NovelToon NovelToon

Adakah Cinta Untukku?

Pernikahan Yang Tak Diinginkan

"Mas, anter aku belanja ya hari ini, keperluan dapur sudah habis," Elena berkata dari dapur.

"Aku capek El, kamu pergi sendiri aja deh kan bisa, gak usah manja!" tolak Dylan dengan nada malas.

"Tapi ini hari Minggu Mas, kamu juga libur kan?"

"Sekali aku bilang enggak ya enggak El, ngerti dong! Waktu istirahatku cuma hari Minggu!" jawab Dylan keras. Dia malas meladeni Elena. Setiap hari mereka bertengkar setiap bertemu. Rasanya Elena sangat menyebalkan.

"Aku sudah kerja capek setiap hari buat kamu, apa aku nggak boleh istirahat barang sehari aja? Kalau bukan karena anak itu, aku nggak akan mau menikahi kamu, mikir dong kamu di sini hidup berkecukupan berkat anak itu, kalau gak hamil sudah pasti kamu jadi pegawai Bar lagi bahkan mungkin jadi pelacur!" timpalnya penuh kekesalan.

Elena diam, tak menjawab apapun lagi. Ya, begitulah mereka ketika bertengkar. Ketika Dylan sudah benar-benar marah, Elena akan diam. Entah berapa kali Dylan mengucapkan kata-kata seperti itu setiap bertengkar dan Elena hanya diam. Payah!

Dylan pergi ke kamar untuk tidur kembali. Dia tak ingin diganggu hari ini. Dia ingin hari ini jadi hari istirahatnya sepenuhnya.

Jika diingat lagi, apa yang terjadi beberapa bulan ke belakang membuat Dylan menyesal. Kalian tahu? Dylan menikahi Elena karena dia sudah menodainya. Saat itu Elena memaksanya untuk menikahinya karena dia takut benih yang Dylan tanam di rahimnya tanpa sengaja itu tumbuh.

Elena adalah mantan pacar Dylan dulu sewaktu masih kuliah. Mereka putus karena Elena yang meminta. Orangtua Dylan tak setuju dengan hubungan mereka karena Elena berasal dari keluarga kalangan bawah yang bisa kuliah hanya mengandalkan beasiswa.

Sebenarnya Dylan kagum padanya. Prestasinya bagus di bidang akademik, tapi perekonomian Elena menghalau restu dari orangtua Dylan. Akhirnya mereka putus. Meski Dylan bilang bahwa dia tulus mencintai Elena, tapi Elena tetap kekeuh minta putus.

Jujur saja, selama pacaran Dylan tak pernah melakukan apapun padanya. Jangankan menodainya, memeluknya saja tidak pernah. Mereka mesra hanya sebatas pegangan tangan saja. Dylan pun belum tahu dasar-dasar seks seperti apa.

Berbeda dengan teman-temannya yang sudah tahu dan mengalami seks dengan pacar mereka, mungkin sudah layaknya suami istri. Hmm… bukankah itu sudah bukan hal yang tabu bagi muda-mudi zaman sekarang?

Dylan tak pernah melakukan seks dengan siapapun dan keperjakaannya hilang malam itu tanpa dia sadari.

Dia ingat kejadian hari itu, kejadian yang membawanya ke kehidupan saat ini, yang mungkin akan dia sesali seumur hidupnya.

--flashback--

Dylan terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sakit serta pusing sekali. Dia menggeleng-gelengkan kepala agar normal kembali.

Terdengar isakan seseorang menangis di seberang tempat tidur. Dylan berusaha membuka matanya, ingin tahu siapa orang itu.

Perlahan dia mulai membuka mata dan menatap ke arah asal suara. Dylan terbelalak ketika melihat seorang gadis tengah terisak menyandarkan kepala ke tembok sambil memegangi selimut menutupi tubuhnya. Tampaknya tubuhnya polos!

Dia melirik ke sekeliling tempat tidur, mendapati pakaian yang berserakan. Hei! Itu pakaiannya!

Segera Dylan melihat dirinya sendiri yang masih menangkup di atas tempat tidur.

"Astaga!!" Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun menutupi. Dia segera bangkit dan mencari sesuatu untuk menutupi bagian vitalnya. Dia mengambil bantal dan menutupinya.

"Hei! Siapa kamu?!" tanyanya pada gadis itu. Rambutnya tampak acak-acakan menutupi wajahnya yang masih terisak.

"Apa yang terjadi?!" tanyanya lagi. Gadis itu tetap menangis.

Dylan kesal. Langsung saja dia turun dari tempat tidur dan mengenakan celananya. Sekilas matanya melihat pakaian perempuan serta dalamannya tercecer di sana. Bajunya robek di bagian leher ke dada.

"Astaga, apa yang aku lakukan semalam?" gumamnya dalam hati.

