selamat membaca guys ❤️ ❤️ 🐸 ❤️ ❤️ ❤️
******
Suara ayam berkokok nyaring terdengar dari kejauhan, diiringi gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Aroma tanah basah bercampur dengan anyaman bambu memenuhi udara. Matahari mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kecil yang hanya di tutupi kain tipis.
Maya mengerjapkan mata nya, kepala nya terasa berat, seolah baru saja mengalami mimpi panjang yang aneh. Tubuh nya terasa lemah dan sedikit nyeri, seperti baru saja mengalami benturan keras. Dengan susah payah, ia mengangkat tangan dan menatap jari-jari nya. Kulit nya lebih halus, lebih kecil dari yang biasa ia lihat setiap hari.
Ada yang tidak beres.
Panik, ia segera mencoba bangun dari tempat tidur. Namun, tubuh nya terasa lebih ringan dan berbeda. Mata nya menyapu ruangan kecil di sekeliling nya. Dinding kayu, ranjang sederhana beralaskan tikar kasar, lemari tua, dan sebuah meja kayu kecil di sudut ruangan. Tidak ada perabot modern, tidak ada ponsel, tidak ada AC atau lampu LED.
Di mana ini?
Napas nya mulai memburu. Ini jelas bukan apartemen nya di Jakarta. Apakah aku di culik? pikir nya ketakutan. Tapi tidak, ini bukan seperti rumah orang kaya atau tempat persembunyian kriminal. Semua nya tampak terlalu sederhana, seperti di desa.
Ia melangkah perlahan ke arah cermin kecil yang tergantung di dinding. Dengan tangan gemetar, ia menatap pantulan diri nya.
Jantung nya hampir berhenti berdetak.
Wajah di cermin bukanlah wajahnya.
Wanita muda dengan rambut panjang hitam tergerai, kulit kuning langsat, dan mata besar yang tampak sendu menatap balik pada nya. Bibir nya mungil, hidung nya lebih kecil dari milik nya. Tidak ada tanda-tanda wajah Maya yang biasa ia lihat setiap hari.
“Apa ini…?” bisik nya pelan, dada nya terasa sesak.
Ia mengangkat tangan nya, menyentuh wajah di cermin itu. Wajah yang terasa asing, tetapi gerakan yang ia lakukan seolah sinkron dengan bayangan nya sendiri.
Panik, Maya memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu—apa yang terjadi sebelum ini?
Aku pulang kerja…
Ia mengingat hujan deras, jalanan yang macet, dan suara klakson mobil yang bersahut-sahutan. Ia mengingat cahaya terang yang tiba-tiba menyilaukan mata nya, suara rem mendecit keras, lalu tubuh nya yang terpental. Setelah itu—gelap.
Ia tersentak. Kecelakaan! Aku kecelakaan!
Tubuh nya bergetar hebat. Apakah ini dunia setelah kematian? Tapi tidak, semua nya terasa nyata. Ia bisa merasakan sakit, dingin, bahkan aroma tanah yang khas dari luar bilik ini.
Maya menelan ludah. Jangan bilang aku… transmigrasi?
Pikiran itu begitu absurd, tapi semua petunjuk yang ada mengarah ke sana. Ini bukan tubuh nya, bukan rumah nya, dan jelas bukan dunianya. Ia tidak mungkin hanya sekadar bermimpi.
Sebelum ia sempat mencerna semua nya, ketukan di pintu membuat nya tersentak.
“Riani, kamu sudah bangun?”
Maya menahan napas. Nama nya… Riani?
Pintu terbuka, dan seorang wanita paruh baya masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia mengenakan kebaya sederhana dengan kain batik melilit tubuh nya, rambut nya di sanggul rapi.
“Syukurlah kau sadar, Nak,” kata nya dengan nada lembut. “Kau sempat pingsan kemarin setelah pernikahanmu.”
Pernikahan?
Maya membelalakkan mata.
Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa ia bukan Riani, bahwa ini semua salah paham. Tapi suara berat dari luar pintu membuat nya kembali terdiam.
“Dia sudah sadar?”
Maya menoleh cepat.
Di ambang pintu berdiri seorang pria tinggi dengan ekspresi dingin. Mata nya tajam, penuh ketegasan, tetapi tidak ada kehangatan di dalam nya. Rahang nya kokoh, tubuh nya tegap, mengenakan kemeja putih sederhana yang di gulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot nya.
Ada aura yang begitu menusuk dari diri nya—seolah kehadiran nya cukup untuk membuat orang lain diam dalam ketegangan.
Wanita paruh baya tadi tersenyum canggung. “Dimas, istrimu sudah sadar. Syukurlah.”
Istri?
Maya tertegun. Pria dingin ini adalah suamiku?!
Dimas, pria yang disebut-sebut sebagai suami nya, hanya menatap nya datar tanpa ekspresi. Tidak ada tanda-tanda kekhawatiran atau kebahagiaan. Yang ada hanyalah tatapan tajam yang seolah ingin menembus pikiran nya.
Maya menelan ludah.
Dimas menatap Maya, atau lebih tepatnya, Riani, dengan tatapan yang sulit diartikan. Tidak ada senyum, tidak ada raut khawatir, hanya sepasang mata tajam yang seolah menelanjangi setiap pikiran di benaknya. Maya merasa seluruh tubuhnya menegang di bawah tatapan itu. Wanita paruh baya yang tadi ia panggil Ibu, mungkin mertuanya, segera menyela kecanggungan ini.
“Dimas, biarkan Riani istirahat dulu. Dia pasti masih lelah.” Suara Ibu terdengar lembut, tapi ada sedikit nada memaksa di dalamnya.
Dimas tidak bergeming. Ia hanya mengangguk tipis, lalu berbalik meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Punggungnya yang tegap menghilang di balik pintu.
Maya mengembuskan napas lega. Kehadiran pria itu benar-benar menyesakkan.
“Syukurlah kau sudah sadar, Nak,” Ibu kembali mendekat, mengelus rambut panjang Riani dengan sayang. Sentuhan itu terasa asing bagi Maya, namun ada kehangatan yang tak bisa ia pungkiri. “Semalam kau membuat kami semua khawatir. Tiba-tiba pingsan begitu saja setelah akad nikah.”
Akad nikah. Kata-kata itu berputar-putar di kepala Maya. Jadi, ia benar-benar sudah menikah. Dengan pria dingin itu. Sebuah pernikahan yang bahkan tidak ia ingat.
“Aku… aku kenapa, Bu?” Maya mencoba bertanya, suaranya sedikit serak. Ia harus berhati-hati, jangan sampai ada yang curiga dengan tingkah lakunya.
Ibu menghela napas. “Entahlah, Nak. Kau memang sedikit pucat beberapa hari ini. Mungkin terlalu banyak pikiran menjelang pernikahan.” Ibu duduk di tepi ranjang, menatap Maya dengan tatapan prihatin. “Tapi syukurlah, kau sudah baik-baik saja sekarang. Suamimu juga pasti lega.”
Maya hanya bisa tersenyum tipis, senyum yang terasa aneh di wajah Riani. Ia masih tidak bisa mencerna semua ini. Transmigrasi? Pernikahan mendadak? Suami yang asing dan dingin? Ini semua terasa seperti mimpi buruk yang sangat nyata.
“Dimas… dia orangnya bagaimana, Bu?” Maya memberanikan diri bertanya, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang pria yang kini adalah suaminya.
Ibu tersenyum samar. “Dimas… dia memang tidak banyak bicara, Nak. Tapi dia pria yang baik. Bertanggung jawab dan pekerja keras. Dia akan menjagamu dengan baik.” Ada nada keyakinan dalam suara Ibu, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri dan juga Maya.
