Gelang gelang emas ditangannya berbunyi gemerincing ketika Jeane Richmond menutup pintu mobil Bugatti bewarna hitam itu. Ia meninggalkan mobilnya dan berjalan menuju hotel tempat kekasihnya, Edgar Beaufort bekerja.
Tidak ada angin bertiup. Di seberang bangunan hotel yang menjulang tinggi itu, permukaan air sungai Seine tampak tenang bagaikan kaca. Matahari Paris sedang turun, meninggalkan suatu jalur panjang dan kekuning kuningan di atas permukaan air itu. Udara sore bulan Maret terasa sejuk pada pipi Jeane.
Mata Jeane yang bewarna hijau melempar pandang sekilas pada jam di pergelangan tangannya. Hampir pukul lima sore. Lagi lagi terlambat, pikirnya. Bahu Jeane naik dalam suatu angkatan tipikal yang seolah olah berkata 'aku-tidak-perduli,' yang mengungkapkan pula suatu kenyataan bahwa ia biasa menyuruh orang lain menunggu dan melayani dirinya.
Jeane tidak mau mengakui bahwa dirinya terlalu dimanja, sekalipun ia juga membenarkan, bahwa sebagai anak satu satunya, orang tuanya sangat menyayangi dirinya.
Lain halnya dengan Edgar. Jeane tidak berhasil membuat Edgar menuruti segala keinginannya. Itulah mungkin sebabnya ia begitu terpukau oleh Edgar. Dan kini pastilah Edgar akan marah kepadanya karena datang terlambat. Namun, Jeane juga yakin dia akan mampu membuat Edgar melupakan kejengkelannya.
Memikirkan hal itu, sebuah senyuman penuh rahasia mengembang pada bibir Jeane.
Jeane hampir tiba di pintu masuk hotel ketika ia melihat Edgar sedang berdiri di sisi gedung dengan seorang anggota staf lain dari hotel itu. Sorot mata coklat Edgar penuh teguran ketika bertemu dengan pandangan mata Jeane. Edgar pasti telah melihatnya menyeberangi tempat parkir mobil menuju pintu hotel, namun tidak memanggilnya. Seandainya Jeane tidak melihat Edgar berdiri di situ, tentu Edgar akan membiarkannya membuang buang beberapa menit berharga untuk mencari Edgar di dalam gedung. Sekedar semacam hukuman atas keterlambatan Jeane datang ke hotel itu.
Sambil berdiri di dekat pintu, Jeane memandang pria itu. Nafasnya tertahan di tenggorokan. Rambut pirang pria itu jatuh di atas dahinya tanpa diperdulikan. Garis garis tampan wajah pria itu kelihatan menyolok. Sentuhan keangkuhan tampak pula pada garis rahang pria itu. Jangkung dan berotot bagus, penampilan Edgar itu pastilah membuat jantung setiap gadis berdebar lebih keras. Seragam hotel yang dikenakan, juga menguatkan kesan kejantanan yang ditimbulkan oleh pria itu.
Setiap kali Jeane melihat Edgar, reaksinya selalu sama. Pertama tama adalah kejutan bahwa ia sempat lupa betapa tampan pria itu dan kemudian disusul oleh suatu perasaan bersalah bahwa ia telah membuat pria itu menunggu dirinya datang. Sekalipun keterlambatan itu bukanlah hal yang ia sengaja.
Bibir Jeane terbuka, membentuk sebuah senyuman mempesona.
"Maafkan aku datang terlambat, honey," suara Jeane rendah dan hangat, bertujuan meredakan kejengkelan pria itu.
Edgar Beaufort tidak membalas senyum Jeane. Ia menganggukkan kepala pada rekan kerjanya dan memegang tangan Jeane dalam suatu cengkeraman keras. Jeane menahan napas merasakan kenyerian, ketika pria itu menyeretnya ke sisi gedung.
"Ed, kau menyakiti tanganku," Jeane memprotes ketika mereka berhenti.Edgar melepaskan pegangannya.
"Aku tidak suka disuruh menunggu," kata Edgar dengan geram, sesaat sebelum mulutnya bergerak penuh nafsu mencium bibir Jeane.
Ciuman itu merupakan suatu perpaduan dari hukuman dan kekuasaan. Jeane melawan usaha untuk menguasai dirinya, sekalipun ia juga terpengaruh oleh gairah pria itu. Ke dua lengan Edgar mengencangkan pelukan, menindas pemberontakan dan nafsunya menjalar kepada Jeane. Ditaklukkan dengan cara demikian, Jeane mendongakkan kepala dan membiarkan mulut Edgar menjelajahi lehernya.
