikirkan kata-kata ibunya. Perlahan, rasa kesalnya mulai mereda. Ia merasa perlu bicara langsung dengan Dafa, bukan hanya melalui telepon. Ia perlu melihat mata Dafa dan memastikan kejujurannya.
Mama Almirah kembali memeluk Alyissa. "Sekarang, minum cokelat hangat ini. Nanti, kamu cari Dafa. Bicara baik-baik ya, sayang."
Alyissa mengangguk, sedikit tersenyum. Ia merasa lebih tenang setelah dihibur Mama Almirah. Ia mengambil cokelat hangat dan kue, kemudian memutuskan untuk pergi menemui Dafa.
Alyissa memutuskan untuk bertemu Dafa di sebuah kafe yang cukup terkenal di kota mereka. Ia ingin mendengar klarifikasi langsung dari Dafa mengenai foto itu.
Alyissa terlihat sangat cantik. Ia mengenakan dress berwarna baby blue yang sangat pas di tubuhnya, dipadukan dengan sepatu hak tinggi berwarna putih. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, menambah kesan anggun pada penampilannya. Ia juga memakai aksesoris yang tepat, sehingga penampilannya terlihat sempurna. Mobil mewah milik keluarganya mengantarnya ke kafe, dengan supir pribadi yang membukakan pintu mobil untuknya. Alyissa terlihat begitu percaya diri dan elegan. Ia ingin terlihat terbaik di depan Dafa, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa cemburu dan khawatir.
Sesampainya di kafe, Alyissa langsung menuju meja yang sudah dipesan Dafa. Dafa sudah menunggu dengan sabar. Ia terlihat sangat tampan dan elegan. Dafa mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan outer berwarna abu-abu gelap yang stylish. Celana jeans berwarna gelap dan sepatu sneakers putih menambah kesan kasual namun tetap terlihat rapi dan modis. Penampilannya mencerminkan gaya anak muda yang up-to-date, namun tetap sopan dan menawan. Ia terlihat sedikit gugup, tetapi tetap tersenyum ramah ketika Alyissa datang.
"Hai, Cil," sapa Dafa, sambil berdiri menyambut Alyissa. Matanya langsung tertuju pada Alyissa, dan ia langsung memuji, "Kamu… cantik banget, Cil. Bener-bener cantik banget!"
Alyissa tersenyum tipis, pipinya merona mendengar pujian Dafa. Lalu ia duduk di hadapan Dafa. "Hai," jawabnya, masih sedikit ragu.
Dafa langsung memulai penjelasannya. "Cil, aku mau jelasin soal foto itu. Aku jujur, itu fans aku, temen sekolahan. Tapi… itu foto terakhir aku di sekolah lama."
Alyissa mengerutkan kening, bingung. "Maksudnya?"
Dafa menghela napas. "Aku… aku pindah sekolah, Cil. Ke sekolah kamu."
Alyissa tercengang. Ia tidak menyangka sama sekali. "Hah? Serius?"
Dafa mengangguk. "Iya, serius. Aku mau kasih surprise ke kamu. Aku sengaja nggak bilang sebelumnya karena aku mau kasih kejutan."
Alyissa terdiam, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Ia merasa sedikit malu karena telah salah paham dan cemburu. Ia tidak menyangka bahwa Dafa pindah sekolah hanya untuk bisa lebih dekat dengannya. Ia merasa bersalah karena telah mencurigai Dafa.
Dafa melanjutkan, "Aku tahu, kamu pasti cemburu lihat foto itu. Maaf ya, Cil. Aku nggak ada niat apa-apa sama dia. Aku cuma mau kasih kamu surprise yang spesial."
Alyissa tersenyum, rasa cemburunya sedikit sirna tergantikan dengan rasa haru. Ia merasa sangat beruntung memiliki Dafa. "Jadi, itu… kamu pindah sekolah cuma buat aku?" tanyanya, masih sedikit tidak percaya.