Dia menghampiri gadis itu dan bertanya lagi.

"Hei! Jawablah! Jangan diam saja!" tanyanya agak meninggikan suara karena dia ingin tahu apa yang terjadi.

Gadis itu mundur, seperti ketakutan.

"Tolong jangan mendekat!" pintanya lirih.

"Ayolah bicara, aku tak sabar menunggu jawaban darimu!" pinta Dylan lebih tak sabar.

"Kamu sudah menodaiku!" Jawaban itu membuat Dylan tercekat.

"Kamu memperkosaku semalam, padahal aku hanya pegawai di sini bukan pelacur!" jelasnya masih menangis sesenggukan.

Dylan menggeleng tak percaya, tapi dia pun lupa apa yang terjadi semalam. Dia benar-benar mabuk berat dikarenakan sedang frustasi, jadi dia minum-minum di bar itu entah habis berapa botol.

"Bohong! Aku tak mungkin melakukan itu! Kamu berusaha membohongiku kan?!" sergahnya berusaha menyangkal.

"Tidak, semalam kamu datang dengan teman-temanmu, lalu kamu minum dua botol wiski. Kamu mabuk berat. Teman-temanmu memintaku untuk membawa kamu ke kamar bar ini agar tidur di kamar karena mereka tidak bisa membawa kamu pulang. Jadi aku membawamu ke kamar ini. Sewaktu aku hendak melepaskan sepatumu, tiba-tiba kamu menarikku dan melecehkan aku. Aku berusaha menjelaskan tapi kamu tetap melakukan itu. Itu sangat menyakitkan!" jeritnya pilu.

Dylan mundur dan terduduk. "Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan?" gumamnya tak percaya.

Dia bangkit dari duduk dan menatap ke arah tempat tidur. Matanya tertuju pada sprei berwarna putih itu. Dylan membulatkan mata melihat bercak darah di sana.

Oh tidak! Itu pasti... darah keperawanan yang sering teman-temannya bilang dan jujur, ini adalah yang pertama untuknya.

"Jadi apa maumu?" tanyanya.

"Nikahi aku!" pintanya.

"Tidak! Aku bisa membayar berapa pun yang kamu mau!"

"Aku bukan pelacur, Dylan!" Dia mendekat. Wajahnya kini nampak jelas.

"Elena!" ucap Dylan kaget.

"Ya, ini aku Dylan!" Matanya sembab dan terdapat memar di pipi serta bibirnya mengeluarkan sedikit darah mengering.

"Bukan hanya memperkosaku, kamu juga menampar dan memukul wajahku, ini buktinya!" Elena menunjukkan luka-luka lebam itu padanya. Dylan menggeleng tak percaya.

"Tidak mungkin! Aku tidak pernah kasar dengan perempuan!" kilahnya.

"Tapi kamu mabuk Dylan, kamu di luar kendali. Aku bahkan gak bisa melawan kamu. Kalau kamu gak percaya, aku siap di visum!" tantangnya lantang.

Dylan menelan ludah kasar. Tenggorokannya rasanya kering. Dia tak bisa mengelak lagi. Mungkin memang dia melakukannya semalam karena pengaruh alkohol.

"Aku kotor Dylan, siapa yang mau menikahi aku nanti?" ucapnya terisak. Elena pasti sangat sakit, bukan hanya fisik tapi mentalnya juga.

"Dan satu hal yang paling aku takutkan, aku takut benih yang kamu tanam di rahimku tumbuh. Aku yatim piatu, aku hanya punya bibi dan paman. Kalau aku hamil tanpa suami bagaimana nasibku? Tolong nikahi aku Dylan!" pintanya memohon penuh harap. Tangisannya sangat pilu sambil bersimpuh di kakinya.

Oh Tuhan, Dylan tak kuat mendengarnya.

Betapa jahatnya dia. Dia yang sudah menodainya dan malah Elena yang memohon padanya.

Dylan meraih bahunya dan membantunya berdiri.

"Baiklah, aku akan menikahi kamu. Tapi... jangan bilang apapun pada orangtuaku tentang alasan kita menikah!" pintanya. Dia tidak ingin orangtuanya tahu masalah ini. Mereka bisa sangat murka padanya.

"Tapi, gimana cara meyakinkan orangtuamu? Mamamu gak suka aku dari dulu." Elena menunduk.

"Aku akan meyakinkan Mama, aku janji kita akan menikah, aku akan bertanggung jawab!" jawabnya yakin.

"Tolong jangan laporkan ini pada polisi. Aku benar-benar gak sengaja, itu pengaruh alkohol. Sebagai gantinya aku akan menikahi kamu. Setuju?!" Dylan mengajukan perjanjian.

Elena menatapnya seperti mencari ketulusan, lalu menunduk kembali.