"Aku minta maaf," Jeane berkata lirih, matanya dipejamkan, ketika ia merasa seluruh anggota badannya terasa lemas. "Aku tidak sengaja."
"Kau selalu berkata demikian," Edgar menggerutu. sambil menggigit cuping telinga Jeane.
Jari jari tangan Jeane menyelusup ke bawah jaket yang tidak dikancingkan oleh pria itu, dan lengannya merangkul pria itu, merasakan kehangatan tubuh dan otot otot bahu dan punggung Edgar. Sedangkan ke dua tangan Edgar bergerak di atas pinggang dan pinggul Jeane, merapatkan tubuh wanita itu pada tubuhnya sendiri.
Bau pria itu memabukkan bagi Jeane, ia menghirupnya dalam dalam, lalu berseru, " Aku diminta tinggal sebentar seusai kuliah terakhir, dan waktu berjalan cepat tanpa kusadari."
Edgar mengangkat kepalanya. "Dosen yang mana lagi kali ini? Tapi memang tidak menjadi soal karena kau kesayangan semua dosen," Edgar berkata dengan suara mengejek.
"Tadi yang menahanku adalah prof. Isaac," Jeane tidak menghiraukan sindiran Edgar. "Ia memberikan beberapa saran mengenai uraian yang kubuat untuk tema semester ini."
"Aku kau suruh menunggu sementara kau bercakap cakap dengan si tua bangka itu," tuduh Edgar.
"Sudah kukatakan kepadamu bahwa aku meminta maaf."
"Mungkin harus kita uji sejauh mana kau benar benar menyesal," Edgar berkata, kilatan nafsu menyala di matanya yang coklat itu.
Dengan tertawa, Jeane menarik ke dua tangannya yang merangkul tubuh pria itu, membiarkan ke dua tangannya di atas dada pria itu sehingga ada jarak di antara tubuh mereka. Ia dapat merasakan debar jantung yang kuat dari pria di depannya itu di bawah jari jari tangannya.
"Tetapi kau harus bertugas dalam beberapa menit lagi," kata Jeane, menyadari bahwa ia tidak mengatakan 'tidak' secara tegas kepada Edgar.
"Ya," kata Edgar membenarkan sambil menundukkan kepala dan mulutnya kembali mencium bibir berlengkung sensual itu. "Dan bercumbu denganmu adalah sesuatu yang tidak ingin kulakukan dengan tergesa gesa."
Pipi Jeane merona merah. Bukan karena malu. Tapi lebih karena godaan dan ketakutan untuk menjelajahi hal yang belum dikenalnya.
"Tapi aku bisa saja masuk agak terlambat," Edgar menambahkan.
"Jangan," tetapi Jeane sendiri tidak bisa memastikan sebenarnya apakah yang ditolaknya itu.
Mulut Edgar terus menari nari di atas bibir kekasihnya. Jeane yang sudah mulai bereaksi atas ciuman Edgar membenamkan jari jarinya ke dalam rambut keemasan milik pria itu dan menarik kepalanya untuk lebih menunduk lagi.
Inisitif itu langsung diambil alih oleh Edgar. Sementara Jeane merasa mulai terbakar dalam apinya sendiri.
"Ed, ayoo!" sebuah suara memanggil tidak sabaran. "Sudah jam lima lebih ini."
Dengan mendadak Edgar menyudahi ciumannya. "Oke, sebentar lagi aku akan masuk. Tolong katakan pada bos bahwa aku sedang membantu seseorang yang bermasalah dengan mobilnya."
"Aku akan coba mencari alasan untukmu," sambung suara temannya lagi. "Kau boleh panggil aku kalau memerlukan bantuan."
"Aku tidak akan memerlukan bantuan," jawab Edgar dengan tawa angkuh.
Langkah langkah kaki itu segera menjauh dari belakang mereka. Merasa jengah, Jeane meronta dan melepaskan diri dari pelukan Edgar. Tapi kakinya lemas akibat nafsu bergelora yang dinyalakan oleh pria itu. Jeane berdiri membelakangi ketika pria itu mendekat lagi dan meletakkan ke dua tangan dengan akrabnya di atas pinggang rampingnya.