Dafa mengangguk lagi, sambil tersenyum tulus. "Iya, Cil. Buat kamu."
...****************...
Alyissa menggenggam tangan Daf, merasakan kehangatannya. "Gak papa, Daf," jawabnya, sambil senyum. "Aku seneng banget. Tapi… ada satu hal yang pengen aku omongin."
Daf mengerutkan dahi sedikit. "Apa, Cil?"
Alyissa menghela napas. "Aku… aku mikir, mungkin sebaiknya kita sembunyiin dulu hubungan kita, setidaknya buat sementara."
Daf agak kaget. "Hah? Kenapa harus disembunyiin? Jangan-jangan kamu udah nggak suka lagi sama aku, ya?" Dia pura-pura cemberut.
Alyissa buru-buru jelasin. "Bukan gitu, Daf! Aku masih suka banget sama kamu. Tapi… aku mikir tentang fans kamu, dan juga media."
Daf masih cemberut. "Terus? Kenapa harus disembunyiin gara-gara mereka?"
Alyissa lanjutin penjelasannya. "Kamu kan artis terkenal, Daf. Punya banyak banget fans yang suka banget sama kamu. Kalo hubungan kita ketauan, aku takut mereka kecewa, mungkin malah benci sama kamu. Aku juga takut media bakal heboh banget, dan itu bisa bikin reputasi kamu jelek."
Daf diem sebentar, mikir ucapan Alyissa. Dia ngerti kekhawatiran Alyissa. Dia juga tau pentingnya menjaga image di mata fans dan media.
"Jadi, kamu mau kita sembunyi-sembunyi biar nama baikku tetep aman?" tanya Daf, masih agak cemberut, tapi udah nggak separah tadi.
Alyissa angguk. "Iya, Daf. Aku nggak mau kamu kehilangan fans gara-gara aku. Aku juga nggak mau reputasi kamu rusak gara-gara kita."
Daf menghela napas panjang. "Aku ngerti kok, Cil. Oke deh, gimana caranya kita tetep bisa pacaran, tapi hubungan kita tetep rahasia?"
Alyissa senyum lega. Seneng Daf ngerti dan mau kerja sama. "Kita bisa janjian ketemu diam-diam aja, terus harus hati-hati banget kalo lagi di tempat umum. Jangan sampe foto bareng di sosmed juga."
Daf angguk setuju. "Oke, deal. Kita tetep pacaran, tapi hubungan kita rahasia dulu. Tapi, Cil…" Daf deketin wajahnya ke Alyissa. "Janji ya, kamu nggak bakal ninggalin aku?"
Alyissa senyum. "Janji, Daf. Aku nggak bakal ninggalin kamu, takut amat."
"Yaiyalah, kan kamu pacar semata wayangku" tawanya
Alyissa pun menceritakan kembali kronologi kejadian, dari awal ia melihat foto tersebut hingga ia bertemu Daf di kafe. Ia menceritakan kekhawatiran dan kesalahpahamannya dengan detail, dan Daf mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia sesekali menyela untuk bertanya, menunjukkan ketertarikannya pada cerita Alyissa
...****************...
Setelah Alyissa selesai bercerita, Daf menghela napas lega. "Untungnya udah kelar semuanya. Gimana kalo aku traktir kamu makan? Kamu mau apa?"
Alyissa langsung memasang wajah berpikir keras, menggerakkan-gerakkan bibirnya seolah sedang menghitung sesuatu. "Hmm… aku mau… es krim! Dua! Yang rasa cokelat sama stroberi!" ujarnya, dengan nada manja khas anak kecil.
Dafa tertawa melihat tingkah Alyissa yang seperti bocil. "Lucu amat, Cil," katanya, sambil menggelengkan kepala. Ia ingin sekali memegang pipi Alyissa yang terlihat memerah karena malu dan gembira, tapi ia urungkan niatnya. "Eh, jangan-jangan nanti kena terkena jerawat kecilnya yang hanya satu,nanti ngomel."