"Baiklah, aku setuju! Lamar aku secepatnya. Aku ingin menikah dengan terhormat meski hanya di mata orang. Aku gak mau membuat bibi dan paman malu," pintanya lagi.

"Baiklah, kita sepakat!" Dylan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Ya!" Elena menerima uluran tangannya dan menjabatnya. Wajahnya mulai menenang.

*****

Hari itu Dylan meyakinkan orangtuanya untuk merestui pernikahannya dengan Elena. Sangat sulit sekali meyakinkan mereka, tapi Dylan berusaha sebisanya. Dia punya tanggungan beban yang berat saat ini. Jika tak bisa menikahi Elena, dia akan dipenjara. Itulah masalahnya.

"Dia gadis yatim piatu yang tidak pantas bersanding denganmu Dylan! Kamu kan tahu Mama sangat membenci dia dari dulu, kenapa kamu tiba-tiba minta restu menikahi dia padahal kalian sudah putus lama?" Veronica masih tetap pada pendiriannya. Tidak suka dengan Elena hanya karena dia bukan wanita kalangan atas.

"Aku mencintai dia, Ma!" Dylan berbohong. Sebetulnya dia memang masih menyukai Elena, tapi bukan cinta.

"Dylan! Apa yang kamu suka dari dia? Dia kampungan, miskin, masuk kuliah pun cuma karena beasiswa. Kamu kan bisa menikahi Sheryl teman kantormu itu yang cantik, modis, elegan dan tentunya kasta kita sama!" bentak Veronica yang malah membandingkan Elena dengan Sheryl, teman kantor yang juga asisten pribadi Dylan.

"Aku hanya mau Elena, Ma. Titik!"

"Kalau Mama tidak mau merestui kami, biar aku pergi dan gak akan pulang lagi!" ancamnya.

Dylan yakin Veronica akan takut dengan ancamannya karena dia anak tunggal penerus keluarga Hartanto.

Veronica membulatkan kedua matanya tak percaya dengan ucapannya. Dylan hendak pergi, tapi Veronica menahannya.

"Baiklah... kamu boleh menikahi dia. Mama merestui kalian, tapi jangan pernah tinggalkan Mama," ucap Veronica menggenggam tangan Dylan erat. Ahhh, Dylan tahu Veronica sangat takut kehilangan dirinya. Kata almarhum Papanya, Dylan adalah anak yang sangat dinantikan selama 15 tahun pernikahan mereka. Jadi wajar jika Veronica takut kehilangan dia.

"Kalau begitu, besok kita lamar dia ke rumah bibi dan pamannya ya Ma," pintanya.

Veronica menjawab dengan malas, "Baiklah," lalu membuang napas kasar.

"Terima kasih, Ma!" ucap Dylan sambil mencium punggung tangannya yang lembut. Dia menyunggingkan senyum puas.

Bersambung...

Aku Jatuh Cinta?

Keesokan Harinya...

Dylan dan ibunya, Veronica, datang ke rumah bibi Elena untuk melamar, sesuai janjinya.

Meski Veronica sangat malas, namun beliau tak mau menjilat ludahnya kembali.

Mereka disambut hangat oleh keluarga Elena. Mereka tersenyum sumringah menyalami Dylan dan Veronica. Dylan menerima uluran tangan mereka dan mencium punggung tangan mereka satu per satu, sementara Veronica, ketika bibi Elena mengulurkan tangan hendak bersalaman, malah melipat tangannya di dada. Sejujurnya, Dylan merasa malu dengan sikap ibunya, tapi apa daya? Veronica saja mau menuruti keinginan Dylan, itu sudah syukur.

Bi Sumi, bibi Elena, menarik kembali tangannya dengan malu. Dylan pun meminta maaf atas sikap ibunya, dan Bi Sumi hanya tersenyum simpul.

Mereka masuk ke dalam rumah yang sangat sederhana itu. Rumah itu beralaskan keramik dan dinding tembok yang sebagian terkelupas. Mereka duduk di kursi tua.

Elena datang menyambut, hendak menyalami Veronica. Seperti tadi, Veronica menepisnya, tapi Dylan menatap ibunya dengan kesal hingga akhirnya Veronica mengulurkan tangan dan menyalami Elena.

Pembicaraan dimulai. Karena Veronica tidak mau berlama-lama di sana, akhirnya Dylan langsung mengutarakan tujuannya untuk melamar Elena. Paman dan bibi Elena gembira karena Elena akhirnya akan menikah—entah karena Elena akan dinikahi pria kaya seperti Dylan. Entahlah...

Setelah lamaran dan menentukan tanggal pernikahan, Dylan dan Veronica pulang untuk menyiapkan keperluan pernikahan mereka. Dylan mulai belanja untuk bahan seserahan, mas kawin, hingga cincin kawin untuk acara yang akan diadakan seminggu ke depan.