Hangatnya nafas pria itu menggerakkan rambut Jeane. Tubuh Jeane menegang walaupun dirasakannya suatu rasa nyeri di ulu hatinnya akibat ketidak puasan. Sentuhan ringan ke dua tangan Edgar seakan akan membakar dan menembus bahan pakaiannya hingga terasa pada seluruh kulit tubuhnya.
"Malu ya?" Edgar berolok olok. "Jangan kuatir, Justin cuma melihat kita berciuman. Itu saja."
"Rupanya kau tidak menyadari yang kau lakukan atas diriku," Jeane berbisik.
"Aku? Yang kulakukan atas dirimu?" Edgar tertawa. "Kau ini seorang penggoda, Jeane Isabelle Richmond," tuduhnya sarkastis, lengannya mengencang pada pinggang Jeane, sehingga Jeane tidak dapat mengabaikan tekanan hangat yang menimbulkan sensasi itu. "Kau ini selalu memberi janji dengan ciumanmu, tetapi bila sudah saatnya kau harus memenuhinya, malah kau menarik diri. Semestinya aku menyeret dirimu ke sebuah kamar hotel."
"Jangan."
"Aku tidak akan melakukannya," Edgar memutar badan Jeane sehingga kini mereka berhadap hadapan, air mukanya kelihatan tegang dan agak menakutkan. "Tetapi, sudah beberapa kali dalam minggu minggu ini kau nyaris membiarkan aku membujukmu. Jadi jangan menyangkal."
Kemarahan membuat pipi Jeane memerah. Rasa tinggi hati Edgar yang beranggapan bahwa Ia dapat diajak tidur bersama setiap kali pria itu menginginkannya, sungguh sangat menjengkelkan, karena Jeane menyadari bahwa hal itu mungkin benar sekali.
"Kalau begitu Ed, mengapa kau tidak membujukku hingga hal itu terjadi?" tantang Jeane.
"Karena, sayangku yang manja," Edgar berolok olok. "Aku tidak berniat menuruti kemauanmu seperti yang dilakukan oleh teman teman lelakimu. Kalau suatu hari kita bercinta, maka itu adalah atas permintaanmu dan bukan karena aku mematahkan perlawananmu. Kalau kita tidur bersama, maka itu karena kau yang memintanya, bukan aku. Aku tidak perduli apakah kita akan melakukannya sebelum atau setelah pernikahan kita, yang penting adalah kau yang memintanya."
"Dari semua......." Jeane memulai.
Edgar tertawa dan menyerbu mulut Jeane. Sejenak Jeane melakukan perlawanan, sebelum ciuman itu menaklukkannya dan ia bergayut manja pada pria itu. Sejenak melupakan harga dirinya.
"Katakan bahwa kau mencintaiku," perintah Edgar sambil mengencangkan pelukannya.
"Aku mencintaimu," Jeane berkata dengan patuh.
"Dan kau berjanji akan mencintai, menghormati dan mematuhi aku?" Edgar berkata lagi.
Mulut Jeane sudah terbuka untuk memenuhi perintah itu, tetapi pada saat itu ia teringat pembicaraannya dengan ke dua orang tuanya.
"Aku berjanji," Jeane menjawab setelah terhenti beberapa detik dalam keraguan.
Edgar melihat keraguan itu. Dipandangnya Jeane dengan tajam.
"Aku sudah berbicara dengan orang tuaku mengenai kita."
"Lalu?" Mulut pria itu menegang.
"Mereka bilang bahwa kita terlalu pagi untuk bicara tentang pernikahan," jawab Jeane.
Seketika Edgar melepaskan Jeane dan ia melangkah mundur. Kemarahan muncul di wajahnya. "Aku tidak dianggap layak untukmu. Bukankah itu yang mereka katakan?" Edgar bertanya dengan berapi api. Dan tidak menunggu hingga Jeane menjawab. "Apakah yang dipersoalkan oleh orang tuamu? Aku terlalu miskin untuk anak perempuan kesayangan mereka? Mereka pasti menganggap diriku tidak mampu karena harus menghabiskan waktu tujuh tahun untuk empat tahun kuliahku. Apa salahku kalau aku tidak dilahirkan oleh orang tua yang kaya seperti orang tuamu dan harus bekerja untuk memperoleh uang supaya bisa sekolah?"
"Ed......" Jeane berusaha menghentikan luapan kemarahan itu. "Sama sekali bukan itu masalahnya. Mereka cuma beranggapan bahwa tidaklah bijaksana kalau kita segera menikah. Musim semi mendatang kau akan diwisuda, menerima gelarmu dan......."