Alyissa langsung memasang wajah cemberut. "Ih, Daf! Aku lagi perawatan tau!" ujarnya, menggerutkan hidungnya.
Dafa kembali tertawa. "Iya, iya. Aku cuma bercanda, Cil." Ia mengulurkan tangannya, mengusap lembut rambut Alyissa. "Kamu ini, kadang-kadang kayak anak kecil banget."
Alyissa tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Ya gimana dong, aku kan emang masih kecil di hati Daf." Ujarnya, dengan nada sedikit usil.
Dafa terkekeh. "Iya deh, iya. Kamu emang masih kecil di hati aku." Ia meraih menu makanan, menawarkan berbagai pilihan makanan dan minuman kepada Alyissa. "Sekarang, kita pesan makanan. Kamu mau makan apa lagi selain es krim?"
Alyissa kembali memasang wajah berpikir keras, menggerakkan-gerakkan bibirnya lagi. Ia tampak sangat menikmati momen ini, bertingkah seperti anak kecil yang sedang memilih mainan kesukaannya. Dafa hanya bisa tersenyum melihat tingkah Alyissa yang menggemaskan. Ia merasa sangat beruntung memiliki Alyissa, gadis yang mampu membuatnya tertawa dan merasa bahagia. Ia tidak pernah menyangka bahwa kesalahpahaman yang terjadi justru membawa mereka pada momen-momen indah seperti ini.
...****************...
Setelah menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, Daf dan Alyissa memutuskan untuk pulang. Di perjalanan pulang, Daf menerima telepon dari bundanya, Bunda Shakira.
"Halo, Bun," sapa Daf.
"Daf, bunda kangen banget sama Alyissa. Kapan-kapan Alyissa main ke rumah ya?" Suara Bunda Shakira terdengar ramah dan hangat dari seberang telepon.
Daf tersenyum mendengar suara bundanya. "Iya, Bun. Nanti aku bilang ke Cil."
Setelah menutup telepon, Daf menoleh ke Alyissa. "Bunda kangen banget sama kamu, Cil. Besok kamu mau main ke rumah nggak?"
Alyissa tersenyum. "Mau banget, Daf! Aku juga kangen sama Bunda Shakira."
"Selesai sekolah ya" senyumnya Dafa membuat Alyissa meleleh.
"Yaudah bye! " sapanya. Hari ini adalah moment dimana mereka menghabiskan waktu yang cukup panjang dan menyenangkan. Alyissa sangat Ceria. Ia langsung Lompat lompat dan bernyanyi sepanjang Ia berjalan.
"Aaaaa… jam berapa sih ini?!" Alyissa mengucek matanya, suara ngantuk masih terdengar jelas. Matahari sudah cukup tinggi di langit, menerobos celah tirai kamarnya yang mewah. Ruangannya, meski tak dijelaskan detailnya, jelas menunjukkan kemewahan yang biasa dinikmati Alyissa. Lemari pakaiannya, yang penuh dengan gaun-gaun dan aksesoris desainer, menjadi saksi bisu kebiasaannya yang sering telat.
Dengan nada manja dan sedikit ngomel, Alyissa bergumam, "Mamaaa… Papaaa… kok nggak dibangunin sih?! Alyissa kan mau sekolah! Kan Alyissa udah bilang mau berangkat jam tujuh!" Ia meraih ponselnya, melihat jam yang menunjukkan pukul setengah delapan. "Duh, telat banget! Gimana ini? Nanti dimarahin Bu Anita lagi…"
Alyissa langsung menuju kamar mandinya. Rutinitas pagi Alyissa tidaklah singkat. Ia memulai dengan membersihkan wajahnya dengan rangkaian skincare mewahnya. Pertama, cleansing milk beraroma lavender yang lembut, lalu toner yang menyegarkan, dan serum anti-aging yang mahal. Setelah itu, ia menggunakan pelembap yang ringan dan tabir surya dengan SPF tinggi. Proses ini ia lakukan dengan teliti, memastikan setiap produk meresap sempurna ke kulitnya.
