Malam temaram mulai menyapu sudut jalanan kota Yogyakarta, hembusan angin syahdu berpadu dengan rintisan air hujan, bagaikan sebuah melodi indah yang mengiringi pesta pernikahan yang baru saja usai terlaksana disebuah hotel berbintang lima.
Anya sang mempelai wanita terlihat tengah duduk di ujung ranjang hotel dengan tatapan kosong menatap nanar kearah balkon. Nampak raut wajah sedih dan kecewa tercipta jelas dari manik hitam legamnya. Gadis bertubuh mungil dengan tinggi badan seratus lima puluh lima sentimeter itu, termenung berkelana di dalam pikirannya sendiri.
Bukan perihal biaya pernikahannya yang telah menelan biaya mahal yang saat ini mengganggu pikirannya, atau amplop para tamu undangan yang jumlahnya sedikit hingga membuat dirinya tidak balik modal. Namun, dirinya hingga detik ini, masih belum bisa percaya jika sekarang dia telah resmi menyandang status menjadi seorang istri. Istri dari lelaki yang tidak ia cintai dan tidak mencintainya.
Ya! Pernikahan ini terjadi bukan atas dasar cinta, melainkan keterpaksaan.
Miris bukan, tapi begitulah takdir hidup yang menghampiri dirinya. Anya gadis berusia 23 tahun itu, tidak dapat menolak permintaan sang ayah yang saat ini sedang terbaring kritis dirumah sakit untuk menikah dengan Dante Alvaro, laki-laki yang ia kenal sebagai sahabat karib sang kakak. Sulit memang, tapi Anya berusaha ikhlas menerimanya.
"Kau sedang apa?" Anya terkesiap, ketika sebuah sergahan seorang lelaki berhasil menariknya keluar dari lamunannya. Anya menoleh dan mendapati Dante, sang suami tengah berdiri dengan pakaian yang begitu rapih.
"Kakak mau pergi?" tanyanya binggung.
Dante melirik jam tangan yang melingkar indah di lengan kekarnya, kemudian kembali lelaki berbadan tegap dengan tubuh yang ditumbuhi rambut halus itu menatap Anya dengan tatapan tanpa ekspresi.
"Pulang," jawabnya singkat.
Anya menautkan kedua alisnya, binggung tentu saja. Pulang? Pulang kemana? Bukannya mereka sudah sepakat untuk menghabiskan malam pertama di hotel ini, lalu apa lelaki ini akan merubah rencananya?
"Pulang? Maksudnya ke Bantul?" Mencoba menebak, dengan tempat yang sekiranya menurut dia benar.
Bantul? Ya! Mungkin itu benar. Dante ingin menghabiskan malam pertamanya di rumah kedua orangtuanya, mungkin Dante menginginkan sesuatu yang lebih intim? Begitu pikir Anya.
"Tidak. Kita pulang ke Jakarta, sekarang." Dante meraih kopernya yang terletak disudut hotel, menaikan koper bermerek Swiss army itu, ke atas ranjang yang bertabur dengan kelopak mawar dan melati.
"Hah, pulang?" Anya mendelikkan matanya tidak percaya, kenapa tiba-tiba lelaki ini mengajaknya pulang ke Jakarta? Apa dia ada pekerjaan mendesak disana, tapi sepertinya tidak mungkin. Lelaki ini kan bos, masa bos harus bekerja di hari pernikahannya.
"Ia. Kita pulang sekarang," jawab Dante tanpa mengalihkan antesi.
"Kenapa? Bukannya kita besok menyambut kedatangan mas Danish? Dan menjenguk papa, dirumah sakit?" Anya menatap Dante nanar, menunggu jawaban dari sang suami dengan tidak sabar.
Dante meleparkan bajunya yang baru dia lipat dengan kasar ke dalam koper, membalikkan tubuhnya menghadap Anya. Sedetik kedua mata mereka saling bertemu, sebelum akhirnya Dante membuang pandangannya ke arah balkon hotel yang tidak tertutup.
"Aku tidak mau terjadi apa-apa malam ini, sementara kedua orangtua kita sedang merencanakan sesuatu untuk malam pertama kita.".
Anya kembali menautkan alisnya, mencoba mencerna setiap kata demi kata yang baru Dante katakan, "maksudnya?"
Dante mendesis, melipat kedua tanyanya di dada dan kembali menatap Anya, "kedua orangtua kita sedang menyiapkan malam pertama untuk kita Anya. Dan aku menghidarinya..."
"Kenapa?" tanya cepat Anya memotong ucapan Dante.