Edgar tidak memberi kesempatan Jeane untuk menyelesaikan penjelasannya. "Dan mereka kuatir kalai kita menikah sekarang, maka mereka harus menunjang kita.... atau lebih tepatnya menunjang diriku! Mereka tentu menganggap bahwa aku menikahimu hanya demi uangmu. Tahukah kau apa yang boleh mereka lakukan dengan uang mereka itu?"
"Masalahnya bukan soal uang," Jeane menyadari bahwa pembicaraan tentang uang adalah yang paling menyinggung harga diri Edgar. "Mereka berpendapat bahwa kita sebaiknya menunggu setahun lagi sebelum menikah. Supaya kau dapat menyelesaikan studimu dan memperoleh pekerjaan. Aku rasa setahun tidaklah lama kalau kita saling mencinta."
Edgar menatap mata Jeane dengan tajam. "Katakanlah padaku sejujurnya Jeane, apakah orang tuamu menyetujui aku sebagai calon suamimu?"
Jeane tidak bisa menghindari keraguan. Ayahnya sudah secara terang terangan menyatakan ketidak setujuannya terhadap Edgar. Hanya karena pengaruh ibunya, ia memperoleh konsesi untuk menunggu selama setahun. Jeane tahu bahwa ayahnya menyetujui usul ibunya dengan harapan bahwa ia dan Edgar akan saling menjauhi sebelum waktu setahun itu berlalu.
"Nah pertanyaanku sudah terjawab, bukan?" Edgar berkata dengan geram.
"Ed, mereka tidak secara tegas menolakmu," sela Jeane cepat cepat. "Mereka pada dasarnya tidak mengenal dirimu seperti aku mengenalmu. Di samping itu, mereka juga menganggap aku belum dewasa. Harusnya kau bisa mengerti bahwa akan sulit bagi mereka untuk melihat diriku sebagai isteri seseorang yang boleh dikatakan merupakan orang asing bagi mereka."
"Jadi kau mau menunggu setahun lagi?"
"Tentu saja tidak." tukas Jeane.
"Tetapi aku lihat kau tenang tenang saja dengan gagasan itu," Edgar berdiri sambil bertolak pinggang.
"Lalu? Menurutmu apa yang harus kulakukan? Memukul mukul dada, menangis dan meratap seharian?"
"Pasti orang tuamu menuduhku sebagai seorang yang cuma mengejar harta kalian," suara Edgar terasa penuh kepahitan.
"Orang tuaku sama sekali tidak menuduhmu," Jeane berusaha keras untuk menindas kemarahannya. "Aku akui bahwa ayahku memang tidak sepenuhnya percaya kepadamu, tetapi ibuku? Ibuku bersedia menerimamu sebagaimana kau adanya. Memang bukan suatu persetujuan, tetapi juga bukan pula penolakan."
"Jadi aku harus berterima kasih atas hal itu?" kata Edgar dengan suara mengejek.
"Seharusnya kau dapat memahami sikap mereka," kata Jeane.
Dari air mukanya jelas bahwa Edgar tidak sependapat dengan kekasihnya itu. "Kalau mereka mengatakan kepadamu agar tidak menikah denganku, apa yang akan kau lakukan?"
"Mereka tidak mengatakan demikian," protes Jeane.
"Tetapi seandainya......." Edgar berkeras.
Dengan menggertakan gigi menahan kemarahan, Jeane menjawab, "Seandainya mereka mengatakan demikian, aku tetap akan menikah denganmu."
"O ya?" Edgar tertawa. Ada nada mengejek dalam tawanya yang hampir tidak kelihatan itu. "Sudah kuduga, hanya soal waktu saja sebelum kau mengaku bahwa kau juga masih mikir mikir untuk menikah denganku."
"Kalaupun aku berpikir pikir, tentu bukan karena orang tuaku mencampuri urusan," Jeane memutar badannya dan melangkah pergi. Menahan marah. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Edgar, inilah salah satu sifat pria itu yang tidak disukainya.
Tapi Edgar menyambar lengan Jeane.
Ketika Jeane berusaha melepaskan diri, Edgar menyambar lengannya, memutarnya kembali sambil mengeratkan cengkeramannya.
Dengan geram Edgar berkata, "Jangan sekali kali kau meninggalkan aku, membelakangi diriku dengan cara seperti ini."