Maya mencerna perkataan Ibu. Pria baik? Bertanggung jawab? Rasanya sulit membayangkan karakter itu dari tatapan mata Dimas yang tajam tadi.
“Ini di mana, Bu?”
“Ini di rumah suamimu, Nak. Di desa kami,” jawab Ibu. “Kau akan tinggal di sini mulai sekarang.”
Maya menelan ludah. Rumah Dimas. Desa. Semua yang ia lihat tadi pagi, dinding kayu, perabotan sederhana, semuanya masuk akal sekarang. Ini jelas bukan Jakarta. Dunia Maya yang modern dengan gedung-gedung tinggi, hiruk pikuk, dan teknologi canggih terasa begitu jauh, seperti galaksi lain.
“Aku… aku ingin sendiri dulu, Bu,” kata Maya, dengan nada memohon. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk mencerna kekacauan yang terjadi dalam hidupnya.
Ibu mengangguk mengerti. “Baiklah, Nak. Ibu siapkan sarapan dulu untukmu. Kau harus makan agar lekas pulih.” Ibu bangkit berdiri, lalu berjalan keluar dari kamar.
Setelah Ibu pergi, Maya kembali menyentuh wajahnya di cermin. Wajah Riani, dengan mata sendu dan bibir mungil. Ia mencoba memejamkan mata dan kembali mengingat kejadian sebelum kecelakaan.
Jalanan macet. Klakson bersahutan. Hujan deras. Cahaya menyilaukan. Rem mendecit. Tubuh terpental. Gelap.
Itu saja. Tidak ada petunjuk lain. Tidak ada gambaran tentang Riani atau desa ini. Bagaimana mungkin ia berakhir di sini? Apakah jiwanya benar-benar berpindah ke tubuh Riani? Dan bagaimana dengan Riani yang asli? Di mana dia? Apakah dia juga berpindah ke tubuh Maya yang terbaring di rumah sakit?
Pikiran itu membuat kepalanya semakin pening. Ini bukan hanya masalah pindah tubuh, ini masalah identitas, masalah kehidupan yang sama sekali baru. Ia harus menemukan cara untuk memahami semua ini, dan yang lebih penting, menemukan cara untuk kembali ke dunianya, ke tubuhnya sendiri.
Tapi, bagaimana caranya?
Maya sedang berada di persimpangan jalan yang asing, terjebak dalam kehidupan yang bukan miliknya. Apakah ia akan mencoba beradaptasi, ataukah ia akan berusaha mencari jalan pulang ke dunianya? Dan bagaimana pertemuannya dengan Dimas akan berkembang?
Terima kasih sudah membaca guys ❤️🐸❤️🐸❤️❤️
selamat membaca guys ❤️ 🐸 ❤️ ❤️
*****
Maya masih duduk di tepi ranjang, pikiran nya kacau balau. Kata-kata wanita paruh baya tadi terus terngiang di kepala nya.
Aku sudah menikah? Dengan pria ini?
Ia melirik pria yang berdiri di ambang pintu. Dimas. Wajahnya tampan, tapi ekspresi nya begitu dingin, seolah tak ada satu pun emosi yang bisa menyentuh nya. Mata nya tajam, penuh kehati-hatian, seakan sedang menilai sesuatu yang tak ia pahami.
Maya menelan ludah. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi yang ada di kepala nya hanya potongan-potongan samar dari hidupnya di dunia nyata—momen sebelum kecelakaan itu terjadi.
Bagaimana bisa aku terbangun di tubuh orang lain?
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, wanita paruh baya yang tadi berbicara dengannya melangkah mendekat. Wajahnya penuh rasa khawatir, tapi juga ada kehangatan di sana.
"Riani, kamu masih pusing?" tanyanya lembut.
Maya terdiam sejenak. Riani? Jadi, nama wanita yang tubuhnya ia tempati adalah Riani?
Melihat ekspresi cemas wanita itu, Maya merasa lebih baik untuk berpura-pura saja. Jika ia mengatakan yang sebenarnya—bahwa ia bukan Riani—orang-orang pasti akan menganggapnya gila.