"Gak usah berlebihan Dylan, dia hanya gadis miskin, beli yang murah saja, dia toh gak akan tahu harganya!" ketus Veronica ketika Dylan memilah-milah barang yang akan dibelinya untuk seserahan.

Ucapan itu cukup membuat Dylan kesal. Terlalu merendahkan.

"Sudahlah Ma, jangan bicara seperti itu. Lagi pula Elena gadis baik-baik. Sudah sepantasnya dia mendapatkan barang-barang yang bagus. Aku gak suka Mama merendahkan dia seperti itu. Ingat janji Mama!" jawab Dylan tegas.

Veronica diam tak menjawab. Sepertinya ucapannya tadi cukup menusuk.

---

Hari pernikahan pun tiba. Dylan sudah siap dengan segala yang diperlukan. Ia melangkah dengan gagah masuk ke rumah bibi Elena untuk menikahi keponakannya itu.

Acara pernikahan sangat sederhana, hanya dihadiri kerabat dan keluarga terdekat saja.

Hari itu Elena tampak cantik dengan kebaya putihnya. Ya, dia memang cantik meski tanpa make-up, dan itu yang selalu Dylan sukai sejak dulu.

Setelah acara pernikahan selesai, Dylan membawa Elena ke rumah pribadinya, pemberian dari almarhum ayahnya sebelum wafat.

Lokasinya cukup jauh dari rumah Veronica, jadi Dylan yakin Elena tidak akan terganggu dengan sikap sang ibu.

Sesampainya di sana, Dylan langsung mengajak Elena masuk dan segera beristirahat.

Mereka memutuskan untuk tidur di kamar yang sama, namun mereka tidak pernah melakukan malam pertama. Mereka tidur saling membelakangi. Intinya, Dylan tidak mau menyentuh Elena lagi dan Elena masih takut sejak kejadian malam itu.

*****

Kembali ke Saat ini...

Jika mengingat semua itu, terkadang Dylan menyesali kejadian malam itu yang tanpa ia sadari menodai seorang gadis. Belum lagi perjuangannya demi mendapat restu Veronica yang sulit, dan akhirnya Dylan justru menyesal menikahi Elena. Bukan karena Elena tidak baik atau banyak tingkah, tapi setiap hari ketika pulang ke rumah rasanya seperti perang dunia kedua. Elena selalu memulai pertengkaran yang ujung-ujungnya berakhir diam-diaman juga.

"Hoaammm..." Dylan menguap. Ia melirik jam dinding, sudah jam 20:15 malam. Seharian hanya berbaring di tempat tidur dan menghabiskan waktu libur dengan tidur. Malas untuk ke mana-mana.

Elena masuk ke dalam kamar dan menghampiri Dylan.

"Mas, kamu belum makan. Seharian cuma tidur. Makan dulu ya!" pinta Elena.

Memang, Dylan hanya sarapan pagi tadi. Belum mengisi perutnya lagi.

Ia bangkit dan mengikuti Elena ke meja makan.

Elena menyodorkan nasi dengan lauk pauk kesukaan Dylan. Jujur saja, masakan Elena sangat enak. Dylan menyantapnya dengan lahap.

"Mas, mau mandi air hangat? Biar aku siapin," tawarnya. Dylan mengangguk.

Elena pergi menyiapkan air hangat, lalu memberitahunya ketika sudah siap.

Ya, Elena memang istri yang baik, selalu berusaha melayani Dylan dengan sepenuh hati. Tapi Dylan merasa dirinya sangat kejam—seolah tak pernah menganggap Elena ada. Rasa cinta yang dulu hadir, kini sudah tak ada sejak Elena memutuskan hubungan dengannya dahulu.

Ia selalu memandang Elena seperti orang asing yang tidak ia sukai. Setiap perilakunya terasa mengganggu. Mungkin karena pernikahan mereka dipaksa oleh keadaan, oleh tuntutan, membuat Dylan merasa muak setiap kali bicara dengannya.

Dylan mandi sambil berendam di bathtub. Nyaman sekali, sampai ia cukup lama di sana, betah berlama-lama.

Setelah mandi, ia memakai piyama dan kembali ke tempat tidur.

"Mas, lusa kamu bisa antar aku ke dokter kandungan gak? Dokter bilang kamu harus ikut sekali-kali nemenin aku biar tahu perkembangannya," Elena meminta. Lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Dylan tak pernah sekalipun mengindahkan permintaan itu.

"Ah, kamu kan biasa pergi sendiri. Ya sendiri aja seperti biasa. Lagian aku sibuk!" jawabnya sambil memainkan ponselnya.

"Sekali aja Mas, kandunganku kan udah masuk 4 bulan. Setiap diajak kamu nggak mau, alasan terus!" Elena memalingkan wajah kesal.

