NovelToon NovelToon

Jangan Sentuh Anakku!

Perempuan Mandul

Seorang perempuan mengusap peluh yang membasahi dahinya, terik matahari menyorot wajahnya yang sudah terlihat sangat kelelahan. Naya, perempuan yang sudah menyandang status istri dari seorang lelaki yang bernama Sendi.

Usia pernikahan mereka sudah menginjak 4 tahun lamanya, tetapi sampai saat ini Naya tak kunjung memiliki buah hati. Naya dan Sandi belum memiliki rumah, mereka tinggal bersama orangtua Sandi sendiri.

Sindiran demi sindiran Naya dapat dari ibu mertua dan iparnya, tiap hari makan hati sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa Naya di hindari.

Tubuh Naya terasa sakit karena setiap harinya ia harus mengurus semua pekerjaan rumah tanpa adanya pembantu, di siang yang terang benderang ini pun dia baru selesai menjemur pakaian, belum lagi ibu mertuanya menyuruhnya membersihkan rumput liar di taman.

Krruuuukkkk...

Perut Naya berbunyi lengkap dengan rasa perih menahan lapar sejak pagi, matanya berkaca-kaca dengan mulut bergetar. Mau tak mau Naya berusaha berdiri memegangi perutnya berjalan masuk ke dalam rumah, saat berada di dapur pandangannya mengarah kearah meja makan yang dimana sudah ada suami, ipar dan mertuanya makan tanpa ada yang memanggilnya untuk bergabung. Naya memalingkan wajahnya menyembunyikan air matanya, tangannya mengusap kasar pipnya yang basah, mulutnya di tutup rapat supaya tangisannya tak terdengar.

"Bahkan, suamiku sendiri tak peduli padaku." Lirih Naya.

Salah satu diantara mereka ada yang melihat Naya, ia adalah ayah mertua Naya yang paling peduli pada Naya diantara anggota keluarga yang lainnya.

"Naya, sudah jemur bajunya? Sini makan!" Panggil Egi melambaikan tangannya meminta Naya bergabung di meja makan.

Naya menatap kearah Neti yang juga tengah menatapnya, tatapan ibu mertuanya sangat tajam seperti ingin menelan Naya hidup-hidup. Sedangkan Sendi, dia hanya melirik Naya sekilas dan kembali fokus dengan makanannya.

"Ngapain masih berdiri disana, ayo kita makan." Ajak Egi kembali pada Naya.

Dengan ragu Naya berjalan kearah meja makan, ia berdiri tepat di samping suaminya. Iparnya menunjukkan sifat tak sukanya pada Naya, Seni langsung menyambar gelas dan menenggaknya sampai tandas, kemudian dia bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja.

"Tiba-tiba perutku langsung kenyang!" Ujar Seni melengos begitu saja.

"Makan yang banyak Sendi, kamu kan harus kerja biar ada tenaganya. Sering-sering deh kamu nongkrong sama temen-temen kamu, daripada di rumah tiap hari liat istri mandul yang ada otak kamu stress." Yeti menambahkan lauk yang hanya tinggal sisa satu potong ayam lagi ke piring Sendi, bahkan Neti juga menuangkan sisa sayuran ke piringnya sampai menumpuk.

Hati Naya semakin sakit mendengar kalimat sindiran ibu mertuanya, sedangkan Egi menggelengkan kepalanya melihat tingkah istrinya sendiri.

"Ma, kamu ini sesama perempuan kok mulutnya jahat sekali. Bagaimana kalau kamu yang ada di posisi Naya, atau Seni yang ada di posisi Naya, hah? Harusnya kamu sama Sendi itu saling support Naya, jangan tambahkan beban pikirannya supaya dia tenang dan hal itu bagus untuk program kehamilannya." Tegur Egi.

"Emangnya selama empat tahun itu kurang ya, Pa? Udah selama itu dia gak bisa ngasih Mama cucu, malu tuh sama anak tetangga yang baru nikah dua bulan aja udah langsung isi. Memang dasarnya aja si Naya mandul, kerjaannya leha-leha di rumah aja gak ada perubahan sama sekali." Neti memasang wajah juteknya.