Sebaliknya, Jeane membalas tatapan tajam Edgar tanpa rasa takut. "Lepaskan tanganku dan kau akan melihat bahwa aku akan berjalan pergi lagi."
"Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku," suatu cahaya aneh berkelebat di mata Edgar. "Kau adalah milikku dan aku tidak akan membiarkanmu pergi."
Suatu kengerian dirasakan oleh Jeane. "Kau menyakiti aku, Ed." Jeane berusaha keras menindas rasa panik dalam suaranya. "Lepaskan lenganku."
"Persoalan utamanya adalah uang itu bukan?" Edgar mengendorkan cengkeramannya. "Setelah sekian lama kau bisa memperoleh segala sesuatu sesuai keinginanmu, kau tentu tidak mau hidup dengan suatu anggaran belanja tertentu, berhemat dan harus menghitung hitung uang yang kau punyai. Itulah sebabnya kau tidak mau menikah segera denganku, bukan? Karena aku tidak bisa memberimu segalanya sesuai gengsi, gaya dan kebiasaanmu."
"Yang ada dipikiranmu hanya uang dan uang saja, bukan?" Jeane mendakwa. "Aku tidak berniat meminta maaf atas kenyataan bahwa orang tuaku adalah orang kaya. Aku tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa. Aku tidak mempunyai kekuasaan dalam menentukan hal itu."
"Selama hidupmu kau tidak pernah kekurangan uang," Edgar berkata dengan tegang. "Beda denganku. Aku tidak pernah kaya. Aku harus berkelahi dan kadang kadang mencuri untuk memperoleh apa yang kuinginkan. Dan belum pernah ada orang yang memberikan apapun kepadaku. Bahkan mereka selalu berusaha merampas dari sedikit apa yang aku miliki. Sekarang mereka mau merampasmu dariku."
Jeane mengerutkan dahi. "Tidak ada orang yang mencoba merampas diriku darimu."
"Benarkah itu sayang?" Edgar bertanya dengan suara mengejek. "Setelah orang tuamu tahu bahwa kita akan menikah, mereka mencoba meracunimu dariku. Mereka tidak segan segan membayar orang untuk menceritakan kebohongan kebohongan tentang diriku. Kau tunggu dan lihat saja nanti."
"Semua tuduhanmu itu tidak benar. Orang tuaku tidak demikian." Jeane tidak terima orang tuanya dikata katai oleh kekasihnya.
"O ya? Mereka tentu sama murni dan bersihnya seperti dirimu." Cemooh kelihatan jelas pada wajah dan suara Edgar.
"Orang tuaku bukanlah makhluk makhluk jahat seperti yang selalu ada dalam pikiranmu," Jeane berkata ketus.
"Kau ini memang naif atau buta sih? Aku......"
Edgar tidak menyelesaikan kalimatnya, karena ada suara pria memanggil, "Edgar!"
Edgar tidak dapat menyembunyikan kejengkelannya terhadap gangguan itu. "Kau mau apa lagi, Justin?" katanya sambil melotot pada pria yang muncul di belakang mereka.
"Aku tidak bisa terus terusan mencari alasan untukmu," jawab pria yang dipanggil Justin itu. "Sebaiknya kau segera bekerja sebelum mereka memecatmu."
"Ok ok, aku akan segera masuk," Edgar berkata dengan helaan nafas jengkel.
Jeane merasa lega dengan adanya interupsi itu. Ia sudah tidak tahan dengan cemoohan dan tuduhan tuduhan yang tak berdasar yang dilancarkan Edgar terhadap ke dua orang tuanya.
"Pergilah, Ed," katanya dengan mimik kesal. "Sudah waktunya aku pergi."
"Jangan pergi dulu, Jeane." Edgar menahannya. Tetapi Jeane menghindari tatapan mata pria itu. "Buat apa lagi aku berlama lama di sini. Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan."
"Jeane." Edgar berusaha keras untuk mencari cari alasan, kemudian dia tertawa singkat. "Agaknya kita baru saja mengalami pertengkaran kita yang pertama dan serius."
"Bukan aku yang memulainya," jawab Jeane.
"Menyedihkan, bukan?" kata Edgar. Setelah melepaskan tangan Jeane, pria itu mulai membelai pipi Jeane, tetapi Jeane justru menghindari sentuhan itu, tidak sanggup mengikuti perubahan mendadak itu. "Aku sama sekali tidak ingin kita bertengkar seperti ini," Edgar berkata perlahan. "Aku khilaf."
"Sudahlah. Cukup itu," jawab Jeane kaku.