Maya mengangguk pelan. "Iya, aku masih sedikit pusing…"
Wanita itu tersenyum lega. "Syukurlah kau sadar. Kau sempat pingsan semalam setelah pernikahanmu. Makanya, istirahatlah dulu. Ibu akan menyiapkan bubur untukmu."
Ibu?
Maya menatap wanita itu dengan bingung. Jika wanita ini adalah ibu Riani, maka berarti ia adalah… ibu mertuanya?
Sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, wanita itu pergi meninggalkan kamar. Kini hanya tersisa dirinya dan Dimas.
Suasana menjadi canggung.
Maya menelan ludah, lalu memberanikan diri bertanya, "Jadi… kita benar-benar sudah menikah?"
Dimas menatapnya dengan ekspresi datar. "Iya."
Jawabannya singkat, seolah ia tidak ingin membahasnya lebih jauh.
Maya semakin bingung.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
Dimas mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Maya menghela napas. "Kenapa kita menikah? Apa… kita saling mencintai?"
Dimas terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara dingin, "Ini perjodohan. Pernikahan ini bukan keinginanku maupun keinginanmu. Jadi, jangan berharap lebih."
Kata-katanya terasa seperti hantaman keras bagi Maya.
Jadi, pernikahan ini hanya karena perjodohan?
Ia mulai memahami situasinya. Ini bukan pernikahan yang didasari cinta. Baik dirinya—atau lebih tepatnya, Riani—maupun Dimas, sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini.
Maya menggigit bibirnya. Jika ini hanya perjodohan, berarti kemungkinan besar hubungan mereka tidak akan baik.
Tapi… apakah Riani memang setuju dengan pernikahan ini?
"Apa aku… menerima pernikahan ini?" tanyanya ragu.
Dimas menatapnya tajam, lalu tiba-tiba bertanya, "Apa kau kehilangan ingatan?"
Maya langsung mengangguk cepat. Itu adalah alasan paling masuk akal yang bisa ia gunakan sekarang.
Dimas menghela napas. "Lebih baik begitu."
Maya terkejut. "Apa maksudmu?"
Dimas meliriknya sekilas sebelum berbalik menuju pintu. "Jika kau kehilangan ingatan, itu lebih baik. Jangan banyak bertanya. Jalani saja peranmu sebagai istriku."
Setelah mengatakan itu, Dimas keluar dari kamar tanpa menoleh lagi.
Maya menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu dengan perasaan tidak enak.
Peran sebagai istri? Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang hidup Riani!
Maya menghela napas panjang. Ia benar-benar terjebak dalam situasi yang rumit. Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan Riani, tentang pernikahan ini, dan terutama tentang suaminya—Dimas.
Satu hal yang ia yakini, ia tidak bisa hanya berdiam diri dan menerima nasib begitu saja. Jika ia memang sudah terperangkap dalam kehidupan ini, maka ia harus bertahan.
Dan itu berarti… ia harus menghadapi Dimas, pria dingin yang kini menjadi suami nya.
Terima kasih sudah membaca guys ❤️ ❤️ 🐸 ❤️ 🐸
selamat membaca guys ❤️ 🐸 ❤️ ❤️ ❤️
******
Maya masih duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang campur aduk. Setelah kepergian Dimas, ia merasa semakin bingung dengan keadaan ini. Bagaimana bisa aku tiba-tiba menikah dengan pria yang bahkan tidak menginginkan ku?
Ia meremas ujung selimut. Pernikahan ini jelas bukan pernikahan bahagia seperti di dongeng. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada tatapan penuh cinta. Hanya ada sikap dingin dan kata-kata tajam dari seorang pria yang bahkan tidak melihat nya sebagai seorang istri.
Tak lama kemudian, wanita yang dipanggil ‘Ibu’ tadi datang membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air putih. Wajah nya masih tampak cemas, tetapi ia tersenyum lembut.