"Astagfirullah, Ma." Egi tak bis berkata apa-apa lagi, dia hanya mampu mengusap dadanya dan menatap iba kepada menantu satu-satunya itu.

"Sudah lah, Sen. Ceraikan saja istri mandulmu itu, lebih baik kamu nikah lagi sama perempuan yang lebih cantik dan bisa kasih kamu keturunan." Neti malah semakin menjadi, dia menghasut anaknya sendiri untuk mengakhiri pernikahan yang sakral dan menyarankan apa yang Tuhan benci.

Deg!.

Jantung Naya langsung berhenti saat itu juga, kali ini ibu mertuanya sudah sangat keterlaluan dan terlewat batas. Hati Naya semakin perih mendengarnya, ia langsung pergi ke kemarnya karena tak sanggup lagi mendengar ucapan Yeti.

Sendi berhenti mengunyah makanannya, ia memejamkan matanya sejenak. Egi memasang wajah marah sekaligus kecewa kepada istrinya, hanya demi gengsi karena teman dan juga para tetangganya sudah banyak yang menimang cucu.

"Papa makin kecewa sama kamu, Ma."

Egi bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja, kini hanya tinggal Yeti dan juga Sendi yang masih berada di meja makan.

"Bodo amat! Perempuan mandul di belain, emang aneh." Ketus Neti.

Neti melipat kedua tangannya, matanya mendelik kesal dengan mulut komat-kamit.

"Sen, udah bener deh saran Mama. Mending kamu nikah lagi deh, Mama punya kenalan cewek cantik anak temen Mama, di jamin deh kamu bakalan tertarik." Ucap Neti setengah berbisik pada Sendi.

"Terus Naya gimana, Ma?" Tanya Sendi.

"Dah lah, ngapain mikirin si Naya. Selama ini kamu kerja banting tulang cuma buang-buang duit kasih nafkah si Naya, lah mending dia bisa kasih kamu anak, ini kan enggak! Mama yakin deh, uang kamu tuh di pake gak bener sama istri kamu, buktinya aja dia gak bisa dandan atau beli-beli barang yang baru buat mempercantik diri. Dimana-mana, istri itu harus pintar dandan biar enak di liat sama suaminya, si Naya mah malah kayak gak keurus begitu, apa kata orang kalau mereka bilang kamu itu suami medit." Neti masih berusaha membujuk anaknya untuk pisah dengan Naya, kalaupun tidak, poligami pun bisa jadi alasan utama.

"Iya juga ya, Ma. Naya sekarang mah beda, kelihatan kusam banget sama kurus lagi. Gak kaya dulu, sebenernya mah udah males banget liat Naya tiap hari." Sendi membenarkan ucapan ibunya, jika di pikir-pikir Naya yang sekarang sangat jauh perbedaannya dengan Naya saat zaman pacaran.

Sendi sepertinya sudah mulai terpengaruh akan ucapan ibunya, buktinya dia lebih tertarik dengan perempuan yang sedang ibunya bicarakan. Neti mengungkapkan ciri-ciri calon menantu idamannya pada Sendi, bahkan ia memperlihatkan foto anak temannya pada Sendi yang terlihat begitu putih, cantik dan bersih. Bonusnya lagi, calon menantu rekomendasi Neti itu bahenol dan perfect.

Usai berbincang dengan ibunya, Sendi gegas menghabiskan makanannya. Dia pun pergi ke kamarnya, siang ini dia ada janji temu dengan teman-temannya.

Begitu masuk ke kamar, dia mendapati istrinya duduk di pinggir kasur dengan tubuh bergetar. Sendi yakin kalau Naya sedang menangis karena ucapan ibunya tadi, rasanya Sendi sudah bosan sekali melihat Naya yang sering nangis. Bahkan dalam satu hari, Naya bisa menangis ratusan kali.

"Kamu itu bisanya nangiiiisss aja! Gak ada kerjaan lain apa, suami di rumah bukannya di hibur atau apalah, ini malah mewek." Protes Sendi kesal.

Naya mengusap sisa air matanya, dia bangkit dari duduknya menghampiri sang suami dengan raut wajah tak menyangka.