"Jeane, lihat mataku," dan ketika Jeane tidak menuruti permintaan itu, tangan Edgar memegang dagu Jeane, sedikit memaksa. Air mula Edgar menunjukkan harapan Jeane mau bersabar. "Bagaimana aku dapat membuatmu memahami perasaanku?"
"Kau sudah memperlihatkan itu, Ed," Jeane menegaskan. "Dengan sangat jelas kau telah memperlihatkan bahwa kau tidak percaya kalau aku mencintaimu dan orang tuaku berkomplot terhadapmu."
"Tidak! Bukan begitu. Kau tidak mengerti?" Edgar menatap gadis itu. "Kau satu satunya yang mempunyai arti dalam hidupku, Jeane. Aku takut kehilangan dirimu. Aku......"
Mau tidak mau ketulusan yang diperlihatkan Edgar menggerakkan hati Jeane.
"Edgar," kata Jeane perlahan.
"Kau tidak mengerti bukan? Kau menganggap aku keliru dengan perasaanku."
"Tidak ada orang yang dapat merampas diriku darimu, Ed," bibir Jeane membentuk setengah senyuman.
"Dan aku telah memintamu untuk menjadi isteriku, Jeane," kata Edgar memulai.
"Dan aku telah menerima permintaanmu itu," Jeane mengingatkan.
"Ya," Edgar mengangguk. "Tetapi aku tidak mempunyai sesuatu yang berharga yang dapat kepersembahkan padamu selain cintaku. Aku memintamu melepaskan segalanya, tanpa memperoleh gantinya dariku."
"Itu bukanlah suatu pertukaran yang buruk," Jeane tersenyum.
"Jeane, cinta saja tidak bisa memasang atap di atas kepala kita atau membawa makanan ke dalam mulut kita," pria itu mengingatkan. "Itu semua memerlukan uang. Dan aku tidak memilikinya."
"Ssshh," Jeane meletakkan jari jari tangannya di atas mulut pria itu. "Aku tidak mau mendengar kata 'uang' lagi."
Edgar mencium ujung ujung jari tangan mulus dihadapannya. "Aku sebenarnya tidak mau menyebutnya lagi, tetapi uang merupakan suatu kenyataan hidup yang tidak dapat kita hindari. Ia tidak dapat dihindari hanya karena tidak menyenangkan."
"Aku tidak perduli," Jeane melepaskan tangannya dari genggaman Edgar dan membelai pipi pria itu. "Katakanlah bahwa kau mencintaiku, Ed."
"Aku sangat mencintaimu," pria itu menciumnya lama dan dalam. "Tetapi setahun...," Edgar mengerang ketika ia mengangkat kepalanya kembali. "Aku tidak sanggup menunggu setahun."
"Aku tahu itu. Tetapi kau tidak bisa lebih lama lagi berada di sini kalau tidak mau kehilangan pekerjaanmu."
"Nanti malam aku akan meneleponmu bila aku tidak terlalu sibuk."
"Aku akan menunggunya di rumah," Jeane berjanji.
"Dan jangan sampai ada orang lain yang bersamamu," Edgar berkata pura pura geram.
"Akan kupikirkan nanti," Jeane tertawa dan melangkah pergi setelah menempelkan bibirnya sejenak.
Ketika Jeane naik ke belakang kemudi mobil Bugattinya dan mulai menghidupkan mesin, Edgar masih tetap berdiri di tempat Jeane meninggalkannya. Pria itu melambaikan tangannya kepada Jeane yang membalas lambaian itu dengan perasaan puas sekali.
Semuanya berakar dari uang. Tapi mempertengkarkannya merupakan hal yang teramat tolol, pikir Jeane. Dia bertanya dalam hati, apakah orang miskin pada dasarnya memang lebih angkuh atau hanya Edgar saja yang seperti keranjingan mengenai masalah ini. Jeane sempat mengira bahwa Edgar memang paranoid. Sesaat, dalam pertengkaran tadi, Jeane merasa ragu ragu.
Ah.... pasti semuanya bisa diatasi. Ia yakin. Edgar itu seperti sebutir intan yang masih kasar. Hanya memerlukan sedikit gosokan untuk bersinar. Cuma itu masalahnya. Kalau nanti sudah berhasil, mereka akan merupakan pasangan yang mempesona. Dengan kekayaan dan koneksi orang tuanya, hanya langit yang akan menjadi pembatas masa depan mereka.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!