Setelah mandi dan mengeringkan rambutnya, Alyissa memilih outfit sekolahnya: rok span abu-abu yang cukup ketat, kemeja putih yang dipadukan dengan blazer merah muda pastel, dan sepatu sneakers putih bersih. Rok span itu menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Ia mengenakan stocking tipis berwarna hitam. Setelah itu, ia memilih jam tangannya: sebuah jam tangan berbahan emas putih dengan tali kulit berwarna putih. Ia memasangkannya dengan hati-hati di pergelangan tangannya. Sentuhan akhir adalah jepit rambut kecil berhias berlian yang disematkan di rambut panjangnya yang tergerai.
Proses berdandan ini memakan waktu cukup lama. Ia merias wajahnya dengan natural, hanya menggunakan bedak, blush on, dan lip gloss. Ia memastikan penampilannya sempurna sebelum turun ke lantai bawah.
Saat turun ke lantai bawah, pemandangan yang dilihatnya membuatnya mengerutkan dahi. Ruang makan yang biasanya ramai, kini sepi. Hanya ada Harry, saudara kembar Alyissa, yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Di meja makan, sudah terhidang sarapan yang tertata rapi: roti panggang, selai stroberi, dan segelas susu hangat. Semua disiapkan oleh Bibi Ida, yang terlihat sedang membersihkan meja di dekatnya.
Harry, dengan senyum jahil, duduk di meja makan sambil menikmati sarapannya. "Pagi, Yis! Bibi Ida udah siapin sarapan kesukaanmu. Untung Bibi Ida baik banget, ya?" ledek Harry. "Baru bangun, ya? Aku udah siap dari setengah jam yang lalu. Mama sama Papa lagi sibuk, katanya ada acara penting. Kakak-kakak juga udah berangkat duluan. Untung ada aku, jadi kamu nggak sendirian sarapannya." Ia melirik rok Alyissa sekilas, lalu tersenyum jahil. "Rok barumu? Cukup... menonjolkan lekuk tubuhmu, ya?"
Alyissa mendengus kesal. "Ih, kamu mah ngeledek aja! Mama sama Papa kok nggak ngingetin sih? Ini semua gara-gara mereka!" Ia mengambil sepotong roti panggang dan selai stroberi kesukaannya, melahapnya dengan cepat. Ia melirik Bibi Ida sekilas, lalu tersenyum kecil sebagai tanda terima kasih.
Bibi Ida tersenyum lembut. "Makan yang banyak, Nona Alyissa. Jangan sampai sakit."
Alyissa mengangguk, lalu kembali fokus pada sarapannya. Harry tertawa. "Sabar, Yis. Lagian, kamu kan biasa telat. Mungkin mereka udah pasrah." Ia menunjuk ke arah jam dinding yang besar dan mewah. "Cepetan, nanti makin telat!"
Alyissa, meski kesal, buru-buru menghabiskan sarapannya. Ia pamit pada Bibi Ida, lalu bergegas menuju mobil yang sudah menunggu di depan rumah. Hari ini, sepertinya akan menjadi hari yang panjang dan sedikit kacau bagi Alyissa.
Alyissa mengambil sepotong roti panggang dan selai stroberi kesukaannya, melahapnya dengan cepat sambil sedikit mengomel. Ia hanya sempat mengangguk sekilas pada Bibi Ida sebagai tanda terima kasih.
Tanpa banyak basa-basi, Alyissa dan Harry bergegas keluar rumah. Sebuah mobil mewah, dengan sopir pribadi yang sudah menunggu, siap mengantar mereka ke sekolah. Selama perjalanan, Alyissa masih sedikit mengomel karena keterlambatannya, sementara Harry hanya tertawa melihat kekacauan pagi sang kembaran.
Di dalam mobil mewah, AC-nya dingin banget, tapi aku masih sibuk sama skincare. Masih pake lip balm, belum selesai! Sambil itu, aku lagi VC-an sama Dafa.