"Kamu beneran bilang kayak gini, Mas? Seharusnya kamu yang hibur aku, tiap hari aku makan sindirian dan hinaan dari ibu kamu, tiap hari juga aku di suruh ini itu bahkan makan saja aku gak sempat! Kamu cuman mikirin diri kamu sendiri, kamu bisa makan enak sedangkan aku nahan lapar dari pagi." Cerocos Naya mengeluarkan semua isi hatinya.

"Salah sendiri lah, uang udah aku kasih. Kalau gak kebagian makan ya tinggal beli aja, hidup jangan serba di bawa repot deh. Coba liat muka sama badan tinggal tulang doang, bisa gak sih ngurus diri sendiri? Tiap hari dasteran mulu, mana pada sobek lagi." Ucap Sendi membalas ucapan Naya.

"Gimana mau ngurus diri, uang yang kamu kasih aku cuman pegang dua ratus ribu. Ibu kamu ambil sebagian besar uangnya, dia merasa memiliki hak karena kita tinggal bareng. Aku masih punya baju aja itu udah bersyukur banget, seharusnya aku yang tanya sama kamu. Dimana tugas kamu sebagai seorang suami? Udah tahu istrinya dihina mandul, nangis karena saking capeknya, badan kurus kering, baju aja udah pada bolong-bolong. Kudunya kamu tanya diri kamu sendiri, kenapa istri kamu bisa seperti ini, bukannya malah menyalahkan. Waras gak suami kayak gitu!" Naya meninggikan suaranya, dia terbawa emosi saking sudah banyaknya rasa sakit yang sudah menumpuk di hatinya.

Plakkk!!

Satu tamparan mendarat di pipi tirus Naya, bukannya Sendi sadar akan kelalaiannya sebagai seorang suami, justru Sendi malah menyikapinya dengan kekerasan. Untuk pertama kalinya Naya mendapat tamparan dari Sendi, selama ini jika Sendi marah pastinya hanya mendiamkannya saja tanpa ada unsur tangan melayang.

"Jaga mulutmu, Naya! Seharusnya kamu tuh berterimakasih sama Mama, dia udah mau nampung kita disini. Udah di kasih nafkah sekaligus di kasih tempat tinggal gratis malah ngeluh, banyakin bersyukur deh sekalian ngaca." Ketus Sendi.

Sendi menyambar jaket dan kuci motornya, ia keluar dari kamar dengan wajah kesal. Naya mematung di tempatnya, air matanya kembali mengalir lengkap dengan perihnya batin yang lukanya kian menganga.

Semakin menyakitkan

Naya tak bisa melakukan apa-apa selain menangis, entah sampai kapan penderitaannya ini berakhir. Suaminya sudah banyak berubah, cinta dan juga kelembutan serta perhatiannya perlahan lenyap seiring berjalannya waktu.

Rasanya Naya ingin menyerah, tetapi ia masih tetap mau mempertahankan rumah tangganya dengan harapan suaminya itu akan berubah kembali seperti dulu lagi.

Lain halnya dengan Naya, Neti justru menghubungi temannya yang memiliki putri cantik incarannya untuk Sendi.

****

Sendi melajukan motornya menuju sebuah warung kopi dimana teman-temannya sudah berkumpul menunggu dirinya tiba, di tengah perjalanan Sendi menghentikan motornya karena mendapat sebuah panggilan telpon.

Sebuah nama sang ibu tertera di layar ponsel, Sendi menerima panggilan ibunya dan begitu terhubung Neti langsung meminta Sendi menjemput anak temannya sepulang dari nongkrong. Wajah Sendi mengukir bahagia, ia sangat senang karena ibunya memberikan sebuah ide yang bagus dikala ia sudah sangat bosan dengan istrinya.

Sambungan telpon sudah Sendi putuskan, ia kembali melajukan motornya ke tempat tujuan.

10 menit kemudian. Sendi memarkirkan motornya di depan warung kopi, ada sekitar 7 orang teman satu bengkelnya yang sedang bersantai sambil memainkan gitar.

Sendi pun bergabung dengan temannya yang lain, ia tak memikirkan bagaimana nasib Naya yang tak makan dari pagi hari, ia malah membiarkan sang istri kelaparan.