"Riani, makan lah dulu. Kau pasti lelah setelah kemarin," kata nya, meletak kan nampan itu di meja kecil di samping ranjang.
Maya menatap wanita itu dengan sedikit canggung. Haruskah aku memanggil nya Ibu?
Dengan ragu, ia berkata, "Terima kasih, Bu."
Wanita itu tersenyum semakin lebar. "Syukurlah kau sudah sadar. Ibu benar-benar khawatir semalam."
Maya menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan kegugupan nya. Ia tidak tahu bagaimana sifat Riani sebelum nya, jadi ia harus berhati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Saat mulai menyendok bubur, wanita itu kembali berbicara.
"Dimas memang bukan orang yang banyak bicara, tapi kau jangan terlalu memikirkan sikap nya, Nak. Dia hanya butuh waktu."
Maya berhenti mengunyah. "Maksud Ibu?"
Wanita itu menghela napas. "Dimas… dia belum benar-benar menerima pernikahan ini. Bukan karena dia membencimu, tapi karena dia tidak terbiasa. Sejak kecil, dia selalu fokus bekerja di sawah dan ladang keluarga. Dia tidak pernah berpikir untuk menikah secepat ini."
Maya mengangguk pelan. Jadi, bukan hanya aku yang terpaksa, tapi dia juga.
"Yang penting, kau bersabar dan tunjuk kan bahwa kau istri yang baik," lanjut wanita itu dengan senyum hangat.
"Seiring waktu, dia pasti akan berubah." ujar ibu.
Maya hanya tersenyum kecil. Ia tidak yakin Dimas akan berubah, apalagi dengan sikap nya yang begitu dingin.
Setelah menghabiskan bubur nya, Maya memutuskan untuk keluar kamar dan melihat-lihat rumah ini. Jika ia ingin bertahan, ia harus memahami lingkungan baru nya.
Saat keluar, ia melihat bahwa rumah ini cukup sederhana. Dinding nya terbuat dari kayu, lantainya dari papan yang sedikit berderit saat diinjak. Tidak banyak perabotan mewah, hanya ada meja kayu panjang di ruang utama, beberapa kursi, dan rak kecil berisi peralatan dapur.
Di luar rumah, ia melihat sawah luas terbentang. Beberapa pria sedang bekerja di ladang, dan di antara mereka, ia melihat sosok Dimas.
Pria itu bekerja tanpa banyak bicara. Dengan lengan yang di gulung hingga siku, ia mengangkat karung berisi hasil panen dengan mudah. Keringat mengalir di pelipis nya, tetapi ekspresi nya tetap datar.
Maya memperhatikan nya diam-diam. Jadi ini kehidupan nya? Seorang petani yang menghabiskan hari-hari nya di sawah?
Tiba-tiba, salah satu pria tua di dekat Dimas menepuk bahu nya. "Dimas, istrimu sudah bangun. Tidak kah sebaik nya kau pulang dulu untuk menemani nya?"
Dimas hanya melirik sekilas ke arah rumah, lalu menjawab datar, "Dia baik-baik saja."
Maya mengerutkan kening. Dia bahkan tidak peduli?
Pria tua itu tertawa kecil. "Jangan terlalu dingin pada istrimu, Nak. Wanita butuh perhatian."
Dimas tidak menjawab, hanya kembali bekerja seolah tidak mendengar apa pun.
Maya mengepal kan tangan nya. Jadi begini sikapnya? Dia tidak hanya dingin, tapi juga seolah tidak peduli sama sekali!
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri nya.
Baiklah, kalau dia tidak mau bersikap baik, aku juga tidak akan memohon perhatian nya.
Tapi satu hal yang pasti…
Ia tidak akan membiarkan diri nya diperlakukan seperti orang asing dalam pernikahan nya sendiri.
******
Terima kasih sudah membaca guys maaf kalau ada yang kurang ya❤️❤️🐸❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!