"Hai Daf! Aku telat banget nih! Gara-gara Mama sama Papa nggak bangunin!" kataku ke Dafa di HP, sambil mengoleskan lip balm.
Eh, si Harry langsung nyeletuk, "Telat lagi, Yis? Biasalah, si ratu telat." Dia tertawa lepas. "Liat deh, masih aja pake lip balm di mobil. Ntar kena macet, make up-mu luntur semua!"
Aku manyun. "Biarin! Emang kenapa? Aku harus selalu tampil sempurna, kan?" Aku lanjutin VC sama Dafa, cuek aja sama Harry.
"Eh, Daf, liat nih rok aku. Keren banget, kan? Ketatnya pas banget!" Aku agak manyun, memamerkan rok span abu-abu-ku.
"Keren sih, Yis, tapi... jangan pake rok ketat terus dong! Nanti nggak enak diliat," tegur Dafa di layar HP. "Lagian, nggak nyaman juga kan?"
Aku mengernyit. "Ih, Daf, kok gitu sih? Ini rok kesukaanku!"
Harry langsung nimpalin, "Iyalah, kesukaan kamu. Soalnya keliatan banget lekuk tubuhnya!" Dia ketawa lagi.
Aku melotot ke Harry. "Diem, Har! Kamu nggak usah ikut campur!" Aku balik ke Dafa. "Iya deh, Daf, besok-besok aku coba pake rok yang lebih longgar."
Dafa tersenyum lega. "Nah, gitu dong. Yang penting nyaman dan tetap kece, kan?"
Sepanjang perjalanan, Harry masih terus ngeledekin aku, tapi kali ini aku nggak terlalu ambil pusing. Peringatan Dafa bikin aku mikir juga. Mungkin dia benar. Meskipun aku suka rok ketat, kenyamanan juga penting. Tapi, yaaa… mungkin besok aja deh aku ganti roknya.
Matahari pagi menyinari lapangan upacara sekolah. Aku, Jasver, Ketua OSIS, berdiri tegak di barisan paling depan, mengamati siswa-siswi yang mengikuti apel pagi. Seragam putih abu-abu mereka terlihat rapi, kecuali satu orang yang baru saja datang terlambat: Alyissa. Ah, Alyissa. Gadis cantik itu memang terkenal dengan kebiasaan telatnya yang luar biasa, namun ia terkenal dengan publik speaking dan multitalentnya. Di sekolah ini, hukuman bagi yang terlambat sudah terkenal kejamnya. Bu Anita, guru BK yang tegas, tak segan-segan memberikan hukuman yang bikin kapok.
Aku melirik Alyissa yang berlari terengah-engah menuju lapangan. Rambutnya yang panjang sedikit berantakan, tapi tetap saja ia terlihat cantik. Ia mengenakan rok span abu-abu yang cukup ketat, kemeja putih, dan blazer merah muda pastel. Gayanya memang selalu modis, walau terkadang sedikit terlalu mencolok.
Alyissa langsung menuju tempat barisan kelasnya. Namun, sebelum sampai, ia beradu mulut dengan Harry, saudara kembarnya. Aku bisa mendengar suara mereka dari kejauhan. Ternyata, mereka bertengkar karena Alyissa telat, membuat Harry harus menunggunya lama. Alyissa terlihat kesal, sementara Harry terlihat jengah. Mereka berbisik-bisik, tapi raut wajah mereka menunjukkan pertengkaran kecil yang biasa terjadi di antara mereka.
Setelah apel pagi selesai, Bu Anita memanggil Alyissa untuk menerima hukumannya. Aku menghela nafas. Alyissa memang cantik, tapi kebiasaan telatnya itu benar-benar merepotkan.
Selesai apel pagi, aku menuju ruang OSIS. Aku duduk di kursiku, menatap cermin kecil yang ada di mejaku. Aku merapikan rambutku sebentar. Aku memang selalu memperhatikan penampilan. Sebagai Ketua OSIS, aku harus selalu terlihat rapi dan berwibawa.