Dante tersenyum sinis, "kenapa kata kamu? Jelas aku menolak. Pernikahan kita ini terlaksana karena keinginan ayah kamu, dan aku tidak akan pernah menyetuh sedikit pun wanita yang tidak saya cintai."
Anya tertegun, dengan penjelasan Dante. Dirinya tau, jika pernikahan ini terlaksana karena keinginan ayah Anya yang sedang sekarat dirumah sakit, tapi apa perlu hingga seperti ini. Mereka baru saja menikah pagi tadi, dan malam ini mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta, dengan alasan konyol pula.
"Kamu bercanda kan, kak? Masa cuma karena menghindari malam pertama kamu mutusin untuk balik ke Jakarta?"
"Lalu, mau kamu bagaimana, hah?" Dante menaikkan intonasi suaranya, "aku menuruti semua yang ibu kita inginkan? Menyetuh tubuhmu, dan menikmati malam ini penuh dengan nafsu dan desahan?..." Menghela nafas keras, "maaf, tapi aku tidak bisa." Kembali memasukkan semua barang-barangnya ke dalam koper.
Anya termenung, diam dan meresapi semua perkataan yang baru saja Dante jabarkan. Bukan, sungguh bukan itu ingin dia. Dirinya juga tidak menginginkan pernikahan ini, apalagi melakukan hubungan tubuh dengan Dante. Dirinya hanya tidak ingin cepat-cepat meninggalkan Yogjakarta, Anya ingin menjenguk dan merawat ayahnya beberapa hari kedepan, menjemput dan menyambut kedatangan kakaknya Danish, yang saat ini tinggal dan menetap di Singapura. Dirinya bahkan telah menuliskan daftar kegiatan apa saja, yang akan dia lakukan selama di Yogyakarta.
Dirinya ingin protes dengan keputusan sepihak Dante, tapi gadis itu paham betul dengan sikap keras kepala Dante dan egoisnya cowok itu. Maka, dirinya lebih memilih diam, dan berangsur pergi masuk ke dalam kamar mandi.
Di dalam kamar mandi Anya, menatap dirinya di balik pantulan cermin wastafel. Sedikit demi sedikit airmata mulai jatuh, membasahi pelupuk pipinya. Segera Anya mengelapnya airmata sialan itu, dengan kasar. Di putarnya keran wastafel, kemudian dia membersihkan wajahnya dengan air yang keluar dari keran wastafel tersebut.
Ini mungkin sudah menjadi jalan takdirnya, dia harus menerima perlakuan semana-mena sang suami yang tidak menginginkan pernikahan ini dan dirinya. Anya harus kuat, berusaha membuka hatinya dan juga tentu hati suaminya. Dirinya yakin, pernikahan yang berawal dari keterpaksaan akan berakhir indah, seperti novel-novel yang selalu ia baca selama ini.
"Jadi kalian benaran mau langsung pulang ke Jakarta?" tanya seorang wanita parubaya berpakaian kebaya dengan rambut di sanggul, serta berkaca mata tebal.
"Ia ma." Dante menyeruput kopi di tangannya, sementara Anya hanya diam duduk disebelah Dante dengan mengetuk-ngetuk gelas di genggamannya.
"Kenapa?" Kali ini seorang wanita parubaya bergaun merah sexy bertanya.
"Euhm..." Anya melirik Dante sesaat, laki-laki itu bergeming tanpa ekspresi, "i-itu ma, euhm..."
"Saya ada kerjaan mendadak, yang harus saya selesaikan besok pagi."
"Eh..." Reflek Anya menatap ke arah Dante. Mengedipkan matanya cepat, tidak percaya dengan alasan yang baru saja di ucapkan Dante.
Hanya karena menghidari malam pertama dengannya, Dante bahkan berbohong kepada ibu dan mertuanya itu. Miris, bukan?
Dante menolehkan kepalanya menatap Anya, sedetik lelaki itu menyinggungkan senyum keterpaksaan, yang di ikuti juga oleh Anya.
"I-ia. Gapapa kan kalau kami pulang?" Anya menatap kedua wanita parubaya dengan hati bergetar. Takut-takut, jika alasan bohong Dante itu ketahuan.
Keempat orang yang saat ini sedang duduk di kafe hotel, termenung sesaat saling lempar pandangan menerka-nerka. Khusunya, wanita parubaya yang mengenakan kebaya, yang tidak lain ada ibunda Dante Lilian. Wanita berusia 55 tahun itu, nampak menyadari jika sang anak sedang berbohong. Maka dari itu, wanita berwajah khas orang jawa itu, menyoroti wajah Dante dengan sorotan tajam penuh pertanyaan.
"Kamu tidak sedang berbohong kan, Dante?"