****

Egi membawa sebungkus makanan untuk menantunya, sebelum ia masuk ke dalam kamar Naya pastinya ia melihat situasi rumah. Seni sudah pergi ke sekolahnya, sedangkan Neti tengah sibuk menelpon dengan seseorang di luar rumah.

Diam-diam Egi membeli makanan yang ia sembunyikan di balik jaketnya, hatinya ikut perih atas perlakuan istri dan anaknya kepada sang menantu.

Egi mengetuk pintu dan Naya langsung membukakan pintunya.

"Cepat bawa makanan ini ke dalam, jangan lupa makan dan buang sampahnya jangan sampai ketahuan ibu. Maaf ya bapak gak bisa berbuat banyak. Cepatlah bawa masuk!" Ucap Egi mendorong Naya masuk ke dalam kamarnya dan ia segera menutup pintunya.

"Terimakasih, pa." Lirih Naya dari balik pintu.

Egi langsung pergi ke kamarnya, sedangkan Naya menatap plastik hitam dimana di dalamnya berisikan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Tak menunggu lama lagi, Naya langsung membuka bungkusnya dan makan seperti orang yang tidak makan berhari-hari.

Tetesan air mata kembali berjatuhan, sikap Egi membuatnya tersentuh karena hanya Egi yang membelanya di rumah sekaligus pedulu pada Naya. Usai makan, Naya haus dan ia tak mungkin keluar dari kamar karena pasti ibu mertuanya itu mengoceh kembali, apalagi suaminya tidak ada di rumah, maka ia akan semakin berani. Alhasil, Naya pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, ia minum dari air keran meskipun rasanya berbeda dari air minum yang biasa di konsumsi.

Naya sangat bersyukur, ia masih bisa makan atas kebaikan bapak mertuanya. Lama menangis dalam kondisi perut sudah terisi membuat Naya mengantuk, ia pun tidur karena seingatnya pekerjaan rumah pun sudah beres.

*

*

Sore harinya.

Naya masih belum menunjukkan batang hidungnya, Neti mendapat pesan dari Sendi bahwasannya putranya itu akan mampir ke rumahnya bersama perempuan cantik anak dari teman ibunya sebelum benar-benar mengantarnya pulang.

Ruang tamu sedikit berantakan, Neti menggedor-gedor pintu kamar Nay sampai Naya terbangun dan segera berjalan membukakan pintu.

Ceklek.

"Bagus ya! Di cariin dari tadi malah enak-enakan molor, cepat beresin rumah sekalian bikin jus yang enak soalnya bakalan ada tamu yang dateng!" Perintah Neti kepada Naya.

"I-iya, ma." Jawab Naya dengan suara seraknya.

Tanpa memperdulikan mata Naya yang sembab, Neti pergi begitu saja. Naya menyugar rambutnya ke belakang, rasa pusing menyerang kepalanya tetapi ia harus segera mengerjakan apa yang ibu mertuanya perintahkan.

Naya membersihkan wajahnya terlebih dahulu, setelah itu ia pun pergi membersihkan area yang kotor dan menyiapkan buah-buahan segar untuk membuat jus.

Begitu jusnya sudah jadi, terdengar Neti membuka pintu depan dan menyapa dengan ramah tamu yang datang. Naya di panggil untuk membawakan minuman yang sudah ia buat dan juga air putih, bukan hanya itu saja, melainkan makanan ringan juga.

Saat Naya membawa nampan ke ruang tamu, ia terkejut melihat suaminya duduk berdekatan dengan seorang perempuan sexy berbaju minim.

"Ngapain masih berdiri disitu? Kasihan loh nak Sesi pasti haus, masa tamu di biarin kehausan sih." Tegur Neti pada Naya.

Karena Naya tak ada pergerakan sama sekali karena syok melihat suaminya, Neti pun mengambil alih nampannya dan segera meletakkan diatas meja, ia mempersilahkan Sesi menyicipi jamuannya.

"Naya, tolong kamu setrikain baju Seni ya, besok dia ada acara katanya." Titah Neti.