"Jangan mulai Elena! Aku malas berantem! Lagipula aku gak pernah menginginkan anak itu. Kalau kamu merasa dia menyusahkan, sebaiknya gugurkan saja! Aku gak peduli! Berhentilah menyusahkan aku!" bentak Dylan kasar sambil menunjuk wajah Elena tepat di hidungnya.

Wajah Elena seketika berubah. Dari cemberut kesal menjadi sedih. Bulir-bulir bening jatuh dari matanya.

"Baik Mas, maafkan aku yang selalu menyusahkan. Aku gak akan menyusahkan kamu lagi, aku janji. Maafkan aku karena aku memaksa kamu menikahi aku," ucapnya lirih sambil menangis.

Elena menarik selimut lalu tidur membelakangi Dylan. Masih terdengar isakannya yang pelan. Begitupun Dylan, tanpa rasa bersalah, langsung tidur setelah memarahinya.

"Bikin kesal aja!" batinnya.

*****

Keesokan paginya, Dylan bangun, mandi, lalu mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Elena di gantungan pintu lemari seperti biasa. Setelah sarapan, ia bergegas pergi ke kantor. Hari itu ada meeting penting, jadi Dylan harus cepat sampai.

Hari ini sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus Dylan selesaikan setelah meeting. Hingga siang, ia belum sempat makan, dan perutnya sudah mulai keroncongan.

"Kamu belum makan siang, Dylan?" tanya Sheryl menghampirinya di meja kerja.

"Belum, aku belum sempat, sibuk banget," jawab Dylan sambil memijat kepalanya yang terasa pusing karena tekanan pekerjaan.

"Gimana kalau kita makan siang bareng?" tawar Sheryl.

"Aku malas perginya, Sher. Bisa gak aku nitip?" Dylan memang sedang malas keluar kantor.

"Hmm, boleh. Mau beli apa?"

"Samain aja sama kamu deh. Aku gak pilih-pilih soal makanan, yang penting pedas."

"Ya sudah, aku beli dulu," jawab Sheryl sebelum melenggang pergi keluar.

Sejenak, Dylan menatap postur tubuh Sheryl yang bisa dibilang sangat indah. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih, hidung mancung, dan rambut pirang keemasan khas wanita barat. Sheryl memang blasteran—ibunya orang Indonesia, ayahnya Amerika—membuatnya tampak sempurna dari segala sisi.

Benar kata Veronica, Sheryl memang sangat sempurna!

Tak lama, Sheryl kembali dengan dua kantong plastik kecil berisi makanan. Ia menyodorkan salah satunya pada Dylan. Mereka menikmati makanan bersama di meja Dylan. Kebetulan, Sheryl memang asisten pribadinya, dan hubungan mereka cukup akrab, seperti teman. Apalagi ayah mereka adalah sahabat sejak muda—sudah seperti saudara sendiri.

Dylan menatap Sheryl lekat. Tetap cantik, bahkan saat sedang makan. Gumamnya dalam hati, lalu tersenyum.

Sheryl yang sadar dirinya sedang dipandangi, menoleh dan menggoda.

"Kenapa? Cantik?" godanya sambil tersenyum manja.

"Y-ya, ya... cantik. K-kan cewek!" jawab Dylan gelagapan.

"Kamu boleh pandangi aku sesukamu," jawab Sheryl dengan senyum manis yang membuat Dylan tambah salah tingkah.

Mungkin pipinya memerah seperti Chibi Maruko Chan—dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri.

Setelah makan siang, mereka kembali bekerja.

Jam kerja selesai. Dylan bersiap pulang, meski sebenarnya malas. Ia enggan bertemu Elena, takut pertengkaran kembali terjadi.

"Elena?" pikirnya tiba-tiba. Tadi pagi ia tak melihat istrinya. Apa Elena pergi ke luar? Tapi semua kebutuhannya sudah disiapkan seperti biasa. Aneh, biasanya Elena menunggunya hingga benar-benar berangkat.

Saat Dylan sedang memikirkan keberadaan Elena, sebuah tepukan ringan mendarat di pundaknya. Sheryl.

"Kamu belum pulang?" tanyanya.

"Belum. Kamu sendiri, kok belum pulang?" Dylan balik bertanya.

"Mobilku mogok. Masuk bengkel. Tadi ke kantor naik taksi online," jawab Sheryl. Dylan memang tidak melihat mobilnya hari itu.

"Boleh nebeng gak?" lanjutnya.

"Aku takut pulang sendirian malam-malam naik taksi," tambahnya dengan nada memohon.

"Hmmmm boleh, ayo!" Dylan tak tega membiarkannya pulang sendirian. Apalagi gadis secantik Sheryl sangat rawan jadi sasaran kejahatan.

Setelah Sheryl masuk ke dalam mobil dan Dylan mengizinkan, mereka pulang bersama.