Dante berkesiap, menenggakan tubuhnya dan menatap ibunya itu, "bohong? Maksudnya mama?" Mengeryitkan alis, pura-pura tidak mengerti pertanyaan ibunya, padahal dirinya begitu paham maksud perkataan Liliana.
Lilian mendesis, kini pandangannya ia alihkan menatap menantunya itu, "Anya, Al ga ngomong macem-macem kan sama kamu."
"Eh..." Anya melirik Dante, binggung dirinya mau menjawab apa, "uhm... Gak kok, Al beneran ada kerjaan, tadi Anya denger sendiri kok."
"Jeng..." Liliana menoleh ketika bahunya di tepuk oleh wanita parubaya bergaun merah, yang tidak lain adalah ibunda Anya, Rita itu, "biarkan saja mereka pulang, sekarang ini kita tidak terlalu berhak ikut campur masalah mereka. Percayakan semua kepada Dante, bukan begitu Dante?" Rita menatap Dante dan tersenyum.
"Ia, ma. Tentu."
"Awas ya, kalau kamu macem-macem sama Anya, mama pecat kamu jadi anak." Hardik Lilian dengan mata yang membulat menakutkan menatap Dante.
Akhirnya dengan perundingan yang begitu sulit, bagi kedua orangtua mereka. Dante dan Anya akhirnya di perbolehkan pulang, senang tentu saja bagi Dante, tetapi hal itu tidak berlaku untuk Anya.
Di dalam perjalanan menujuh ibukota, baik Anya maupun Dante sama-sama diam dalam kebungkaman mereka masing-masing. Saat di dalam pesawat pun, Anya lebih memilih menyibukkan diri dengan membaca novel kesukaannya, sementara Dante laki-laki itu terus berkutat dengan berkas-berkas pekerjaan.
"Masuklah." Dante menurunkan koper kopernya dari dalam taksi online, menyeret dua koper berukuran dua puluh empat inci itu menaiki satu demi satu anak tangga rumahnya.
Anya terdiam, ketika kakinya masuk ke dalam rumah milik Dante, pandangan gadis itu, langsung menyapu menelusuri setiap inci rumah panggung milik Dante. Tidak terlalu besar seperti rumahnya di Yogyakarta, tapi terlihat cukup nyaman dengan hanya mereka berdua saja tinggal di dalamnya.
"mandilah, aku sudah merapihkan semua barang-barangmu, make-up, skincare, peralatan mandi semua sudah tersedia disana." Terang Dante, dan menunjuk tangannya ke sebuah kamar yang berada di lantai dua. Hanya ada satu kamar yang berada dilantai tersebut, sisanya hanya ruang keluarga yang langsung terhubung dengan teras yang menghadap kearah kolam renang.
"Kamar kamu?"
"Disana..." Menunjuk sebuah ruangan yang berada tepat dibawah tangga. Ruangan yang tertutup rapat dengan pintu kayu berwarna putih tanpa cela sedikit pun.
Jadi mereka akan tidur berpisah?
Tentu, Anya sudah menduga hal itu. Dante bahkan meninggalkan Yogyakarta hanya karena menghindari malam pertama dengannya, Jadi sangat mustahil, jika tiba di Jakarta Dante mau tidur satu ranjang dengan Anya.
Anya menganggukan kepalanya mengerti.
"Cepat mandi, ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan kepadamu."
"Besok kan bisa. Ini udah malam tau. Aku lelah," Kata Anya sambil terus menyapu setiap sudut rumah bergaya modern minimalis itu.
Dante yang tidak suka di bantah, terlihat kesal dengan jawaban yang keluar dari mulut Anya. Di cengkramnya kedua bahu Anya, hingga membuat gadis itu menundukkan kepala takut, dan ditatapnya Anya dengan tatapan begitu menakutkan.
"Saya bilang mandi. Kamu istri saya, sudah sepatutnya kamu, mendengarkan dan melaksanakan titah apapun yang saya katakan."
Tubuh Anya bergetar, ia memundurkan tubuhnya beberapa langkah menjauh dari Dante, ketika tangan kekar itu sudah terlepas dari bahunya. Ucapan yang baru saja dikatakan oleh suaminya itu, berhasil membuat Anya nyali Anya ciut. Dengan langkah secepat kilat, Anya berjalan begitu saja meninggalkan Dante, menapaki satu persatu anak tangga dan menghilang dibalik pintu kamarnya.
"Apa ini?" Anya mengeryitkan dahi ketika Dante memberikan secarik kertas kepadanya.
"Surat perjanjian Pernikahan."
"Perjanjian Pernikahan? Maksudnya?"
Dante mendesis, menatap Anya dengan tatapan khasnya, tajam, mengintimidasi, tentunya mematikan.