Terlihat Sesi bergelayut manja di lengan Sendi, seakan mereka tak malu sedikit pun. Naya hanya menatap nanar kepada suaminya, wajah Sesi begitu familiar di matanya karena Naya masih mengingat betul kalau Sesi adalah mantan Sendi.

Gereget dengan Naya yang masih berdiri di tempatnya, Neti pun menarik tangan Naya ke belakang agar pergi dari hadapan Sendi dan calon menantunya.

"Sendi, aku gak nyangka banget loh, ternyata kamu yang mau di jodohin sama aku." Manja Sesi.

"Loh, emangnya kalian udah saling kenal ya?" Tanya Neti yang datang kembali ke ruang tamu.

"Iya kita udah kenal lama, tante. Kita kan mantan semasa sekolah SMA dulu, aku sama Sendi itu beda sekolah dan putus pas mau naik kelas 11 soalnya Mama aku pindah ke solo." Jawab Sesi.

"Wah, kebetulan banget ya. Tante masih inget banget, dulu Mama kamu tuh pamitan juga sama tante, dia bilang mau pindah ke solo soalnya Papa kamu ada kerjaan disana. Andai saja Mama tahu kalau dulu kalian pacaran, udah Mama nikahin." Ucap Neti.

"Makin kesini kok kamu makin cantik aja, sampe aku gak bisa ngenalin." Puji Sendi.

"Ah, kamu bisa aja." Wajah Sesi bersemu merah, ia sangat senang kembali di pertemukan dengan Sendi yang sedari dulu tak berbah.

Cinta lama bersemi kembali, cerita yang dulu sempat terputus kini terjalin kembali. Sendi masih menyimpan Sesi di ruang tersendiri, walau bagaimana pun Sesi adalah cinta pertamanya dan ketika mereka akan di jodohkan oleh kedua orangtuanya, justru mereka merasa ada kesempatan untuk kembali bersama.

Naya mengintip dari balik tembok, rasanya ribuan jarum dan benda tajam lainnya mengumpul di dadanya sampai untuk bernafas saja rasanya tak sanggup. Susah payah dulu ia membantu Sendi melupakan mantannya, ternyata takdir berkata lain, orang yang dulu mati-matian untuk di lupakan justru datang kembali sebagai duri dalam pernikahannya.

"Mas, kamu lebih mendengarkan ibumu di bandingkan memperdulikan aku sebagai istrimu. Kamu terang-terangan membawa wanita lain ke rumah, disaat aku sangat hancur." Lirih Naya.

Sendi terlihat mesra dengan Sesi, mereka kembali mengenang masa lalu yang pernah di lewati. Neti pergi dari hadapan mereka agar mereka memiliki ruang untuk berbincang tanpa perlu segan, ia akan pergi mengawasi Naya yang langsung berlari menuju tempat menyetrika ketika melihat mertuanya itu pergi.

Mengunjungi orangtua

Saat Naya tengah menyetrika baju-baju Seni dan yang lainnya, ponselnya berbunyi dan ia segera meletakkan setrikanya dan mencabut kabelnya. Naya menerima panggilan dari ibunya sampai sambungan telponnya terhubung, dari sebrang telpon ibunya memintanya untuk datang ke rumah karena ada suatu hal yang ingin di sampaikan. Dengan ragu Naya mengiyakan permintaan ibunya, ia pun mematikan sambungan telponnya dan menatap kearah layar dengan tatapan kosongnya.

"Heh, Naya! Beresin tuh bekas minuman di ruang tamu, Mama mau pergi arisan dulu." Titah Neti.

"Ma, setelah nanti aku beresin ruang tamu, aku izin ke rumah ibu soalnya ibu nyuruh aku kesana dan aku udah lama gak berkunjung ke rumah ibu." Ucap Naya dengan sangat hati-hati.

"Ya tinggal pergi aja, tapi awas ya kalau kamu ganggu Sendi, apalagi ajak dia ke rumah ibu kamu!" Ancam Neti dengan telunjuk yang mengacung ke arah wajah Naya.

Naya hanya menganggukkan kepalanya, rupanya suami dan mantannya itu sudah pergi. Neti pun berlalu meninggalkan Naya dengan pikiran yang berkecamuk, hati Naya sangat rapuh dan ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.