Sepanjang perjalanan, Sheryl banyak bercerita. Mereka tertawa dan bercanda. Dylan merasa sangat nyaman bersamanya.

Sesampainya di rumah Sheryl, Dylan menghentikan mobilnya. Sheryl hendak keluar, lalu tiba-tiba mencium pipi Dylan dengan cepat.

"Thanks," ucapnya sambil tersenyum manis.

"O-o-oke!" Dylan melongo, tak percaya. Barusan dia dicium.

Apakah Dylan jatuh cinta padanya?

Bersambung...

Air mata Elena

Dylan sampai di rumah sekitar pukul 23:33 — terlalu malam. Ia terlalu asyik mengobrol dengan Sheryl tadi di dalam mobil hingga lupa waktu. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya, karena kunci utama dipegang oleh Elena. Tujuannya memang agar ia bisa masuk dengan mudah ketika Elena sudah tertidur.

Sesampainya di kamar, Dylan melihat Elena sudah tidur pulas. Ia membersihkan diri, lalu masuk ke dalam selimut, bersiap tidur. Tiba-tiba ponselnya berbunyi — sebuah chat masuk.

Dylan mengambil ponsel dan membuka isi chat itu.

“Kamu sudah tidur?” pesan dari Sheryl.

“Belum,” balas Dylan.

“Aku rindu,” balasan tiba-tiba yang langsung membuat Dylan bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk.

Apa maksudnya?

“Dylan, aku rindu kamu!” tulis Sheryl lagi.

Dylan bingung harus membalas apa. Sesungguhnya, dia juga merindukan Sheryl. Padahal seharian di kantor mereka bertemu, tapi entah mengapa, ia merasa nyaman dan ingin terus bersama Sheryl.

Mungkin Dylan jatuh cinta padanya.

“Kenapa belum tidur?” tanya Dylan lewat chat.

“Aku memikirkan kamu,” balas Sheryl. Jawaban itu membuat pikiran Dylan melayang.

Benarkah Sheryl memikirkan dia? Apakah dia juga menyukainya?

“Yang benar?” balas Dylan ingin memastikan.

“Iya, aku menyukai kamu sejak lama, tapi aku gak berani ungkapin. Aku takut kamu gak suka aku,” lanjut Sheryl dengan emoticon sedih.

“Sekarang kamu milik orang lain, tapi aku masih menyukai kamu Dylan!”

“I love you,” balasan berikutnya menyertakan emoticon love.

Jantung Dylan berdebar-debar. Ia merasa melayang. Seperti jatuh cinta lagi.

“I love you too” balas Dylan akhirnya.

Sejenak ia melupakan statusnya sebagai suami. Ia berpikir bahwa ia juga berhak mencintai wanita lain. Toh kewajiban menikahi Elena sudah ia tunaikan. Apa salahnya mencintai Sheryl? Bukankah Dylan juga berhak bahagia?

Mungkin inilah saatnya mencari cinta sejati.

*****

Pagi menyapa. Seperti biasa, Dylan melakukan rutinitas sebelum ke kantor. Hari itu, ia tak melihat Elena lagi. Entah ke mana wanita itu pergi. Dylan tak mau ambil pusing. Biarlah Elena melakukan apapun sesuka hati. Mungkin dia masih ngambek!

Tanpa berpikir panjang, Dylan pergi ke kantor. Ingin segera bertemu Sheryl.

Hari itu, Sheryl tampak sangat cantik dengan rok mini dan cardigan berwarna merah darah — sangat cocok dengan kulit putih mulusnya. Dylan terpesona, sungguh.

Sheryl mendekatinya dan tersenyum penuh arti.

“Pagi Sayang!” sapanya.

“Sayang?” Dylan terlihat heran.

“Iya Sayang, kan semalam kita jadian,” katanya.

“Benarkah?”

“Iya, kan kamu bilang I Love You Too juga. Masa lupa ihhh!” jawab Sheryl sambil melipatkan kedua tangannya di dada, bibirnya cemberut. Dia ngambek.

Dylan terkekeh. Lucu juga Sheryl saat ngambek begitu.

“Kamu cemberut pun cantik!” pujinya sambil memandangnya.

Sheryl menoleh, tersipu malu.

“Maaf, tadi aku bercanda!” Dylan tersenyum dan menggenggam tangan Sheryl.

“Jahat!” Sheryl memukul dada Dylan pelan.

“Oke, oke maaf ya Nyonya,” ucap Dylan sambil mencolek dagu lancip Sheryl.

Sheryl memeluknya erat dan berkata pelan di telinganya:

“Aku mencintaimu.”

“Aku juga,” jawab Dylan yakin.

Mereka berpelukan erat di dalam ruang kerja Dylan. Ia tidak khawatir ada yang melihat, karena ruangan itu adalah wilayah kekuasaannya — siapapun harus mendapat izin darinya untuk masuk.