"Surat perjanjian pernikahan, yang isinya kalau kamu setuju aku menikah lagi dengan wanita lain."
TO BE COUNTINUE...
Anya menahan nafasnya, melirik kertas dihadapannya dan mulai membacanya. Kata demi kata terus ia baca, tidak ingin terlewatkan satu huruf pun yang bisa saja mengancam masa depan pernikahannya nanti.
"Ini apa?" Protes Anya, ketika ia membaca satu poin yang begitu menggelikan baginya, "kamu mau mengakhiri pernikahan kita ketika ayahku sudah pulih? Kamu bercanda, hah?"
"Tidak," jawab cepat Dante, "semua poin yang tertulis di dalam surat perjanjian itu tidak aku buat dengan bercanda."
"Kamu gila ya, kamu fikir pernikahan kita main-main?" Sungguh, Anya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari suaminya itu.
"Lalu apa? Kamu mau hidup dengan laki-laki yang tidak kamu cintai?" Intonasi suara Dante meninggi, laki-laki itu berdiri dari tempat duduk, berkacak pinggang, dan memalingkan pandangannya menghidari kontak mata dengan Anya, "kamu tau kan, aku ini telah memiliki kekasih?" Dante mulai bercerita, "saat ini Layla kekasihku sedang mengandung benih cinta kami. Dan aku tidak mungkin meninggalkan dirinya."
Anya begitu terkejut hingga ternganga mendengarkan penuturan Dante. Dia menahan nafas, mencoba mencerna kata demi kata yang baru saja melesat dari mulut suaminya. Dia tau, kalau Dante memiliki seorang kekasih. Bahkan, dirinya beberapa kali pernah berjumpa dengannya. Wanita bernama Layla itu adalah seorang model, yang juga bekerja sama dengan perusahaan penerbit dimana Anya bekerja. Namun, yang membuat dirinya terkejut adalah, dia tidak menyangka jika laki-laki dingin bagaikan bongkahan es batu itu, bisa melakukan hal menjijikkan macam itu. Menghamili seorang gadis, dan berniat melakukan poligami.
"Ha... Hamil?" Suara Anya tertahan, jantungnya berdebar begitu kencang menunggu jawaban yang sebenarnya tidak ingin dia dengar.
"Kami saling mencintai. Dan kamu tau kenapa aku menerima perjodohan ini, bukan? Ini hanya semata-mata, balas budiku kepada orangtua mu yang sedari dulu telah berjasa membantu bisnis orangtua ku."
Bagaikan tertusuk sebuah belati yang tepat mengenai relung hati. Dada Anya begitu sakit, mendengar perkataan Dante. Dirinya memang sangat tidak menyukai sosok Dante, dan tidak menginginkan pernikahan ini. Namun, itu bukan berarti dirinya bermain-main dengan sumpah suci pernikahan, apalagi menjalankan pernikahan seperti halnya bisnis. Yang ketika kontrak tersebut habis, dirinya harus siap diceraikan dan menerima dengan lapang dada menjadi seorang janda.
Anya berdiri, meraih kertas dihadapannya itu lalu menyobek-nyobeknya kertas tersebut. Dante mengeratkan rahangnya, kali ini lelaki bermata coklat hazel itu tidak mampu menahan kekesalan di dalam dirinya.
"Kamu gila, hah."
"Kamu yang gila, Dante."
PLAK...
Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Dante. Anya menggeram marah, mengepalkan kedua tangannya dan menatap manik Dante yang sudah tertutup api kemarahan.
"Kamu pikir pernikahan kita ini permainan, hah?" Mendorong tubuh Dante, lelaki itu bergeming menundukkan kepalanya tak mampu membalas perkata Anya, "kamu pikir pernikahan ini sebuah bisnis, yang punya kontrak dan jika kontrak itu habis bisa kamu tinggalkan gitu aja sesuka hati kamu?"
"Terus kamu maunya apa, hah?" Dante tidak mau kalah, lelaki itu membentak Anya, hingga membuat gadis itu sedikit tersentak kaget, "hidup denganku tanpa cinta dan kasih sayang, hah? Ayolah Anya jangan jadi wanita kuno yang menuruti semua permintaan orangtua mu, dan rela meninggalkan kebahagiaan mu."
"Kamu bilang kuno?" Anya berdecak, Anya tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya itu. Dante bilang kalau dirinya kuno, menerima begitu saja perjodohan ini tanpa berniat mengelak atau berkhianat, "kamu pikir aku kuno? Kamu yang kuno Dante. Di dalam agamaku, tidak pernah diajarkan untuk mempermainkan pernikahan. Apalagi dengan surat perjanjian macam ini." Melemparkan serpihan surat yang tadi Anya sobek-sobek ke wajah Dante.