Aku punya banyak penggemar di sekolah ini. Wajahku memang cukup tampan. Banyak yang memuji mataku yang berwarna cokelat tua dan indah, bulu mataku yang lentik, alis tebal yang membentuk bingkai sempurna untuk mataku, hidung mancung yang menambah ketampananku, dan bibir yang penuh dan sensual. Aku selalu menjaga penampilan, bukan hanya karena aku ketua OSIS, tapi juga karena aku percaya diri dengan ketampananku. Aku selalu merasa nyaman dengan diriku sendiri. Itulah mengapa aku selalu tampil kece, ganteng, dan keren. Aku yakin, penampilan yang rapi dan menarik bisa memberikan kesan positif kepada orang lain. Itulah mengapa aku selalu berusaha untuk menjaga penampilan sebaik mungkin.
Hari ini, aku mengenakan seragam OSIS dengan rapi. Aku selalu memastikan setiap detailnya sempurna. Aku ingin menjadi contoh yang baik bagi siswa-siswi lain. Sebagai Ketua OSIS, aku harus menjadi panutan. Bukan hanya dalam hal prestasi akademik, tapi juga dalam hal penampilan dan kepribadian.
Setelah apel pagi selesai, Bu Anita memanggilku. "Jasver," katanya, "Alyissa, Harry, dan Salwa terlambat. Kamu yang urus hukumannya."
Aku mengangguk. Aku tahu hukuman untuk keterlambatan: jalan jongkok 15 kali. Aku menghampiri Alyissa, Harry, dan Salwa yang berdiri di pinggir lapangan, wajah mereka tampak was-was.
"Alyissa, Harry, Salwa," kataku tegas, "kalian bertiga terlambat. Hukumannya jalan jongkok 15 kali masing-masing."
Salwa langsung mulai jalan jongkok dengan wajah cemberut. Harry menghela nafas panjang, lalu mulai mengikuti. Tapi Alyissa? Dia malah melotot padaku.
"Apa?! Jalan jongkok 15 kali?! Gila aja, Kak Jas! Aku nggak mau!" suaranya tinggi, menarik perhatian beberapa siswa lain.
Aku berusaha tenang. "Itu aturannya, Yis. Kamu harus bertanggung jawab atas keterlambatanmu."
"Tapi… ini nggak adil! Salwa cuma disuruh bersih-bersih perpustakaan, kemarin. sekarang giliranku dong! Aku capek, lho!" Alyissa masih mengomel, matanya berkaca-kaca. Ia tampak benar-benar kesal.
"Yis, sudahlah. Lakukan hukumanmu," kataku sabar. "Ini demi ketertiban sekolah."
"Ketertiban sekolah? Atau cuma karena kamu nggak suka aku telat lagi?!" suaranya meninggi. "Kamu kan suka banget ngatur-ngatur! Sok ganteng banget jadi ketua OSIS!"
Aku sedikit terkejut dengan kata-katanya yang kasar. "Yis, bahasa kamu!"
"Biarin! Aku kesel! Ini semua gara-gara Harry! Dia lama banget!" Ia menunjuk Harry yang sedang jalan jongkok dengan wajah pasrah.
Aku menghela nafas. "Yis, sudahlah. Lakukan hukumanmu. Kalau kamu terus berdebat, hukumannya bisa ditambah."
Alyissa masih menggerutu, tapi akhirnya ia mulai jalan jongkok. Sepanjang hukuman, ia terus mengomel, mengkritik peraturan sekolah, dan bahkan sempat menghina penampilan seragam OSISku. Aku hanya berusaha menahan kesabaranku. Setelah selesai, ia langsung pergi tanpa pamit, meninggalkan Harry dan Salwa yang masih menyelesaikan hukuman mereka. Aku menghela nafas panjang. Mengatur Alyissa dan teman-temannya memang pekerjaan yang cukup melelahkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!