Gegas Naya pergi ke ruang tamu dan membereskan semua bekas jamuannya, ia membawanya ke dapur dan segera mencucinya agar mertuanya itu tidak merepet.

Usai mencuci semua gelas kotor, Naya bersiap untuk pergi ke rumah ibunya, ia butuh tempat mengadu dan mecurahkan segala keresahan hatinya kepada sang ibunda.

Egi sudah pergi ke kantornya, ia bekerja di salah satu perusahaan pabrik rokok dimana Egi menjadi bagian kantor cabang sebagai admin.

Naya keluar dari dalam rumah, ia berjalan menuju jalan raya yang jaraknya tak jauh dari rumah mertuanya.

"Uangku cuma sedikit, apa aku naik angkot aja ya? Kalau naik ojek pasti mahal." Gumam Naya menatap dompetnya yang hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna hijau dan juga ungu.

Naya akhirnya menghentikan sebuah angkot, ia masuk ke dalam angkot tersebut dan duduk bersama penumpang yang lainnya.

"Neng, habis nangis ya?" Tanya salah seorang ibu-ibu yang menatap Naya.

"Enggak kok, Bu." Sangkal Naya bohong.

"Kelihatan banget habis nangis, gapapa nangis itu wajar kok, Neng. Tapi jangan terlalu larut ya, perjalanan hidup masih jauh dan si Nengnya juga masih muda, jangan patah semangat ya." Pesan seorang ibu di hadapan Naya.

Naya menganggukkan kepalanya dengan senyum palsunya, baru kali ini ada orang yang peduli padanya, meskipun ia tak mengenali sosok ibu yang memberikan pesan dorongan semangat padanya, Naya cukup bersyukur.

Saat Naya menatap kearah luar jendela, ia mendapati suaminya berboncengan dengan mantannya, mereka terlihat begitu dekat dan erat.

'Bahkan aku lupa, kapan terkahir kamu bonceng aku dengan sikap semanis itu, Mas' Batin Naya.

Hal yang paling menyakitkan dalam hidup Naya, melihat seseorang yang ia cintai dengan sepenuh hati kembali membuka hatinya untuk wanita lain. Sekarang Naya belum memutuskan, entah itu berpisah atau bertahan.

Naya langsung turun begitu gang rumah orangtuanya sudah terlihat, ia turun dan membayar ongkosnya. Pandangan Naya melihat ke arah kanan dan kiri ketika hendak menyebrang, ia berjalan sambil memberikan isyarat kepada para pengendara begitu ia lewat.

Berjalan menyusuri gang menuju rumah ibunya, Naya berjalan cepat karena tak sabar ingin memeluk sang ibu yang sudah lama tak bertemu.

Tetapi, begitu ia sudah berdiri di depan rumah terdengar keributan disana dan bahkan ayah dan ibunya berdebat membahas perpisahan.

"Siapa yang mau pisah?" Tanya Naya dengan suara bergetar.

Ayah dan ibu Naya kompak menatap kearah putri sulungnya, mulut keduanya langsung terkatup rapat.

"Maafin ibu, Naya. Ibu sama bapak memutuskan untuk bercerai, kami memang sudah lama ingin berpisah namun ada satu dan lain hal yang membuat kami kembali bertahan. Akan tetapi, ibu sama bapak sekarang sudah sepakat dan kami akan menikah dengan masing-masing pilhan kami sendiri." Jelas Lingga. Tanpa meminta Naya duduk terlebih dahulu, justru Lingga langsung to the point. Rr

"Sebenarnya, Bapak sudah menalak ibu 2 bulan yang lalu. Makanya Bapak sering menginap di tempat kerja Bapak karena kami menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya sama kamu." Ucap Rahmat.

Naya memejamkan matanya bersamaan dengan buliran air mata yang berjatuhan, tangannya mengepal dengan kuat sampai urat tangannya terlihat, bibirnya bergetar lengkap dengan dada yang sesak.

"Pak, Bu. Naya datang ke rumah ini karena Naya butuh pelukan ibu, tapi apa yang Naya dapat? Naya malah mendengar rumah yang hangat dulu kini menjadi hancur berantakan, hiks... Jika kalian berpisah, kepada siapa lagi Naya berlindung? Tempat mana yang Naya harus jadikan tempat untuk pulang." Lirih Naya.