"Persetan Anya!" Suara Dante menggelegar begitu kencang di ruang tamu,"kamu dengar baik-baik. Setuju atau tanpa persetujuan darimu, aku akan tetap menikahi Layla." Pergi begitu saja meninggalkan Anya yang masih menahan gejolak api kemarahan pada dirinya.
Pagi itu suasana dimeja makan terlihat begitu mencekam. Baik Anya maupun Dante, keduanya sama-sama bungkam dan tidak berniat bicara atau sekedar menyapa sedikitpun. Hanya terdengar suara sendok yang membentur piring, menjadi saksi bisu dua orang asing yang berstatus suami-istri tidak saling bertegur sapa, dan mengedepankan ego masing-masing.
Namun, percayalah jauh di lubuk hati Dante, laki-laki itu begitu penasaran mau kemana Anya pagi-pagi seperti ini dengan pakaian yang begitu rapih. Ingin sekali dia menanyakannya, tetapi urung ia lakukan karena gengsi dan malu. Dante hanya dapat memperhatikan gerak-gerik Anya, dalam kebisuan dan rasanya penasarannya.
Rasa penasaran yang lebih besar daripada rasa gengsi, akhirnya membuat pertahanan diri Dante roboh, akhirnya dirinya memutuskan untuk bertanya, walaupun dengan intonasi suara yang begitu tinggi. Hingga membuat Anya meliriknya sebal.
"Mau kemana?"
Anya terdiam sesaat, berkesiap dengan pertanyaan Dante yang secara tiba-tiba, "ambil mobil."
"Kamu marah sama aku?"
"Gak!" jawab Anya cepat.
"Terus kenapa nada bicara kamu nyolotin?"
Anya mendesis, memutar bola matanya jengah, kemudian menatap Dante dengan tatapan jutek, "yang nyolotin itu kamu, bukan aku!"
"Kok aku? Kamu tuh, aku nanya baik-baik kok, kamu jawabnya malah nyolotin"
Anya begitu sebal, hingga membanting sendok makannya. Dia pun memilih berdiri, membawa piring bekas makannya dan mencucinya.
"Nyebelin," gerutu Anya.
"Aku bisa dengar ucapan kamu," ucap Dante santai sambil memberikan piring kotor kepada Anya, "sekalian cuciin." Tersenyum sarkas kepada Anya, kemudian berlalu begitu saja masuk kembali ke dalam kamarnya.
"Cih..." Anya meleparkan spon pencuci piring kesal. Bagaimana bisa ia memiliki suami, menyebalkan seperti Dante. Dirinya bahkan masih ingat betul, bagaimana sikap kasar dan kerasnya semalam. Dan pagi ini, lelaki itu, berubah menjadi pria menyebalkan. Anya meyakini, pasti Dante memiliki kelainan pada dirinya.
Setelah selesai mencuci piring dan membersihkan meja makan, Anya meraih tas selempang kecilnya yang ia letakkan di kursi makan. Meraih gawainya berniat memesan sebuah ojek online, sebagai transportasinya menujuh tempat kosannya dulu. Namun, ketika dirinya baru saja ingin memesan, Dante sudah keluar lagi dari kamarnya dan merebut gawai milik Anya secara tiba-tiba.
Anya begitu terkejut, hingga reflek menginjak kaki Dante.
"Sakit, Anya." Ringis Dante kesakitan.
"Kamu lagian ngapain sih, main rebut-rebut hp aku?" Cibik kesal Anya.
"Ayo, aku anterin kamu ke kosan Arsilla." Dante mengembalikan ponsel Anya lagi, dan berjalan begitu saja tanpa menunggu persetujuan Anya.
Anya menarik tangan Dante, mendelikkan matanya kesal sekaligus tidak percaya dengan yang dilakukan lelaki itu. Sungguh, seumur hidupnya mengenal Dante sebagai sahabat kakaknya, dirinya belum pernah melihat sikap manis Dante seperti ini. Jangankan menawarkan diri untuk mengantarkannya, bertemu di jalan pun bagaikan makhluk tidak saling mengenal.
"Apa?" Dante mendongakkan kepalanya.
"Aku gak mau di anterin kamu. Kamu nyebelin, juga dingin..." Terdiam sesaat, "kaya freezer kulkas."
"Hah..." Dante mengeryitkan kening binggung. Menyebalkan dan dingin? Seperti freezer kulkas? Dante benar-benar tidak mengerti maksud Anya, "apaan sih, kamu gak jelas banget. Udah aku mau ambil mobil, aku anterin kamu."