Mulai hari itu, mereka resmi berpacaran. Dylan mencintainya dan Sheryl mencintainya. Tak ada yang salah.

________

Hari itu setelah resmi jadian, Dylan dan Sheryl menghabiskan waktu kerja mereka dengan senyum yang sulit disembunyikan. Bahkan rekan-rekan kantor sempat melirik mereka curiga karena aura kedekatan keduanya begitu nyata. Namun Dylan tak peduli. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hatinya tenang. Damai. Senang.

Menjelang pukul enam sore, Sheryl menghampiri Dylan yang sedang merapikan berkas-berkas di mejanya.

“Makan malam yuk? Aku tahu tempat yang cozy, makanannya enak,” ucap Sheryl sambil memainkan ujung rambutnya.

“Boleh. Aku juga lapar banget,” jawab Dylan sambil berdiri.

Mereka pun keluar kantor bersama. Tak seperti biasanya, Dylan dengan santai menggandeng tangan Sheryl di area parkir. Meski hanya sebentar, cukup membuat dada Sheryl berdebar dan wajahnya memerah.

Tempat makan yang mereka tuju adalah sebuah restoran kecil bergaya rustic di kawasan pusat kota. Pencahayaan temaram, aroma kayu bakar, dan musik jazz mengalun pelan — suasana sempurna untuk dua orang yang sedang jatuh cinta.

Sheryl memilih duduk di sisi jendela, Dylan duduk di seberangnya. Mereka memesan makanan tanpa banyak pertimbangan. Waktu yang mereka nikmati bukan soal rasa makanan, melainkan kehadiran satu sama lain.

“Kamu tahu enggak?” kata Sheryl tiba-tiba, memecah keheningan lembut di antara mereka.

“Apa?”

“Aku pikir aku nggak akan pernah bisa bilang perasaanku ke kamu,” ucapnya pelan, matanya menatap jemarinya sendiri yang bermain-main di atas meja.

Dylan tersenyum, menyandarkan punggung ke kursi. “Tapi kamu bilang juga akhirnya.”

“Dan kamu nggak nolak...” gumamnya lirih.

“Karena aku juga ngerasa hal yang sama,” sahut Dylan cepat. “Aku nyaman sama kamu, Sher. Lebih dari sekadar nyaman sebenarnya.”

Mata mereka bertemu. Tatapan yang tak perlu dijelaskan, karena keduanya tahu, mereka ada dalam frekuensi yang sama.

Setelah makan malam, mereka tidak langsung pulang. Sheryl mengusulkan untuk jalan-jalan sebentar, mengitari taman kota yang tak jauh dari restoran. Malam itu cukup sejuk, langit bersih, dan bintang-bintang menggantung di atas kepala.

Mereka berjalan pelan, beriringan, kadang bersentuhan tangan, lalu genggaman yang tak sadar terjalin.

Sheryl bersandar sebentar di pundak Dylan ketika mereka duduk di bangku taman.

“Aku senang malam ini,” katanya pelan.

“Aku juga,” balas Dylan, menoleh menatap wajah Sheryl yang bersinar dalam remang lampu taman.

Tanpa kata, Dylan mencium keningnya.

Malam itu ditutup dengan damai, seolah dunia berhenti sejenak hanya untuk mereka berdua. Namun dalam diam, jauh di dalam benaknya, Dylan tak sepenuhnya tenang. Ada satu sosok yang terus mengendap di pikirannya.

Elena.

Dan pulang akan selalu berarti kembali pada kenyataan.

*****

1 Bulan Kemudian...

Akhir-akhir ini Dylan tak pernah berjumpa dengan Elena. Lebih tepatnya, tak pernah melihat wajahnya lagi. Setiap hari saat pulang, Elena sudah tidur pulas.

Entah apa yang terjadi padanya. Pagi-pagi pun Elena tak tampak di dapur atau ruangan lain seperti biasanya. Seperti hantu. Itu sudah terjadi satu bulan lamanya. Dylan tak ingin bertanya, tak ingin peduli. Bukankah lebih baik begini? Tak ada pertengkaran lagi.

Hari itu hari Minggu. Dylan punya janji dengan Sheryl untuk nonton film. Ia membuka laci dan melihat amplop berwarna cokelat berisi uang — ia lupa memberikan jatah belanja bulanan untuk Elena. Wanita itu pasti harus belanja kebutuhan rumah dan dapur.

Dylan turun dari tangga untuk mencari Elena, yang sejak pagi tak tampak. Ternyata Elena ada di dapur, sedang memasak makan siang.

Dylan menghampirinya dan menyodorkan amplop cokelat itu.

“Ini jatah bulanan kamu, aku lupa memberikannya,” katanya.

Elena tak menoleh, apalagi menjawab. Hanya berkata,

“Gak usah Mas, aku masih ada uang kok.”