Lingga dan Rahmat saling melempar pandangan, mulut keduanya mendadak kelu mendengar lirihnya suara Naya.

"Pak, Bapak pernah bilang ke Naya kalau Bapak akan selalu ada buat Naya, sekarang Bapak membangun rumah baru dimana rumah itu belum tentu aku bisa masuk ke dalamnya. Apa Bapak pernah tanya bagaimana kehidupan anak semata wayang, Bapak? Pak, sekarang Naya sedang hancur, ego kalian semakin membuat Naya hancur." Di sela isakannya, Naya berbicara menatap ayahnya yang memalingkan wajahnya dengan lingan air mata.

"Apakah kalian tahu, sekeras apapun cobaan yang Naya hadapi hanya kalian berdua lah yang menjadi penguat raga Naya agar Naya masih bisa berdiri. Hiks, tapi sekarang semuanya hancur... Pak, Bu. Naya sedang tidak baik-baik saja, Naya menyerah dengan kehidupan ini." Tangis Naya semakin pecah, tubuhnya merosot ke bawah.

Lingga dan Rahmat memeluk tubuh putri satu-satunya yang mereka miliki, sejak menikah dengan Sendi tak pernah sekali pun Naya mengeluh akan kehidupan baru yang ia jalani. Rasa bersalah pun mereka rasakan, akan tetapi tak mampu merubah keputusan karena semuanya sudah keduanya tetapkan.

"Nay, sakitnya seperti apa? Coba cerita sama, Bapak." Tanya Rahmat.

"Ibu peluk kamu, ibu sayang kamu, hiks.. Tapi maaf, jalan kami sudah berbeda." Ucap Lingga.

"Sakit, Pak." Rintih Naya.

Meskipun Naya mengeluhkan rasa sakit di hatinya, ia tetap tak mengatakan sumber rasa sakitnya itu seperti apa dan bagaimana orangtuanya bisa membantunya.

Naya sudah kehabisan tenaga dan kata-kata, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Rahmat segera menepuk pipi Naya berharap putrinya kembali membuka matanya, namun Naya sama sekali tak merespon.

"Bawa Naya ke kemarnya!" Titah Lingga.

Rahmat mengangkat tubuh Naya, ia segera membawa Naya ke kamarnya dan Lingga mencari minyak angin untuk putrinya.

Naya kira hanya rumah tangganya saja yang diambang kehancuran, namun nyatanya pernikahannya kedua orangtuanya juga sudah tidak terjalin lagi.

*

*

Selama 1 jam Naya pingsan. Belum ada tanda-tanda ia akan sadar, Rahmat dan Lingga menatap wajah putrinya yang terlihat pucat dan terlebih lagi badannya yang sudah kehilangan bobotnya.

Eungghhhh...

Naya melenguh, ia berusaha bangun dari tidurnya sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing. Beban di pikirannya dan juga hatinya membuat semuanya terasa berat, Naya hanya menatap sekilas kedua orang tuanya kemudian ia menyambar tasnya dan pergi begitu saja.

"Nay, kamu masih pucat. Biar ibu telpon Sendi buat jemput kamu, jangan pulang sendirian." Lingga menahan tangan Naya yang berusaha pergi.

"Iya, Nay. Kamu kelihatan gak sehat, biar bapak bawa kamu periksa atau kamu mau bapak masakin apa?" Ucap Rahmat.

"Gak perlu! Kalian urus saja urusan kalian, tidak usah memikirkan aku karena keputusan kalian pun sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Kalian sudah tak peduli padaku semenjak aku menikah, aku kira setelah menikah aku akan kuat dengan adanya suami di sampingku, nyatanya sudah menikah pun aku butuh seorang ibu dan ayah untuk pelipur laraku." Ucap Naya.

Bukan Naya egois ingin kedua orangtuanya fokus dengan dirinya, tetapi saat ia masih menutup matanya Naya mendengar percakapan kedua orangtuanya mengenai alasan perpisahan yang sudah mereka nyatakan.