"Ih..." Anya menghentak-hentakan kakinya, mengerucutkan bibirnya sebal. Bagaimana sih caranya agar lelaki ini mengerti, bila dirinya tidak mau diantar dan berdekatan dengan dia, "aku bilang gak mau ya gak mau, Dante. Minggir ah..." Anya mendorong tubuh Dante, kemudian secepat kilat melesat pergi dari rumahnya.
Dante hanya tercengang, melihat kepergian sang istri begitu saja. Dante menghela nafas frustasi, melemparkan kunci mobilnya ke meja makan begitu saja. Dirinya begitu kesal dengan sikap Anya, padahal dia berniat baik ingin mengantarkan Anya ke kosan sahabatnya itu, tapi justru malah di salah artikan. Pakai segala bilang, dia menyebalkan dan dingin seperti freezer kulkas pula. Tidak ingin berlarut dalam kekesalannya, Dante memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, membanting pintu kamar dengan sangat keras dan menguncinya.
TO BE COUNTINUE...
Anya menghela nafas panjang, duduk bersender di kursi panjang sebuah kafe bergaya vintage, dikawasan Jakarta barat.
Ucapan demi ucapan sang suami tadi malam, terus berseliweran di pikirannya. Ini bukan perkara sederhana, baginya. Anya tau jika Dante tidak bercanda, lelaki itu pasti akan tetap menikahi kekasihnya. Baik dengan persetujuan Anya ataupun tanpa persetujuan Anya. Dirinya tidak bisa membayangkan hidupnya nanti akan seperti apa, Anya tau hatinya tidak mencintai Dante, atau belum mencintainya. Namun, bukan berarti Anya rela berbagi suami dengan wanita lain.
"Yailah pengantin baru, masih pagi, nih. Tuh, muka kenapa ditekuk aja udah kaya bon utang diselipan dompet." Seorang wanita bertubuh langsing bak gitar spanyol, duduk dihadapan Anya. Memberikan segelas latte kesukaan Anya dan beberapa cemilan yang baru saja dia pesan.
Arsilla Maharani, gadis blasteran minang-jogja yang memiliki wajah cantik dan tubuh molek bak model majalah itu duduk di depan Anya, memandangi wajah lusuh yang menurutnya seperti bon utang di dalam selipan dompet itu. Gadis yang sudah menjadi sahabat Anya selama 7 tahun itu, tau betul saat ini sahabatnya pasti sedang galau.
"Heh," menimpuk wajah Anya mengenakan kentang goreng bekas gigitannya, "gue ngomong nih, bu."
Anya berdecak sebal, meraih latte miliknya dan menyeruput kopi itu berlahan.
"Lo, kenapa? Cerita dong ama gue. Gue jangan di anggurin gini, mubajir tau." Arsilla terus mencecer Anya untuk bicara, dirinya amat begitu penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan wanita yang baru saja menikah itu.
"Lo kenapa kemarin gak datang, ke nikahan gue?" Anya mendelikkan matanya, menatap Arsilla penuh dengan tanya.
Arsilla tersenyum, mengaruk-garuk kepalanya binggung ingin menjawab apa, "ya, lo tau kan gue gak bakal di terima sama kedua orangtua lo yang orka itu," berkata dengan suara kikuk, dan mata menatap Anya nanar, takut-takut ucapannya akan menyinggung perasaan sahabatnya itu. Walaupun, dirinya tau Anya bukanlah gadis yang mudah tersinggung.
Anya menghela nafas, dia seharusnya tidak melontarkan pertanyaan seperti itu kepada Arsilla. Karena, dirinya tau bagaimana bencinya kedua orangtuanya kepada sosok Arsilla.
Semua itu bermula beberapa tahun lalu, ketika Arsilla ketahuan memiliki hubungan khusus dengan Danish kakak Anya. Ya! Gadis di depannya itu, selain sahabat karibnya, dia juga adalah mantan kekasih dari kakaknya. Wanita yang mampu menaklukkan hati Danish Pratama yang terkenal kasar dan dingin dengan semua orang.
Namun, sayangnya kedua orangtua Anya tidak merestui hubungan mereka. Arsilla yang hanya datang dan berasal dari keluarga sederhana, dengan seorang ayah yang telah tiada dan ibu yang kurang waras, membuat kedua orangtua Anya memandang begitu rendah status Arsilla. Mereka bahkan berkata jika Arsilla tidak pantas untuk Danish, yang begitu sempurna dan terlahir dari keluarga yang sangat terpandang. Dan, karena itu pula akhirnya Danish memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan menetap di Singapure, berdalih mengembangkan bisnis ayahnya disana. Padahal, dirinya berusaha mati-matian melupakan sosok Arsilla.