Jawabannya singkat, tanpa melihat ke arah Dylan.

Dylan heran. Biasanya Elena akan menerimanya, meski sedang marah. Kenapa kali ini dia menolak?

“Tapi ini jatah bulan ini. Jatah bulan lalu bisa kamu simpan atau tabung.”

“Simpan saja!” jawab Elena lagi, tetap singkat.

Dylan yang mulai kesal menarik tangan Elena agar menghadap ke arahnya. Tapi Elena hanya menunduk.

“Kenapa? Sudah gak butuh nafkah dari aku? Kamu banyak uang sekarang? Kamu ke mana setiap hari, pagi pergi, malam pulang? Ke mana saja kamu?!”

“Jangan-jangan kamu sering ketemu laki-laki yang meniduri kamu, setelah aku yang sebenarnya benihnya tumbuh di rahim kamu sekarang itu?!”

PLAKKKKK!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Dylan. Elena menamparnya.

“Cukup Mas! Belum puaskah kamu menghinaku? Belum puas kamu menghujaniku dengan kata-kata menyakitkan setiap kita bertengkar? Kamu tahu? Setiap kata yang kamu ucapkan selalu menyakitkan, dan aku selalu berusaha menahan rasa sakit itu.”

“Aku tahu kamu nggak pernah bisa mencintaiku seperti dulu. Kamu gak mau menerima bayi yang aku kandung, bahkan menyuruhku menggugurkannya. Tapi tolong, jangan pernah bilang seperti itu.”

“Demi Tuhan, hanya kamu laki-laki yang pernah meniduriku. Aku nggak pernah tidur dengan laki-laki manapun selain kamu. Jika kamu menuduh aku menemui laki-laki seperti yang kamu maksud, kamu salah besar Mas.”

“Aku setiap hari kerja dari pagi sampai malam menjaga toko kacamata di dekat salon itu. Aku berusaha mencari uang untuk mencukupi kebutuhanku. Aku gak mau merepotkan kamu lagi. Aku sudah janji. Aku pikir aku masih bisa mencari pekerjaan sebelum perutku semakin membesar.”

“Jika kamu gak mau menerima kehadiranku dan bayi ini, gak apa-apa Mas. Kamu boleh ceraikan aku. Aku yakin aku bisa menjadi orangtua tunggal buat dia. Maaf karena aku memaksamu menikahiku. Tolong jangan pernah sakiti aku lagi Mas. Aku lelah!”

Elena menangis tersedu, menelungkupkan dua tangannya memohon pada Dylan.

Ya Tuhan… apa selama ini Dylan memang selalu menyakitinya?

Kenapa Dylan tak pernah sadar bahwa ucapannya begitu menyakitkan? Ia hanya mengatakan apa yang ia pikirkan, tanpa mempertimbangkan perasaan Elena.

“Aku lelah Mas… tolong ceraikan aku saja…”

Suara tangis Elena pilu. Baru sekarang Dylan sadar betapa dalam luka hati wanita itu.

Tangis Elena semakin keras dan menyayat. Dylan berdiri mematung. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menyesali setiap kata buruk yang pernah ia lontarkan.

Betapa kejamnya ia selama ini.

Ia meraih tubuh Elena dan memeluknya — untuk pertama kali setelah lima bulan menikah. Selama ini Dylan memang tak pernah menyentuh Elena. Tidur pun selalu dengan sekat bantal guling di antara mereka. Hingga dua minggu setelah menikah, saat Elena benar-benar hamil, Dylan makin ingin menjauh.

Entah apa yang merasukinya dulu.

Kini ia memeluk tubuh Elena erat. Wanita itu menangis keras di pelukannya.

“Maafkan aku, El… aku gak pernah menyadari kesalahanku. Aku egois, aku cuma pikirin diriku sendiri…” ucap Dylan dengan penuh penyesalan.

“Tolong maafkan aku El… aku janji akan memperbaiki semuanya. Maafkan aku…”

Mereka berdua menangis sesenggukan sambil berpelukan.

Tangis Elena mulai mereda. Suaranya merendah. Dylan merenggangkan pelukannya. Elena mendongak dan menatap wajah Dylan — untuk pertama kalinya juga setelah mereka menikah.

Jari jemari Elena mengusap air mata Dylan. Dylan menggenggam tangan Elena erat dan menciumnya.

“Aku gak maksa kamu untuk menerima aku Mas… aku ikhlas kalau kamu ceraikan aku. Percuma juga kita terusin hubungan ini, hanya akan menyiksa kita,” ucap Elena lirih.

“Nggak… kamu gak maksa aku. Aku yang sadar bahwa aku memang harus menerima kamu sejak awal,” jawab Dylan, tak mau melepaskan genggaman tangan istrinya.

Dylan kembali memeluk Elena erat. Enggan melepaskan.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!