Sedih, Naya sangat sedih dan cukup terpukul dengan perceraian kedua orangtuanya. Naya merasa ia tak punya tempat sama sekali untuk pulang, di rumah mertuanya ia merasa berada di dalam neraka, sedangkan tempat yang ia anggap syurga yakni di rumah orangtuanya pun kini sudah tak ada.

Naya pergi begitu saja, Lingga dan Rahmat hanya diam tanpa berniat mencegah kepergian putrinya.

Cuaca yang cerah tak membuat suasana hidup Naya ikut cerah pula, ia berjalan menyusuri jalanan yang ramai dengan berisiknya kendaraan yang berlalu lalang.

Tanpa Naya sadari, ia sudah berjalan jauh seperti orang linglung. Rumah biru yang dulu ia tempati sudah tidak ada, hanya tersisa kenangan yang akan ia rindukan kelak.

"Aaakkhhhhh!!!"

Suara teriakan membuat Naya tersadar dari lamunannya, ia mencari sumber suara teriakan yang terdengar seperti orang putus asa. Di jembatan yang akan Naya lewati terlihat seorang pria berdiri memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, Naya syok ketika orang tersebut mengangkat sebelah kakinya berusaha untuk terjun ke bawah sungai dengan air yang mengalir nampak tenang.

Gegas Naya berlari berusaha menyelamatkan pria tersebut, jalanan menjadi macet karena beberapa pengendara yang menghentikan mobilnya.

"Woy, jangan bunuh diri!!" Beberapa orang berteriak dari dalam mobilnya.

Sreeettt ...

Brughhh...

"Apa kau sudah gila, hah!!" Bentak Naya.

Pria tersebut terduduk di bawah dengan wajah basah oleh air mata, tetapi ia kembali berusaha berdiri dan berniat terjun kembali.

"Sadar hey! Sadaaaarrr!!!

Greeppp..

Naya memeluk tubuh tinggi pria itu, ia semakin mengeratkan pelukannya dan mengusap punggungnya berusaha menenangkan jiwa yang terlihat begitu putus asa.

"Lepas! Biarkan aku mati, dunia ini sudah sangat tak adil!!" Berontak pria yang Naya dekap.

"SADAR, TUAN!! PIKIRKAN BAGAIMANA ORANGTUA ANDA JIKA TAHU ANAKNYA NEKAT MENGAKHIRI NYAWANYA." Naya menjadi emosional karena pria yang ia peluk tetap berontak meminta di lepaskan.

"Mereka pergi, mereka yang ku cintai sudah pergi! Mereka pergi karenaku, kenapa Tuhan hanya mengambil mereka sedangkan aku di biarkan tersiksa." Ucapannya terdengar begitu lirih, tangisan pilunya mengundang air mata Naya untuk kembali menetes.

"Tuhan maha mengetahui, sedangkan manusia tidak. Aku pun sama hancurnya, mungkin kepalaku sama berisiknya denganmu, Tuan. Akan tetapi aku masih ingin melanjutkan hidup, percaya lah bahwa indah itu dengan kita berdamai dan ikhlas." Ucap Naya mengusap punggung pria tersebut.

Pria itu terisak, tubuhnya merosot dan ia diajak ngobrol oleh Naya dan juga orang sekitar yang memberikan motivasi agar niat pria tersebut itu gagal.

Pria yang Naya tolong tiba-tiba tak sadarkan diri. Saat para pengendara yang keluar hendak menggotong pria tersebut, sebuah deringan telpon berbunyi dari dalam saku jasnya, Naya merogoh ponselnya dan menjawab panggilan telpon yang tertera nama 'PAPA PRIKKK'

"Arzan, kamu dimana?"

Di sebrang telpon, terdengar suara seorang pria paruh baya yang begitu mengkhawatirkan putranya. Naya mengabarkan dimana pria yang sudah di gagalkan percobaan bunuh dirinya kepada pria yang di yakini adalah orangtuanya.

Naya menjelaskan bahwasannya pria yang di panggil Arzan itu sedang di bawa menuju rumah sakit, setelah itu Naya pun memutuskan sambungannya begitu orang di sebrang telpon akan menyusulnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!