"Maaf ya, gue ga bisa datang..."
"Gapapa, gue ngerti kok." Anya tersenyum simpul, menyetuh tangan Arsilla lembut. Gadis itu sedikit merasa bersalah dengan ucapannya tadi.
"Btw, lo gapapa, kan?" Kembali Arsilla menyelidiki Anya.
Anya mengembuskan nafas kasar, Kembali menyenderkan tubuhnya ke kursi kayu panjang, dan menyapu pandangannya, memandangi setiap sudut kafe.
"Gue pusing, Sil. Sumpah, rasanya gue ga sanggup jalanin ini."
Arsilla menautkan kedua alisnya binggung. Dirinya tidak mengerti apa yang sedang di ucapkan Anya, maka dengan kekonyolan khasnya Arsilla berkata, "kenapa ga sanggup? Itu Dante gede, ampe bikin lo kuat?"
Anya langsung mengerti kemana arah pembicaraan sahabatnya itu. Ia mendelikkan matanya, menatap Arsilla dengan tatapan tajam.
"Kenapa? Gue salah?" tanya Arsilla polos.
Anya memutar bola matanya jengah, dia lupa bagaimana gesrek dan bar-barnya sahabatnya itu jika bicara, tidak tau tempat dan sesuai dengan apa yang ada hatinya. Bahkan dirinya kerap kali di marahi oleh atasnya, akibat sering melawan ucapan atasnya itu.
"Bukan itu t*lol. Nih otak kebanyak nonton b*kep gini nih."
"Wah, kalau ngomong jangan asal ngata. Gini-gini aing masih perawan ting-ting, yang masih polos alias lugu."
"Bentukannya begini di bilang lugu? Lugu dari mananya, coba."
"Srrtt..." Arsilla mengayunkan tangannya, "balik lagi nih, ke inti pembicaraan kita. Maksud lo apaan lo ga sanggup ama si Dante, kalau bukan urusan ranjang."
Anya menghela nafas sejenak, kemudian ia menoleh ke kanan dan ke kirinya. Memastikan, jika tidak ada orang lain yang mendengar obralan mereka.
"Sini." Anya mengayun tangannya, mengisyaratkan kepada Arsilla untuk berpindah tempat duduk disebelahnya.
Arsilla bergeming, gadis itu tetap diam di tempatnya. Dirinya pun berkata, "Sosial Distancing nih, jaga jarak nanti lo di suruh karantina mandiri."
Kesal dengan celoteh konyol yang terus keluar dari mulut Arsilla, dengan kasar Anya menarik tangan Arsilla. Hingga membuat gadis itu terperanjak kaget, dan tubuhnya seketika membentur meja besi panjang yang memisahkan jarak antara mereka.
"Anya, sakit tau." Pekik Arsilla.
"Suami gue mau nikah lagi."
"WHAT!."
Arsilla mendelik tidak percaya dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Anya. Di pukul-pukulnya pipinya yang sedikit chubby itu, memastikan jika dirinya tidak sedang berada di alam mimpi.
"Gue gak mimpi kan?" Terus Arsilla memukul-mukul pipinya berulang kali.
"Lo ga mimpi, Sil. Dante mau nikahin cewek lain karena tuh cewek lagi hamil anaknya," terang Anya dengan suara lantang tetapi pelan dan lugas.
"Gila. Sehari nikahin lo, dia bilang ngehamilin cewek lain? Minta di santet nih, cowok." Arsilla berteriak begitu kencang, hingga membuat seluruh pengunjung kafe pagi menjelang siang itu, langsung seketika menatap kepada mereka berdua dengan tatapan berbeda-beda.
Ada yang menatapnya dengan binggung, penuh tanya, mencibir, bahkan menggelengkan kepalanya miris. Bagaimana pun tatapan pengunjung kafe saat itu kepada mereka berdua, satu yang pasti, tatapan mereka sukses membuat Anya tertunduk menahan malu.
Ingin rasanya sekarang, Anya menyumpal mulut Arsilla.
"Lo bisa gak sih, gak usah pake teriak? Malu ***** gue." Anya terus menundukkan kepalanya, menutupi wajahnya dengan buku menu yang ada di atas meja.
Tidak memperdulikan Anya, yang sedang di rundung rasa malu akibat ulahnya. Arsilla justru berdecak kesal dengan kelakuan menjijikkan yang Dante lakukan, sejenak gadis itu termenung seperti sedang memikirkan sesuatu.
Sekelebat memori terlintas di dalam otaknya, ketika ia dulu masih berpacaran dengan Danish. Arsilla pernah bertanya bagaimana sifat dan watak Dante Dimata Danish. Bagi Danish, Dante adalah lelaki cuek dan begitu dingin. Tidak ada yang menarik di dunia ini, selain pekerjaan dan wanita bernama Layla. Lelaki itu begitu mencintai sosok Layla, walaupun acap kali Danish mengingatkan dirinya jika Layla bukanlah wanita yang baik untuknya.
Arsilla mencoba menerka-nerka. Apa wanita yang dihamili Dante itu adalah Layla? Jika ia, itu berarti saingan sekaligus madu Anya, adalah cinta mati Dante.
Baru saja Arsilla ingin berucap, dirinya malah mendapati Anya yang mulai terisak. Buru-buru Arsilla bangkit dari tempat duduknya, dan berpindah duduk di sebelah Anya.
"Eh, kok lo nangis si..." Arsilla mengeluarkan tisu dari dalam tasnya, menyeka airmata Anya yang semakin deras, "udah dong jangan nangis."
"G-gue gak rela, Sil harus berbagi suami dengan wanita lain," Anya mulai bercerita, mengeluarkan unek-unek di dalam hati dan pikirannya, "dia boleh aja anggap pernikahan kita ini, cuma keterpaksaan. Tapi, bagi gue pernikahan tetap pernikahan yang gak bisa di permainkan. Ini janji suci sehidup semati, bukan kontrak bisnis yang selama ini jadi profesi dia."
Arsilla hanya diam bergeming, mengelus punggung Anya untuk menenangkan gadis itu. Dirinya tidak ingin memotong perkataan Anya saat ini, biarkan gadis itu mengeluarkan unek-unek yang mendera di hatinya.
"Gue emang gak cinta sama dia, Sil. Sama sekali ga cinta, dia itu laki-laki kristal es yang tinggalnya di freezer kulkas, yang sulit bahkan mustahil gue cairin. Tapi apa salah kalau gue bilang gw ga rela kalau suami gue nikah lagi? Apa gue egois?"
Arsilla mengerti bagaimana perasaan Anya, walaupun mereka tidak saling mencintai, tetapi tidak ada wanita yang rela membagi suaminya kepada wanita lain. Kalaupun ada, itu pasti sangatlah berat.
"Udah ya, lo jangan nangis gue ngerti gimana perasaan lo. Lo harus pikirin dengan kepala dingin, jangan emosi kaya gini."
Anya menghapus airmatanya, menatap Arsilla dengan sendu dirinya pun berucap, "terus apa yang harus gue lakuin, Sil? Gue gak mau di madu. Gue ga siap."
"Gue yakin Dante juga gak berniat ngelakuin itu." Arsilla bicara dengan raut wajah serius dan tatapan lurus ke depan. Sementara Anya, gadis itu sudah berhenti menangis dan fokus mendengar ucapan Arsilla.
"Gini," beralih menatap Anya, "pasti pada saat orangtuanya Dante minta dia nikahin lo, posisi dia juga sulit. Satu posisi dia punya pacar yang sedang hamil anak dia, dan satu posisi lagi dia ga tega liat bokap lo yang kritis kaya gitu, otomatis dong mau gak mau dia meng-iyakan kemauan orangtua kalian."
"Tapi seharusnya dia ga perlu nutupi, dia harus jujur sama gue sedari awal." Anya bersikukuh terus memojokkan Dante. Dirinya tetap bersikeras, jika apa yang di perbuatan Dante itu salah.
Arsilla menghela nafas, "Nya, kalau gue di posisi Dante saat itupun juga ga akan tega, ngeliat lelaki yang udah gue anggap bokap sendiri kritis, dan memohon kepada gue. Gue pasti langsung iyain itu, walaupun gue tau ada masalah yang lebih besar bakal menghampiri gue nantinya." menepuk punggung Anya pelan, "setidaknya dia ga bohongin lo dan ga diam-diam nikahin tuh cewek di belakang lo. Beruntung lo tau sekarang, dan itu langsung dari mulut Dante. Coba kalau nanti-nanti apa lagi pas lo udah jatuh cinta sama dia, beh... Rasanya sakit banget, sampe ke ulu hati."
Anya menatap wajah Arsilla lekat-lekat, entah mengapa perkatan yang tadi Arsilla ucapkan seperti tamparan keras untuknya.
Benar yang diucapkannya, setidaknya Dante jujur kepadanya. Lelaki itu pun, sebenernya tidak ingin melakukan hal tersebut baik kepada Anya maupun Layla, keadaan dan keegoisan orangtua merekalah yang menyebab semua ini terjadi. Sadar atau tidak, Anya merasakan sesuatu yang membuat hatinya bergetar ketika memikirkan semua itu.
TO BE COUNTINUE...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!